Share

2.SIAPA WANITA BERAMBUT PIRANG

Dengan dada bergemuruh aku menyudahi mengecek CCTV. Darah yang mengalir terasa panas. Awas saja kalau memang Mas Radit berani menghianatiku. Aku sudah mengangkat derajat dia dan keluarganya. Kalau saja bukan karena keinginan Ayah, aku juga takkan sudi menikah dengannya. Padahal saat itu aku sudah menjalin tali kasih dengan teman semasa kuliah dulu.

Karena tak ingin dianggap anak durhaka, aku menyetujui perjodohan dengan Mas Radit. Walau harus mengubur dalam-dalam kisah asmara yang telah terajut indah selama lima tahun.

Setelah menikah denganku, kehidupan keluarga Mas Radit berubah drastis. Rumah yang dulu hanya terbuat dari bilik bambu berubah menjadi rumah modern. Mobil mewah juga bertengger di garasi. Adik perempuan satu-satunya juga mengecap pendidikan tinggi. Semua itu memakai uangku. Aku ikhlas karena bagaimanapun mereka juga keluargaku. Awas saja kalau sampai penghianatan itu ada. Akan aku kembalikan mereka ke habitatnya.

“Siapa wanita berambut pirang sepanjang punggung? Kalian pasti mengenalnya?!” tanpa basa-basi aku bertanya kepada para karyawan. Menatap wajah mereka satu persatu.  Tak ada jawaban. Mereka tetap bungkam. Menghela nafas dan menahan sesak dalam dada.

“Kalian semua aku pecat! Kemasi barang-barang kalian! tak ada sepeserpun uang pesangon!” aku menggebrak meja dengan geram. Dengan bungkamnya mereka makin membuat kecurigaanku tak terbendung.

“Jangan, Bu. Jangan pecat saya. Kasihan anak-anak dan istri saya!”

Aku menutup telinga saat mendengar permohonan para karyawan. Biar ini menjadi pelajaran untuk mereka. Walau mereka memohon-mohon aku tetap bergeming dan membuang pandangan jauh. Amarah semakin menjadi ketika mendegar ucapan dari salah satu karyawan.

“Yang berhak memecat kami adalah Pak Radit. Karena toko ini milik beliau. Jadi kami hanya akan tunduk kepada Pak Radit. Bukan Ibu!”

Suara itu membuat kupingku panas. Apalagi saat mendengar bisik-bisik yang membuatku makin kesal.

Melayangkan sorot mata tajam ke arah pria muda yang tidak aku kenal sebelumnya.

“Siapa kamu?! beraninya berbicara seperti itu di hadapan saya?! Apa kau tidak tahu sedang berbicara dengan siapa, hah?!” aku mendekat kearahnya dan menunjuk wajahnya. Aku tahu yang kulakukan ini tidak sopan. Namun dia juga sangat kurangajar dan berani menentangku.

Tiba-tiba pria itu menunduk ketakutan dan berlindung di belakang Karno. Dan terlihat pria paruhbaya itu berusaha melindunginya.

“Jangan bersembunyi seperti tikus! Hadapi aku!” aku sangat kesal melihat pria muda itu tidak berani menghadapi amarahku.

“Maafkan dia, Bu. Dia anak saya dan baru bekerja di sini. Jadi belum tahu kalau ibu pemilik asli toko ini. Bukan Pak Radit. Sekali lagi maafkan dia.”

Aku menghela nafas panjang untuk melonggarkan sesak di dada. Mencoba mengatur nafas dan meredakan amarah. Tak ada gunanya aku marah-marah seperti ini. Kemarahan takkan bisa menyelesaikan masalah.

Mungkin aku bisa mengambil kesempatan baik ini. Dengan sedikit menekannya aku pasti bisa mendapat jawaban dari pertanyaan yang membuat kepala mengepul.

Melipat tangan di dada sembari membusungkan dada. Aku sengaja memperlihatkan keangkuhan supaya mereka segan kepadaku.

“Apa kompensasinya untuk saya?” tanyaku dengan perasaan yang sedikit lebih tenang.

“Saya akan memberikan seluruh informasi yang Ibu butuhkan.”

“Oke. Setuju. Dan pertanyaan pertama, jawab siapa wanita berambut pirang yang sering datang ke tempat ini. Yang kedua kemana tadi mengantarkan pesanan tak berbayar?” aku mengambil kursi plastik dan duduk di hadapan sopir pribadi yang dulu menjadi orang kepercayaan ayah. Jujur tak sepantasnya aku menekannya seperti ini. Dia sudah sangat berjasa kepada keluarga kami. Walau dia buta huruf, tapi bisa bekerja dengan baik.Namun gara-gara anaknya yang songong itu membuatku sedikit menekannya.

“Yang pertama, wanita itu adalah ....” Karno tak melanjutkan ucapannya. Dia terlihat mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya mngurut dadanya perlahan. Sepertinya dia sangat bimbang dengan apa yang akan dia lakukan. Aku tahu. Mungkin saja dugaanku benar. Wanita itu adalah selingkuhan suamiku hingga pria ini berat menjawabnya.

Aku akan mencoba membuatnya tenang. Mata pria itu mulai berkaca-kaca.

“Jawab saja yang jujur. Mas Radit tidak mungkin berani memecat Bapak. Percayalah, aku akan melindungi Bapak.” Menepuk-nepuk bahunya seraya tersenyum.

“Bapak? Ibu memanggil saya Bapak?” pria itu seolah tak percaya menatapku.

“Iya. Maafkan saya. Tadi saya sangat emosi.”

“Tidak apa-apa, Neng.” Ucapnya seraya menepuk-nepuk tanganku. Panggilan kesayangan semenjak aku kecil. Pak Karno dulu pernah tinggal di mess yang ada di belakang rumah. Hingga kami dulu begitu akrab.

“Bapak akan jawab. Bapak juga kasihan sama Neng di bohongi terus-terusan sama Radit. Eh maksud saya, Pak Radit.”

“Jadi benar wanita itu selingkuhan Mas Radit?” tanyaku dengan bibir bergetar. Tanpa bertanyapun aku sudah yakin sekali jawabannya.

“Bukan sekedar selingkuhan, Neng. Semua yang sudah bekerja lama di sini juga tahu kalau Neng Neva itu kekasih Radit sebelum menikah sama Neng Putri. Dia suka nemenin kalau Radit lagi ngangon sapi.”

“Mantan maksudnya, Pak?” aku mengulang pernyataan Pak Karno yang kurasa salah. Dada kembali bergemuruh.

“Mereka masih pacaran sampai sekarang. Jadi bukan mantan, Neng. Dulu si Neva teh masih jelek, item, dekil cerumut pokokna mah. Sekarang sudah cantik, bahenol dan sexy. Pasti duitnya dari si Radit.”

Tanganku mengepal menahan amarah. Perih dan sangat sakit. Pria yang sudah kuberikan kepercayaan selama ini ternyata bukan pria setia. Dia bukan hanya menghianatiku, tapi juga membohongiku selama ini. Aku merasa jadi wanita paling bodoh di dunia ini yang dengan mudahnya mempercayakan usaha ayah kepada buaya seperti dia. Aku akan membuat perhitungan dengannya.

“Dan pesanan daging itu untuk ... “ kembali pria itu menggantung ucapannya.

“Katakan saja. Saya sudah siap mendengar berita paling buruk sekalipun.” Jawabku mencoba tegar. Padahal jauh di dalam hati sakit seperti tertusuk ribuan benda tajam.

“Bapak tidak berani. Takut Neng terluka.” Pak Karno menundukkan kepala dengan lemah. Aku yang tidak sabar memegang kedua lengannya dan mengguncangnya keras.

“Katakan saja, pak. Aku tidak akan terpengaruh dengan jawaban Bapak. Percayalah, aku wanita kuat.

“Baiklah, daging itu adalah pesanan dari ... “

Kembali Karno menghentikan ucapannya membuatku sangat stress. Rasanya tak sabar untuk mendengar jawaban darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status