“Dasar munafik.” Keyland tersenyum miring dengan tatapan merendahkan. “Bahkan malam belum berganti sejak kau menamparku dan sekarang kau kembali untuk menjual tubuhmu, hem?”
Helena menunduk dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh, menahan hantaman nyeri di dadanya oleh segala macam hinaan yang siap diterima. Dia benar-benar putus asa, tak mampu lagi memikirkan solusi lagi selain menjual tubuhnya pada pria arogan ini. Baginya pria seperti Keyland Hamilton pasti sudah terbiasa dengan hubungan ranjang seperti ini, dan mungkin akan lebih mudah saat nanti akan mengahirinya begitu saja.
“Apa memang selalu seperti ini caramu?”
Helena tersentak kaget saat tiba-tiba lengan kekar pria itu menarik pinggangnya seperti sebelum-sebelumnya, mau tak mau membuat wajahnya refleks mendongak. Sekali lagi, dia harus bertatapan dengan iris biru pucat yang seolah ingin mengoyaknya, begitu tajam dan menakutkan. “Cara… apa?”
“Cara untuk memikat pria dengan sok jual mahal dan membuat mereka penasaran,” desis Keyland dengan rahang mengetat, mendadak melepaskan pelukannya kasar “Kenapa kau tidak menunjukkan sifat jalangmu saja dari awal, hah?!”
Tubuh Helena terhuyung ke belakang tapi masih cukup mampu berpijak dengan benar. Dia mengusap airmatanya kasar, mencoba menunjukkan tatapan berani pada pria itu. “Saya tidak peduli dengan segala macam pemikiran anda. Terserah sehina apa anda memandang saya, dan saya hanya ingin menjual tubuh-“
“Kau pikir aku masih berminat denganmu?” sela Keyland dengan mata bergerak liar, menyusuri lekuk tubuh Helena yang tentu tak mampu dibaikan. Bohong saat dia mengatakan sudah tidak berminat, karena nyatanya rasa penasarannya pada Helena masih sangat membara, hanya saja sekarang diikuti dengan rasa marah yang tak masuk akal.
“Apa?” gumam Helena dengan mata terbelalak. “Jadi sekarang anda sudah tidak menginginkan tubuh saya?”
“Kau tahu, Helena?” Keyland kembali mendekat, sebelah tangannya menarik dagu Helena hingga wajah mereka begitu dekat. “Awalnya aku begitu penasaran denganmu karena kau memiliki tatapan lugu dengan wajah yang begitu sensual, tapi nyatanya kau tidak ada beda dengan wanita jalang yang biasa kubeli. Dan sekarang, rasa penasaranku padamu sudah hilang begitu saja, aku sudah tidak berminat lagi untuk membeli tubuhmu.”
Seketika wajah Helena tampak panik, begitu takut akan kehilangan kesempatan mendapatkan uang untuk pengobatan suaminya. Apalagi saat sekarang dia melihat Keyland yang memutar badan dan siap meninggalnya. Tanpa berpikir panjang, Helana menarik lengan pria itu kuat-kuat, membuat Keyland kembali terpelanting menghadapnya. Dia menarik tengkuk pria itu, menyatukan bibir mereka tanpa aba-aba. Persetan dengan harga dirinya, lagipula dia telah menjadi wanita hina sejak beberapa menit yang lalu.
Keyland terdiam untuk sekejap, terlalu kaget dengan serangan bibir Helena yang tiba-tiba. Bahkan dia masih bisa merasakan pergerakan bibir Helena yang begitu kaku saat menciumnya, sangat tidak mencerminkan seorang wanita yang biasa menjual diri. Namun, fakta bahwa Helena hanyalah wanita yang haus akan uang benar-benar membuat emosinya kembali meluap. Dia menggeram rendah, mendorong tubuh Helena tanpa melepaskan bibir mereka, menghimpitnya pada tembok di belakang.
Pandangan Keyland menggelap, dengan bibir yang mulai menyerang brutal. Dia mengulum bibir Helena atas bawah dengan begitu kasar, memuaskan rasa penasarannya akan rasa manis dari bibir berlekuk yang sejak awal telah menghipnotisnya. Benar-benar lembut pikirnya, manis dan memabukkan. Aneh saat dia sudah menggila hanya karena sebuah ciuman, terus menyesap dan melumat tanpa jeda.
Berbeda dengan Helena yang membeku seketika, tak mampu lagi menggerakan bibirnya. Dia merasakan gelenyar aneh yang membakar, hal yang bahkan belum pernah dirasakan sebelumya. Selama 25 tahun kehidupannya, baru kali ini dia merasakan sentuhan yang begitu intim dari seorang pria, bahkan suaminya pun belum sempat menyentuhnya sepanas ini. Tubuhnya tak bisa melawan, hanya keduanya tangannya yang masih mencengkeram lengan Keyland, apalagi saat kini lidah pria itu ikut berperan, menyeretnya dalam gairah tak tertahan.
Keyland masih ingin terus menggila, seolah tak mau terlepas dari bibir manis milik wanita itu. Namun, nafas Helena yang tersenggal, mau tak mau mendorongnya untuk melepaskan diri. Walapun begitu, wajahnya tak mampu menjauh, membiarkan nafas panas mereka tetap beradu. Untuk pertama kalinya dia akan mengingkari ucapannya sendiri, karena tak mungkin sekarang bisa melepaskan diri dari Helena begitu saja. Dia akan membeli tubuh wanita itu.
“Hallo, Jody.” Keyland meletakkan ponsel di telinga setelah sedikit mengatur jarak dari Helena, walaupun matanya masih tak bergeser sedikit pun dari bibir wanita itu yang membengkak. “Pesankan satu kamar hotel untukku saat ini juga, dan bawakan uang sebesar enam puluh juta.”
***
Helena tampak berdiri mematung di dalam sebuah kamar hotek mewah, bukan karena terpesona- melainkan karena dilingkupi oleh rasa takut yang luar biasa. Terlambat saat sekarang dia ingin pergi dari sini, pasalnya pria bermata biru pucat itu bahkan telah menyusun kontrak hubungan dengannya.
“Apa yang kau lakukan di sana, Helena?”
Suara bariton itu seolah menamparnya, membuatnya tersadar pada fakta bahwa tubuhnya akan dibeli.
“Hei, apa kau akan terus berdiri saja di sana?”
Helena mengerjapkan mata, menarik nafas kuat-kuat sebelum menguatkan kaki untuk melangkah mendekat ke arah satu set sofa di dekat ranjang. “Maaf, saya hanya-“
“Duduk,” pinta Keyland dengan nada arogan dan tatapan yang begitu dingin.
Helena duduk pada single sofa di hadapan sofa panjang yang kini ditempati oleh dua orang pria, karena Keyland memang mengajak orang kepercayaannya untuk membahas kontrak hubungan mereka.
“Kau harus tahu bahwa aku adalah orang yang teliti dalam hal apa pun,” ucap Keyland sembari mendorong sebuah kertas ke arah Helena. “Aku tidak mau hubungan singkat ini akan membuat masalah di kemudian hari. Untuk itu, aku akan membuat kontrak tertulis sebagai komitmen jual beli kita.”
Tangan Helena tampak gemetar saat meraih kertas tersebut, merasakan sesak dan nyeri yang luar biasa di dadanya. Meskipun begitu, dia tetap mencoba membaca dengan seksama tulisan tangan Keyland yang ada di kertas putih tersebut. Seperti yang dikatakan Keyland di awal, tertulis di sana bahwa pria itu akan membayarnya sebesar enam puluh juta untuk kenikmatan tak terbatas. Dia harus siap kapan pun saat Keyland butuh dipuaskan, dan hanya pria itu yang berhak mengahiri hubungan. Tidak lupa juga tertulis bahwa setelah kontrak berakhir, Helena tidak berhak menuntut apa pun.
“Maaf, Tuan. Sepertinya kita juga harus menambahkan tentang hubungan professional kerja saat di kantor,” tambah Jody.
“Ah ya, kau benar.” Keyland langsung menyambar kertas di tangan Helena begitu saja, kembali menuliskan sesuatu di sana. “Meskipun kau akan menjadi teman tidurku, tapi kau tetap hanyalah bawahanku saat di kantor.”
“Saya tahu, tapi-“ Tiba-tiba Helena menjeda kalimatnya saat mendapati mata biru itu menatapnya tajam.
“Tapi apa?”
“Apa maksudnya dengan pelayanan tak terbatas? Apa saya harus selamanya-“
Mendadak Keyland tertawa keras, sebuah tawa yang nyatanya terdengar kaku. “Tenang saja, aku bukan tipe pria yang akan betah berlama-lama menikmati satu wanita saja. Aku cepat sekali bosan, jadi hubungan kita tidak akan lama.”
To be continue….
Helena terlihat duduk pada sofa panjang di dalam ruang kerja Keyland, terlihat keningnya yang berkerut dengan mata menatap jengah pada beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa menit yang lalu Keyland meminta pada Joddy untuk membelikan makanan untuknya, tentu saja makanan tersebut akan sangat menggiurkan baginya saat dalam kondisi normal, tapi sekarang semua makanan itu malah membuatnya tak berselera.“Perutmu tidak akan kenyang hanya dengan memelototi semua makanan itu, Sayang….” Sindir Keyland yang duduk di kursi kebesarannya, tampak fokus dengan berkas-berkas di meja tapi tetap sesekali melirik ke arah Helena.“Aku benar-benar tidak ingin memakan semua makanan ini, dan malah membuatku mual,” balas Helena sembari menyandarkan punggungnya kasar.Keyland menghela nafas panjang, baru kali ini kesabarannya meningkat dalam menghadapi seorang wanita. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat dan kini ikut duduk di sisi Helena. Sebelah tangannya menarik sisi wajah cantik
“Aku baru tahu kalau kamu punya banyak uang.”Seketika Helena menghentikan gerakan tangannya yang tengah menata tempat tidur. Dia memejamkan mata singkat untuk segera berpikir keras mengenai jawaban yang akan ditanyakan Vian selanjutnya.“Lina bilang kalau gajinya UMR,” tambah Vian yang kini duduk di kursi rodanya.Helena menoleh, memasang senyum kecil. “Sebenarnya aku sudah diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan, dan ternyata uang tunjangan di luar gaji lumayan besar.”“Apa kamu diangkat karena ada hubungan-““Nggak ada hubungannya,” sela Helena tegas, emosinya hampir tersulut kembali. “Aku diangkat sebagai pegawai tetap sebelum Keyland ke Indonesia.”“Oke, maaf,” balas Vian santai.Helena menghela nafas, kembali melanjutkan gerakan membereskan tempat tidur mereka. Setelahnya dia menghampiri Vian. “Ayo, waktunya kamu mandi-““Nggak usah,” balas Vian cepat, bibirnya tampak mengulas senyum manis tak seperti biasanya. “Aku nggak mau kamu telat ke kantor lagi gara-gara aku, jadi le
Helena tampak menggeliat dengan mata perlahan terbuka, merasakan sebuah lengan yang menimpa perutnya dengan begitu posesif. Dia tersenyum kecil, mendapati wajah tampan Keyland yang masih tampak terlelap di sampingnya, perlahan jari jemarinya terulur untuk membelai di sana. Entah sudah berapa lama dia tertidur, yang pasti kamar yang mereka tempati sekarang sudah tampak temaram karena lampu belum dinyalakan.“Tidurmu nyenyak?”Suara serak itu membuat gerakan jari Helena terhenti untuk sesaat, mendapati iris biru pucat itu mulai terbuka menatapnya. Dia mengangguk pelan, kembali membelai sisi wajah Keyland lembut. “Rasanya baru kali ini aku merasakan tidur yang begitu nyenyak setelah hampir satu bulan mengurus Vian di rumah.”“Kau memang terlihat sangat kelelahan,” ucap Keyland dengan tatapan lekat. “Tapi setelah ini kau akan lebih santai.”Helena mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Keyland tak menjawab kebingungan Helena, malah kini balik bertanya. “Kau ingin makan apa malam ini, hem?”“
“Hamil?!” pekik Keyland dengan mata berbinar. “Helena benar-benar hamil anakku?”“Helena memang hamil, tapi belum tentu juga itu anakmu,” jawab Cindy santai.“Jangan sembarang, sudah pasti itu anakku,” eyel Keyland dengan mata melotot. Sedangkan Cindy menedipkan mata, memberikan tanda padanya untuk melihat Helena, karena wanita itu hanya diam dengan mata memburam.“Helena, kau baik-baik saja?” Keyland sedikit membungkuk dengan sebelah tangan membelai sisi wajah Helena yang memucat. “Hei, kenapa kau diam?”Helena menoleh ke arah Cindy dengan tatapan tak bisa diartikan. “Aku- hami?”“Iya, Helena… dari hasil USG tampak kantung kehamilan, walaupun masih belum terlihat janinnya. Tapi kemungkinan besar kau memang hamil,” terang Cindy dengan senyum lembut.“Tapi- bagaimana mungkin? Aku masih dalam masa ber-KB,” cicit Helena dengan mata yang memanas.“Itu takdir, Sayang….” Keyland menangkup wajah Helena agar menatapnya. “Takdir memang menginginkan kita bersama.”Helena menggeleng kuat, membia
“Helena….” Keyland dengan wajah panik langsung masuk ke dalam bilik yang ditempati Helena, wanita itu terlihat berbaring di ranjang pasien dengan mata terpejam. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang terasa dingin. Mata Helena memang terpejam, tapi kening wanita itu tampak berkerut dalam menandakan bahwa tidak benar-benar hilang kesadaran.“Helena, kau bisa mendengarku?” tanya Keyland berganti membelai sisi wajah Helana yang kehilangan ronanya.Perlahan mata Helena terbuka, menatap pria itu sayu. “Kenapa kamu di sini?”“Astaga… aku benar-benar khawatir saat tahu kamu pingsan,” Balas Keyland sembari mengecupi punggung tangan Helena.“Aku baik-baik saja, hanya pusing.”“Kalau kau memang baik-baik saja, sekarang kau tidak akan berada di sini,” omel Keyland dengan tatapan tajam.“Kepalaku memang sedikit pusing, dan tadi aku sempat kehingan keseimbangan saat di kamar mandi. Tapi sekarang aku merasa lebih baik,” terang Helena dengan berniat menarik tangannya dari genggama
“Akhirnya selesai juga….” Helena menghela nafas panjang setelah baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang semakin banyak. Setiap hari dia harus mengurus Vian yang memang belum bisa mandiri dalam hal apa pun, mulai dari mandi, buang air, berpakaian bahkan juga menyiapkan segala keperluan lain. Helena tidak akan mengeluh karena semua itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya, walaupun dia menjadi sering terlambat datang ke kantor dalam beberapa hari ini.“Aku harus segera mandi,” gumamnya setelah mengeringkan cucian. Dia baru akan melangkah keluar dari laundry room saat tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur.Prraaangg… ppyyaaarrrr….Helena berjingkat kaget, segera membawa langkahnya ke sumber suara. Matanya tampak melebar dengan wajah terperangah saat melihat semua masakan di atas meja makan terjatuh di lantai, meninggalkan taplak meja yang terjuntai tak karuan.“Aku benar-benar nggak berguna!” teriak Vian sembari memukul pegangan kursi rodanya.“Astaga, Yan… ini kenapa?” He