Share

Part 5

Lelah, itu yang menyerang sekujur tubuh Pram setelah nyaris dua belas jam mengawal kegiatan nona mudanya. Namun sebenarnya bukan hanya lelah fisik yang dia rasakan. Tapi juga lelah bathin dan telinga.

Medan juang Pram kali ini sangat berbeda. Sewaktu bekerja menjadi tenaga pengamanan di hotel Swastika, hanya lelah fisik yang dia rasakan. Dan obatnya hanya dengan makan dan tidur beberapa jam, sembuh.

Namun tugasnya yang sekarang, benar-benar menuntutnya untuk memiliki mental baja dan menebalkan dinding telinga. Bayangkan saja, bagaimana dirinya harus bersabar mendengarkan segala ocehan Cinta yang kelewat batas. Bahkan hanya karena satu kesalahan kecil, Cinta sanggup merapalkan kata-kata tak menyenangkan sepanjang perjalanan pulang. Sejujurnya itu sangat menyebalkan dan mengganggu konsentrasinya menyetir kendaraan.

Ini baru hari pertama, bagaimana hari-hari selanjutnya?

Sejujurnya, dia menganggap tugas ini adalah tantangan baru untuknya. Terlebih lagi saat terngiang perintah Pak Abraham mengenai tugasnya yang lebih utama adalah mencegah Cinta mengunjungi night club dan menyentuh minuman keras apalagi narkotika.

Dan dia rasa tiga hal itu bukan perkara mudah. Lihatlah bagaimana Cinta begitu berkuasa atas dirinya. Berani memarahinya di depan banyak orang. Bahkan terang-terangan mengatakan dia malu karena keberadaan Pram didekatnya.

Ini bukan lagi soal gaji besar yang dia dapatkan dari Pak Abraham. Tapi juga tentang harga dirinya sebagai laki-laki. Karena itu dia bertekad tak akan menyerah dengan segala perlakuan sinis Cinta. Pram pikir dia harus menggunakan strategi untuk menjalankan tugasnya kali ini.

Masih dengan baju kebanggaannya yang ditutupi oleh jaket coklat yang dipinjamkan Cinta tadi siang, Pram melangkahkan kakinya ringan melewati jalan sempit bebatuan dan basah karena siraman air hujan sore tadi menuju rumah kontrakannya.

Dari jarak beberapa meter mendekati tempat tinggalnya, sayup-sayup rungu Pram menangkap suara wanita menyanyikan sebuah lagu dengan merdu dan syahdu. Bagi siapapun yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu, pasti akan lari terbirit-birit jika mendengar suara wanita bersenandung di pukul sebelas malam ini. Tapi bagi warga yang memang tinggal di tempat itu suara wanita itu bukan sesuatu yang aneh apalagi menyeramkan. Karena mereka, termasuk Pram, tahu siapa yang mempunyai kebiasaan unik di setiap tengah malam itu.

Dan kini Pram tengah menghampirinya, sambil ikut menyenandungkan lirik lagu yang sama.

 “Regrets, I've had a few

But then again, too few to mention

I did what I had to do

And saw it through without exemption

I planned each charted course

Each careful step along the by way

And more, much more than this

I did it my way”

Ibu Ocha, si pemilik suara merdu itu menoleh dan tersenyum lebar pada Pram yang sudah berdiri tegak di hadapannya setelah keduanya serentak mengakhiri nyanyian mereka dengan vibra menggema. 

Hampir setiap malam, wanita yang mengaku berusia 55 tahun itu duduk di teras kontrakannya sambil menikmati secangkir teh hangat dan menyanyikan tembang lawas milik Frank Sinatra itu dengan suaranya yang cukup merdu disertai dengan ekspresinya yang sangat menjiwai. Dan lirik lagu itu dia nyanyikan berulang-ulang sampai-sampai Pram pun hapal lagu yang hits pada masa lampau itu.

“Udah berapa putaran Mak nyanyiin lagu itu malam ini?” tanya Pram mengulum senyum.

Bu Ocha terkekeh kecil sembari menepuk lengan Pram, tersipu malu pastinya.

“Baru delapan putaran, Pram. Harusnya udah sembilan, tapi tadi ke toilet dulu sebentar,” guraunya dengan suara serak.

Ya jelas aja serak, kira-kira nyaris satu jam Bu Ocha menjadi artis tengah malam menyanyikan lagu lawas itu delapan kali putaran dengan penuh penghayatan. Hetty Koes Endang pun belum tentu sanggup bernyanyi selama satu jam tanpa jeda sesaat pun.

“Wah, hebat, Mak Ocha. Bininya Frank Sinatra pasti laper, kan?” Pram menyodorkan bungkusan plastik hitam yang sedari tadi dibawanya ke pangkuan Bu Ocha.

Bu Ocha pun meraihnya dan lekas membuka bungkusan itu. Seketika bola matanya berbinar-binar cerah saat mendapati potongan martabak bertabur coklat dan keju di dalam kotak kardus yang dia buka.

“Tau aja Si Narti doyan martabak manis,” ucapnya semringah, lalu tangan kurusnya merogoh sepotong martabak itu, tanpa sungkan dia melahapnya pelan.

Pram mengernyitkan dahi, “Si Narti?”

Lalu terbahak saat Bu Ocha bilang, “Si Narti bininya Sinatra.”

“Mak, Mak. Bisa aja.”

“Pram, Ibu kan udah bilang berkali-kali. Ibu nggak suka dipanggil ‘Mak’.” Katanya lagi sambil melahap potongan martabak kedua.

“Emangnya mau dipanggil apa? Tante? Apa Madam?” sahut Pram seraya menghenyakkan diri di tembok setinggi satu meter sebagai pembatas teras.

“Panggil ‘Ibu’ aja. Lebih elegan kedengerannya. Kalo dipanggil ‘Mak’, Ibu jadi ngerasa kayak tukang pijet,” sergahnya dengan mulut yang masih sibuk mengunyah.

“Lah, aslinya kan emang ___?”

“Tukang urut,” sambungnya jujur.

Pram tertawa lagi. “Tukang pijet sama tukang urut ya podo wae, Mak.”

“Tapi kan Ibu ini tukang urut bayi, Pram.”

“Mak Ocha ini dulunya supir bajay, kali ya? Pinter banget ngeles, soalnya.”

“Enak aja, Ibu ini dulunya kontestan Miss Universe loh, Pram. Liat dong garis wajah Ibu masih mempesona, kan?” puji Bu Ocha membanggakan diri sendiri sambil menegakkan kepala dengan sikap anggun layaknya peserta ajang putri-putrian.

Pram menggelengkan kepala dan memanyunkan bibirnya meledek Bu Ocha. Dalam hati Pram mengakui Bu Ocha ini masih menyisakan kecantikan masa mudanya dulu walaupun keriput dan kekusaman sudah tercetak di sekujur permukaan kulitnya.

Karena dia perhatikan wajah Bu Ocha sedikit ke-bule-bule-an, terutama di bagian batang hidung yang tegak dan mata yang berlensa coklat muda. Pram menebak mungkin Bu Ocha ini berdarah blasteran eropa dari nenek moyangnya atau buyut-buyutnya yang hidup di jaman purbakala dulu.  

“Tapi sekarang ... Miss Skin.” Bu Ocha menyambung kalimatnya dengan wajah menurun dan pura-pura memelas. Melihat ekspresi Bu Ocha yang menggelikan itu gelak tawa Pram pun kembali lepas ke udara. Disusul Bu Ocha dengan seringai lucunya.

Begitulah Ibu Ocha, walaupun hidup dengan ekonomi yang pas-pasan, wanita ini selalu ceria dan hampir tak pernah menampakan kesulitan hidupnya di hadapan orang lain. Karena itulah sudah enam bulan ini, sejak Bu Ocha menempati kamar kontrakan tepat di sebelah kamar Pram, pasangan beda kelamin dan beda usia ini berteman cukup akrab. Dan keakraban yang terjalin ini selayaknya hubungan antara seorang ibu dan anak.

Setiap kali bersama wanita setengah abad lebih ini, Pram tak pernah merasakan sedih ataupun gundah. Apalagi di saat pekerjaannya cukup menyita stamina, celotehan Bu Ocha ampuh menjadi pengobat lelah.

Tak banyak yang Pram ketahui tentang wanita tua ini. Hanya sekelumit mengenai sosok pribadinya. Bernama asli Rosa dan perantau asal Surabaya. Dia mengaku seorang janda yang ditinggal mati sang suami juga anak semata wayangnya karena kecelakaan lalu lintas beberapa tahun lalu.

Di Jakarta ini Bu Ocha tak mempunyai sanak saudara. Semua kerabatnya ada di Surabaya. Menggunakan keahliannya, Bu Ocha mencari nafkah dengan menjadi seorang tukang pijat panggilan untuk bayi. Tapi sesekali juga menerima jasa bersih-bersih rumah saat job utamanya sedang sepi peminat.

Penghasilannya bisa dikatakan hanya cukup untuk mengganjal perut setiap hari. Malah tak jarang perutnya sama sekali tak terisi apapun dalam satu hari karena tak ada pelanggan yang memakai jasanya hingga berhari-hari.

Karena rasa iba, Pram sering kali mengajak Bu Ocha untuk tinggal bersamanya. Dengan maksud agar Bu Ocha tidak lagi bersusah payah memikirkan biaya kontrakan sebesar 700 ribu setiap bulan. Tapi apa jawaban Bu Ocha sewaktu Pram menawarkan ajakannya?

“Ogah ah, Pram. Ibu takut di enak-enak sama kamu. Walaupun udah tua gini, Ibu kan masih deg-deg ser ngeliat cowok, apalagi yang muda dan cakep kayak kamu. Ibu bisa khilap,” katanya.

Vangke emang ...

Siapa juga yang nafsu sama kerupuk kulit?

Saat itu Pram hanya tertawa menanggapi. Namun lambat laun Pram mulai mengerti sifat Bu Ocha yang memang tak pernah mau merepotkan siapapun, apalagi membebani Pram.

Disamping itu, Bu Ocha pun tahu bagaimana kehidupan ekonomi Pram yang bisa dikatakan sebelas dua belas dengannya. Penghasilan Pram sebagai security sebuah hotel berbintang tak seberapa besar. Bahkan Bu Ocha pun tahu apa saja kebutuhan Pram yang harus dia penuhi. Seperti biaya hidup sehari-hari, bayar kontrakan dan cicilan motor setiap bulan.

Apalagi Pram punya keinginan untuk menikahi seorang gadis yang sudah dipacarinya selama dua tahun ini, bernama Hani. Sudah pasti Pram harus lebih memperketat pengeluarannya.

“Pramugara, kamu udah makan? Kamu keliatan capek banget.” Kali ini nada suara Bu Ocha terdengar penuh perhatian saat menangkap raut Pram yang berbeda dari biasanya setiap pria itu pulang kerja. Lesu dengan sorot bola mata yang layu.

Pram menghela nafas panjang membenarkan dalam hati pengamatan Bu Ocha atas dirinya malam ini. “Pramudya, Mak. Namaku Pramudya, jangan panggil Pramugara terus. Gak enak, nanti disangka orang aku beneran Pramugara. Masa Pramugara tinggal di kontrakan type RS9 (RSNine) begini,” protes Pram lekas.

“Apa tuh RS9 (RSNine)?” tanya Bu Ocha dengan alis bertautan.

Pram menarik nafas sedikit panjang dan dramatis sebelum menjawab. “Rumah Sangat Sederhana Sekali Susah Senang Sama Sama Senasib Sepenanggungan.”

Tawa Bu Ocha pecah seketika dan serta merta martabak yang belum terlumat sempurna muncrat mengenai baju dan celana Pram

Aseeem memang Bu Ocha ini.

Pram menggerutu seraya mengibas-ngibaskan serpihan ‘bom’ martabak dari pakaiannya.

Memang sudah kebiasaan Bu Ocha, memanggil Pram dengan panggilan Pramugara. Pram pastinya selalu protes nama kebanggaannya di ganti dengan sebutan profesi di pesawat terbang itu. Tapi kata Bu Ocha, “Wajah dan postur tubuh Pram lebih cocok jadi pramugara dibanding satpam.”

Alasan yang tak masuk akal dan lebay, pikir Pram.

Dasar emak-emak ganjen!

“Kalo kamu panggil Ibu ‘Mak’ terus, Ibu juga akan panggil kamu Pramugara terus,” syarat Bu Ocha seenaknya sambil melahap lagi potongan martabak ketiga.

Ini orang lapar apa doyan?

Pram hanya mengangguk dan menyerah saja. “Oke, deh. Ibu,” ucapnya dengan menekan kata terakhir.

“Ada masalah di tempat kerja?” Bu Ocha mengulangi lagi pertanyaannya dengan kalimat berbeda.

Pram menggeleng lemah lalu menarik sudut bibirnya sedikit malas lantaran mengingat hari pertamanya yang menyebalkan bersama Cinta.

“Sekarang aku punya tugas baru, Bu. Jadi pengawal pribadi sekaligus driver artis, anaknya boss aku,”

Bu Ocha menegakkan duduknya seraya meletakkan kotak martabaknya ke atas meja, lalu menatap lekat wajah Pram dengan seringai tipis di wajahnya.

“Waaah, keren dong. Artis terkenal? Penyanyi? Atau pemain film? Siapa namanya? Mungkin Ibu kenal? Cantik-cantik begini ‘kan Ibu mantan artis juga, loh.” Pertanyaan Bu Ocha berderet-deret, tapi ujungnya nggak enak didengar, bikin mual.

“Namanya Aura Cinta Anastasia. Setau aku sih pemain sinetron dan bintang iklan, Bu.”

Tampak kelopak mata Bu Ocha terbelalak lebar dengan sorot matanya yang berkilau-kilau. Antara girang, senang dan sok kenal, mungkin.

“Ooo, Aura Cinta Anastasia. Artis sinetron yang judulnya KU MENANG, SIS? Yang panjangnya berjilid-jilid sampe jutaan episode itu? Dari jaman Jahiliyah sampe jaman Nakaliyah nggak kelar-kelar?”

Pram hanya mengangguk seraya tersenyum geli menanggapi pertanyaan Bu Ocha yang seperti Choki-Choki itu. Panjang dan lama.

“Hebat kamu, Pram. Bisa jadi pengawal artis. Siapa tau kamu nanti diajak main sinetron, ya, Pram?” seru Bu Ocha dengan khayalan tingkat nirwananya. Entah meledek atau memang berharap. Tak jelas. Sama dengan isi otaknya.

“Ibu ada-ada aja. Mimpi kali ye?” sergah Pram tak percaya sambil tertawa.

“Kamu nih, Pram. Kok gak pede gitu sih? Nanti ada prosedur yang nawarin ___”

“Produser, Bu,” ralat Pram lekas.

“Nah iya itu, nanti kalo ada Propesor yang nawarin kamu main film gimana?"

Pram menggeleng lagi. 'Udah di ralat masih aja salah. Dasar Ibu ...'

“Ya, aku sih yes. Tapi aku maunya tetep berperan sebagai Satpam, Bu. Biar lebih menghayati.”

“Nah! Cocok.” Bu Ocha menjentikkan jari ke udara. “Judulnya Satpam Yang Tertukar,” serunya dengan wajah antara serius dan semringah.

Kini giliran Pram meledakkan tawa. Lalu beranjak dari tempatnya.

Setelah menyelesaikan gelaknya, Pram menggeliat sejenak meluruskan punggungnya yang penat. “Ngobrol sama Ibu jadi lupa waktu. Aku istirahat dulu, Bu. Ibu juga masuk, ya. Jangan begadang terus, ntar sakit.”

“Iya, sebentar lagi ibu masuk. Selamat bobok, Pramuniaga. Mimpi indah ya.”

Langkah Pram terhenti untuk tergelak lagi saat mendengar panggilan lain dari Bu Ocha untuknya. Profesinya banyak juga ternyata. Tadi Pramugara sekarang Pramuniaga. 

“Aku mimpi Hani, Bu. Bukan mimpi Indah. Nama pacarku Hani, bukan si Indah,” gurau Pram sebelum memasuki unit kontrakannya yang bersisian dengan milik Bu Ocha.

Gelak Bu Ocha kembali terdengar membahana, lalu melambaikan tangan pada Pram memberi kode untuknya agar segera masuk. Dan tangannya pun kembali mencomot potongan martabak yang ke sekian. Lalu melahapnya utuh.

Becanda sama Pram bikin laper dan baper, katanya di hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status