Share

3. Cemburu Pada Sang Merpati

[Bangun, Mas.]

Suara Tiara terdengar lirih di telpon. Sudah menjadi hal yang biasa, setiap pagi Tiara bertugas membangunkan mantan suaminya, meski status sudah tak lagi mahrom.

[Iya Sayang, Mas sudah bangun. Gimana semalam, sudah?]

[Belum, Mas.]

[Kenapa belum?

Terdengar suara Wira sedikit meninggi. Lelaki itu memang cepat naik darah jika kemauannya tak segera dituruti. Itu yang membuat Tiara kadang mengeluh dalam diam. Tapi rasa cinta dan kagum, menutupi semua itu. Ya, Tiara sangat mencintai Wira, juga begitu kagum akan segala yang dimiliki mantan suaminya itu.

[Mas Yudhi minta waktu, Mas.]

[Waktu, untuk apa?]

[Dia mau mengenal Tiara lebih dekat.]

[Astaga Tiara, itu cuma taktik dia doank. Dia ingin memiliki hatimu, hingga kau sulit untuk lepas darinya. Mana mungkin manusia normal seranjang sama perempuan nggak bereaksi. Mas nggak percaya!]

Tiara terdiam. Wira yang menyadari telah terlanjur meninggikan suara, seketika merasa bersalah.

[Yank ...]

Tiara tetap bergeming, air mata sudah mulai mengenang di pelupuk.

[Maaf, Yank. Mas hanya takut kehilangan kamu. Mas mencintai, dan tidak ingin laki-laki lain memiliki hatimu.]

Isak Tiara kini terdengar di telinga Wira.

[Jangan nangis Yank, Mas minta maaf. Mas janji nggak akan maksa kamu lagi.]

Belum selesai Tiara menjawab, wanita itu keduluan tersentak. Terdengar suara seseorang dari luar kamar. Dengan cepat ia memberitahu Wira dan mematikan telpon.

Segera Tiara memperbaiki posisinya, sedang beberapa meter di hadapan, pintu kamar mulai terbuka, dan Yudhi menyembul di balik itu.

"Mas Yudhi?"

"Kamu sudah bangun?"

"Mas darimana?"

"Mas habis sahur di dapur. Setiap senin-kamis, Mas terbiasa puasa sunnah."

"Lho, kok nggak banguni Tiara? Jadi Mas sahurnya pakai apa?"

Yudhi tersenyum sambil berjalan untuk kemudian duduk di atas ranjang.

"Ada nasi dalam rice cooker, juga ada telor dalam kulkas. Jadi Mas olah jadi nasi goreng telur dadar. Mas juga sisakan buat Adik sarapan pagi ini."

Tiara memandang lelaki itu dengan tatapan iba, apa yang dilakukan Yudhi mengetuk mata hatinya. Ia tahu suaminya kini memiliki kelebihan dalam beberapa hal, tapi ia tak ingin menyelingkuhi Wira.

"Harusnya Mas bangunin Tiara, biar Tiara yang siapkan," ucap Tiara berusaha mendamaikan rasa bersalahnya.

"Wes tadi kamu tidurnya nyenyak banget, nggak sampai hati Mas buat bangunkan."

"Tapi Tiara jadi nggak enak Mas."

"Kenapa jadi nggak enak, rumah tangga itukan dibangun diatas kerja sama. Nabi saja pernah mengaku tengah berpuasa pada isterinya Aisyah, saat mendapati meja makan di kediaman Aisyah kosong tanpa makanan. Suami istri itu harus saling pengertian, supaya langgeng nggak berantem terus."

Yudhi bercerita panjang lebar sambil menjawil hidung bangir Tiara. Wanita itu menarik napas dalam, merasa ada yang tersentuh di dasar hatinya.

"Tapi karena sekarang kamu sudah bangun, kita subuh berjamaah, ya."

Tiara terkesiap. Selama empat tahun menikah dengan Wira, tak sekalipun lelaki itu memimpin shalat dengan dirinya sebagai makmum. 

Tidak hanya itu, bahkan diusianya yang kini sudah genap tiga puluh tahun, Tiara merasa sesekali masih meninggalkan shalat meski sedang tidak menstruasi. Sungguh bersama Yudhi, Tiara merasa dirinya seumpama seorang cacat yang disandingkan dengan manusia sempurna.

Allahuakbar Allahuakbar ...

"Nah, suara azan. Mas wudhu duluan ya, Dik."

Yudhi mengakhiri perbincangan mereka dengan ciuman singkat di kening.

***

Mereka telah selesai melaksanakan shalat berjamaah. Tiara mengecup punggung tangan suaminya sekilas. Lalu khusuk dalam doa. 

Saat ia membuka mata, didapati Yudhi duduk sambil memandanginya.

"Ada apa, Mas? Kok mandangin Tiara begitu?"

Yudhi menggeleng sambil tersenyum.

"Dulu saat mantan istri Mas masih hidup, dia selalu berdoa seperti yang kamu lakukan barusan. Padahal Mas sudah membaca doa bersama yang dia aminkan. Wah, kok jadi ingat dia, ya?"

Lelaki itu salah tingkah sambil menyugar rambut.

"Nggak papa, Mas. Jadi doa Almarhumah yang kedua isinya apa, Mas."

"Katanya, dia mau doa pribadi sama Allah pakai bahasa cinta."

Tiara terhenyak, tampak serius nendengar.

"Mas nggak pernah nanya dia berdoa apa, sampai malam itu, malam terakhir kami bersama, ia jujur."

"Almarhumah berdoa apa, Mas?"

"Ternyata selama ini ia meminta sama Allah, agar Mas selalu mencintai, menyayangi, dan jika suatu ketika ia pergi terlebih dahulu, agar Mas mencari penggantinya. Dia meminta agar Mas mencintai dan menyayangi wanita itu sama seperti yang Mas lakukan padanya," kenang lelaki itu dengan mata berkaca-kaca.

Tiara terenyuh, tanpa sadar ia mengusap air mata yang mengalir di sudut mata Yudhi. Saat hendak menarik kembali tangannya, lelaki itu berusaha menahan.

"Maukah kamu menerima semua perasaan ini Tiara?"

Dentuman dahsyat menghentak jantung Tiara. Ia menelan saliva. Perasaan berdosa menghujam tubuhnya hingga tak kuasa untuk menjawab.

Tiara memilih menunduk.

"Kamu nggak mau Mas cintai?"

"Em ... Mau, Mas," jawabnya dengan hati yang tercabik-cabik. 

Untuk apa berbohong, harusnya ia jujur. Satu sisi hati berkata. Tapi tidak dengan sisi lainnya. Jujur akan membuat Yudhi membencinya. Tiara bimbang. Pertanyaan demi pertanyaan membuat otak terasa mau meledak.

"Alhamdulillah."

Sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala wanita itu.

"Muliakanlah istri hamba ya Allah, terima ibadahnya, sinari hatinya dengan cahaya keimanan. Buatlah ia mencintai hamba dan melupakan mantan suaminya. Fuih ...."

Embusan napas terasa di ubun-ubun Tiara. Wanita itu mengangkat wajah dan mendapati Yudhi tersenyum usil ke arahnya.

"Hari ini masih libur kerja 'kan?"

Tiara mengangguk.

"Kita ke rumah orang tua Mas, ya?"

Pandangan Tiara buram, ia tidak mau kemana-mana selain bertemu Danu. Rindunya pada sang buah hati sudah teramat dalam. Belum pernah satu malam pun ia lalui tanpa melihat dan mengelus kepala bocah itu.

"Tapi saya rindu Danu, Mas."

"Gampang, kita ajak Danu sekalian," jawabnya asal.

"Nggak semudah itu, Mas. Pasti Mas Wira nggak mengijinkan."

"Hemm ... Lalu?"

"Saya ingin menjenguk Danu terlebih dahulu, Mas."

Emm ... Boleh, nanti kita ke rumah mantan suami Adik."

"Tapi saya nggak mau Mas menampakkan diri di hadapan Danu."

"Kenapa?"

"Dia pasti akan bertanya Mas siapa?"

"Katakan saja ayah baru buatnya."

"Dia masih kecil Mas, tidak boleh tahu jika saya dan Mas Wira sudah berpisah."

"Lhok, emang mau sampai kapan disembunyikan."

"Sampai ...."

Tiara menghentikan ucapannya. Harusnya memang tidak perlu jujur selamanya, jika dia berhasil melepaskan diri dari pernikahan ini. Tapi bagaimana harus menjawab saat untuk saat ini. Tiara memilih bungkam sementara waktu.

"Jika sudah cukup dewasa pemikirannya, barulah saya akan memberitahu bahwa saya dan papanya sudah berpisah, Mas."

Yudhi bergeming. Kemarin Tiara memaksanya menikah cepat dibawah tangan (nikah siri) sambil menunggu pelaporan perceraian diajukan wanita itu ke pengadilan agama. Sekarang Tiara kembali meminta keikhlasannya untuk mengijinkan dia kembali ke rumah mantan suaminya tanpa dampingan.

Gerahamnya merapat, desir cemburu hampir membakar jiwa. Jika tak ingat dirinya tengah berpuasa, ia akan membiarkan rasa itu merajai hati dan meminta tanggung jawab pada wanita yang sudah membuat rasa itu hadir.

Apa yang harus ia katakan, sedang ia tahu, haram hukumnya membiarkan istri bertemu dengan mantan suami di dalam sebuah rumah tanpa mahrom lain yang menemani?

***

Note : Nikah siri

Pernikahan siri di Indonesia sah menurut agama Islam selama rukunnya terpenuhi. Rukun pernikahan dalam Islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, serta ijab dan kabul.

Meski demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan agar umat tak menikah siri dan memilih pernikahan resmi sesuai hukum yang berlaku.

Nikah siri tidak diakui negara. Kalau perkawinan tak dicatat oleh negara, berarti tak ada bukti bahwa seseorang itu sudah menikah.

Seandainya suatu saat suami memberikan perlakuan tak baik, seperti memudaratkan, menimbulkan penderitaan, atau menelantarkan istri dan anak, baik pihak istri atau keluarga istri idak bisa menuntut suami atau ayahnya karena tak ada bukti pernikahan. Dengan tak adanya bukti nikah, berarti istri dan anaknya tak punya kekuatan hukum. Hal inilah mengapa nikah siri itu dilarang. Karena sangat menyudutkan kaum wanita.

***

Bersambung

Utamakan baca Al-Quran.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
kasian yudhi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status