MY WIFE'S SECRET
Part 2
Terpaksa menarik napas kasar, dada terasa sesak dengan ucapan Risna. Setiap ada masalah dia selalu menjadikan kedua anaknya sebagai ancaman untukku. Risna mengetahui jika aku sangat mencintai kedua anaknya yang sudah kurawat sejak umur dua tahun.Bahkan, aku sudah memindah namakan beberapa aset atas nama keduanya. Serta deposito pendidikan sampai mereka perguruan tinggi. Aku memang bukan orang kantoran. Namun, Bisnis toko yang kutekuni telah memiliki cabang di beberapa kota.
Warisan Ayah berupa ladang, sawah dan tambak membuatku berada di jajaran orang terkaya di daerahku. Rumah mewah dengan mobil yang tak jarang mengikuti trend masa kini.
Mengenai pekerjaan Risna, dia menjabat sebagai manager HRD di perusahaan tempat dia bekerja. Status itulah yang membuat Risna enggan untuk resign.
Padahal, aku ingin dia menjadi Ibu rumah tangga seutuhnya. Rutinitasnya yang pergi pagi dan pulang sore terkadang membuatku kecil hati. Bahkan untuk kebutuhanku harus asisten rumah tangga yang menyiapkannya.
"Mas! Lagi ngomong kok melamun, sih?" gerutu Risna seraya menepuk pundakku kasar.
"Nggak, mana ada melamun. Dek, tolong jangan jadikan Kenzi dan Kenzo sebagai ancaman. Setiap Mas membuat kesalahan kecil atau besar selalu mereka yang kamu jadikan ancaman," ujarku pelan agar dia tidak tersinggung. Masih mencoba menjaga hatinya. Meski, hatiku terluka.
"Habisnya Mas nggak dengerin omonganku. Aku nggak suka sama perawan tua itu. Nggak dikantor, nggak di sini dia selalu jadi masalah untukku," tukas Risna seraya bersedekap dengan memasang wajah masam bak cuka.
Aku mengernyitkan dahi, lalu bertanya,"bukankah Tisya sudah dipindah tugaskan keluar kota?"
"Iya, aku sudah memindahkannya keluar kota, tapi entah kenapa Pak Arya songong itu mengembalikannya lagi dia ke tempat semula. Lima tahun hidupku aman tanpa perawan tua itu, eh dia nonggol lagi. Satu lagi yang membuat aku geram jabatannya lebih tinggi dari pada aku," keluh Risna dengan nada kesal.
"Siapa Pak Arya?" tanyaku. Aku belum pernah mendengar Risna menyebut nama Arya selama ini.
"Direktur baru perusahaan tempat aku kerja, Mas," jawab Risna. Ada rasa tidak suka kepada pimpinan barunya dari cara Risna menyampaikan padaku.
Aku menarik Risna dalam pelukanku. Membelai mayang hitam yang terurai di kepalanya.
"Rezeki sudah Allah atur, Dek. Mungkin kali ini rezeki Tisya. Lagian selama ini Tisya terlalu menderita tinggal di gubuk reot yang tak layak huni ...."
"Mas masih membela wanita itu, Mas masih suka sama dia?" tanya Risna seraya melepas diri dari pelukanku. Rasa sabarku selalu diuji saat menghadapi tingkah manja dan kekanak-kanakanya.
"Siapa bilang Mas masih suka sama dia. Istri Mas lebih cantik dan mengoda dari pada dia. Kalau Mas sayang sama dia, pasti yang Mas nikahi dia bukan kamu," ujarku seraya menjawil hidungnya manja.
"Mas janji, jangan dekat-dekat sama perawan tua itu," pungkasnya dengan helaan napas kasar.
"Dek, nggak baik ngatain Tisya dengan sebutan perawan tua. Dia itu anak yatim-piatu, Dek. Jangan tambah dosa Adek dengan terus menghujatnya setiap waktu. Lagi pula, dia tidak merebut Mas dari kamu," terangku.
Jujur ada nyeri dalam hati saat Risna menghujat atau mencaci Tisya. Pergumulan hati antara rasa cinta dan tidak untuk Tisya sering terasa tanpa kusadari.
"Mas!" panggil Risna dengan kerlingan mata kejam.
"Iya, lupakan Tisya. Sekarang kita tidur, besok Kita pulang ke tempat Ibu, ada acara kumpul keluarga. Mas nggak mau ada kalimat penolakan dari kamu ...."
"Tapi ...,"
"Nggak ada tapi-tapian, Mas selalu memenuhi keinginan kamu. Permintaan mas nggak banyak. Perbaiki hubunganmu dengan Ibu," lirihku.
"Aku nggak berantem sama Ibunya Mas. Ibunya Mas yang tidak bisa menerima kehadiranku," sungut Risna kesal dengan mulut dimanyunkan.
"Tugas kita sebagai anak lakukan yang terbaik untuk orang tua. Pembicaraan selesai, sekarang waktunya tidur!" tegasku.
Risna membaringkan tubuhnya, menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Aku hanya mengeleng kepala pelan melihat tingkah lucunya. Hubungan Risna dengan Ibu tidak terlalu baik. Ibu lebih menyukai Tisya dibanding Risna. Meskipun Ibu memberikan restu untuk kami berdua.
Aku memeluk tubuhnya dari belakang. Secepat kilat Risna mendorong tubuhku. Inilah salah satu akibatnya, jika emosi sudah menguasainya. Sepanjang hari sanggup tak berbicara. Berdiam diri bak patung pancoran.
****
Suasana pagi di rumah tak begitu baik. Itu disebabkan karena masamnya wajah Risna. Entah apa lagi yang dia pikirkan.Aku memanggil kedua anak kembarku yang masih di kamar untuk segera bersiap.
Aku melotot saat menatap Risna yang mengenakan baju ketat. Padahal, aku berulang kali memberitahunya untuk berpakaian sopan, saat ke rumah Ibu. Namun, sama sekali tak digubrisnya.
Setelah, kedua anakku turun. Kami langsung berangkat ke tujuan. Sepanjang jalan, Risna tak berbicara denganku. Hanya sekali-kali menjawab pertanyaan kedua buah hatinya.
"Papa kita pulang ke rumah Eyang, ya?" tanya si kembar hampir bebarengan. Saat mobilku memasuki lorong rumah Ibu.
"Iya, memangnya Mama nggak bilang tadi?" tanyaku seraya melirik Risna dengan ekor mata.
"Nggak, Mama suruh pakai baju dan pergi sama Papa," jawab Kenzo.
"Mungkin Mama lupa, hari ada kumpul keluarga. Nanti kalian bisa main sama sepupu yang lain," ujarku pada kedua buah hatiku.
Mereka terlihat riang. Umur mereka menginjak angka sebelas tahun. Namun bagiku mereka berdua tetap bayi kecilku. Ikatan batin yang tercipta antara kami bertiga membuat tak ada jarak yang tercipta meski mereka bukan darah dagingku.
Dari balik kaca mobil, aku melihat mobil Kak Mia dan Luna-adikku sudah terparkir rapi dihalaman rumah. Kami hanya bertiga dan aku satu-satunya lelaki dalam keluarga kami setelah Ayah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Kenzi dan Kenzo buru-buru turun tanpa menunggu aba-aba dariku. Mereka tak sabar ingin bertemu Eyangnya. Hampir dua bulan kami tidak mengunjungi Ibu karena kesibukan kerja.
"Dek, jangan cemberut gitu. Nggak enak sama Ibu. Senyum!" pintaku pada Risna.
"Mas, jika mereka mempertanyakan tentang anak, kamu belain aku di depan keluargamu. Kalau nggak, aku beberkan hasil test kesehatanmu ...."
Aku meletakkan telunjuk di depan bibir Risna. Mengeleng pelan, memintanya tenang. Empat tahun, aku merahasiakan hasil test kesehatanku pada Ibu dan saudaraku. Aku belum siap mengatakan hal sebenarnya pada Ibu.
Aku turun dan mengandeng mesra Risna. Ibu berdiri di depan pintu menunggu kedatanganku. Dipeluk dan diciumnya tanpa henti, menurut Ibu, baginya aku masih anak kecil yang belum bisa apa-apa. Kasih sayang Ibu memang rada berbeda. Penyebabnya, karena aku adalah satu-satunya anak lelaki dalam keluargaku.
Ibu memeluk Risna. Tak ada benci dari sorot mata Ibu. Namun, berbeda dengan Risna. Aku bisa menangkap rasa tidak sukanya pada Ibu. Sikap Risna selalu acuh ketika berhadapan dengan keluargaku.
Sebagai seorang anak dan suami. Aku senantiasa berusaha membuat keduanya rukun. Aku hanya ingin kententraman dalam rumah tangga kami. Hubunganku dengan Risna baik dan juga hubungan dengan keluargaku.
Bersambung
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
Bab 38"Bu, bagaimana ini?" tanyaku panik. Darah yang mengalir bagaikan kran air yang di buka. Jika dibiarkan Risna akan meregang nyawa.Ibu memintaku membaringkan Risna atas ranjang. Kemudian, berlari keluar memanggil suster jaga. Tak butuh waktu lama, dokter dan beberapa perawat memasuki ruang rawat Risna.Mereka berdiri kaku dengan keanehan yang terjadi. Menurut dokter, Risna sudah diberikan obat untuk menghentikan pendarahan."Pak, lebih baik Bu Risna kami rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Ini mustahil, obat dan suntikan sudah kami berikan. Ini diluar nalar." Dokter muda itu goyah dengan pernyataannya sejam yang lalu.Aku meminta rujukan ke rumah sakit tempat Luna bekerja. Meski, Risna berusaha menepis anggapan, jika dia tidak butuh pengobatan medis.Aku mengaruk kepala yang tak gatal. Berada di posisi yang serba salah seperti ini. Hatiku gamang, mempercayai dunia medis atau ucapan mistis Risna yang bisa juga dipercaya."Mas, percaya padaku. Yang aku butuh lelaki tua yang wak
Bab 37"Anak-anak bilang, Risna terkapar bersimbah darah di kamar, Wan. Ayo cepat!" Ibu terlihat sangat panik.Aku tak kalah panik membayangkan si kembar menghadapi kejadian mengerikan di depan mata mereka. Ibu memintaku tenang, fokus mengemudi.Sepanjang perjalanan menebak-nebak apa yang terjadi dengan Risna. Anak-anak tidak menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi dengan Risna. Beberapa kali Ibu menghubungi mereka, tak ada jawaban sama sekali.Setengah jam perjalanan gawaiku berdering. Kenzo mengatakan Risna sudah di bawa ke klinik terdekat. Risna bukan bunuh diri seperti dalam bayanganku. Info baru yang kutemui semakin membuat kepala mereka-reka kejadian yang menimpa Risna.Sesampai di klinik yang di maksud, aku mencari keberadaan mereka. Keduanya memelukku erat, menangis tersedu-sedu."Pak!" panggil Bibi pelan."Iya, Bi. Ibu kenapa?" tanyaku pelan. Ibu mengambil alih kedua jagoanku untuk duduk bersamanya di depan kursi tunggu."Menurut prediksi dokter Ibu pendarahan, Pak." jaw
Bab 36Ibu menatap Luna, sedetik kemudian beralih pada Mbak Mia. Seakan-akan meminta dukungan dari kedua anak perempuannya."Untuk sementara Ridwan kembali ke rumah Ibu ....""Aku bagaimana, Bu?""Huush! Ibu belum selesai bicara. Nggak sopan," desis Mbak Mia."Kamu di sini bersama anak-anak. Belajar memperbaiki diri. Jika pikiran kalian sudah tenang. Baru kita ambil keputusan terbaik. Tak perlu buru-buru," ujar Ibu disambut anggukan terpaksa dari Risna."Tuh ingat jangan main pelet lagi! Jangan sampai wajah Mbak rusak gara-gara kesalahan Mbak sendiri," ketus Luna."Benar, bertaubat lah, Ris. Minta ampun sama Allah. Perbuatan kamu selama ini musyrik," timpal Mbak Mia.Menimbang pernyataan Ibu ada benarnya. Kali ini lebih baik, mendengar nasehat Ibu. Buru-buru lepas dari Risna pun tak ada gunanya. Tisya sudah sah dalam dekapan Bintang. Melihat Risna dalam keadaan seperti ini juga sangat menyedihkan."Kalau begitu, kita pulang sekarang, Bu! Gerah di sini," ujarku tidak sabar keluar dari
Bab 35Melangkah cepat keluar. Baru hendak menuruni tangga Mbak Mia dan Risna berjalan ke arahku."Risna! Aku tidak akan memaafkanmu! Kau telah menghancurkan hidupku. Aku tidak mau hidup bersama kamu lagi. Aku ingin kita cerai!" teriakku emosi.Tubuh Risna melorot ke lantai. Secepatnya Luna berlari dari kamar. Berusaha menenangkanku, merayu agar hal ini dibicarakan baik-baik tanpa kekerasan."Papa!" suara dan langkah kaki Kenzi terdengar mendekat."Papa! Abang tidak mau Mama dan Papa berpisah!" teriak Kenzi histeris.Kutarik napas dalam, berusaha mengatur hati dan sikap di depan dua jagoanku. Melangkah menuruni tangga cepat. Keduanya memeluk erat tubuh Risna yang tertunduk di lantai. Mbak Mia mencoba menenangkan mereka."Mas, jangan! Tolong, jangan sakiti keduanya. Mereka tidak tahu apa-apa tenang ini semua. Jangan sampai trauma menghampiri mereka," bisik Luna pelan.Mbak Mia menatapku penuh harap. Mengeleng kepala pelan untuk diam sementara waktu."Kata siapa Mama dan Papa mau pisah?
Bab 34"Mas, tangkap!" teriak Luna girang saat bunga itu mengarah padaku.Dalam hitungan detik bunga itu berada dalam genggaman. Semua mata tertuju padaku. Risna menghampiri dengan tatapan tak suka."Ngapain, Mas tangkap," desisnya dengan mata melotot."Apaan sih, Mbak? Biasa saja kali, tangkap bunga, Pun," gerutu Luna dengan tatapan malas ke arah Risna."Siapa yang dapat bunganya, ayo ke depan," suara MC kembali mengema. Luna mengangkat tanganku ke atas. Tidak peduli delikan mata tak suka dari Risna."Suami Bu Risna dapat bunga pengantin. Bahaya itu, Mah," celetuk salah satu rekan kerja Risna."Iya, hati-hati lho Bu Risna. Kayaknya bakalan dapat madu," timpal wanita di sebelahnya."Pertanda buruk sepertinya Bu Risna. Suaminya pengen daun muda, tu," cerocos rekan kerja Risna tanpa jeda.Risna menatap mereka jengah."kebetulan saja, Bu. Tidak mungkinlah suami saya mencari yang lain." Risna mengapit lenganku manja."Hmmm! Apa lagi Bu Risna dah mulai tertutup seperti ini. Bahaya lho ke je
Bab 33Aku kembali melangkah ke dalam, mengamati keadaan sekitar. Sungguh tak mampu dijelaskan dengan kata-kata persiapan Bintang menyunting Tisya. Luar biasa-tidak cukup mewakili indah dan mewah acara yang Bintang persiapkan untuk wanita yang masih bertahta di hatiku.Beberapa awak media dari berbagai stasiun TV ikut andil dalam penghelatan akbar ini. Tak bisa dipungkiri keluarga Bintang salah satu crazy rich Indonesia.Akad nikah akan segera di mulai. Terlihat Bintang berjalan dengan balutan baju pengantin berwarna putih. Aura ketampanan Bintang tak mampu dilukis dengan kata. Ketampanannya tak sebanding denganku.Aku mengambil posisi dibagian depan. Tak lama kemudian, Risna datang dan duduk di sampingku. Mbak Mia juga tidak ketinggalan.Dalam hitungan menit Tisya akan menjadi milik lelaki lain. Kebodohan terbesar, melepas wanita hebat tanpa cela. Andai waktu bisa diputar, ingin rasanya semua kembali seperti sedia kala.Huh! Aku mencari keberadaan Tisya, Ibu dan juga Luna. Mereka bel
Bab 32"Gila! Tisya itu sudah gila. Buat peraturan sesuka hati dia. Sok kaya, gerutuku kesal."Peraturan gila khusus buat istri Mas tercinta. Yang duluan berbuat gila pada Mbak Tisya. Udah yuk, Mas. Mandi sana, kita pergi bareng," ajak Luna dengan mata yang tak berhenti berkedip-kedip.Aku kembali membenamkan wajahku ke sofa. Menutup kedua telinga agar suara Luna dan Mbak Mia tidak bisa kudengar."Mas, dengerin Luna! Bangun, kita pergi bareng. Luna janji nggak julid lagi sama Mas. Ayo!" Entah angin apa yang merasuki Luna. Dia terlihat lebih lembut kepadaku.Aku melangkah menuju kamar, Luna membawakanku dan Risna baju untuk pergi ke acara pernikahan Tisya dan Bintang. Gejolak senantiasa menguasai hati. Akankah aku sanggup melihat Tisya menjadi milik Bintang."Mas!" panggil Risna pelan. Sejak kebohongannya terbongkar, Risna menjadi lebih pendiam. Namun, perubahannya tidak memberi dampak apa-apa untukku. Perlahan hatiku mulai membatu untuknya."Jangan bicara apa-apa, aku nggak mau moodku