Share

Part 3

Sigap, Pram mengitari muka mobil lalu segera membukakan pintu untuk gadis yang masih memejamkan mata disertai dengkuran halus dari bibirnya yang setengah menganga.

Pram tak kuasa menahan senyum gelinya ketika melihat satu sudut bibir Cinta basah oleh air bening yang menetes dari sana.

“Ternyata artis terkenal tidurnya ngiler juga,” gumamnya seraya menggelengkan kepala.

Sejenak Pram ragu untuk membangunkan gadis itu karena tampak keletihan yang luar biasa tergambar di wajah cantiknya. Namun perintah Cinta yang terngiang-ngiang di telinganya sebelum berangkat tadi untuk segera membangunkannya begitu sampai di lokasi syuting, membuat Pram merasa harus segera membuat gadis itu terjaga.

“Bu... Bu ... udah sampe,” panggilnya pelan. Namun yang di panggil sama sekali belum bereaksi.

“Bu ...”

Tetap saja Cinta tak juga membuka matanya walaupun volume suara Pram sedikit mengencang.

Perlahan Pram mengangkat tangannya lalu menyentuh bahu Cinta lembut namun ragu. “Bu, udah sampe,” ulangnya.

Namun percuma, sentuhan selembut angin itu tak juga membuat Cinta menguak kelopak matanya. Justru dengkurannya makin terdengar jelas.

Ini cewek tidurnya serius banget.

Abis nyangkul berapa hektar sih?

Cape banget kayaknya.

Kali ini tanpa ragu dan sedikit bertenaga telunjuk Pram mendorong bahu Cinta, membuat kepala Cinta bergeser ke sisi lain.

Ternyata telunjuk besar Pram itu berguna juga. Cinta bergerak membetulkan posisi kepalanya lalu mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya dan memicing sesaat menyesuaikan cahaya dari balik kaca depan.

Ketika menoleh ke bagian kirinya, kelopak mata Cinta melebar sempurna saat mendapati Pram berdiri dekat dengannya tengah menatapnya dengan sorot mata waspada seolah bersiaga jika tiba-tiba Cinta melahap kepalanya.

“Ngapain lo bengong disitu?” tegur Cinta dengan suara serak dan lemah.

Merasa memang tubuhnya dekat dengan Cinta, Pram sedikit mundur untuk memberi jarak. “Saya bangunin ibu tadi. Kita sudah sampe,”

“Sampe mana?”

‘Sampe akherat.’ Jawaban itu hanya menggema di dalam benak Pram saja. Jika dia ungkapkan melalui lisannya, jangan harap dadanya selamat dari cubitan maut Cinta yang masih sibuk mengumpulkan nyawa.

Pram menguak pintu mobil lebar-lebar lalu menempati dirinya di sisi pintu untuk memberi jalan untuk si putri tidur itu keluar. “Lokasi syuting, Bu.” jawabnya dengan benar.

Cinta menguap lebar seraya meregangkan kedua tangannya ke atas kepala untuk meluruskan pinggangnya yang terasa pegal lantaran tidur dalam posisi yang tak nyaman selama satu jam perjalanan tadi.

Setelah dirasa nyawanya sudah terkumpul sempurna, Cinta keluar dari Range Rover-nya lalu melangkah ringan menuju lokasi yang sudah tampak ramai oleh para crew production house yang berlalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing.

Senyum irit Cinta sesekali terbit, saat beberapa dari mereka menyapa ramah dirinya yang melangkah menuju tempat para artis bertukar penampilan. Diikuti oleh Pram yang berjalan tegap di belakangnya seraya memperhatikan semua kegiatan para crew di sekitar lokasi tersebut.

Seumur hidup, baru hari ini Pram melihat secara langsung bagaimana kesibukan para pekerja seni itu mempersiapkan berbagai keperluan untuk mengambil satu atau dua adegan yang akan dilakonkan oleh pemeran.

Mulai dari segala jenis perlengkapan eletronik berupa kamera, lampu-lampu sorot, sound sistem hingga penunjang penampilan para artis dari wardrobe hingga make-up. Bahkan para petugas penyedia makanan pun ikut mengambil peran penting di sana.

Lokasi syuting yang dipilih sang sutradara kali ini terletak di sebuah taman kota di daerah Depok yang berbatasan dengan Selatan Jakarta. Dimana lokasi ini memang seringkali dipakai menjadi spot pengambilan gambar sebuah acara sinetron, film layar lebar, bahkan untuk kegiatan fotografi.  

Dengan pakaian seragam satpamnya Pram begitu percaya diri menjejakkan kakinya di tanah berumput dan bebatuan kecil. Kepalanya tak henti menoleh kanan dan kiri menyaksikan kegiatan para kru film berlalu lalang bersama peralatannya. Menjadi pengawal sekaligus supir pribadi seorang artis ternyata memberinya satu pengalaman baru yang cukup menyenangkan.

Dia teringat hari kemarin saat sedang menyantap makan siang di kantin hotel tempatnya bekerja, tiba-tiba saja telepon dari komandannya memanggil. Memerintahnya untuk segera menghadap Direktur Utama Hotel Swastika.

Heran, satu rasa yang membelit sel otaknya ketika dia mendapat perintah tersebut. Namun juga disertai rasa takut pada sesuatu yang tak dia inginkan akan terjadi pada dirinya.

Yang ada di benaknya saat itu adalah kalimat tanya yang membuat memorinya dipaksa bekerja untuk mengingat-ingat apakah dia melakukan satu kesalahan fatal hingga dirinya dipanggil menghadap langsung Direktur Utama.

Tapi memorinya tak menemukan satu pun kesalahan berarti yang dia buat selama tiga tahun bekerja di hotel itu. Bahkan dirinya beberapa kali mendapat predikat Satpam Teladan, karena dedikasinya sebagai seorang tenaga pengamanan yang selalu datang lebih awal pulang paling akhir. Dan apapun yang diperintahkan komandannya selalu dia kerjakan dengan sangat baik dan tepat waktu.

Dan juga biasanya, prosedur untuk tindakan indisipliner itu berada di bawah wewenang Pak Darto, komandan satuan pengamanan di perusahaan itu. Para pimpinan perusahaan tidak mengkordinir langsung para pegawai diluar pekerjaan manajemen.

Karena itulah Pram tak tenang begitu dirinya sudah berada di dalam ruangan milik Pak Abraham. Apalagi Pak Darto juga berada di ruangan itu. Suasana makin tegang dia rasakan ketika Pak Abraham menginterogasi dirinya. Mulai soal pribadi seperti statusnya apakah sudah menikah atau masih sendiri. Soal kemampuan bela diri. Hingga pertanyaan soal gaji yang dia terima tiga bulan terakhir ini. Tentu saja hatinya makin gundah karenanya. Dia sempat mengira ada barang berharga yang hilang atau rusak di gedung itu tanpa sepengetahuan dirinya.

Saat itu dia benar-benar merasa takut akan kehilangan pekerjaan yang menjadi penopang hidupnya selama tiga tahun ini. Dan jika apa yang dia takutkan memang terjadi, Pram sudah bertekad akan merayu Pak Abraham mati-matian agar tidak memberhentikannya.

Ternyata prasangka buruknya tak terbukti. Justru Pak Abraham akan menaikkan gajinya tiga kali lipat dari gajinya dibulan terakhir dan mengalihkan tugas dan jabatannya sebagai Pengawal Pribadi sekaligus Supir untuk putrinya yang seorang artis terkenal, Aura Cinta Anastasia.

“Saya memilih kamu, karena menurut catatan Pak Darto, selama tiga tahun ini kamu bekerja dengan sangat baik, jujur dan menjadi salah satu security teladan di sini. Ditambah lagi kamu masih single. Jadi saya pikir tidak ada yang memberatkan kamu untuk menjalankan tugas ini.” Begitu yang menjadi dasar pertimbangan Pak Abraham menunjuk dirinya menjadi pengawal pribadi putrinya saat itu.

Antara senang dan tidak yang Pram rasakan.

Senangnya, tentu saja karena kenaikan gaji yang akan dia terima jauh lebih besar dari gaji sebelumnya. Dan terbayang olehnya betapa semringahnya Hani, sang kekasih hati jika mendengar berita baik ini.

Tidaknya, karena dia akan mengawal dan mendampingi setiap langkah Aura Cinta Anastasia, seorang artis muda dengan segudang rumor buruk yang sudah beredar diseantero jagad raya. Mengenai sifatnya yang sombong, bermulut pedas dan kerap berbuat onar pada artis-artis lain yang terlibat satu proyek bersamanya.

Tidak itu saja, kebiasaannya menghabiskan malam di tempat hiburan hingga mabuk-mabukkan, bahkan berakibat merugikan orang lain menambah panjang daftar citra buruk yang melekat pada diri Cinta.

Dan itulah yang menjadi tugas pokok yang kini diemban oleh Pram sesuai perintah sang Tuan, mencegah Cinta kembali mengunjungi tempat-tempat hiburan malam dan melarangnya menyentuh minuman keras.

Dengan sifat Cinta yang sangat keras kepala, apakah Pram sanggup melaksanakan tugas itu dengan baik?

Lihat saja hari pertamanya bekerja, cubitan maut di dada dan tatapan sinis sudah Pram terima dari nona mudanya. Dan kemungkinan akan terus berlangsung seperti itu, atau mungkin jauh lebih sadis.

Namun demi gaji yang cukup besar, Pram bertekad untuk mempertebal keimanan dan daya tahan mentalnya menghadapi tabiat sang nona muda.

“Eits, lo jangan ikutan masuk. Tunggu sini aja,” Cinta menahan langkah Pram yang bersiap memasuki sebuah rumah berdinding putih yang terletak di sudut area lokasi syuting tersebut.

Rumah itu tak seberapa besar. Di sewa oleh produser sebagai tempat untuk kegiatan berganti kostum dan make-up, serta untuk para talent beristirahat sejenak sambil menunggu waktu pengambilan gambar adegan.

Pram hanya mengangguk, lalu berdiri tegak di tempatnya dan hanya menatap punggung Cinta yang menjauhinya lalu menghilang ke balik pintu rumah itu.

Tinggallah dirinya sendiri. Memandangi setiap pergerakan para kru yang lalu lalang di hadapannya. Sesekali senyum kecilnya terbit dari sudut bibir saat berpikir pekerjaannya sekarang ini sepertinya tak jauh berbeda dengan pekerjaannya di Hotel Swastika. Berdiri tegak dan mengawasi keadaan sekitarnya.

Yang membedakan hanya objek yang dia jaga. Dulu lebih kompleks, kali ini hanya satu, pikirnya. Hanya menjaga seorang gadis cantik berusia dua puluh lima tahun dengan tinggi badan 165 centimeter, yang kebetulan berprofesi sebagai artis.

Jika menyusahkan, tinggal borgol saja dan bawa pulang.

“Eh, SatPram. Nih, pake.” Tiba-tiba suara Cinta terdengar dari balik punggungnya. Spontan Pram menoleh ke pemilik suara. Dan mendapati Cinta menyodorkan sebuah jaket berwarna coklat padanya.

Pram menatap Cinta dengan sorot mata seolah bertanya, ‘Ngapain dia nyuruh aku pake jaket itu? Apa dia sangka aku kedinginan di siang yang terik begini?’

“Lo pake jaket ini. Gue gak mau liat lo pake baju begitu. Ntar orang ngira lo lagi jagain mesin ATM. Gue bisa malu, tau.” Rentetan kalimat Cinta sejujurnya membuat panas telinga Pram. Tapi ya sudahlah, dia menurut saja. Membantah juga percuma. Buang-buang oksigennya saja.

Diraihnya jaket parka berbahan kanvas itu dari tangan Cinta lalu mengenakannya lekas. Dan merapatkannya seperti orang yang sedang kedinginan lalu melipat kedua lengannya di depan dada.

“Suhu cuaca sekarang 35 derajat celcius dan aku pake jaket setebal ini?” gumam Pram yang sebenarnya dia tujukan untuk dirinya sendiri. Namun rungu Cinta ikut menangkapnya.

Tak ayal lagi pelototan geramnya tertuju tajam pada Pram. Tapi pria itu hanya menatapnya sekilas tanpa ekspresi kemudian melemparkan kembali pandangannya ke sembarang arah.

“Besok gue gak mau liat lo pake baju satpam lagi. Pake kemeja sama celana basic aja.” titahnya sebelum melangkah kembali masuk ke dalam rumah untuk menyelesaikan sisa gambar alisnya yang baru setengahnya.

Pram hanya bergedik sambil menarik satu sudut bibirnya, seolah perintah Cinta hanya dianggap angin lalu di siang yang kelabu ini.

Dipikirnya gampang kali dapetin baju Satpam ini?’ gerutu Pram dalam hati sementara ingatannya melayang kembali pada tiga tahun yang lalu, dimana dia harus berdiri di tengah lapangan dibawah teriknya matahari siang, bersama ratusan pelamar kerja, hanya untuk mendengar pengumuman nama pelamar yang lolos seleksi untuk menempati posisi sebagai tenaga keamanan di sebuah hotel berbintang lima yang cukup terkenal di negara ini.

Dan setelah melalui serangkaian tes yang sangat menguras fisik dan mental, akhirnya Pram berhasil lolos seleksi dan mulai bekerja di hotel itu sebagai salah satu tenaga security hingga hari kemarin.

Namun hari ini, sesuai perintah boss barunya, terpaksa Pram menutupi seragam kebanggaannya itu dengan jaket. Dan mulai besok dia tidak diperbolehkan mengenakan seragam itu lagi. Mungkin akan dia museumkan, entah sampai kapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status