LOGINMata Mika makin sipit jadinya saat ia tak bisa tidur dengan nyenyak dan malah memikirkan banyak hal untuk hari ini. Hari sudah menjadi esok dan Mika masih mengkhawatirkan kata kata Raka kemarin. Masih terngiang ngiang dan menakutinya tanpa ampun sampai ia tak bisa tidur.
Mika memiringkan tubuhnya, sialnya! Saat ia sudah sangat ingin beristirahat. Matahari malah mengejeknya dengan terbit seperti belum waktunya. Tau tau sudah sangat pagi sampai kamarnya terkena pantulan cahaya yang keemasan. Orang orang bilang, ini adalah golden hour. Waktu emas karena kilatan cahayanya seperti emas. Tak di pungkiri, pagi hari sangat bagus bukan?
Dan sepertinya, pintu neraka untuk Mika sudah di buka dengan sangat lebar sampai sengatan cahaya itu membuat ia silau luar dalam. Datang dua suster dengan pakaian perang lengkapnya dan senyuman jenakan seperti mengatakan, giliran kamu yang di kuliti! Ayo ikut sekarang!
Mika meneguk ludahnya saat suster itu meraih tanganya dan memeriksa infus yang tersisa sedikit. Kemudian si suster satunya lagi seperti melakukan pemeriksaan. Mika melihat ke arah si suster menatapnya, semalam, ia gagal melepaskan infusnya, itu hanya sukses memberikan rasa sakit di nadinya.
“Infusnya akan saya lepas ya, jangan takut. Tidak akan sakit.” sama persis seperti yang di katakan Raka kemarin malam. Membuat Mika menegukan ludahnya dengan sangat alot. Karena gugup akan menanti rasa sakit.
Dan setelah mengatakan kata kata itu, Mika sangat meyakinkan dirinya kalau rasa sakinya luar biasa! Dia sudah mencobanya sebanyak dua kali dan tak ada yang membuahkan hasil. Jadi kenapa dia harus percaya dengan kata tidak sakit? Bohong....!!!
Dan entah ini keajaiban sugesti atau memang keajaiban seorang perawat yang sangat pandai dalam menjalankan tugasnya. Mika tak merasakan sengatan rasa sakit seperti kemarin. Jarum yang super besar yang ia lihat itu, lolos dengan mudahnya tanpa merasakan ada rasa sakit yang baru saat ia di lepas. Hanya meninggalkan rasa sakit yang tak seberapa.
“Sekarang kita ke ruangan endoskopi.” Ucap si perawat satunya lagi yang sepertinya sudah selesai dalam memeriksa Mika. Mika yakin, di sebrang sana. Raka akan tersenyum sangat senang. Di atas singgasananya.
“Eh, suster. Yang nanti masukin itu? dokter Raka bukan?”
Kedua suster yang membawa Mika di kursi roda itu mengernyit.
“Dokter yang menangani bukan Dokter Raka, Dokter Raka khusus untuk pasien dengan gangguan jantung dan beliau sudah bersiap di ruangan operasi setengah jam yang lalu....”
Mika mau tak mau harus bernafas dengan sangat lega, saking leganya, gerakan mengambil nafas yang mungkin terlihat berlebihan itu membuat dua suster itu mengernyitkan dahi karena bingung, ada apa dengan pasiennya ini? Kenapa? Ada apa?
“Ayo dok, bawa saya secepatnya ke ruangan untuk endoskopi.” Ucap Mika dengan sangat ceria seperti memberikan komando untuk lebih bersemangat dalam bekerja lagi. Dan dua suster itu nampak sangat kebingungan dengan pikiran pasiennya yang sedikit terganggu.
^^^
Ruangan endoskopi terlihat sangat tenang karena baru saja di masuki Mika seorang. Melihat dengan pandangan yang asing, Mika menyusuri ruangan bercat putih dengan banyak sekali alat yang tak ia ketahui kegunanaanya itu.
Setelah lama berbincang dengan si dokter, dua suster itu membaringkan Mika di ranjang yang sangat modern. Dengan banyak sekali tombol yang ada di sampingnya. Seorang dokter laki laki dengan senyuman ramah mulai melakukan tugasnya, memberikan suntikan yang Mika rasa, seperti gigitan semut. Tapi kemudian ia di minta untuk menahan rasa sakitnya. Dan benar juga, benda asing dengan kabel yang terulur panjang itu mulai di masukan ke dalam mulutnya. Mika hanya berdoa, semoga rasanya tak menyakitkan seperti yang ia kira. Semoga lebih bisa di maklumi.
^^^
Mika bisa bernafas dengan sangat lega. Karena ia sendiri sudah sangat lupa rasanya. Mika memutuskan untuk berjalan jalan dengan santai di rumah sakit. ia tak perlu terhalangi oleh infus sekarang. Tapi pakaian yang ia kenakan, pakaian rumah sakit benar benar tak cocok dengan style-nya yang sehari hari terlihat sangat mewah dan elegan khas permpuan keluarga Abraham. Tapi Mika tak keberatan. Ia akan segera keluar dari gedung pencakar langit untuk orang orang sakit ini.
Mika merogoh sakunya. Ia lupa kalau tak membawa ponsel di sakunya itu. ia ingin menghubungi keluarganya. Apakah ada yang mengkhawatirkannya? Atau ada yang peduli dengannya?
Mika sendiri menggeleng kepala dengan sangat frustasi, ia ada di apartemen saat itu. saat sedang merasakan hantaman paling menyakitkan selama ia tau kalau memiliki kelaianan jantung. Tapi Mika takan menyadari kalau ia akan berakhir di rumah sakit sekarang ini.
Langkah Mika terus berjalan tanpa tujuan, Mika sendiri sudah bingung, kemana ia hendak melangkah. Tapi pandangan Mika langsung tertuju pada satu satunya dokter yang ia kenal. Dokter Raka yang sedang berdebat sangat hebat dengan seorang perempuan. Mika yakin, mereka sama sama menjadi dokter di rumah sakit ini. Dengan jas putih dan logo yang sama yang mereka kenakakan.
Rupanya benar, Raka memang sedang berdebat dengan Pevita.
“Saya tidak bisa, terimakasih sudah mau mencitai saya. Tapi saya tidak bisa membalas perasaan kamu.” Jawaban Raka tetap sama. Menolak Pevita yang sedang menatapnya dengan frustasi. Frustasi mengejar Raka yang tak terkejar. Dan frustasi karena ia tak tau siapa sebenarnya perempuan yang di inginkan Raka. Sangat membuat Pevita marah karena ia tak tau bagaimana rupa musuhnya itu.
“Dokter Raka...” sela Pevita sambil menjulangkan tanganya untuk menghalangi langkah Raka. Dan berhasil, dokter itu ternyata berhenti untuk...? Mungkin mendengarkan penjelasan Pevita. Tapi wajah jengah Raka sepertinya tak bisa di buang.
“Beri saya kesempatan, misalnya kita berkencan satu kali saja? Bagaimana?” tawar Pevita tak ingin melepaskan laki laki yang ada di depannya ini. Gila memang kalau ia sampai ingin melepaskan Raka! Pevita takan menyerah! Ia akan mendapatkan dokter tampan di Rumah Sakit Alexandria ini, bagaimanapun caranya.
Raka menarik nafas dengan sangat jengah. Ia pikir, dengan mengabaikan Pevita di Supermarket kemarin, sudah memutuskan harapan perempuan itu. tapi Raka salah, ia sudah berhadapan dengan perempuan yang paling tidak tau mau dan paling tidak tau menyerah rupanya.
Dengan nada yang sangat keberatan, keberatan sekali.... rasanya. Raka menganggukan tawaran Pevita, bukan setuju untuk mengencaninya. Tapi karena ia harus buru buru ke ruangan endoskopi, mengambil salah satu hasil pemeriksaan pasiennya. Mikaila Abraham..... nama itu terngiang dan sosoknya ada di ujung sana. Sedang menyeringai dengan sangat usil ke arah Raka, seperti sedang menangkap basah Raka yang sedang selingkuh. Ternyata, gelagat Pevita yang malah mengalungkan tangannya dan memeluknya makin membuat kesalah pahaman di pandangan pasien itu terhadap Raka makin menjadi jadi.
Dengan gugup, Raka melepaskan tangan Pevita ” Saya harus memeriksa pasien saya, permisi....” ucap Raka dengan sangat gugup karena melepaskan tangan Pevita yang seperti tentakel cumi, melekat sangat erat di tubuhnya.
Di sebrang sana, Mika sudah memasuki lift dengan senyuman usil yang tersungging, makin membuat Raka sebal karena ia merasa sedang di rendahkan olehnya. Raka langsung meninggalkan Pevita dan berlari ke arah lift yang di masuki Mika.
Langkah lebarnya memang berhasil mengejar Mika sebelum pintu lift benar benar tertutup dan ia akan malu karena tak menjelaskan adegan yang tak pantas itu. lagi pula, kenapa Mika bisa ada di lantai khusus staff rumah sakit itu? Raka mulai bertanya tanya.
Dengan nafas yang di buat seteratur mungkin, Raka memasuki lift dengan langkah tenang. Tapi sial! Ketenangan Raka terusik oleh senyuman jahil menahan tawa Mika.
“Jangan tertawa! Tidak ada yang lucu!” hentak Raka karena lift ini hanya terisi mereka berdua. Mika malah menahan mulutnya dengan sangat keras agar tak kebablasan. Tai nyatanya, ia malah kebablasan.
“Gaya pacaran dokter lucu juga ya...” ucap Mika di sela sela tawanya. Mika harus menutup kembali mulutnya agar suarany tak menggema di lift yang hanya ada mereka berdua. Mata tajam Raka langsung melihat kalau tangan Mika sudah bebas dari infus.
“Mau saya berikan dua infus ganda? Lewat arteri tangan, juga lewat arteri kaki?”
Mendengar ancaman Raka, Mika langsung menutup mulutnya dan berniat untuk tidak tertawa sedikitpun. Dan menyadari dari ketersinggungan Raka terhadap topik pembicaraanya. Mika menarik kesimpulan, kalau perempuan itu bukanlah kekasih dokter di depannya ini.
“Dokter percaya kalau ketemu lebih dari tiga kali itu takdir?”tanya Mika memancing perhatian Raka. Tapi laki laki dingin itu malah menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap lurus ke depan tanpa berpikiran untuk melirik ke arah lawan bicaranya.
“Sudah takdir saya untuk merawat pasien kaya kamu. Takdir saya sedikit sial di sini ... “ gumama Raka sambil mendengus seperti baru saja di timpa kemalangan. Reaksi Raka itu membuat Mika jadi cemberut bukan main. Bukan itu yang ia maksud. Yang ia maksud itu takdir yang lain.
Tiba tiba lift tergoncang dengan sangat keras. Dan lampu di dalam lift mati dan menyala dan kemudian mati dan menyala lagi dalam hitungan detik berikutnya. Membuat tubuh Raka dan Mika saling berbenturan satu sama lain.
“Argh!” teriak Mika dengan sangat panik karena ketakutan. Ia tak pernah berada di situasi seperti ini. Tapi ia merasakan di kegelapan ini tangan Raka melingkupi tubuhnya seperti melindunginya dari benturan ke dinding lift yang terbuat dari besi.
“Tenang...” bisik Raka tepat di daun telinga Mika. Membuat jeritan ketakutan Mika sedikit teredam karena ia merasa sedikit tenang. Selang beberapa detik kemudian, goncangan di lift terhenti dan membuat lift mati total dengan kegelapan di antaranya. Mereka berdua terduduk di lantai lift dan Raka sudah melepaskan tanganya dari Mika.
“Liftnya mati,” ujar Raka saat sudah memencet tombol darurat beberapa kali. Memberikan kode ke staf pengawas dan keamanan. Kalau ada orang yang terjebak di dalam lift. Untung saja kegelapan di dalam sana bisa menutupi wajah ketakutan Mika.
Kalau tidak, mungkin wajahnya yang sudah pucat itu bisa di tertawakan habis habisa oleh dokter disampingnya itu.
“Berapa lama dok? Kita harus nunggu di sini?” tanya Mika dengan menenangkan suaranya. Ekspresi Raka tak terlihat ataupun terbaca. Hanya suara berat bariton itu yang Mika dengar, di selingin aroma mint yang keluar dari mulut Raka saat bericara.
“Sebentar, kita pasti langsung di tolong.” Ucap Raka menenangkan.
Dan Mika mau mau saja mendengarkan kata Raka yang sangat bullshit itu! Hampir setengah jam dan mereka belum mendengar ada suara penolong dari tim penyelamat ataupun staff keamanan rumah sakit.
Nafas Mika kian berat rasanya karena oksigen di ruangan pengap dan gelap yang terbatas itu harus di bagi dua dengan Raka. Mika mengusap dadanya yang masih di perban dengan tebal. Menenangkan diri kalau semuanya akan baik baik saja. Takan ada yang terjadi. Karena ia bersama dokter.
Mendengar decit nafas Mika, Raka menoleh mencoba mencari di mana posisi Mika di kegelapan.
“Kamu kenapa ...?” tanya Raka dengan sangat ketakutan karena tak bisa melihat kondisi Mika di tempat yang gelap gulita ini. Ia takut kalau luka ataupun jantung Mika yang bermasalah.
“Eng—hah....” Mika menarik nafas dengan sangat berat dan susah payah.
“Engga apa apa Dok.” Jawab Mika setelah mengumpulkan banyak oksigen ke paru parunya.
Raka malah mengernyit, ini tidak benar. Ia merasa kalau ini tidak wajar.
“Mika? Mika ....?” Mika???” panggilan ketiga, kedua dan pertama sudah tak di jawab Mika lagi. Dengan cepat, Raka mencari tubuh Mika yang ternyata tersandar ke dinding lift. Lemas dan tak bergerak sama sekali ataupun merespon Raka.
Kelibatan ingatan saat hendak melakukan operasi pada Mika itu membauat Raka panik
Gangguan pernafasan!!
Mata Raka langsung memebelalak dan mencari cari hembusan nafas Mika, dan sangat lemah dan putus putus. Dugaanya hanya asma atau pneunomonia.
Tangan Raka langsung menarik wajah Mika agar mendekatinya dan menangkupkan bibir perempuan itu agar mendekat pada bibirnya. Dengan gerakan menghirup nafas yang sangat panjang. Bibir mereka bertemu dan Raka langsung memberikan nafas buatn untuk Mika.
Mikaila Abraham. Tubuhnya mungil dan ringkih. Bibirnya tipis dan lengkungan bibirnya seperti bentuk hati. Indah, namun lebih sering terlihat pucat. Jemarinya lentik, kulitnya tipis seperti kulit bayi. Memerah jika mengenakan pakaian dengan kain yang kasar. Mika sangat suka buah dan benci rasa pahit. Sayangnya, ia harus terbiasa menelan pil pahit. Mika terduduk di tepi pantai dengan pasir putih yang menempel di telapak kakinya, tanganya memainkan pasir basah, mengeruknya sedikit demi sedikit dan melemparnya sampai tersapu oleh ombak kembali.Raka duduk di samping Mika, mengamati Mika yang asik bermain pasir."Indah bukan?" Tanya Mika tanpa memalingkan pandangan dari pantai."Apanya?" Tanya Raka. "Pantainya, pasirnya putih dan bersih...." Ucap Mika sembari mengangkat pasir di genggaman tangannya, kemudian melemparnya ke depan."Lautnya biru kehijauan, membentang luas seperti tak memiliki pembatas..." Lanjut Mika. "Aku tidak peduli, entah laut itu biru, hijau bahkan merah atau hitam s
"Bagaimana dengan kamu, sayang?" Tanya Raka pada Mika.Tidak mungkin kan Mika mengatakan kalau ia memikirkan ide yang sama sampai ia tersedak barusan?"Apa?" Kini Mika sedikit syok karena keberanian Kama memanggilnya dengan panggilan yang mesra. "Bagaiamana dengan kamu sayang, apa kamu senang kalau kita tinggal disini begitu punya anak?" Tanya Raka."Sayang? Hah.. aku?" Ulang Mika menunjuk dirinya sendiri. Raka mengangguk, terulas senyum jahil di bibirnya. Ia sengaja menggoad Mika di depan ayahnya. "Iya, bagaimana dengan kamu sayang. Kamu tidak keberatan?""Ahahah...." Mika tertawa canggung, "Tentu saja tidak sayang.... " Jawab Mika sembari menepuk bahu Raka dengan sekuat tenaga.Raka tersenyum kecil, ia tau kalai Mika sedang menahan diri agar tidak makin salah tingkah. "Baguslah kalau kamu tidak keberatan disini Mika..." Ucap Ayah Raka.Mika mengambil cangkir tehnya, menyeruputnya dengan hati - hati agar tidak tersedak lagi seperti sebelumnya."Ayahmu bilang, kamu bisa main piano
Setelah lima jam perjalanan, Raka akhirnya sampai ke tempat tujuannya. Mika kira, Raka akan membawanya ke sebuah hotel atau resort dekat dengan laut. Tapi Mika salah. Mobil Raka memasuki halaman sebuah rumah yang terlihat asri. Seorang satpam dengan sangat sigap langsung membukakan pintu gerbang, seolah sudah mengetahui kedatangan Raka."Kita dimana?" Tanya Mika, tak bosan ia menanyakan pertanyaan yang sama."Dirumahku." Ucap Raka dengan tenang. ***Mobil Raka berhenti di garasi, ia dengan sigap mengeluarkan koper milik Mika. Pantas saja Raka hanya menyuruhnya untuk berkemas, sedangkan Raka sendiri. Mika bahkan tak melihat tas atau koper berisi baju - baju Raka. Bodohnya, Mika malah masih mengira kalau ia akan diajak berlibur di hotel atau resort. "Tolong bawakan koper ini ke kamar," perintah Raka pada seorang art yang mengehampiri mereka berdua. "Baik Mas," jawab art itu dengan cepat mengambil alih koper Mika. Untung saja Mika tak jadi membawa koper 24 inchinya yang super bersar
Pagi ini terasa sangat sunyi, Mika menggerakan kakinya, meregangkan tubuh bagian bawah tapi tanganya menarik selimut lebih dalam untuk menutupi wajahnya. Ini tidak seperti biasanya, tepat sebelum pukul tujuh pagi, biasanya Raka akan membangunkanya, mengajak Mika untuk berjalan - jalan di taman. Atau mungkin Raka akan sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Tapi kali ini, bahkan sampai pukul tujuh lewat, Mika masih meringkuk di atas kasur dengan nyaman. Itu dia.... Mika bisa menciumnya, aroma tubuh Raka yang sangat khas. Wangi maskulin yang segar bercampur aroma keringat. Perlahan pria itu mendekat, ia melihat Mika yang bermalasan di atas kasur, kakinya tidak tertutup selimut, tapi tubuh bagian atasnya tertutup rapat oleh selimut. Raka menarik senyum tipis, Mika pasti sengaja menutup wajahnya agar tidak silau karena sinar matahari sudah menembus gorden. Dengan iseng, Raka malah menyibakan gorden agar sinar matahari menerobos masuk tanpa penghalang. Raka mendekati Mika, meny
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji







