Share

Risna di Mata Keluargaku

MY WIFE SECRET

PART 3

Ibu menyambut kedatangan Risna dengan senyum bahagia. Kami dipersilahkan masuk. Belum sampai sepuluh menit Risna duduk manis. Ucapan Ibu membuatnya mendelik kesal ke arahku.

"Ris, bantu Luna sama Mia di dapur, ya," ujar Ibu lembut.

Risna mengeleng pelan ke arahku.  Dia tidak terbiasa dengan dapur. Hal yang membuatnya kesal jika bertandang ke rumah Ibu. Bermacam alibi dia keluarkan. Salah satunya, kukunya akan rusak jika harus mencuci piring atau semacamnya.

"Pergilah, bantu yang Adek bisa saja," ujarku pelan. Ibu tersenyum seraya membuang muka mendengar ucapanku.

Risna berjalan ke dapur dengan terpaksa. Tertawa geli melihat tingkahnya. Beberapa kali dia menoleh ke arahku. Aku mengulas senyum manis untuknya. Memberi isyarat, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Ibu mengajakku duduk dipondok depan rumah. Tempat yang sering aku habiskan untuk bersantai pada masa remaja. Suasana yang mengingatkanku pada almarhum Ayah.

"Ibu lihat, kamu terlalu memanjakan istri kamu, Wan," ujarnya dengan tatapan yang membuatku salah tingkah.

"Wan hanya ingin memberikan yang terbaik untuk istri Wan, Bu. Seperti Ayah yang selalu membahagiakan Ibu," jawabku pelan.

Aku selalu bangga melihat cara Ayah memperlakukan Ibu. Tidak pernah ada perdebatan antara mereka. Semua berjalan aman dan damai. Masa kecil yang bahagia. Dari dulu, aku selalu bertekad membahagiakan keluarga kecilku. 

Ibu menghela napas panjang. Lalu berkata,"Wan, suami itu pemimpin dalam keluarga. Setiap kepemimpinannya akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Sayang boleh, tapi jangan sampai rasa sayang yang menjerumuskan Wan ke Neraka. Lihat cara berpakaian Risna. Sembilan tahun tidak berubah. Ibu bicara seperti ini bukan karena Ibu tidak suka sama istrinya Wan. Namun, Ibu ingin Wan mampu membawa keluarga kecil Wan ke jalan yang benar."

Aku berusaha menjelaskan kepada Ibu. Berulang kali sudah sudah menasehati Risna. Namun dia tetap pada pendiriannya. Suka dengan pakaian terbuka tanpa hijab. Aku memilih diam, dari pada hubunganku berantakan.

"Ibu bukan mengatur rumah tangga Wan. Namun, Ibu hanya mengingatkan yang terbaik untuk Wan. Hidup hanya sementara, akhirat selama-lamanya," nasehat Ibu seraya membelai pundakku pelan.

"Maafkan Wan. Wan sudah melukai hati Ibu," lirihku dengan bulir bening mulai menyembul disudut mata.

Ibu mengernyitkan dahi, membingkai wajahku dengan kedua tangannya.

"Maksud Wan, apa?"

"Wan belum bisa menjadi suami yang baik. Wan belum mampu memberi cucu untuk Ibu. Wan juga melukai hati Ibu dengan menolak menikahi Tisya," ungkapku satu persatu.

Ibu menyeka air mataku dengan ujung jemarinya yang mulai keriput. Tatapan matanya tetap sama, meneduhkan ke ulu hati.

"Mulai sekarang berusahalah merubah Risna ke arah yang lebih baik. Masalah cucu itu urusan Allah. Kemarin Tisya datang ke sini. Katanya dia baru pulang dari kota, untuk kedepannya dia akan satu kantor lagi dengan Risna."

Aku terkejut dengan ucapan Ibu.  Bagaimana jika dia menyampaikan hal yang sama pada Ibu? Wanita itu terlalu lancang menganggu kehidupanku.

"Tisya bilang apa , Bu?" tanyaku pelan. Aku tak ingin Risna mendengar dan salah paham.

"Dia cuma silaturrahmi sama Ibu. Dia sering datang ke sini, cuma ibu nggak ngomong sama kamu. Hubungan dia dengan Mia dan Luna juga masih baik," jawab Ibu dengan wajah semringah. 

Hah! Wanita itu masih saja menganggu keluargaku. Apa yang kamu lakukan, Tisya? 

Geram dengan sikapnya yang terus- menerus mengangguku dan keluargaku.

Namun, aku lega mendengar penuturan Ibu. Setidaknya, Tisya tidak mengadu yang bukan-bukan pada Ibu. Jangan sampai penilaian Ibu pada Risna semakin buruk dengan berita yang disampaikan oleh Tisya.

"Mas!" teriak Risna dari dalam. Aku bergegas menghampirinya. Terpaksa obrolanku dengan Ibu terputus.

"Ada apa, Dek?" tanyaku panik.

"Mas, aku kecipratan minyak panas. Mbak Mia jahat, aku disuruh goreng ikan," keluh Risna membuatku tertawa.

Risna memperlihatkan tangannya yang sebenarnya tidak terlihat bekas kecipratan minyak. Namun, bagi Risna itu merupakan hal besar.

"Wan, bukan Salah Mbak. Istri kamu tu aneh, Mbak minta tolong cuci piring takut kukunya patah. Mbak suruh potong sayur takut kukunya rusak. Eh, Mbak suruh goreng ikan, dilempar ikannya ke wajan. Ya, kecipratan akhirnya," jelas Mbak Mia dengan kekehan penuh arti.

"Iya tuh, Mbak Risna aneh," celutuk Luna.

"Tuh, Mas lihat mereka memang mau ngerjain aku." Risna bergelayut manja di lenganku.

"Nggak, siapa yang mau ngerjain Mbak. Nggak ada, Mbak aja yang manja," jawab Luna dengan senyum mengejek.

"Luna!" pekik Risna kesal.

"Sudah-sudah, Mia sama Luna lanjut masak. Risna istirahat saja di kamar, ya," ujar Ibu seraya merangkul Risna.

Ibu mengarahkan Risna menuju kamar yang telah Ibu siapkan. 

Aku mengikuti Mia dan Luna ke dapur. Mereka berdua terus menertawakan Risna. Satu hal yang membuat aku salut kepada kedua saudaraku. Meski mereka kurang menyukai Risna. Namun, aku tidak pernah mendengar kata-kata kotor dari mulut mereka berdua untuk Risna.

"Mas, udah ke dokter belum?" tanya sibungsu-Luna.

Huufh! Pertanyaan itu terlontar lagi dari Luna. Menyebalkan memang. Namun, harus tenang menghadapi situasi seperti ini.

"Ngapain ke dokter, Lun?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi heran. Berpura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Luna.

"Mas cek kesehatanlah, udah jalan sembilan tahun, kalian juga belum punya momongan," jawab Luna seraya memasukkan ikan dalam pengorengan.

Aku melihat ke arah depan. Sepertinya Ibu masih sibuk dengan Risna. Aku menghela napas panjang. Haruskan aku mengatakan sejujurnya pada kedua saudaraku?

Berat rasanya harus mengungkap kenyataan yang menyesakkan dada. Empat tahun aku menyimpannya. Meratapi nasib yang tak berpihak kepadaku. 

"Wan, benar apa yang dikatakan oleh Luna. Kami berdua sudah punya, sayang kamu belum. Anak itu titipan Allah. Namun, kita harus berusaha semaksimal mungkin," celutuk Mbak Mia yang sibuk dengan sayur ditangannya.

"Wan sudah pernah cek kesehatan empat tahun lalu," jawabku sepelan mungkin. Akhirnya, kalimat itu meluncur dari mulutku.

"Hasilnya?" tanya mereka hampir berbarengan.

"Tapi jangan bilang Ibu, ya?" pintaku dengan wajah memelas.

Mereka berdua melangkah mendekatiku. Tak sabar menunggu jawaban yang akan keluar dari bibirku. 

"Mas mandul," lirihku pelan. Hati berderit terluka, ketika kata itu keluar dari mulutku.

"Tidak mungkin," jawab Luna spontan

Dia menatapku dengan wajah tak percaya. Lalu, mengelengkan wajahnya ke arah Mbak Mia. Mereka berdua saling pandang. 

"Tidak mungkin, testnya salah. Keluarga kita tidak punya keluhan seperti itu. Anak Mbak udah empat, anak Luna dua, tidak mungkin kamu mandul, Wan," ungkap Mbak Mia tak percaya. Ada gurat kecewa di raut wajah cantiknya.

"Mas tes kesehatan sama siapa? Nama dokternya?" selidik Luna.

"Dokter Dhanu Bratayuda," jawabku.

"Kamu kenal, Lun?" tanya Mbak Mia. Menatap Luna tak sabar.

Pertanyaan Mbak Mia bukan tanpa sebab. Luna berprofesi sebagai dokter umum salah satu rumah sakit terkemuka di daerah kami tinggal. Tentunya, banyak dokter yang dikenali. 

"Dokter Dhanu Bratayuda itu sahabatnya Mbak Risna, 'kan?" tanya Luna pelan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status