Muka Inara pias seketika, jelas kaget sejak menerima kebenaran. Tawa renyah menyambut. Kalau Ruby tak punya pasangan, maka hanya ada satu anak yang tersisa, yaitu Angga. Namun, Angga sendiri sudah mempunyai istri. Apa mungkin mertuanya mau menikahkan Angga dengan perempuan lain? Rasanya betul-betul lucu membayangkan, jika kejadian itu nyata adanya. Saat ini Inara tentu tak percaya. Sudahlah. Mungkin kemarin Bu Dila cuma bergurau atau sedang gabut dan mencari pelampiasan.
"Abi. Umi pergi sendiri saja, ya. Rupanya Aina juga nggak bisa." Inara melapor saat menemui suaminya sedang mengambil baju di lemari.
"Hah, emang berani?" Raut khawatir terlukis.
"Beranilah. Umi kan wonder woman." Inara mengangkat kedua lengan, mempertontonkan otot-ototnya.
"Hahaha. Umi bisa saja. Ya, sudah. Hati-hati ya, Sayang. Ini Abi juga lagi siap-siap mau pergi."
"Iya, Bi." Inara mengambil pakaian dari sumber yang sama.
"Ngomong-ngomong, Umi pulang jam berapa?"
"Kemungkinan jam lima sore, Abi." Inara menurunkan satu stel gamis beserta kerudungnya sekaligus.
"Sebelum jam itu, Umi nggak akan pulang, kan?"
"Kenapa emangnya, Bi?" Dahi Inara berlipat.
"Ya, maksudnya biar kunci rumah dikasih ke Ibu aja." Angga tampak menggaruk hidung.
"Oh, iya. Abi titipin aja kunci sama Ibu."
Inara berganti pakaian di hadapan suaminya. Biasanya Angga akan mengacau dengan mendekap Inara sampai keduanya berujung ranjang, atau kalau sedang sangat sibuk dia hanya mengganggu lewat kata-kata nakal. Namun, kali ini tidak. Angga justru terlihat fokus mengetik sesuatu di ponsel. Inggit taksir dia sedang menghubungi rekannya yang hendak dijenguk itu.
Inara pergi mengendarai motor seorang diri. Saat lampu merah menghadang jalannya, ia terhenyak melihat seorang anak kecil berjualan koran di bibir jalan raya. Mukanya kusam, pakaiannya kucel. Kulit anak itu gosong bagaikan arang, karena setiap hari mandi sinar mentari.
Hanya satu kata yang saat ini menggerayapi hati Inara. Iba. Dia tak sampai hati melihat bocah perempuan berambut gimbal itu mengedarkan koran dengan susah payah.
Perempuan dewasa tersebut bermaksud untuk membeli seluruh koran yang bertengger di tangan mungil si bocah. Namun saat mengeledah isi sling bag, Inara tak menemukan apapun selain ponsel saja.
"Astagfirullah. Dompetku ketinggalan," katanya menepuk jidat.
Ia meminta maaf di dalam hati dan berjanji akan membeli koran si adik malang di lain waktu. Inara menepikan kendaraan, setelah sukses melewati lampu lalu lintas tersebut. Dia menelepon Angga supaya dompetnya dikirim melalui g*send saja. Namun, sepuluh panggilan tak terjawab berhasil membuat Inara memutuskan untuk balik ke rumah. Mungkin suaminya sudah pergi dan saat ini sedang menyetir.
Keterkejutan menyambut. Pintu rumah ternganga lebar, bahkan mobil masih terparkir di tempat yang sama. Inara yang heran kenapa Angga belum pergi, tetapi tak mengangkat teleponnya langsung nyelonong ke dalam rumah.
Lokasi yang pertama Inara tuju adalah kamar. Debusan air dari kamar mandi menembus telinga. Inara mendapati baju yang tadi Angga ambil dari lemari terhempas berserakan di lantai.
Sepasang alis Inara terangkat, dadanya naik turun. Ia melipat kening di saat sesuatu bewarna putih kembali teronggok di lokasi yang sama.
"Astagfirullah. Ini lagi?" Inara mengusap ranjangnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa benda itu kerap hadir di saat Inara sedang tak di rumah? Tak usahlah berkilah. Inara tahu betul apa yang saat ini didekatkan ke hidungnya.
Sungguh, Inara ingin menyerang suaminya dengan beribu pertanyaan, hingga pria itu jujur. Tak peduli kalau Angga sedang mandi di dalam. Inara mengetuk pintunya.
Tap!
Inara dan suami bersitatap.
Laki-laki yang mengenakan setengah handuk dan berambut basah itu terlonjak di tempat. Nyaris menutup pintu toilet, tetapi tak jadi. Ia keluar dengan bibir gemetaran.
"U- Umi, kenapa b- bisa ada di- s- sini?" Angga terbata-bata.
Pria itu seperti sedang ketakutan. Membuat Inara kian curiga saja. Padahal Inara belum bertanya suatu apapun.
"Dompet Umi ketinggalan, makanya balik ke rumah. Tadi Umi sudah telepon Abi, tetapi nggak diangkat-angkat."
"Umi baru sampai atau sudah dari tadi?"
"Baru aja, Bi."
"Harusnya Umi telepon sama Abi angkat, dong!" Angga memandang lawan bicaranya sinis.
"Ya, gimana? Umi bakalan jadi ikan asin, karena terjemur matahari perkara nunggu Abi jawab telepon. Umi nggak maulah, Bi. Lagian, Umi pikir Abi udah pergi tadi."
Netra Angga sibuk menyapu seantero kamar. Mulai dari pertemuan awal hingga sekarang, ia kelihatan tidak tenang. Angga gelisah, risih dan seolah tidak suka dengan kehadiran Inara yang secara tiba-tiba itu.
"Umi mau tanya. Abi habis ngapain pasca Umi tinggal beberapa menit? Kenapa kasur itu basah lagi?" Inara tak dapat menahan mulut untuk tidak bertanya.
Angga dengan gugup mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksudkan Inara. Terlihat ia menelan liur. Lalu, kembali menatap Inara dengan cemas.
"Sekarang jujur sama Umi! Apa yang Abi lakuin sebenarnya?"
Hening. Angga membisu, menjelma patung. Niat hati Inara yang pulang hanya untuk mengambil dompet pun mendadak teralihkan dengan kejanggalan ini.
"Kenapa diam, Bi? Jawab, dong!"
"Anu- itu..."
Desakan sang istri semakin membuat Angga kalang kabut. Mukanya gusar. Ia menjambak rambut tanda frustasi.
"Abi ****I sendirian?" tembak Inara sesuai kecurigaannya.
"Eh, iya, Mi."
"Bener begitu?"
"Heheh. Iya." Seperti senyum yang sengaja ditahan.
"Ya, Allah, Bi. Abi kayak laki-laki yang nggak punya istri aja. Kenapa harus memprosesnya sendirian? Kan, ada Umi tempat Abi mencurahkan kasih sayang." Inggit menggeleng seraya berkacak pinggang.
"Ya, gimana? Umi sibuk banget. Abi kepengen, tapi sungkan mau mengganggu."
"Jadi, Abi nggak angkat telepon Umi karena..."
"I- iya, Mi. Maaf." Kepalanya menunduk.
"Lain kali nggak usah begitu, Abi. Ngomong saja, kalau mau. Urusan Umi juga nggak urgent banget dan bisa ditunda barang 1 sampai 2 jam. Ingat, Bi! Tugas seorang istri itu melayani suaminya. Abi sebagai suami juga jangan menganggap Umi ini tidak ada, sampai-sampai melakukannya sendirian."
"Abi nggak bakal lakuin lagi ya, Mi." Angga menampilkan wajah-wajah penyesalan.
"Sampai bajunya terbang ke sana-sini." Inara menggerakkan mata ke arah lantai.
"Namanya juga lagi menggebu-gebu, Mi."
"Huh, Abi, Abi! Ya, sudahlah, Umi mau pergi lagi ya, Bi!"
"Oh, iya-iya. Abi juga mau siap-siap buat jenguk temen, nih."
Inara dapat bernapas lega. Sempat berpikir, kalau suaminya sengaja mencari wanita panggilan di kala rumah sepi dan mengambil kesempatan atas itu. Rupanya Inara salah. Ia terlampau su'udzon dengan suami sendiri. Sedetik kemudian dia jadi merasa bersalah.
Kakinya melangkah menuju pintu utama. Inara yang tadinya sudah damai, malah kembali digenjot batin oleh kehadiran seorang perempuan berdaster dan rambut cepol yang meneriaki nama Angga. Sejeda berikutnya Inara membeku. Biji matanya serasa ingin lepas.
Siapakah sosok tersebut?
"Mas Angga! Mas!"Dari balik pintu pekikan itu kian berlangsung. Inggit berlari cepat disusul oleh ayunan kaki suaminya dari belakang. Ia turut panik. Panggilan itu seolah mendesak. "Aina?" Netra Inggit serasa lepas dari tempat. Udara di kawasan tersebut seketika pengap. Inara menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Sungguh pemandangan di luar akal. Orang yang ia kenal selama ini tak pernah membuka aurat, malah tiba-tiba nyelonong ke kediamannya tanpa pakaian syar'i dan meneriaki nama suami Inara.Dia adalah tetangga Inara sendiri sekaligus teman dekatnya. Aina yang melihat kemunculan sosok lain lantas menghentikan laju. Ia dan perempuan di hadapannya hanya terpaut jarak beberapa cm saja. Sama seperti Inara, Aina juga mengalami kekagetan yang sama.Inara tak sempat menengok bagaimana reaksi suaminya yang sekarang berada di belakang tubuh. Ia menyorot fokus perempuan di depannya itu. Beribu spekulasi mencuat."Aina, kamu kenapa manggil-manggil suamiku dengan keadaan seperti ini
"Abi, baru pulang? Umi telepon nomornya nggak aktif. Umi pikir Abi kenapa-kenapa." Inara bergelayut manja di lengan suaminya, menepi sebuah pertanyaan yang bersarang di kepala.Angga menyambut istrinya penuh cinta. Mendaratkan sebuah ciuman mesra nan singkat di bibir. "Maaf, Umi. Batre Handphone Abi low.""Lain kali, kalau mau berpergian itu bawa power bank ya, Abi.""Siap, Sayangku. Abi masuk dulu, ya! Mau mandi. Udah bau asem, nih." Angga mengerutkan hidung.Inara bergulir menghampiri mertuanya yang kelihatan sulit membawa banyak barang."Ibu baru sampai juga? Aku bantu, ya!" Bu Dila dengan senang hati menyerahkan dua buah plastik besar kepada menantunya tersebut. Sebuah pertolongan datang di waktu yang tepat."Ibu, sudah selesai fitting baju pengantinnya?" Inara si paling tidak tahu apa-apa bertanya."Apa?" Dada Bu Dila sesak. Langkahnya melamban. "Kamu tahu, kalau Ibu fitting baju pengantin?""Kenapa kaget begitu, Bu? Tadi Ruby bilang, kalau ikut fitting baju pengantin anaknya t
Inara mendekap gawai di dada. Mukanya menebal. Ia berhasil menuduh lelaki tersebut selingkuh, tetapi faktanya perempuan itu adalah istri dari Ustadz Ridho sendiri. Sungguh, ini bukan kemauan Inara. Ainalah yang tak pernah mengumumkan tentang perpisahannya dengan pria berilmu itu."A- apa?" Inara tercengang. "Sejak kapan Ustadz Ridho menikah? Ke- kenapa tidak dengan sahabatku?" Inara menggeleng samar.Dia sudah menduga, pasti ada sebab khusus kenapa Aina bungkam soal proses ta'aruf itu, tetapi sama sekali tak berpikir, kalau ternyata ia putus. Selama ini Aina kelihatan bahagia-bahagia saja."Dua Minggu lalu."Oh, Ya Tuhan. Pantaslah Inara pernah menengok jemari Ustadz Ridho dipenuhi inai merah bertepatan dengan tenggang waktu yang baru saja disebut."Ta- tapi, kenapa Ustadz?" Masih dengan ketidakpercayaannya."Saya agak sulit menyatakannya, tetapi kalau Anti benar-benar mau tahu, penyebabnya adalah karena Aina menyelingkuhi saya.""Hah?" Suara Inara kian meninggi. Membuat wanita di sam
Inara tentu kaget hampir mampus mengetahui suaminya mengirimkan uang sebesar lima juta kepada Aina, sementara dia sendiri dikurangi jatah bulanannya. Apa karena ini Angga berubah medit? Punya hubungan apa dia dengan Aina?Inara meremas selebaran cek tersebut untuk dijadikan barang bukti atas rahasia yang suaminya sengaja tutupi. Ia menyeduh air mata. Dia memanglah belum mendengar penjelasan orang yang dicurigai, tetapi tak salah juga, kalau perasaannya tak enak. Istri mana yang tidak cemburu dan khawatir, kalau suaminya tiba-tiba mengirim uang kepada sahabat kita sendiri.Wanita yang sedang kebingungan itu bersimpuh lemas. Badannya bersandar pada kaki ranjang. Apa gara-gara ini juga Aina batal menikah dengan Ustadz Ridho? Barangkali, yang dimaksud Ustadz Ridho tentang selingkuhan Aina itu adalah..."Nggak! Nggak mungkin suamiku diambil sahabatku sendiri!" Inara menolak pikiran tersebut.Kepalanya menggeleng laju. Ia tahu betul siapa Aina. Perempuan itu sudah menjadi bagian dari hidupn
Inara mengedarkan pandangan. Gedung Anyar sudah berada di depan mata. Sekujur badan rasanya lunglai. Kalau sampai suaminya sampai menikah diam-diam, mungkin Inara bisa mati berdiri. Namun, apa iya? Entah ini cuma ketakutan Inara saja.Bosan menebak-nebak, ia pun menyusuri gedung yang di bagian belakangnya ada kebisingan. Inara pikir di sanalah suaminya berada.Pikiran-pikiran jahat menyerang. Melangkah penuh keraguan dan..."Angga?" "Ya, Allah..."Inara bersandar pada dinding gedung. Ia menengok sekali lagi ke arah lelaki berpeci hitam yang tengah mengamankan anak-anak tersebut. Inara lega. Rupanya Angga memang betul menjalankan tugas sebagai instruktur pesantren kilat. Terlihat ia dan beberapa bocah berbaju koko sedang melaksanakan baris-berbaris. Pasti sebentar lagi akan berangkat ke sekolah kecamatan sebelah.Seketika rasa bersalah muncul. Akhir-akhir ini Inara mudah sekali su'udzon terhadap suaminya sendiri. Padahal ia tahu betul, kalau Angga adalah suami romantis dan setia. De
Sejak itu hubungan Inara dan Angga menjadi agak renggang. Lelaki itu memang memperlakukan istrinya dengan romantis, tetapi tak jarang bentakan-bentakan kecil terlontar dari bibir Angga, juga perlakuan kasar yang tidak ia sadari. Angga mulai jarang membawa Inara makan di luar atau hanya sekadar menikmati suasana kota pada sore hari. Apalagi menemaninya belanja kebutuhan rumah tangga seperti yang sudah-sudah. Beranjak pada persoalan intim. Lelaki penuh misteri itu setiap malam selalu kelelahan, lalu ketiduran. Katanya banyak tugas dari sekolah. Terlebih saat anak kelas 12 mulai mendekati ujian nasional. Sampai-sampai kerap mengabaikan hasrat istrinya. Inara tak mampu memaksa Angga. Pernah sewaktu-waktu ia ngambek, karena suaminya tak sudi diajak bermain bersama. Namun, Angga dengan keras menegaskan, jika dia tak suka ditekan seperti itu. Setelahnya Inara tak berani lagi meminta. Biarlah Angga sendiri yang lebih dulu menyentuhnya, jika sedang mau.Namun, anehnya; sering pula Inara temu
Waktu magrib tiba. Wanita yang sedang diliputi kesedihan itu sengaja menanti hingga kamar mandi sepi penghuni, barulah ia masuk untuk berwudhu. Sebelum memulai sholat di musholla cafe, diliriknya sambungan CCTV kamar dan ternyata masih menghadirkan adegan tak senonoh itu. Lihatlah! Anak cucu Adam yang sedang dimabuk cinta tersebut, bahkan panggilan Allah tak lagi dipedulikan perkara bercocok tanam. Sebegitu menikmatinya mereka.Inara saking lemasnya sampai tak bisa sholat dalam keadaan berdiri. Dia memilih untuk duduk. Inara sepanjang beribadah masih saja meneteskan air mata. Begitu tersayatnya perasaan. Ternyata laki-laki yang kelihatan setia belum tentu baik isi hatinya. Inara mengadukan hari terburuknya kepada Sang Pencipta. Mempertanyakan kenapa ia yang sudah berusaha sesempurna mungkin di hadapan suami masih juga diduakan. Saat tak ada lagi jamaah perempuan di musholla cafe, itu menjadi kesempatan bagi Inara untuk menumpahkan isak yang sejak tadi dia tahan. Bahunya tiada henti b
"Umi! Astaghfirullah. Kenapa, Sayang?" Angga terkesiap, lalu merengkuh istrinya untuk didudukkan di sudut ranjang. Untuk sementara waktu tidak ia pedulikan pecahan kaca itu. Jemari tangan Inara merah semua. Air kental mengalir dan membasahi gamisnya. Sakit. Perih. Namun, semua itu tak sebanding dengan penghianatan yang Angga lakukan terhadapnya.Inara meraung hebat. Angga kebingungan, lalu berlari menuju dapur untuk mengambilkan segelas air putih. Ia dengan hati-hati membantu istrinya untuk minum. Nahas, gelas ditepis sehingga bernasib sama seperti kaca rias."Umi! Umi kenapa pulang-pulang ngamuk? Cerita dulu sama Abi. Jangan seperti wong kesetanan begini!"Angga gelagapan. Inara menjerit heboh dan meronta-ronta. Kalau ini nih bukan kesurupan. Setan saja takut melihat keberanian Inara. Suami banyak drama itu kalang kabut membuka lemari dan meraih kotak P3K. Dia mencuci bersih darah dan mulai membalut luka pada jemari tangan istrinya tersebut."Istighfar, Umi. Jangan mengikuti hawa