Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.
Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali.
"Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya.
"Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja.
"Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Bahkan badannya kini terlihat semakin kurus kering dan dirinya juga semakin sering merasa pusing. Apalagi jika habis duduk, pastinya kepalanya akan berkunang-kunang jika langsung berdiri.
"Ibuk, Ibuk, Nina mau maem." Hanya celotehan Kina, anaknyalah yang menjadi pelipur laranya kini. Gadis kecil itu kini tengah bermain boneka di depan televisi. Di atas karpet bulu berwarna hijau dengan motif keropi di atasnya. Tokoh kodok kartun kesukaan Kyna.
"Iya, Sayang. Tunggu sebentar, ya. Ibu ambilkan maem dulu." Nayla beranjak dari duduknya untuk mengambilkan anaknya makanan. Berada di dekat Lukman hanya akan mendapat berbagai macam perkataan kasar. Laki-laki itu tak segan untuk merendahkan istrinya.
Saat hendak melangkah, Nayla merasakan kepalanya pening dan tubuhnya seakan kehilangan keseimbangan. Untung saja di hadapannya ada punggung kursi yang bisa dia jadikan pegangan saat tubuhnya terasa limbung.
Nayla memejamkan matanya sejenak, mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Setelah merasa lebih baik, Nayla kembali melangkah menuju dapur untuk mengambilkan Kina makan.
Saat kembali ke ruang tengah, tak dilihatnya lagi bayangan suaminya. Entah ke mana kini laki-laki itu? Tak ingin menambah beban pikirannya, Nayla kembali fokus pada putrinya. Disuapinya putrinya itu dengan perlahan. Kina makan dengan lahap, membuat Nayla kembali bersemangat untuk menjalani hidup.
"Ayah ke mana, Sayang?" Berharap Kina dipamiti ke mana Lukman pergi, meski itu hal yang mustahil terjadi. Lukman pergi dan berlaku semaunya. Tidak dekat dengan anaknya, terbukti Kina tidak akan nangis jika ayahnya itu pergi.
Kina hanya menggeleng karena memang tidak tahu ke mana ayahnya itu pergi. Hanya senyum manis yang dia berikan pada ibunya.
"Mam agi, Bu." Gadis itu kembali mangap saat ini. Sepertinya dia benar-benar lapar. Kelakuan Kina yang seperti itu selalu saja membuat Nayla tersenyum. Meski masalahnya segunung, tidak akan terasa jika sedang bersama Kina.
Nayla selalu merindukan saat-saat seperti dulu. Saat awal pernikahan mereka. Semuanya terasa indah dan menyenangkan. Seakan tidak akan pernah ada masalah di kemudian hari.
Setelah kenyang, anak itu merasa mengantuk. Gadis kecil itu segera memejamkan matanya sesaat setelah menguap. Sungguh mudahnya untuknya tertidur.
Nayla tersenyum melihat ke arah wajah damai putrinya yang selalu membuatnya ingin selalu menciuminya. Diangkatnya putri semata wayangnya agar tertidur di kasur yang empuk. Bukan karpet tipis yang langsung menempel lantai.
Lagi-lagi, Nayla hanya bisa mendesah memikirkan Lukman yang akhir-akhir ini jarang berada di rumah. Apalagi uang kerjanya beberapa hari ini sama sekali tidak diberikan kepadanya. Untungnya, selama ini dia tidak menggantungkan hidupnya pada Lukman.
Nayla bisa mencari uang sendiri sehingga dia tidak kelaparan. Dan anaknya juga tidak akan sering menangis karena tidak bisa jajan. Malam ini pun wanita itu memutuskan untuk terpejam saja, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan suaminya.
Semakin lama, Nayla semakin terenggut kesadarannya oleh sang malam. Tenang, perasaannya begitu tenang kali ini.
"Nayla!"
"Nay!" Terdengar suara teriakan yang dibarengi dengan suara gedoran pintu. Nayla mengerjapkan matanya dan mencoba menajamkan indera pendengarannya.
"Mas Lukman?" Tapi, itu bukan suara Lukman.
"Nayla!" Bahkan kini Nayla mendengar suara yang berbeda. Bukan hanya suara satu orang, tetapi beberapa orang. Wanita itu sedikit merasa takut jikalau ada orang yang berniat buruk terhadapnya.
Mata Nayla celingukan mencari benda yang kiranya bisa dia gunakan untuk memukul orang itu jika mereka orang jahat. Dilihatnya sebuah sapu di pojokan, Diambilnya lalu dia bersiap untuk menuju ke pintu depan.
Meski sangat tak mungkin gagang sapu itu bisa menyelamatkan dirinya jika benar-benar ada orang jahat, tapi itu lebih baik dari pada dia tidak membawa apa pun untuk membela diri. Dengan hati-hati, Nayla berjalan menuju ke arah pintu. Mengendap-endap seperti maling di rumahnya sendiri.
"Nayla!"
"Nayla!" Wanita itu menajamkan telinganya, dia seakan mengenal suara orang-orang itu.
"Pak Fajar?" gumamnya. Pak Fajar adalah Pak RT di wilayah tempat tinggal Nayla. Nayla meletakkan sapunya dan berjalan cepat menuju ke arah pintu. Diintipnya keadaan luar lewat kaca jendela. Tidak hanya Pak Fajar, tapi ada juga Pak Adam dan Pak Teguh.
"Ceklek!" Nayla heran kenapa ketiga bapak-bapak ini malam-malam mengetuk rumahnya? Sepertinya ada hal penting yang terjadi.
"Kenapa bapak-bapak? Malam-malam begini?" tanya Nayla sesaat setelah membuka pintu. Mereka bertiga saling pandang, seakan hal yang ingin disampaikan bukan hal baik dan takut melukai Nayla.
"Begini, Nay. Tapi, Bapak mohon kamu tetap tenang, ya?" Pikiran Nayla mendadak semakin buruk. Ini tentang apa? Tentu saja yang ada di pikirannya saat ini adalah Lukman, pasalnya hingga jam segini Lukman belum pulang juga.
Apa Mas Lukman mengalami hal buruk? Nayla menutup mulutnya yang tengah melongo. Bayangan Lukman yang bersimbah darah karena kecelakaan menari-nari di kepalanya. Semoga bukan hal itu yang terjadi.
"Mending Nayla kita bawa langsung ke rumah Mbak Ririn saja, Pak," usul Pak Adam yang semakin membuat wanita itu bingung. Apa yang terjadi dengan Mbak Ririn hingga Pak Fajar memintanya untuk tetap tenang?
"Ini ada apa, Pak?" Nayla tentu saja semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan Pak RT.
Pak Fajar nampak menimbang-nimbang usul dari Pak Adam tadi. Pak Fajar menatap Pak Teguh yang juga mengangguk. Sepertinya mereka berdua sepemikiran. Memang sulit jika mesti menjelaskan tentang ini semua pada Nayla. Mending wanita itu melihatnya sendiri.
"Baik, Nay. Mending kamu ikut kami ke rumah Mbak Ririn saja." Akhirnya Pak Fajar memutuskan untuk menyetujui usulan Pak Adam tadi.
"Sebentar, Pak." Nayla masuk kembali ke dalam rumah dan menggendong Kina yang masih tertidur. Tidak mungkin meninggalkan anaknya itu di rumah sendirian.
Jarak rumahnya dengan rumah Mbak Ririn tidaklah jauh. Mungkin hanya sekitar 100 meter. Tak henti Nayla berdoa sepanjang perjalanan, berdoa agar suaminya baik-baik saja. Tapi, yang sedari tadi mengganjal hatinya adalah kenapa dia harus ke rumah Mbak Ririn? Apa ada hubungannya dengan musibah yang menimpa Lukman?
Atau mungkin Mas Lukman mengalami kecelakaan dan berhubung paling dekat adalah rumah Mbak Ririn, jadinya di bawa ke sana? Tapi, untuk dibawa pulang bukankah juga bukan jarak yang jauh? Pikiran Nayla terusan berputar tentang kondisi Lukman. Dan terus berdoa semoga suaminya itu baik-baik saja.
"Tapi kamu janji untuk tetap tenang, ya, Nay." Lagi-lagi Pak Fajar berkata seperti itu. Entah kenapa malah Nayla semakin tidak tenang kini. Nayla hanya terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. Mau bilang dia akan tenang juga tidak mungkin, dirinya benar-benar cemas kali ini.
Nayla semakin mengeratkan pelukannya pada Kina. Tak ingin anak itu merasa tidak nyaman dengan hawa dingin malam ini. Rumah Mbak Ririn semakin dekat dan terlihat begitu ramai. Hati Nayla semakin tak tenang ketika orang-orang yang ada di sana menatapnya iba. Dengan ragu-ragu Nayla terus melangkah menuju rumah itu. Ada apa gerangan di rumah itu?
"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah."Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya."Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.Nayla masuk kedalam rumah yang luas it
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
"Ck!" Seorang lelaki tengah memakai celananya lagi. Setelah sebelumnya dia usai melampiaskan hasratnya pada seorang wanita yang juga memunguti baju yang tergeletak di lantai."Kapan tubuh kamu itu bisa seksi, Nay? Kayak yang lainnya. Tubuh kok adanya cuman tulang sama kulit saja!" Laki-laki melihat wanita yang bernama Nayla itu dengan tatapan jijik."Aku juga pengen gemuk, Mas. Tapi, nyatanya makan banyak juga nggak gemuk-gemuk," jawab Nayla santai. Dia merasa tidak ada yang salah dengan makannya. Seperti yang lainnya, sehari makan tiga kali. Tapi, mungkin Tuhan menganugerahkan tubuh yang tidak bisa gemuk kepadanya. Bukankah dia harus bersyukur? sedang banyak temannya yang sering mengeluh dengan berat badan yang selalu naik tiap bulannya."Mas itu pengen punya istri yang semok, yang mantep kalau dipegang. Nggak kayak gini, sana sini adanya cuma tulang doang." Perkataan seperti ini, bukan hanya sekali Nayla dengar dari mulu
Nayla menatap kepergian Lukman dengan wajah yang sulit diartikan. Penasaran? Iya. Tapi, jika dia bertanya, pasti yang ada hanya kemarahan Lukman. Dan Nayla sedang tidak ingin berdebat kali ini. Karena berdebat dengan Lukman adalah sebuah kesalahan. Dan Nayla sangat membenci itu."Apa aku KB saja, ya? Seperti kata Mas Lukman?" gumam Nayla masih di depan cermin. Ah! Dia jadi kepikiran usulan bodoh dari suaminya agar dia bisa gemuk. Benar-benar suami yang egois.Hingga malam tiba, Lukman belum juga pulang. Nayla begitu resah karena suaminya itu sama sekali tidak memberi kabar untuknya."Ck! Percuma ada HP, kalau hubungi orang rumah saja tidak bisa," gerutu Nayla. Sedari tadi, Nayla terus melihat ke arah handphone yang tergeletak di atas nakas. Sedari tadi menunggu telepon dari Lukman namun hanya menimbulkan kekecewaan.Nayla meraih handphone-nya dan menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dib
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in