Share

Bab 3 Semakin Parah

Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya.

"Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai.

"Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai.

"Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar ini.

Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan tadi, Lukman segera berlalu ke luar kamar.

"JEDERRR ...!" Nayla sampai terjingkat kala suaminya itu membanting pintu rumah mereka. Suaranya begitu kencang hingga Nayla dapat mendengarnya meski berada di dalam kamar.

Tangis Nayla pecah, sungguh amarah Lukman layaknya muntahan lahar gunung berapi. Tak ada yang bisa menghentikannya, membabat habis apa yang ada di hadapannya.

"Ibu ...!" Kina yang tadi sedang bermain di depan TV, ikut menangis ketakutan ketika mendengar suara bantingan pintu, bukti kemarahan Lukman.

Gadis kecil itu berlari, berhambur dalam pelukan ibunya. Tubuh mungilnya memeluk kaki kecil Nayla dan membuat wanita itu semakin terluka. Diusapnya kepala Kina pelan, agar anaknya itu bisa merasa nyaman bersamanya.

"Kina kenapa nangis?" tanya Nayla lembut. Betapa luasnya telaga kasih sayang untuk putri kecilnya itu. Dan tak akan pernah habis meski setiap waktu dia curahkan untuk Kina.

"Ayah ... jahat, Bu." Gadis kecil itu kembali menangis kali ini bertambah kencang. Bahkan pelukan pada kaki Nayla pun semakin erat. Nayla mendongak, berusaha menyimpan kembali air matanya. Jangan sampai dia menangis di hadapan putrinya. Dia akan menutup rapat rasa sakit dan benci akan perlakuan Lukman.

"Kata siapa, Nak? Ayah baik, kok. Buktinya sering belikan Kina jajan." Nayla masih terus membangun karakter positif untuk Lukman di hati Kina. Dia tidak ingin Kina tumbuh dengan menyimpan rasa dendam dan benci, karena itu hanya akan merusak mentalnya.

"Buktinya ayah, mayah-mayah." Meski banyak kosa kata yang jelas diucapkan oleh bibir mungilnya, nyatanya tetap ada yang terlewat, yang masih terdengar cedal. Hati Nayla yang buruk seketika saja berubah ceria. Hanya Kina satu-satunya penghibur baginya.

"Nggak, Sayang." Nayla mengangkat wajah anaknya dengan tangannya, menangkup wajah kecil itu, dan menciumi pipinya yang berisi itu. Sungguh sangat gemas Nayla pada putrinya itu.

Kina sudah berhenti dari tangisnya, hanya sisa sesenggukan yang tidak mudah hilang. Gadis kecil itu menatap ibunya dengan tatapan mengiba, membuat siapa pun tehanyut dalam tatapan yang tanpa dosa itu.

"Benal ...?"

"Hu um." Nayla mengangguk. Tidak mungkin dia membagi rasa sakit hati pada anakya. Jika mesti berbagi, hanya kebahagiaanlah yang ingin dia beri.

Nayla lantas menaikkan Kina dalam pangkuannya. Dia memeluk erat tubuh kecil itu, seakan tak ingin lepas darinya. Kina yang merasa aman dan nyaman, tiba-tiba saja tertidur dalam dekapan Nayla. Wanita itu hanya tersenyum melihat wajah polos Nayla.

"Mungkin dia sedang capek," gumamnya sembari mengangkat Kina dan menidurkannya di atas kasur.

Setelah anaknya tidur, Nayla kembali melihat dirinya di depan cermin. Mendengar perkataan kasar dari suaminya tadi, benar-benar membuat jiwa Nayla terluka. Ternyata seberapa besar usahanya, yang salah ada pada dirinya.

Jika orang lain KB bisa cepat berisi, sedangkan dia malah semakin kering dan juga mengalami siklus menstruasi yang berkepanjangan.

"Aku harus bagaimana lagi, Tuhan?" Dia benar-benar putus asa kali ini. Keputusan yang diambilnya, bukannya membuat Lukman tambah betah, tetapi malah menjadikannya uring-uringan dan pergi lagi dari rumah.

Jika tidak memikirkan Kina, mungkin saja dia akan memilih untuk mengakhiri hidupnya yang tidak berguna ini.

Nayla menatap wajah polos Kina saat dia tertidur. Begitu damai dan juga tenang, tak ada beban yang ditanggungnya. Semua terasa mudah dalam pikiran bocah cilik itu.

Nayla meremas dadanya merasakan nyeri yang tak tertahankan lagi. Suaminya kini semakin seenaknya. Tak lagi mau mengerti keadaannya. Terlebih saat 2 minggu ini dia tidak bisa disentuh. Rasanya Nayla hanya seperti barang yang tidak berguna.

Hari semakin malam dan Lukman tak juga pulang ke rumah. Netra Nayla belum bisa terpejam karena masih menunggu suaminya itu. Ternyata begitu mencintai seseorang, hanya menimbulkan luka yang dalam. Jika cinta itu tidak ditambatkan pada pria yang tepat.

Nayla melihat ke arah handphone-nya. Tapi, itu hanyalah hal yang sia-sia. Tetap tidak ada pesan dari Lukman.

"Argh ...! Ha ...!" Nayla menangis, merasakan sesak yang menghimpit jiwa. Tubuh Nayla luruh ke lantai, menekuk lututnya sebagai tempat untuk membenamkan wajahnya.

Sungguh Nayla seperti seorang anak kecil saat ini. Meringkuk, meratapi nasib yang sama buruknya dengan tubuh dan wajahnya. Meski sudah kebal dengan ejekan yang sering Lukman katakan, nyatanya hatinya tetap saja sakit. Harus bagaimana lagi dia berusaha menarik perhatian suaminya itu?

***

Nayla membuka matanya pelan, kala hawa dingin merayapi tubuhnya hingga ke dalam. Tak ada lemak yang menjadi penghangat, menjadikan Nayla begitu rentan terhadap hawa dingin. Bahkan kali ini, dirinya tengah menggigil karena tubuhnya bersentuhan langsung dengan lantai.

"Ternyata aku tadi ketiduran di sini." Nayla melihat ke arah jam dinding dan setelahnya segera bangkit. Menatap ke arah putrinya yang tengah tertidur pulas, "Ternyata Mas Lukman belum juga pulang."

Nayla berjalan ke arah tempat tidur untuk menemani putrinya. Betapa malam-malamnya kini menjadi semakin sepi. Biasanya Lukman akan sibuk dengan handphone-nya, kini bahkan dia tidak pulang.

"Nay! Nayla!" Nayla menajamkan telinganya, memastikan jika benar-benar ada yang memanggil namanya.

"Nay!" Wanita itu segera menuju ke pintu rumahnya. Sepertinya dia mendengar suara Lukman, tetapi kenapa dia tidak langsung masuk? Padahal masing-masing dari mereka membawa satu kunci rumah ini.

Dengan tergesa, Nayla membuka pintu itu. Takut jika suaminya kembali marah dan mengucapkan kata-kata kasar.

"Astaghfirullah, Mas." Tubuh Lukman langsung ambruk ke badan Nayla sesaat setelah wanita itu membuka pintu.

"Nay ... kenapa lama sekali!" bentak Lukman. Hidung Nayla mencium aroma yang menyengat dari tubuh Lukman dan dia tidak yakin itu apa. Belum pernah dia mencium bau seperti ini. Lukman sempoyongan masuk ke dalam rumah dengan mata yang terlihat begitu sayu.

"Kamu dari mana, Mas? Dan bau apa ini?!" Hidungnya benar-benar tidak nyaman dengan aroma ini. Nayla segera menyusul Lukman yang kelihatan kesusahan untuk sekedar berjalan. Lukman tak menjawab pertanyaan Nayla. Laki-laki itu malah terus-terusan bergumam tidak jelas.

"Ka-mu mabuk, Mas?" tanya Nayla lirih. Entah kenapa hal itu yang terpikirkan olehnya saat ini. Nayla berharap bukan itu yang terjadi pada suaminya, dia berharap suaminya itu hanya pusing dan sekarang butuh istirahat.

"Ck! Jangan brisik! Aku mau tidur dulu." Setelahnya Lukman segera menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Bahkan dia tidak menyadari bahwa Kina juga tertidur di kasur itu. Segera Nayla mendatangi Kina dan menggendong anak itu agar tidak tertimpa tubuh Lukman.

Tubuh Lukman telentang memenuhi kasur hingga tak ada tempat untuk Nayla dan juga anaknya. Nayla membuang napas kasar. Terpaksa dia dan anaknya harus tidur di depan Tv malam ini, tak tenang rasanya dia tidur satu tempat dengan orang yang mabuk.

Cobaan apa lagi yang Tuhan berikan padanya? Dia belum pernah mendapati Lukman dalam keadaan mabuk. Melihat Lukman tak mengindahknnya dan sibuk dengan Hp-nya saja sudah mampu membuat Nayla terluka dan sakit. Kini ditambah lagi dengan Lukman yang mulai mengenal minuman keras. Harus seperti apa dirinya berjuang untuk keutuhan rumah tangganya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status