Share

Part 6

Menurut Pramudya, hidup yang enak itu sebenarnya hidup yang pas-pasan. Pas laper pas di depan Warteg. Pas cape pas sampe kamar. Pas kangen eh pas di telepon pacar.

Seperti yang dia alami sekarang. Setelah segar dia rasakan selepas membersihkan diri, dan melaksanakan ibadah malam yang nyaris terlewat, saatnya dia merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Tapi sepertinya sang pacar punya kemampuan telepati, tiba-tiba saja Yayang Hani menghubungi.

Semringahnya Pram saat melihat id caller bernama “Hani Bunny Ciki Bunny” yang bergambar wajah seorang gadis cantik berambut sebahu memanggilnya lewat aplikasi hijau jutaan umat berinisial WhatsApp.

“Assalammualaikum, Hani Bunny,” sapanya lembut setelah dia geser tanda menerima panggilan di layar gawainya.

Waalaikumsalam, Mas Pram. Mas baru pulang?” sambut suara Hani dari seberang. Terdengar riang namun sedikit sendu. Mungkin sedang menahan rindu. Sama yang Pram rasakan sekarang. Seharian ini dia nyaris tak mendengar suara lembut sang kekasih, benar-benar menyiksa hati.

Biasanya dalam satu hari, Hani ataupun dirinya tak pernah kurang dari tiga kali saling menghubungi. Tak mau kalah dengan dosis minum obat. Tapi hari ini, karena kesibukan Pram di hari pertamanya bertugas sebagai pengawal pribadi Cinta, pria itu tak sempat mengecek ponselnya.

Baginya, hari pertama adalah hari penjajakan sekaligus hari cari muka sedunia agar majikan barunya tak kecewa dengan kredibilitasnya sebagai security profesional.

Dan kini, bagaimana tak membuncah rasa rindunya saat suara Hani membelai telinganya.

“Kira-kira satu jam yang lalu, Sayang. Mas juga udah makan, udah mandi, udah sholat Isya, udah siap bobok. Eh iya, kamu jangan lupa dandan yang cantik ya. Sebentar lagi kita ketemuan.” Tak kalah lembutnya suara Pram dengan kelopak mata yang terpejam.

“Tengah malam begini ketemuan?” Tentu saja si pacar heran.

“Kita ketemuan dalam mimpi, Hani Bunny Ciki Bunny.” Rayuan maut pun bertebaran di udara dari lisan Pram. Senyuman merekah dari bibir tipisnya seraya membayangkan si pacar tersenyum-senyum simpul menerima kalimat yang mengandung jutaan rindu itu.

Terdengar kekehan merdu mendesah dari ujung sana. Siapa lagi kalo bukan sang pacar yang kini hatinya berbunga-bunga. “Mas bisa aja. Seharian ini Mas kok nggak telepon aku? Sebel. Aku kan jadi nggak konsen ngajar anak-anak, Mas. Serasa nggak ada asupan gizi gitu loh,”

“Maaf, Sayang. Aku nggak sempet pegang HP. Hari ini aku sibuk banget. Kamu tau nggak, aku sekarang punya jabatan baru, lho, Yang.”

Oh ya? Manajer? Atau Direktur?

Pram meneguk salivanya sesaat.

Ini si pacar ngebet banget Mamas-nya punya jabatan setinggi itu. Dari Satpam loncat jadi Manajer atau Direktur? Apa dia sangka perusahaan itu punya nenek buyutnya Pram?

“Bukan, Sayang. Jadi Driver sekaligus ____”

“Hah? Driver? Kok jadi turun ranjang ... eh, turun jabatan, Mas? Minimal jadi Kepala Security, gitu. Kamu kan udah lama jadi Security di hotel itu. Udah pantaslah jadi Kepala Keamanan,” tukas Hani tanpa memberi kesempatan Pram menyelesaikan pengumumannya.

“Denger dulu, dong, Sayang. Aku jadi Driver sekaligus pengawal pribadi anaknya Pak Boss.”

Terdengar desahan Hani dari ujung sana, sepertinya desahan mengeluh atau tak puas dengan kalimat lanjutan Pram.

Ooo, begitu.” Benar saja. Nada suara Hani terdengar melemah. Tak bergairah seperti orang kurang darah.

“Tapi gajiku naik tiga kali lipat dari bulan kemarin, Yang.”

Serius, Mas?” Kali ini nada suara Hani spontan berubah. Girang dong pastinya.

Ya begitulah, mendengar kalimat ‘gaji naik tiga kali’ itu bagaikan kejatuhan durian runtuh bagi Hani. Walaupun duriannya menimpa kepala, tapi tak apalah. Yang penting berjuta rasanya.

“Serius binti Aquarius, Sayang. Mudah-mudahan aja duit aku bisa cepat ngumpul. Dan punya cukup modal untuk segera nikah sama kamu. Aku udah nggak tahan pengen buruan mengikat kamu supaya nggak di ambil orang.”

Ngikat? Dikira si Hani itu kambing kali?

Dan Hani pun terlonjak senang di dalam kamarnya, mungkin sedang bersalto ria di atas ranjang mendengar niatan yang barusan terlontar dari Pram.

Gadis normal mana yang tak senang, mendengar sang kekasih yang sudah dua tahun ini dia pacari punya niat membawanya ke jenjang pernikahan. Apalagi orang tua Hani selalu mendesak gadis itu untuk segera bersuami.

Tapi ... ada tapinya .... Orang tua Hani sampai detik ini belum memberi restu pada hubungan keduanya, dikarenakan keadaan ekonomi Pram yang mereka pikir belum mumpuni untuk membahagiakan Hani.

Di tambah lagi status Pram yang hidup sebatang kara, tanpa saudara ataupun kerabat dekat. Hingga mereka tak begitu saja mempercayakan putri mereka pada pria dengan status yang tak jelas.

Dan untuk menutupi hubungan asmara mereka dari orangtuanya selama ini, Hani mengaku hanya berteman dengan Pram, tak lebih. Sebenarnya Pram tak suka dengan cara Hani itu. Seakan keberadaannya tak di akui. Padahal perasaan Pram benar-benar serius padanya. Dan ingin membawa gadis yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar itu ke jenjang yang lebih jauh lagi.

Saat enam bulan yang lalu, Pram merasa sudah tak kuasa lagi membendung keinginannya untuk menemui kedua orang tua Hani dan meminta Hani sebagai Istri, namun Hani justru mencegahnya. Hani katakan saat itu, rencana Pram itu terlalu terburu-buru.

Sementara Hani menilai Pram belum cukup meyakinkan orang tua Hani untuk menerimanya sebagai menantu mereka. Tak perlu Hani jelaskan lagi, pastinya Pram sangat tahu yang dimaksud Hani adalah soal materi.

Karena itu, saat Pak Abraham menawarkan gaji yang cukup menggiurkan padanya, tanpa banyak pertimbangan lagi Pram langsung menyetujui, walaupun dengan tantangan pekerjaan yang lebih sulit dari sebelumnya.

Ngomong-ngomong, anak Boss-nya Mas Pram itu usia berapa? Sekolah? Kuliah?” Setelah puas dengan debaran hatinya ketika Pram menyinggung soal pernikahan, Hani kembali bersuara.

“Dia artis, Yang. Namanya Aura Cinta Anastasia. Kamu pasti tau, sinetronnya rutin muncul di tivi,” sahut Pram ringan.

“Aura Cinta Anastasia? Ya, aku tau, Mas. Sinetronnya juga favorit aku. Dia ... cantik banget. Nanti ... Mas kepincut,” suara Hani terdengar ragu dan terbata-bata.

Gelak Pram pun terdengar sebelum menjawab. “Ya, gak mungkin, Hani Bunny. Secantik apapun dia, dia itu majikan aku. Dan aku harus profesional. Lagi pula, aku ... cinta mentok sama kamu. Kamu lebih cantik di mata aku.”

Hahaaay ... Rayuanmu ManTul, Pram. Mantap betul.

Di ujung sana, kembali Hani bersalto ria di atas ranjangnya. Atau mungkin kini dirinya sudah melayang di atas awan.

Itulah satu lagi keistimewaan Pram, cinta yang besar untuk gadisnya. Sepertinya Pram memakai kacamata kuda. Menurutnya tak ada wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta selain Hani seorang. Karena itulah Hani patut dia perjuangkan sampai titik keringat penghabisan.

“Kamu jangan khawatir, Sayang. Aku gak akan berpaling sama cewek mana pun. Kamu doain aku tiap hari ya. Supaya pekerjaanku lancar. Dan aku pulang ke rumah tiap malam dengan selamat dan sehat,” Ucapan Pram ibarat permen kapas bagi Hani. Manis dan lembut.

Selamat dan sehat. Pram ucapkan itu saat membayangkan wajah Aura Cinta Anastasia, sang majikan yang selalu menatapnya horor disertai hujanan kalimat pedas dan setajam silet yang selalu terlontar dari lisannya.

“Iya, Mas. Pasti aku doakan Mas selalu. Sekarang Mas tidur ya, sudah malam sekali ini. Aku juga udah ngantuk.”

Pram mengangguk meng-iya-kan, walaupun Hani tak melihat. “Oke, selamat bobok, Yayangnya Mas. Sampe ketemu di dalam mimpi.”

Sambungan komunikasi itu pun disudahi lebih dulu oleh Hani setelah gadis itu memperdengarkan suara kecupannya untuk Pram, dan Pram pun membalas.

Kini Pram kembali merebahkan diri di atas kasur busa yang dia bentang di lantai, tanpa selimut yang melindunginya dari kedinginan. Hanya t-shirt coklat dan celana training yang membalut tubuhnya. Lalu memejamkan mata, berusaha menepati janjinya untuk bertemu Hani di dalam mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status