Share

7. SENYUM PALSU SEORANG AYAH

"Ya ampun, Muti mana ada uang segini banyak Kak?" Pekik Mutiara saat Samudra baru saja memberitahunya bahwa dia membutuhkan sejumlah uang untuk membayar biaya operasi Aisha. "Kakak kan tau Muti masih sekolah. Paling Papa biasa kasih Muti uang untuk pegangan jajan sama ongkos sebulan aja. Selebihnya uang biaya sekolah ya Papa sendiri yang urus," tambahnya dengan wajah yang tampak prihatin.

Mutiara mengeluarkan Kartu ATM dari dompetnya dan memberikannya pada Samudra. "Kayaknya masih sisa empat jutaan sih di sini. Nih, Kakak pakai aja, nanti Muti minta lagi sama Mama. Tapi, kalau untuk kasih tau Mama soal ini, Muti nggak janji ya Kak, soalnya kondisi kesehatan Mama juga lagi nggak stabil. Muti takut Mama jadi tambah down kalau tau keadaan Kak Sam sekarang,"

Samudra mengesah. Jadi serba salah.

Keadaan saat ini memang benar-benar sedang menghimpitnya.

Setelah mencoba berpikir jernih, akhirnya Samudra memutuskan untuk tidak merepotkan Mutiara lebih jauh.

Mendorong kembali ATM yang tadi disodorkan Mutiara kepadanya seraya berkata, "Kamu simpan aja uang kamu deh, Mut. Pakai aja untuk keperluan kamu. Kakak mau ambil barang-barang Kakak aja di kamar yang bisa dijual," ucap Samudra pada akhirnya. "Tapi, Kakak minta tolong, jangan bilang-bilang Papa ya soal ini?"

Mutiara pun mengangguk paham dan langsung sigap berjaga di jendela untuk melihat ke arah teras, takut-takut ada orang lain datang.

Sementara Mutiara berjaga, Samudra pun lekas mengambil beberapa barang berharga miliknya di dalam kamar pribadinya dahulu seperti jam tangan mewah yang harganya bisa mencapai puluhan juta, beberapa ponsel koleksinya, dan juga laptop.

Memasukkan dengan cepat barang-barang itu ke dalam sebuah tas ransel, Samudra pun lekas keluar dari kediamannya, ketika tiba-tiba langkahnya terhenti tepat beberapa meter sebelum mencapai pintu utama yang sudah lebih dulu dibuka dari arah luar.

Samudra menelan salivanya sendiri dengan susah payah saat dilihatnya Alden kini masuk bersama Senja, diikuti oleh Adipati sang Papa.

Masih terpaku di tempat, Samudra tak mampu berkutik, terlebih saat kini langkah Adipati semakin mendekat.

Tatapan Adipati sempat tertuju pada tas ransel besar yang tersampir di punggung Samudra sebelum akhirnya dia menatap wajah Samudra yang kelihatan pucat.

Persis seperti seorang pencuri yang tertangkap basah setelah berhasil melakukan kejahatan.

Tahu bahwa sang Papa datang, Mutiara lekas datang untuk menolong Kakaknya.

"Kak Sam, cuma mau ambil barang-barang dia aja kok, Pa. Ayo Kak, Muti anter keluar," kata Mutiara seraya menggandeng lengan Samudra, mengajak sang Kakak berlalu dari hadapan Adipati. Mutiara tahu Samudra butuh sandaran untuknya berpijak menghadapi Adipati yang begitu kejam, itulah sebabnya dia menjadikan tubuhnya sebagai penopang pijakan Samudra.

Samudra baru saja hendak melangkahkan kakinya mengikuti Mutiara ketika tangan Adipati justru menahan lengan Samudra yang lain.

Membuat Mutiara pun urung melanjutkan niatnya untuk membawa Samudra lebih jauh.

"Mut, masuk sana ke dalam, Papa mau ajak Kakakmu bicara dulu sebentar," ucap Adipati dengan suaranya yang terdengar lembut, bahkan eskpresinya pun biasa saja, tak sedikit pun terlihat kemarahan di sana.

Mutiara yang memang penurut jelas tak memiliki pilihan lain selain melaksanakan perintah Adipati. Berharap sang Papa bisa memperlakukan Samudra dengan baik.

Sepeninggal Mutiara, Adipati memberi isyarat pada Samudra untuk mengikuti langkahnya.

Mereka duduk di sofa ruang keluarga, diikuti oleh Alden dan Senja.

"Ada keperluan apa kamu pulang? Apa, karena kamu sudah sadar atas kesalahanmu dan menyesalinya?" Tanya Adipati masih dengan pembawaannya yang super tenang.

Samudra masih menunduk.

Duduk di sebelah Adipati sambil memangku tas ranselnya.

"Sam... Sam pulang karena butuh uang untuk membayar biaya operasi Aisha, Pa," ucap Samudra pada akhirnya.

"Aisha mau dioperasi?" Tanya Adipati seolah terkejut.

Mendengar nada prihatin yang diucapkan sang Papa lewat pertanyaannya, Samudra jadi memberanikan diri mendongakkan kepala, menatap Adipati. "Iya Pa. Aisha sedang mengandung tapi di dalam rahimnya terdapat Tumor yang harus segera diangkat," ucap Samudra lagi, menjelaskan.

"Sudah berapa bulan usia kandungannya?" Tanya Adipati kemudian.

"Tujuh Bulan, Pa,"

Kepala Adipati mengangguk beberapa kali sebelum lelaki paruh baya itu kembali berkata, "lalu kenapa kamu baru datang sekarang, Nak?"

Dan ucapan Adipati tersebut seakan membawa angin segar bagi Samudra yang meyakini bahwa kini sang Papa sudah tidak marah lagi padanya, atau bahkan dia sudah bisa menerima Aisha sebagai menantunya.

"Maafkan Sam, Pa. Sam terlalu takut untuk pulang karena selalu berpikir Papa masih membenci, Sam," ucap Samudra yang jadi menangis, saking terharu. Dia bersimpuh di bawah kaki Adipati. Mengakui akan kesalahan yang telah dia perbuat, berharap Adipati bisa benar-benar memaafkannya dan menerimanya kembali.

Adipati menepuk bahu Samudra, seolah memberi isyarat bahwa semua baik-baik saja.

"Memang, kamu butuh uang berapa, Nak?" Tanya Adipati seraya mengajak Samudra untuk kembali bangkit dan duduk di sisinya.

"Pa? Apa yang Papa lakukan?" Potong Alden yang jadi bingung kenapa Ayah mertuanya malah bersikap lembut pada Samudra.

Tatapan dingin Adipati yang tertuju ke arah Alden lekas membuat sang menantu pun bungkam hingga menunduk takut.

Sadar atas kelancangannya itu.

"Mungkin, sekitar lima puluh jutaan Pa. Tapi, jika Papa mengizinkan, Sam hanya ingin membawa beberapa barang-barang berharga milik Samudra yang bisa Sam jual," dengan polosnya Samudra pun membuka tas ransel yang dibawanya dan memperlihatkan isi di dalam tas tersebut pada Adipati. "Sam pikir, harga barang-barang ini bisa lebih dari cukup untuk menutupi semua biaya pengobatan Aisha, Pa,"

Adipati tersenyum lantas mengangguk. "Baiklah, Papa mengizinkan. Kamu bisa pergi sekarang membawa barang-barang itu," katanya dengan penuh kelembutan.

Senyum lebar Samudra pun mengembang. Hatinya sungguh bahagia mendapati kebaikan dan kemurahan hati sang Papa terhadapnya hingga dia pun berulang kali mengucapkan kata terima kasih dan mencium tangan sang Papa sebelum pergi.

"Oh ya, Pa. Nanti jika Aisha sudah sembuh, Samudra akan membawa Aisha dan anak Sam pulang," ucapnya lagi masih dengan senyum penuh kebahagiaan.

Adipati hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun, menatap kepergian Samudra hingga setelahnya, senyum di wajah lelaki itu pun meredup seketika.

Mengambil ponsel di saku celana bahan yang dia kenakan untuk menghubungi seseorang.

"Halo, Gara? Apa sudah dapat informasinya?" Tanya Adipati saat itu yang langsung menghubungi sang asisten.

"Sudah Tuan. Aisha sekarang dirawat di rumah sakit Kasih Ibu. Dia didiagnosa dokter memiliki tumor di dalam rahimnya sehingga harus lekas menjalani operasi untuk mengangkat tumor dan juga persalinan prematur," jelas Gara di seberang.

"Siapa dokter yang menangani?" Tanya Adipati lagi.

"Dokter Siagian, Tuan."

"Baiklah, buat janji temu secara pribadi antara aku dengan dokter tersebut, hari ini. Dan satu lagi," Adipati menggantung kalimatnya saat sebuah senyum sinis tampak di wajahnya yang keriput.

"Buat laporan ke kantor polisi atas adanya tindakan pencurian di rumahku, di mana pelakunya adalah Samudra! Aku mau, Samudra di tangkap hari ini juga!"

"Baik, Tuan."

*****

Yuk Vote dan koment..

Salam Herofah...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status