Share

ingin tau

Pagi ini, akan kutemui dia Mas," ucapku sambil bangun dan menuju ke dalam.

"Jangan Aisyah, kalau bisa kita temui dia bersama-sama. Aku belum mengutarakan perasaan sukaku, aku ingin kamulah yang menyampaikannya," kata Mas Hamdan dari ruang tamu.

Langkahku langsung tertahan mendengar dia mengucapkan hal itu. Jika dulu aku tak pernah mencela suami, maka hari ini aku ingin menyebutnya semena-mena dan seenaknya. Apa iya, aku yang akan menemui gadis muda itu dan mengatakan jika mas Hamdan menyukainya lalu dengan manisnya memakaikan cincin?

Oh ... apa dunia terbalik sekarang?!

"Tolong lepaskan aku, Mas. Jika kamu mencintaiku dan menghargaiku sebagai seorang istri dan wanita yang pernah melahirkan anak anakmu tolong hargai perasaanku, aku sungguh telah tersiksa dengan luka semalam yang kau torehkan, Mas."

Mendengarku menegaskan kalimat itu Mas Hamdan langsung terdiam, Dia terlihat tidak mau mendapatku lagi. Hanya mendengkus panjang dan menggeleng.

*

Satu jam kemudian,

Suamiku yang masih tampan dan tetap memperhatikan penampilan yaitu keluar dari kamar, dia nampak mengenakan jam tangan dan merapikan penampilannya di depan kaca.

"Sebaiknya tak usah bawa mobil, Raihan dan adiknya cukup kuat di atas motor," ucapku dingin. Aku tahu pasti jika suamiku mengendarai Terios hitam miliknya maka gadis impiannya, bisa jadi telah menunggu di ujung jalan desa, dengan alasan ke pasar juga.

"Tapi, aku takut hujan ...."

"Ada ketakutanku yang lebih besar dari hujan, aku khawatir fitnahkan mengenai dirimu dan mencoreng nama baikmu," jawabku sambil beralih ke wastafel dapur.

"Mungkin karena terbiasa bertemu dengan gadis itu setiap pagi aku merasa hari-hariku menjadi bersemangat dan sempurna, aku lupa bahwa aku sudah dewasa memiliki 2 anak dan istri yang menunggu di rumah. Perasaan cinta itu datang begitu saja tanpa bisa kuhalangi, jujur meninggikan posisimu kuungkapkan kejujuran ini dengan tegas," jawabnya yang datang menyusulku ke tempat cuci piring.

Tak sadar, dia kembali menusuk hatiku dengan belati bergerigi, dia menambahkan sayatan baru di atas luka yang sudah bernanah, luka itu mengeluarkan darah yang deras, membuatku kembali menjatuhkan air mata.

"Kalau begitu, aku akan pergi ke pasar juga," jawabku dengan suara gemetar, kuusap air mata dengan jilbab dan beralih ke dalam kamar untuk mengganti baju dan menyembunyikan tangisanku.

Kututup pintu kamar, membuka lemari dan mencari pakaianku. Dari jajaran pakaian lama aku sadar sudah tak ada lagi pakaian yang cukup bagus, yang bisa menarik hati Mas Hamdan agar tatapan matanya kembali teralihkan padaku. Kuambil gantungan pakaian satu-persatu melihat bajunya, lalu melemparnya ke ranjang.

Semakin berpikir untuk cantik semakin frustasi diri ini karena sadar selama ini aku tak mementingkan kecantikan. Kupikir suamiku akan setia seperti apapun rupa istrinya, tapi ternyata ... dia sama saja dengan pria pria lain di luar sana.

"Argggg, mengapa ini terjadi padaku ..." Aku menangis dengan suara tertahan menarik semua gantungan di dalam lemari dalam satu tarikan, aku terduduk dalam keadaan putus asa dan menangis sejadi-jadinya sambil membekap mulutku dengan tumpukan baju.

Apa salahku, menjelang ulang tahun pernikahan yang ketiga belas dia memutuskan menduakanku. Apakah semudah itu baginya? Tidak bernilaikah kesetiaan dan semua pengorbananku selama ini. Aku bahkan tidak bekerja lagi demi oermintaannya, jarang keluar rumah demi memikirkan layanan terbaik untuk keluarga ini. Mengapa semudah itu dia meminta keikhlasanku untuk membagi cintanya.

***

Mobil kami berjalan pelan di aspal kasar yang masih diselingi batu karena tidak rata, kuedarkan pandangan ke sisi kanan kiri jalan untuk memindai apakah pelakor alim itu menunggu suamiku di sana. Sebenarnya aku tak mau menyebutnya begitu, tapi rasa sakit dan kebencian di hati ini tak terbendung lagi. Aku cemburu dan iri, mengapa dia, mengapa harus gadis muda yang cantik, serta memiliki akhlak yang baik. Rasanya aku berada dalam dilema yang mau dicegah pun tak bisa. Aku ingin marah, tapi tak tahu harus pada siapa.

Di ujung gerbang desa, wanita itu terlihat berjalan dengan keranjang di tangannya. Kerudung merah muda dengan baju kurung selutut membuat gadis itu seperti mawar yang sedang mekar. Menatapnya membuatku menelan ludah, aku mengakui dia memang lebih cantik dariku, aku sedih, dadaku sesak dan hatiku makin merasa kecil.

Tanpa kuberi aba-aba, seakan otak suamiku sudah diprogram, dia mengerem dan menurunkan kaca mobilnya.

"Mbak, ayo barengan," tawar Mas Hamdan.

Wanita itu berbinar, dia tersenyum dan mengangkat wajahnya dari kerudungnya yang berenda. Tapi, binar cinta itu berubah redup ketika dia mendapatiku ada di sebelah Ma Hamdan.

Gadis itu jadi takut dan mundur sambil menggelengkan kepalanya.

"Ti-tidak, Mas, saya duluan saja."

" Ayolah, kita searah, Maura," bujuk Suamiku tanpa menimbang keberadaanku di sisinya.

"Eng-engggak, Mas. Maura jalan saja, hanya satu kilometer, kok, jawab gadis itu sambil memandangku.

Aku yang kehilangan kesabaran melihatnya seperti bermain lemah di hadapan Mas Hamdan langsung turun dan mendekat dan ...

Plak!

Kutampari gadis itu dengan sekuat tenaga yang kumiliki. Dia nyaris terjatuh anda tak menahan keseimbangannya, dia memegangi pipinya sambil menatap terkejut padaku.

"Sejak kapan kamu mulai dengan dengan suamiku?"

Dia yang ditanyai seperti itu langsung mundur dan takut, bahunya gemetar dan terus memandagi belahan jiwaku.

"Sa-saya gak dekat, Mbak, hanya kebetulan beberapa kali diantar oleh Mas Hamdan," jawabnya.

"Oh ya, apa suamiku sudah mengutarakan niatnya untuk menikahimu?!" tanyaku berkacak pinggang.

Gadis itu makin takut, dia melihat Mas Hamdan yang mulai turun dari mobil dengan mata berkaca-kaca dan kembali menundukkan kepala.

"Jawab aku!"

"Jangan ganggu dia, aku akan menikahinya dengan atau tanpa izinmu!"

Malam dan langsung menarik wanita itu ke dalam pelukannya membuatku terkesiap, sikapnya yang terang-terangan menunjukkan cinta telah menambah harga diriku, dadaku langsung berkobar kobar oleh amarah dengan pemandangan seorang gadis muda menangis sesenggukan di pelukan pria yang bukan miliknya.

Jangan tanya lagi ekspresi anak-anak yang kebetulan menyaksikan semua itu dari mobil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status