Share

Gelisah

MY WIFE'S SECRET

PART 7

Kubaringkan tubuh atas sofa keong. Pikiran menerawang kembali dengan rentetan cerita yang terjadi di rumah Ibu. Teringat akan ucapan Luna tentang Dokter Dhanu yang telah dipecat lima tahun lalu. Hasil tes kesuburanku empat tahun lalu. Artinya dia sudah dipecat dari rumah sakit tempat dia bekerja.

Keraguanku semakin menjadi. Risna membawaku ke klinik ilegal. Apa maksudnya semua ini? Logikaku mulai berfungsi. Aku tidak akan menyia-nyiakan tawaran Luna untuk tes kesuburan. Keraguan semakin merasuki relung jiwa.

Kuraih gawai dalam saku celana. Iseng membuka aplikasi g****e untuk mencari tahu tentang implan yang Tisya katakan padaku tempo hari.

"Mas lagi ngapain, kok asyik kali sama gawainya." Suara Risna membuat gawai ditangan terjatuh ke pangkuan. Padahal, belum sempat aku membaca artikel yang baru saja aku buka.

Sial, kenapa tiba-tiba dia bisa berada di belakangku? Bukankah dia sudah terlelap?

Pertanyaan yang tertuju untuk diriku, tanpa perlu dijawab oleh orang lain. Mengulas senyum indah untuknya. Mencoba tenang menghadapi Risna. 

Dia mengambil tempat untuk duduk di sampingku. Jemari lentiknya meraih benda pipih yang jatuh di pangkuanku.  Menatap sekilas, Lalu, diletakkan di meja kecil di sampingnya.

Akankah riwayatku akan segera tamat setelah ini. Semuanya membingungkan.

"Apa pun yang terjadi jangan pernah tinggal Adek, ya," ujarnya pelan.

Suaranya mendayu, membuat naluri kelelakian kubangkit. Namun. Kuredam untuk sementara waktu. Ini saat yang tepat untuk menasehatinya.

"Mas tidak akan ninggalin Adek. Akan tetapi Adek harus janji berubah ke arah yang lebih baik," ujarku dengan menjalin jemarinya dengan jemariku.

Dia terdiam, pandangannya lurus ke depan. Dadanya terlihat naik turun. Aku yakin, sedang terjadi gejolak dahsyat di dalam sana.

"Iya, tapi Mas janji sama adek. Jangan pernah dengerin kata orang lain yang buruk tentang adek. Apalagi kata-kata si perawan tua itu," ujar Risna. Aku sudah lega dengan bahasa lembutnya. Akan tetapi ujungnya tetap menjelek-jelekkan Tisya.

Aku tidak membantah, karena jujur aku masih berang dengan ulah Tisya yang membawa fitnah tentang Risna kepada keluargaku.

"Mas sayang sama Adek, jadi secara otomatis mas akan berusaha mencintai adek semampu mas. Kita berubah pelan-pelan. Mas yakin adek bisa," ujarku lembut. Tak ada gunanya berteriak pada Risna. Karena suaranya melebihi daripada nada tinggi suaraku.

Risna mengangguk pelan tanpa bicara. Aku tidak tahu hal apa yang membuatnya  berubah dalam sekejap. Mungkinkah dia tahu, jika aku sedang menaruh curiga untuknya?

Entah kenapa setiap aku mau tegas kepada Risna. Mulutku seperti terkunci saat melihat wajah cantiknya. Kulit putih bersih, hidung mancung terpahat sempurna melengkapi kecantikannya. Sehingga, aku tergila-gila dengan Risna.

****

"Mas, anterin adek ke kantor, ya," rengeknya pagi ini.

Aku menatapnya sekilas seraya memasukkan roti ke dalam mulut. Penampilannya membuat aku pangling pagi ini. Baju lengan panjang dengan celana panjang membalut tubuhnya. Walau dia belum berhijab, tapi sudah mulai tertutup.

"Iya, tumben nggak bawa mobil?" selidikku.

"Lagi pengen Mas antar, memangnya tidak boleh, Mas?" tanyanya manja.

Aku mengangguk pelan, segera menyelesaikan sarapan. Melanjutkan mengeluarkan mobil di garasi. Risna mengikutiku dari belakang. Andai tiap hari dia semanis gula jawa, tentunya semua orang akan menyukainya.

Aku membukakan pintu mobil untuknya. Dilabuhkan kecupan hangat di pipiku. Hal yang mulai Risna lakukan, kecuali di ranjang. Tak banyak bertanya, dari pada moodnya hancur kembali.

Sepanjang perjalanan, Risna berceloteh banyak hal kepadaku. Hingga tak sadar, mobilku sudah memasuki area kantornya. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke kantor Risna yang lumayan jauh.

Aku turun dan membukakan pintu mobil. Risna menyunggingkan senyum termanisnya untukku.

"Terima kasih sayang, nanti jangan lupa jemput adek, ya," ujarnya seraya memelukku. Sikap yang berlebihan menurutku.

"Siap!"

"Hati-hati di jalan, Adek sayang Mas," bisiknya di telingaku.

Aku hanya mengeleng kepala bingung. Menatap langkahnya memasuki pintu kantor. Baru saja hendak memasuki mobil, aku melihat Tisya lewat di hadapanku menggunakan motor.

Mengurungkan niatku pulang. Aku harus berbicara pada Tisya. Kelancangannya membuat keluarga berpikiran buruk pada Risna.

Aku melangkah ke area parkir motor. Tisya berjalan dengan kepala menunduk. Penampilannya tak berubah, sederhana. Tisya dan Risna bagaikan bumi dan langit dalam hal penampilan. Jika soal wajah, Tisya lebih alami dan natural dibanding Risna yang melakukan berbagai perawatan. Bahkan puluhan juta tak cukup baginya.

"Berhenti, aku ingin bicara sebentar," ujarku dingin.

Tisya berhenti, menatapku sekilas. Tatapannya teduh dan menenangkan. Ah! Aku tidak boleh tergoda. Dia masa laluku yang berniat menghancurkan hidupku. Pikiran yang kutanamkan dalam memori.

"Ada apa, Mas?" Suaranya mengalun lembut di telinga.

"Apa maksud kamu memfitnah Risna pada keluargaku. Kamu mau apa? Jangan pernah bermimpi, jika aku akan sudi kembali padamu," ucapku kesal.

"Mas, Tisya memang menyimpan cinta di hati untuk Mas. Namun, perlu Mas ingat, Tisya tidak ada berniat mengambil Mas dari istrinya Mas. Tisya hanya ingin Mas membuka mata Mas, jika Risna membohongi Mas. Itu saja tidak lebih," dalihnya membuatku semakin geram.

"Alah! Alasan saja, aku tahu kamu rela menjadi perawan tua, demi menunggu aku kembali padamu, 'kan?"

Plak!

Tangan lembut Tisya mendarat sempurna di wajah tampanku. Hingga tangannya diturunkan, masih tersisa nyeri dalam aliran darah.

"Mas dengar, aku menyimpan cinta bukan berarti aku akan mengemis cinta kepada Mas lagi. Aku hanya sayang sama Mas. Kalau memang Mas tidak percaya ya sudah. Tidak perlu menghinaku. Masalah aku mau nikah atau tidak urusanku. Aku akan menikah dengan  lelaki yang lebih semuanya dari Mas!"

Aku tersenyum sarkas mendengar omongan kosong yang sedang Tisya katakan.

"Kamu hanya pegawai rendahan, jangan bermimpi bisa mendapatkan bos," selaku cepat.

Tisya bertepuk tangan mendengar ucapanku. Tatapannya tajam menusuk ulu hati.

"Itu mimpiku. Kenapa Mas yang sewot. Dimana-mana orang akan berlomba mendapatkan yang terbaik. Bukan malah memilih yang buruk dan tukang tipu," sindir Tisya keji.

"Percuma bicara dengan wanita nggak waras seperti kamu. Intinya, jangan campurin urusan keluargaku!" sentakku.

"Baik, aku tidak akan mencampuri urusan keluarga Mas. Namun ingat. Jangan pernah mencariku, jika suatu saat semua kebohongan istrimu terbongkar. Mungkin di saat itu aku akan tertawa dan Mas menangis," ujarnya dengan kekehan menyebalkan.

"Kamu ...,"

"Kamu apa, Mas? Sudahlah, aku sudah telat. Jangan berpikir aku masih menginginkanmu lagi. Ingat aku hanya kasihan. Kasihan tidak lebih!" tegas Tisya dan berlalu dari hadapanku.

Aku tak menyangka dia bisa setenang sekarang. Dua hari yang lalu dia masih menangis menemuiku. Aku menarik rambutku kasar. Sikap keras kepala Tisya tak pernah berubah.

Dddrrt!

Gawaiku berdering, segera kuraih benda pipih di dalam saku celana. Tertera nama Luna di layar.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikum salam, ada apa, Lun?"

"Mas ke rumah sakit sekarang, aku sudah buat janji sama Dokter Ferdinan."

"Harus sekarang, tidak bisa besok atau kapan gitu?"

"Mas Ridwan tersayang, lebih cepat lebih baik. Ingat Mas sudah janji sama Luna. Mas nggak mau Luna marah, 'kan?"

"Iya, iya, iya! Mas akan ke sana sekarang."

Aku menutup sambungan telepon dengan nada jengkel. Dimana-mana wanita semuanya sama. Sikap dominan yang sering ada pada mereka ; egois, suka mengancam dan  keras kepala membuat lelaki bersusah payah harus mengerti setiap kemauan mereka. Aku menggerutu seorang diri, memacu mobil dalam kecepatan tinggi. Tujuan sekarang, rumah sakit tempat Luna bekerja.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status