LOGINRuni berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.
Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.
Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.
Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya.
"Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe.
"Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi.
"Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, dicoba dulu Run," bujuk Yanto.
"Udahlah Mas, kalau Runi nggak mau jangan dipaksa," pungkas Viana yang mulai jengah dengan tingkah adik iparnya itu.
"Nah dengar tuh, Bang. Mbak Viana aja ngerti, makanya Abang nggak usah ngotot maksa-maksa aku."
Yanto melirik ke arah Viana dan dia melihat wajah Viana tampak masam sehingga dia memutuskan untuk tutup mulut dan tak lagi memperpanjang pembicaraan.
Yanto pun lalu melanjutkan makan malamnya.
Sementara itu, Runi makan dengan lahap. Dalam hatinya, dia mengakui bahwa rendang masakan kakak iparnya itu sangat lezat, tetapi dia gengsi untuk mengungkapkannya secara langsung.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga orang itu telah selesai makan malam.
Runi segera bangkit dari duduknya dan berniat untuk langsung menuju ke kamarnya.
"Eh, Runi, kamu mau ke mana?" tanya Viana ketika melihat adik iparnya itu hendak pergi meninggalkan meja makan.
Runi mengerutkan kening.
"Ya, aku mau ke kamarlah, Mbak. Memangnya ada apa?"
"Cuci dulu piring-piring kotor ini. Biar mbak yang merapikan meja," titah Viana.
Sepasang mata Runi melotot mendengar perintah dari Viana.
"Apa? Aku nyuci piring?" tanya Runi sambil menunjuk ke arah dirinya.
"Iya, ada masalah memangnya?" tanya Viana sambil bersedekap.
Sontak Runi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak, aku nggak mau, Mbak. Aku nggak pernah ngerjain hal-hal kayak gitu. Sama suamiku saja dulu, semua pekerjaan rumah tangga diurus ART. Masa di sini aku disuruh nyuci piring, ogah ah."
"Eh, nyadar dong! Ini bukan rumah suamimu dan di sini juga gak ada pembantu. Jadi kau harus mulai membiasakan diri untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Kalau kamu nggak bisa nyuci piring, lantas apa yang bisa kamu kerjakan?"tantang Viana sambil menatap wajah sang ipar
"Ya... Untuk pekerjaan rumah tangga memang aku nggak bisa ngerjainnya Mbak. Kan dari sebelum aku nikah dulu, kerjaan rumah tangga diurus oleh ibu, sedangkan sewaktu aku menikah ada ART yang ngerjainnya, jadi aku nggak bisa kalau disuruh begituan, Mbak," jawab Runi dengan santai.
"Jadi nggak ada yang kamu kerjakan sama sekali?" tanya Viana dengan tatapan mencemooh.
Kening Runi berkerut, kemudian dia menoleh ke arah Yanto seolah-olah meminta bantuan kepada abangnya itu.
"Bang! Ini Mbak Viana gimana sih, kok aku disuruh-suruh kayak gini?" sungut Runi.
"Mbakmu benar, Run. Kamu tinggal di sini, apa salahnya kamu membantu mbak kamu. Kalau kamu memang belum bisa, kamu kan bisa belajar. Mbakmu pasti akan dengan senang hati mengajari kamu," sahut Yanto mencoba menasehati Runi.
"Nggak, aku nggak mau, Bang. Ingat, Bang, aku ini adikmu, kau harusnya lebih membela aku daripada istrimu itu. Lagian, aku di sini adalah tamu dan bukan babu yang bisa disuruh-suruh," tolak Runi dengan nada ketus.
Seusai berkata demikian, Runi segera berjalan cepat menuju ke kamarnya.
"Runi! Berhenti di situ!"
Suara yang membahana di ruang makan itu memaksa Runi untuk berhenti. Tubuhnya berbalik, menatap tak percaya kepada si pemilik suara.
"Abang membentak aku?"
"Ya, karena kamu masih terus saja bersikap seenaknya. Di sini kita harus saling membantu. Meskipun kamu adikku, tetapi kamu harus bisa menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang berlaku di rumah ini. Dan ingat, di rumah ini tidak ada pembantu yang bisa kamu suruh – suruh, jadi kamu harus ikut membantu mbak mu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak bisa, maka belajarlah!" ungkap Yanto dengan tegas.
"Aduh...ini... benar-benar deh, aku nggak tahan lagi. Udahlah kamarnya sumpek, ranjangnya gak empuk lagi. Gimana caranya coba aku bisa tidur. Heran aku sama Bang Yanto, kok bisa-bisanya dia betah tinggal di sini. Emang dasar mental miskin, tempat kayak gini pun dia fine-fine aja."Runi mencoba kembali berbaring lalu membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang enak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Runi pun pulas tertidur.Sekian jam berlalu. Runi mengerjapkan mata kala dirasanya ada sesuatu yang menyilaukan menimpa kelopak matanya. Segera dia mengangkat satu lengannya untuk melindungi indra penglihatannya.Perlahan-lahan, dia membuka matanya dan melihat darimana asalnya sesuatu yang menyilaukan itu. Ternyata itu adalah sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang tertutup kain gorden tipis."Ughhh....jam berapa sekarang ini?" gumamnya seraya mematrikan pandangannya pada jam yang tergantung di dinding."Sudah jam sembilan rupa
"Pokoknya aku nggak mau. Titik. Bang, aku ke sini ini mau menenangkan diri pasca perceraian aku. Jadi, tolonglah Bang, jangan suruh aku mengurusi hal-hal yang aku sama sekali tak berminat untuk mengerjakannya itu," potong Runi dengan nada kesal.Seusai berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Yanto dan Viana di sana, Runi langsung masuk ke kamarnya.Yanto mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia merasa malu kepada Viana atas sikap adiknya itu. Walaupun tadi Viana tidak ikut menimpali perdebatannya dengan Runi, tetapi Yanto yakin, istrinya itu pasti sedang merasa kesal dengan adiknya itu."Dek, maafin Runi ya. Jujur, mas bingung gimana cara menghadapinya. Dia terlalu keras kepala dan selalu membuat orang kesal," ucap Yanto dengan kepala tertunduk.Viana menghembuskan nafas dengan kesal. Jika mengikuti kata hatinya saat ini, ingin rasanya dia langsung menyeret Runi ke dapur. Namun, mengingat Runi yang mungkin saja masih merasa lelah karena perjalanan jauh, maka Viana masih
Runi berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya."Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe."Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi."Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, di
Sementara itu, Yanto yang masih berada dalam kamar tiba – tiba merasa menyesal telah memarahi Viana. Dalam hatinya, dia menyadari bahwa Runi lah yang bersalah dalam hal ini. Oleh karena itu, dia berniat menyusul istrinya untuk minta maaf."Dek, maafin mas atas sikap mas tadi. Mas telah menyakiti hati kamu," ucap Yanto yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Viana.Viana bergeming. Jujur, untuk saat ini, dia masih malas bertatap muka dengan suaminya itu. Bayang-bayang perdebatan dengan suaminya tadi masih menari-nari di pelupuk matanya.Sakit rasanya mendapat bentakan dari seseorang yang selama ini bersikap lembut kepadanya hanya demi membela adiknya yang menurut Viana tidak pantas dibela.Viana mencoba mengeraskan hati untuk mengabaikan suaminya itu.Akan tetapi, hati kecilnya justru memerintahkan yang sebaliknya. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Viana tersadar bahwa posisi suaminya itu serba salah. Di satu sisi, ada istri yang harus dijaga perasaannya, sedangkan di sisi lain, ada
"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu." Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana."Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhn
"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"Plak!Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya."Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya."Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya."Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang a







