Share

Penawaran Atas Tubuhku

“Untuk apa dia butuh uang enam puluh juta sampai berlutut seperti itu?” gumam Keyland dengan iris biru pucatnya yang menyorot tajam ke arah layar komouter di hadapannya, melihat biodata Helena dari file kepegawaian perusahaan. Berbagai macam pertanyaan terus berlarian di kepala Keyland saat ini tentang wanita itu, hal yang tidak pernah dia lakukan pada seorang wanita.

Dia mendengus keras dengan senyum miring tersungging di bibirnya. “Sepertinya dia tidak ada beda dengan wanita-wanita murahan yang pernah aku tiduri, wanita yang selalu tidak pernah cukup dengan uang.”

Rahang Keyland mengetat, apalagi saat teringat bagaimana semalam Helena langsung pergi setelah mendapat panggilan dari seorang dokter, membuatnya berspekulasi bahwa wanita itu mungkin juga menjual tubuhnya demi uang. Anehnya, ada rasa marah saat membayangkan hal tersebut, padahal sebelumnya dia tidak pernah peduli dengan wanita mana pun.

“Ke mana dia? kenapa belum datang juga?” gerutu Keyland gusar. Dia baru akan mengangkat gagang telepon saat terdengar ketukan dari arah pintu, disusul munculnya seorang wanita yang tak lain adalah sekretarisnya.

“Maaf, Tuan. Nona Helena sudah datang.”

“Suruh dia masuk.”

“Baik, Tuan.”

Kini mata Keyland tak bergeser sedikit pun dari gerak gerik Helena yang memasuki ruang kerjanya. Dia bagaikan singa yang sedang mengintai kelinci kecilnya. Entah kenapa setiap gerakan yang diciptakan oleh wanita itu terlihat seperti godaan sensual yang tak bisa diabaikan, padahal saat ini tubuh Helena hanya berbalut setelan baju kantor formal seperti sekretaris yang lain.

“Maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau anda adalah pemilik Perusahaan ini,” ucap Helena lirih dengan kepala menunduk, tampak kedua tangannya saling bertaut. “Sekali lagi saya minta maaf kalau semalam saya sangat tidak sopan kepada anda.”

“Untuk apa uang enam puluh juta?”

Pertanyaan itu sontak membuat Helena mendongak, langsung berhadapan dengan iris biru pucat yang menjeratnya. Namun, bibirnya bungkam tak mampu menjawab, karena dia memang harus menyembunyikan identitas pernikahan saat dulu melamar kerja di sini.

“Jawab, Helena,” desis Keyland dengan tatapan tajam.

“Saya… butuh uang itu untuk keperluan pribadi,” jawab Helena dengan semakin mengeratkan remasan tangannya sendiri.

Keyland tersenyum mengejek. “Untuk shoping, liburan, atau pesta? Katakan yang sebenarnya agar aku bisa mempertimbangkan akan memberimu uang itu atau tidak.”

Helena menggigit bibirnya kuat, hal yang selalu dilakukan saat kebingungan.

“Shit… jangan pernah menggigit bibirmu di depanku atau-“

“Ya, saya butuh uang untuk itu!” potong Helena tegas dengan mata yang mulai terasa memanas. Dia rela dipandang rendah asalkan bisa mendapatkan uang tersebut. Toh Keyland hanya merendahkannya secara verbal, tidak berniat untuk membeli tubuhnya seperti dokter tua bangka semalam.

Perlahan Keyland bangkit dari kursi kebesarannya, berjalan mendekat ke arah Helena yang tak bergeming. Dia memangkas jarak di antara mereka dengan tatapan buas ke arah wanita itu, bahkan sebelah tangannya mulai menarik pinggang Helena hingga tubuh mereka lekat. “Siapa pria yang menelponmu semalam? Apa dia salah satu pelangganmu?”

“Apa- maksud anda?” Helena tergagap, nafasnya tercekat saat baru menyadari kalau tubuh mereka sudah tak berjarak.

“Kenapa kau masih mengemis uang enam puluh juta kalau semalam kau sudah dibayar untuk tubuhmu, hem?” Tangan Keyland meremas pinggang Helena dengan tatapan menyala-nyala.

“Apa?!” pekik Helena dengan mata melebar. Kini harga dirinya kembali tercabik-cabik oleh asumsi pria yang bahkan tidak mengenalnya. Dia berusaha mendorong tubuh besar itu, tapi apa daya kekuatannya tak sebanding. “Lepaskan saya!”

“Tidak, sebelum kau menjelaskan semuanya padaku,” geram Keyland.

“Saya tidak berkewajiban menjelaskan apa pun pada anda!”

“Baiklah….” Tiba-tiba Keyland melepaskan pelukannya kasar, bibirnya menyeringai licik. “Enam puluh juta dan kau harus siap kapan pun saat aku membutuhkan tubuhmu di atas ranjangku."

Plllaaakkk… dan lagi-lagi tangan Helena harus menampar wajah pria-pria brengsek yang berniat membeli tubuhnya. Dua kali direndahkan tidak membuatnya maklum, tapi semakin terasa menyahat hatinya. Lagi-lagi dia lemah, hingga membuat airmatanya tumpah begitu saja.

“Saya… bukan wanita murahan seperti yang anda bayangkan!”

Keyland tertegun untuk sesaat, lalu mengerjapkan mata saat mendengar suara pintu yang tertutup kasar. Dia mengusap sisi pipinya yang terasa panas. “Brengsek, beraninya dia menamparku.”

Dia marah, tapi ada sesuatu di sudut hatinya yang bertanya-tanya, apalagi saat melihat tatapan Helena tampak begitu tersiksa. “Sebenarnya uang itu untuk apa? Kenapa dia marah kalau nyatanya sudah biasa menjual tubuhnya?”

Demi Tuhan, Keyland begitu penasaran pada Helena melebihi wanita mana pun, dan sialnya dia tidak tahu kenapa.

Di samping itu, Helena terlihat setengah berlari saat keluar dari ruang kerja sang CEO sembari mengusap air matanya kasar, mengabaikan tatapan heran dari orang-orang yang menatapnya. Dia memasuki lift, segera menekan angka dasar di mana tempat kerjanya berada, saat itulah ponselnya berdering, dan selalu membuat nafasnya hampir terhenti setiap kali melihat nama rumah sakit terpampang di layar.

Sesampainya di rumahsakit, Helena hanya bisa terisak menatap ke dalam ruangan yang ditempati suaminya. Sekarang terlihat seorang dokter dan beberapa perawat yang tengah berusaha mengembalikan detak jantung Vian yang katanya sempat terhenti. Hatinya hancur melihat tubuh kurus sang suami yang harus disengat listrik ratusan volt, tampak terpental dan pastinya sangat menyakitkan.

“Vian, aku mohon… kamu harus bertahan… aku mohon,” isak Helena dengan bahu bergetar hebat. Dia memejamkan mata, tak kuasa melihat penderitaan pria yang dicintainya itu. Dan ternyata Tuhan masih mengabulkan permintaannya, karena di detik selanjutnya monitor milik Vian kembali memunculkan grafik dari detak jantung yang telah kembali.

Helena bergegas memasuki ruangan, langsung memeluk tubuh lemah itu. Dia benar-benar mengabaikan dokter dan perawat yang masih di sana, hanya ingin sebentar melampiaskan ketakutannya di pelukan sang suami.

“Helena, kita tidak bisa menunggu lagi,” ucap dokter senior yang selama ini menangani Vian.

Helena menegakkan badan sembari mengusap air matanya kasar. “Saya mohon lakukan yang terbaik untuk Vian, Dok….”

“Kami sudah melakukan yang terbaik, Helena… tapi kami juga tidak bisa berbuat apa-apa saat semuanya terkendala biaya,” terang dr. Hamdi.

“Ya Tuhan….” Helena kembali terisak sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan, benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Setidaknya bayar dulu setengahnya agar kita bisa segera melakukan cuci darah,” tambah dokter itu sebelum melenggang pergi.

***

Helena frustasi, benar-benar sudah tidak menemukan jalan keluar. Semua jalan seolah telah ditutup oleh takdir buruk hidupnya, hingga kini dia memilih mendatangi seorang iblis arogan yang tadi menghina harga dirinya. Dia terlihat berdiri mematung di halaman loby perusahaan yang telah sepi, mengabaikan tubuhnya yang kini tengah diselimuti air hujan. Ada sebuah keraguan untuk masuk ke dalam, tapi juga tidak kuasa untuk pergi. Hingga di menit berikutnya sosok dingin nan kejam itu terlihat keluar, mengerutkan kening saat menatapnya.

“Apa lagi maumu?”

Helena berjalan mendekat, sangat tahu kalau sekarang iris biru pucat itu tengah menikmati tubuhnya yang tercetak di balik blouse yang dikenakan. “Saya ingin menarik kata-kata saya tadi siang… sekarang, saya ingin menjual tubuh saya kepada anda.”

To be continue….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status