Menurut Pramudya, hidup yang enak itu sebenarnya hidup yang pas-pasan. Pas laper pas di depan Warteg. Pas cape pas sampe kamar. Pas kangen eh pas di telepon pacar.
Seperti yang dia alami sekarang. Setelah segar dia rasakan selepas membersihkan diri, dan melaksanakan ibadah malam yang nyaris terlewat, saatnya dia merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Tapi sepertinya sang pacar punya kemampuan telepati, tiba-tiba saja Yayang Hani menghubungi.
Semringahnya Pram saat melihat id caller bernama “Hani Bunny Ciki Bunny” yang bergambar wajah seorang gadis cantik berambut sebahu memanggilnya lewat aplikasi hijau jutaan umat berinisial WhatsApp.
“Assalammualaikum, Hani Bunny,” sapanya lembut setelah dia geser tanda menerima panggilan di layar gawainya.
“Waalaikumsalam, Mas Pram. Mas baru pulang?” sambut suara Hani dari seberang. Terdengar riang namun sedikit sendu. Mungkin sedang menahan rindu. Sama yang Pram rasakan sekarang. Seharian ini dia nyaris tak mendengar suara lembut sang kekasih, benar-benar menyiksa hati.
Biasanya dalam satu hari, Hani ataupun dirinya tak pernah kurang dari tiga kali saling menghubungi. Tak mau kalah dengan dosis minum obat. Tapi hari ini, karena kesibukan Pram di hari pertamanya bertugas sebagai pengawal pribadi Cinta, pria itu tak sempat mengecek ponselnya.
Baginya, hari pertama adalah hari penjajakan sekaligus hari cari muka sedunia agar majikan barunya tak kecewa dengan kredibilitasnya sebagai security profesional.
Dan kini, bagaimana tak membuncah rasa rindunya saat suara Hani membelai telinganya.
“Kira-kira satu jam yang lalu, Sayang. Mas juga udah makan, udah mandi, udah sholat Isya, udah siap bobok. Eh iya, kamu jangan lupa dandan yang cantik ya. Sebentar lagi kita ketemuan.” Tak kalah lembutnya suara Pram dengan kelopak mata yang terpejam.
“Tengah malam begini ketemuan?” Tentu saja si pacar heran.
“Kita ketemuan dalam mimpi, Hani Bunny Ciki Bunny.” Rayuan maut pun bertebaran di udara dari lisan Pram. Senyuman merekah dari bibir tipisnya seraya membayangkan si pacar tersenyum-senyum simpul menerima kalimat yang mengandung jutaan rindu itu.
Terdengar kekehan merdu mendesah dari ujung sana. Siapa lagi kalo bukan sang pacar yang kini hatinya berbunga-bunga. “Mas bisa aja. Seharian ini Mas kok nggak telepon aku? Sebel. Aku kan jadi nggak konsen ngajar anak-anak, Mas. Serasa nggak ada asupan gizi gitu loh,”
“Maaf, Sayang. Aku nggak sempet pegang HP. Hari ini aku sibuk banget. Kamu tau nggak, aku sekarang punya jabatan baru, lho, Yang.”
“Oh ya? Manajer? Atau Direktur?”
Pram meneguk salivanya sesaat.
Ini si pacar ngebet banget Mamas-nya punya jabatan setinggi itu. Dari Satpam loncat jadi Manajer atau Direktur? Apa dia sangka perusahaan itu punya nenek buyutnya Pram?
“Bukan, Sayang. Jadi Driver sekaligus ____”
“Hah? Driver? Kok jadi turun ranjang ... eh, turun jabatan, Mas? Minimal jadi Kepala Security, gitu. Kamu kan udah lama jadi Security di hotel itu. Udah pantaslah jadi Kepala Keamanan,” tukas Hani tanpa memberi kesempatan Pram menyelesaikan pengumumannya.
“Denger dulu, dong, Sayang. Aku jadi Driver sekaligus pengawal pribadi anaknya Pak Boss.”
Terdengar desahan Hani dari ujung sana, sepertinya desahan mengeluh atau tak puas dengan kalimat lanjutan Pram.
“Ooo, begitu.” Benar saja. Nada suara Hani terdengar melemah. Tak bergairah seperti orang kurang darah.
“Tapi gajiku naik tiga kali lipat dari bulan kemarin, Yang.”
“Serius, Mas?” Kali ini nada suara Hani spontan berubah. Girang dong pastinya.
Ya begitulah, mendengar kalimat ‘gaji naik tiga kali’ itu bagaikan kejatuhan durian runtuh bagi Hani. Walaupun duriannya menimpa kepala, tapi tak apalah. Yang penting berjuta rasanya.
“Serius binti Aquarius, Sayang. Mudah-mudahan aja duit aku bisa cepat ngumpul. Dan punya cukup modal untuk segera nikah sama kamu. Aku udah nggak tahan pengen buruan mengikat kamu supaya nggak di ambil orang.”
Ngikat? Dikira si Hani itu kambing kali?
Dan Hani pun terlonjak senang di dalam kamarnya, mungkin sedang bersalto ria di atas ranjang mendengar niatan yang barusan terlontar dari Pram.
Gadis normal mana yang tak senang, mendengar sang kekasih yang sudah dua tahun ini dia pacari punya niat membawanya ke jenjang pernikahan. Apalagi orang tua Hani selalu mendesak gadis itu untuk segera bersuami.
Tapi ... ada tapinya .... Orang tua Hani sampai detik ini belum memberi restu pada hubungan keduanya, dikarenakan keadaan ekonomi Pram yang mereka pikir belum mumpuni untuk membahagiakan Hani.
Di tambah lagi status Pram yang hidup sebatang kara, tanpa saudara ataupun kerabat dekat. Hingga mereka tak begitu saja mempercayakan putri mereka pada pria dengan status yang tak jelas.
Dan untuk menutupi hubungan asmara mereka dari orangtuanya selama ini, Hani mengaku hanya berteman dengan Pram, tak lebih. Sebenarnya Pram tak suka dengan cara Hani itu. Seakan keberadaannya tak di akui. Padahal perasaan Pram benar-benar serius padanya. Dan ingin membawa gadis yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar itu ke jenjang yang lebih jauh lagi.
Saat enam bulan yang lalu, Pram merasa sudah tak kuasa lagi membendung keinginannya untuk menemui kedua orang tua Hani dan meminta Hani sebagai Istri, namun Hani justru mencegahnya. Hani katakan saat itu, rencana Pram itu terlalu terburu-buru.
Sementara Hani menilai Pram belum cukup meyakinkan orang tua Hani untuk menerimanya sebagai menantu mereka. Tak perlu Hani jelaskan lagi, pastinya Pram sangat tahu yang dimaksud Hani adalah soal materi.
Karena itu, saat Pak Abraham menawarkan gaji yang cukup menggiurkan padanya, tanpa banyak pertimbangan lagi Pram langsung menyetujui, walaupun dengan tantangan pekerjaan yang lebih sulit dari sebelumnya.
“Ngomong-ngomong, anak Boss-nya Mas Pram itu usia berapa? Sekolah? Kuliah?” Setelah puas dengan debaran hatinya ketika Pram menyinggung soal pernikahan, Hani kembali bersuara.
“Dia artis, Yang. Namanya Aura Cinta Anastasia. Kamu pasti tau, sinetronnya rutin muncul di tivi,” sahut Pram ringan.
“Aura Cinta Anastasia? Ya, aku tau, Mas. Sinetronnya juga favorit aku. Dia ... cantik banget. Nanti ... Mas kepincut,” suara Hani terdengar ragu dan terbata-bata.
Gelak Pram pun terdengar sebelum menjawab. “Ya, gak mungkin, Hani Bunny. Secantik apapun dia, dia itu majikan aku. Dan aku harus profesional. Lagi pula, aku ... cinta mentok sama kamu. Kamu lebih cantik di mata aku.”
Hahaaay ... Rayuanmu ManTul, Pram. Mantap betul.
Di ujung sana, kembali Hani bersalto ria di atas ranjangnya. Atau mungkin kini dirinya sudah melayang di atas awan.
Itulah satu lagi keistimewaan Pram, cinta yang besar untuk gadisnya. Sepertinya Pram memakai kacamata kuda. Menurutnya tak ada wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta selain Hani seorang. Karena itulah Hani patut dia perjuangkan sampai titik keringat penghabisan.
“Kamu jangan khawatir, Sayang. Aku gak akan berpaling sama cewek mana pun. Kamu doain aku tiap hari ya. Supaya pekerjaanku lancar. Dan aku pulang ke rumah tiap malam dengan selamat dan sehat,” Ucapan Pram ibarat permen kapas bagi Hani. Manis dan lembut.
Selamat dan sehat. Pram ucapkan itu saat membayangkan wajah Aura Cinta Anastasia, sang majikan yang selalu menatapnya horor disertai hujanan kalimat pedas dan setajam silet yang selalu terlontar dari lisannya.
“Iya, Mas. Pasti aku doakan Mas selalu. Sekarang Mas tidur ya, sudah malam sekali ini. Aku juga udah ngantuk.”
Pram mengangguk meng-iya-kan, walaupun Hani tak melihat. “Oke, selamat bobok, Yayangnya Mas. Sampe ketemu di dalam mimpi.”
Sambungan komunikasi itu pun disudahi lebih dulu oleh Hani setelah gadis itu memperdengarkan suara kecupannya untuk Pram, dan Pram pun membalas.
Kini Pram kembali merebahkan diri di atas kasur busa yang dia bentang di lantai, tanpa selimut yang melindunginya dari kedinginan. Hanya t-shirt coklat dan celana training yang membalut tubuhnya. Lalu memejamkan mata, berusaha menepati janjinya untuk bertemu Hani di dalam mimpi.
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A