Share

Bab 6 Kamu Mampu Nayla

Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.

Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli.

"Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya

"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya. 

"Eh! Kenapa, Bu?" Nayla berusaha menghentikan tangisnya. Dia mengusap wajahnya yang telah basah oleh air mata. Sungguh malam ini begitu berat baginya. Dia sama sekali tak bisa berpikir. Bahkan saat Lukman memintanya untu membatunya, Nayla hanya diam saja. Dia tak tahu harus berlaku bagaimana terhadap suaminya itu.

"Kamu nggak papa?" Bu Yayuk tahu jika tak mungkin Nayla baik-baik saja setelah melihat semua ini. Pastinya hatinya hancur dan terluka. Namun, wanita paruh baya itu bingung bagaimana caranya agar bisa menghiburnya.

Nayla mengangguk, mencoba tersenyum. "Makasih, Bu." Nayla mendekap Kyna dalam pelukan. Telah lama dia mengabaikan anaknya itu. Kasihan Kyna, dia tak tahu apa-apa. Tak seharusnya Kyna tahu tentang masalah yang dialami orang tuanya.

"Ayah mana, Bu?" tanya Kyna. Dia yang sedari tadi tertidur, bingung karena di rumahnya ramai orang dan ayahnya tidak terlihat.

Setelah Lukman dan juga Ririn dibawa ke kantor polisi. Para ibu-ibu itu sepakat untuk mengantar Nayla ke rumahnya. Mencoba untuk menemaninya. Mereka takut jika Nayla akan mencoba untuk bunuh diri. Meski itu hanyalah kekhawatiran saja.

Bagaimanapun Lukman adalah suaminya, ayah dari anaknya. Terlebih selama ini, Nayla terlihat begitu mencintai Lukman. Baginya, kehidupan rumah tangga sebagai seorang wanita adalah pengabdian. Jadi, dia lebih memilih diam saat Lukman sering berlaku acuh tak acuh terhadapnya. Dia selalu membuat alasan agar dirinya bisa memaklumi perbuatan Lukman

"Ayah ... ayah kamu ...." Belum selesai Nayla menjawab pertanyaan Kyna, lagi-lagi air mata menerobos sudut matanya. Melesak ingin keluar. Meski sedari tadi mencoba menahannya, tetap saja keluar dengan sendirinya.

"Ibu napa nanis," tanya bocah itu. Dia terlihat kalut kala ibunya malah menangis. Ada apa ini? Apa ayahnya baik-baik saja? Kira-kira seperti itulah yang ada dalam pikiran anak kecil itu. Kyna berusaha meraih pipi ibunya dan mengusapnya dengan tangan mungilnya.

Nayla menggeleng, tak mungkin dia menceritakan jika ayahnya kini tengah digiring ke kantor polisi karena ketahuan mesum. Dia takut itu akan berpengaruh pada kondisi Kyna. Dan pasti akan mempengaruhi mental dia nanti. Nayla takut jika Kyna akan menjadi bahan bullya-an teman-temannya.

"Nggak papa. Sekarang Kyna bobok lagi, ya?" Nayla berdiri. Dia hendak menggendong Kyna masuk ke dalam kamarnya. Dia tak mau anaknya itu ikut tertekan oleh beban yang kini dia rasakan. Biarlah dia sendiri yang menanggung ini semua.

"Makasih, Bu Yayuk. Saya bawa Kyna tidur dulu. Kalian juga sebaiknya istirahat. Jangan khawatirkan kami," ucap Nayla. Dia berusaha tetap tersenyum ketika mengucapkannya. Dia tak mau merepotkan banyak orang dengan masalah keluarga mereka.

"Tapi ... kamu beneran nggak papa 'kan, Nay?" Rasanya belum tega meninggalkan wanita itu sendirian. Bagaimanapun masalah yang dia hadapi begitu berat.

Nayla mengangguk, "Insyaallah saya nggak papa, Bu. Saya masih ingat sama Allah." Tanpa sadar Bu Yayuk membuang napas lega. Sedari tadi, memang itu yang dia khawatirkan. Dia takut Nayla kalap dan akhirnya melakukan tindakan yang akan membahayakan diri dan anaknya.

"Ya sudah. Kalau begitu, kami pulang dulu, ya?" Bu Yayuk dan beberapa ibu-ibu tetangga Nayla akhirnya pamit pulang ke rumah masing-masing. Mereka hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Nayla dan juga anaknya.

Sepeninggalan ibu-ibu itu, Nayla segera mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar. Kyna dengan cepat, sudah tertidur dalam gendongan. Memang seharusnya dia tidak bangun tadi. Nayla segera saja menidurkan Kyna di atas kasur.

Dipandanginya wajah kecil itu, yang bisa memberinya kedamaian dan juga kehangatan. Kyna terlihat begitu tenang. Tak terlihat ada beban maupun masalah di wajahnya. Tanpa sadar, Nayla manyunggingkan senyumnya.

Nayla meletakkan kepalanya pada bantal sebelah kepala Kyna. Dia merasakan berat di sana dan ingin istirahat sebentar saja. Untuk sejenak, Nayla ingin berhenti memikirkan tentang Lukman dan juga Ririn. Dua orang yang telah menggores luka di hatinya. Dua orang yang sama sekali tidak dia duga akan melakukan tindakan seperti itu.

Mata Nayla terpejam. Dia benar-benar lelah dan saat bangun. Dia ingin melupakan semuanya. Tentang Lukman, tentang Ririn, dan hanya mengingat Kyna dalam hidupnya.

Pagi hari saat terbangun, Nayla melakukan kegiatan seperti biasanya, seakan semuanya baik-baik saja. Dia tak mau ikut pusing dengan Lukman yang masih berada di penjara. Rasanya, segala yang ada dalam dirinya telah mati untuk Lukman.

Cinta yang beberapa saat yang lalu masih merekah indah, kini tandus dan kering kerontang. Dan Nayla merasa sangat malas untuk menyirami. Dia sengaja membiarkannya hingga mungkin tak akan ada apa pun yang bisa hidup di dalamnya.

"Ibu ...." Kyna berlari, memeluk kaki ibunya, seolah dia sangat takut kehilangan Nayla.

"Kamu kenapa, Kyna?" Nayla sedikit berjongkok, dia mengelus rambut Kyna dengan sayang. Dia tak mau putrinya itu ikut sedih jika tahu yang sebenarnya.

"Ni na, tatut, Bu," ucap Kyna dengan nada cadelnya yang lucu. Gadis kecil itu nangis sesenggukan di antara kedua paha ibunya. Nayla bingung, kenapa Kyna tiba-tiba saja menangis seperti ini?

"Takut apa, Sayang? Hei! Di sini ada Ibu." Nayla melepaskan tangan Nayla yang melingkar di kakinya. Dia memeluk anak itu dan terus mengelus punggungnya.

"Apa yang kamu takutkan? Ibu akan selalu jaga kamu." Apa pun akan Nayla lakukan untuk membahagiakan putrinya itu. Dan melihatnya menangis seperti ini, sungguh sangat membuatnya merasa sedih.

"Ni na, ngga mau tendiri ...." Kyna mengusap pipinya menggunakan punggung tangannya. Sesekali dia juga mengusap ingus yang seda*i tadi terus menetes bersamaan dengan a*i mata di sudut mata.

"Kyna nggak sendiri. Ada Ibu." Entah kenapa dia begitu terluka saat Kyna mengucapkan hal itu. Apa mungkin Kyna merasakan apa yang terjadi dengan ayahnya?

Setelah drama antara ibu dan anak, Nayla pun kembali berangkat bekerja. Sebenarnya dia sadar jika banyak mata yang melihat ke arahnya.

Bisik-bisik pun samar-samar dia dengar. Dia mencoba tersenyum, menutup telinganya dan menutup mulutnya rapat. Meski hatinya sangat ingin menangis kini. Dari sekian banyak yang membicarakannya, tentu saja ada yang malah menyalahkan dirinya.

"Lihat itu!" Nayla melewati pedagang sayuran, tentu saja banyak ibu-ibu yang ada di sana. Nayla yakin jika mereka telah mengetahui perihal penangkapan Lukman semalam. Bukankah kabar buruk akan cepat tersebar?

"Kasihan ya, si Nayla. Tapi, salahnya sendiri. Dari dulu lakinya emang udah nggak bener, masih aja bertahan. Kalau aku jadi dia, udah aku tendang lelak itu. Bukankah rumah itu peninggalan orang tua Nayla?" Nayla hanya bisa membuang napas kasar. Meski diucapkan dengan bisik-bisik, tetapi telinga Nayla masih bisa mendengarnya.

"Nay!" panggil Bu Risma, salah satu tetangga Nayla yang juga berada di tukang sayur.

Nayla menoleh, dia berusaha tetap memberikan senyum terbaiknya. Tak akan dia biarkan orang lain tahu suasana hatinya. Karena Nayla tahu, tak banyak yang akan tulus mendengar keluh kesahnya, sebagian besar hanya ingin tahu untuk dijadikan bahan gunjingan.

"Iya, Bu," sahut Nayla.

"Kamu mau ke mana?" tanya Bu Risma.

"Kerja, Bu," jawab Nayla.

"Yang sabar, ya."

Nayla tersenyum, "Makasih, Bu. Permisi semua." Tak ingin mendengar banyak gunjingan lagi yang bisa membuat kuping panas, Nayla memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Nayla yakin, dia mampu untuk melewati semua ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status