"A-apa?" Embun tergagap disertai bulir bening yang lolos begitu saja dari sudut mata. Hatinya pedih tak tertahankan setelah mendengar permintaan sang suami.
Embun segera menarik tangannya dari genggaman Lintang. Akankah kisah lama terulang kembali? Embunn pikir bahagia sudah seutuhnya menjadi miliknya. Namun, ternyata hanya singgah sesaat sebelum pergi dan meninggalkan luka."Dari dulu sudah kukatakan kalau aku ini tidak sempurna, tapi Mas tetap yakin ingin menikahiku dengan menjanjikan segudang kebahagiaan. Sekarang apa? Mas ingkari semua itu." Dada Embun sesak mengingat setahun yang lalu betapa Lintang berusaha keras meyakinkan dirinya untuk menjadi pendamping hidup lelaki itu."Maafkan aku, Embun. Tidak ada sedikitpun niatku menyakitimu." Lintang tertunduk, tidak memiliki kekuatan menatap sepasang manik basah sang istri. Jujur hatinya juga terluka melihat orang yang sangat dicintainya terluka, terlebih dirinya penyebabnya."Tapi kamu sudah menyakitiku, Mas! Kamu sudah tahu segalanya tentang hidupku, bahkan seluruh hatiku sudah kuserahkan seutuhnya untukmu karena aku percaya kamu tidak akan menyakitiku seperti yang mantanku lakukan," ucap Embun disertai derai air mata yang mengalir deras. Embun menangis tersedu-sedu karena kenyataan pahit kembali datang."Embun … aku sangat mencintaimu. Aku tulus menerima kamu apa adanya, tapi aku terpaksa harus melakukan ini. Maafkan aku, Embun." Lintang meraih tangan Embun dan menggenggamnya, mata laki-laki itu berkaca-kaca."Kalau Mas mencintaiku kenapa Mas tega melakukan itu? Mas pasti tau aku akan terluka, tapi Mas tetap melakukannya!" Embun Menarik tangan dari genggaman Lintang, rasanya genggaman itu semakin meremukkan jantungnya."Maafkan aku, Embun. Maafkanlah aku." Suara Lintang bergetar sambil berusaha meraih tangan Embun. Namun, Embun menepisnya."Tolong mengertilah, Embun. Andai aku bukan anak tunggal keluarga Svarga, tentu aku tidak akan melakukan ini. Orang tuaku sangat menginginkan keturunan dari darah dagingnya sendiri, siapa lagi kalau bukan aku." Kali ini Lintang bersimpuh di kaki Embun."Baik, aku mengerti." Embun menyeka air mata dan menekan sesak di dada."Menikahlah dengan wanita yang bisa melahirkan keturunan untukmu dan ceraikan aku!" lanjut Embun datar. Kalimat itu bagai sebuah pedang yang menancap di jantung Lintang. Lelaki itu tidak ingin berpisah dari Embun apapun keadaannya."Tidak, Embun. Aku tidak akan menceraikan kamu, aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa kehilangan kamu.""Apa Maksudmu, Mas? Mas ingin menikah lagi, tapi tidak mau menceraikan aku? Mas pikir aku mau berbagi dengan istri barumu?" Embun menatap Tajam Lintang yang masih bersimpuh."Tolong mengertilah Embun, aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku janji akan berlaku adil.""Aku tidak yakin Mas bisa menepati janji. Aku lelah jika harus tertipu lagi. Cukup dua lelaki saja sudah menghancurkan aku, Mas dan Eros. Aku memang tidak sempurna dan tidak pantas untuk lelaki manapun, seharusnya aku sadar diri sejak awal. Pergilah, biarkan aku sendiri." Setelah berkata demikian Embun segera berlari menuju kamar, tentu saja Lintang tidak tinggal Diam, lelaki itu mengejar lalu memeluk Embun."Lepaskan aku!" Embun memberontak. Lintang bergeming dan semakin mempererat pelukannya. Embun terus memberontak, meski tidak bisa terlepas, pelukan itu kini tidak lagi memberikan kenyamanan."Lepas!""Tidak, Embun. Aku mencintaimu!""Bohong!" Tangis Embun kembali deras, rasanya sangat sakit berada dalam dekapan sang suami.Detik berikutnya Lintang menjatuhkan tubuh Embun di atas tempat tidur dan siap melakukan kewajibannya untuk meluluhkan wanita itu. Namun, kali ini Embun menolak keras. Embun benci jika Lintang harus menyentuhnya saat itu juga, dia baru saja terluka."Percuma kita melakukan itu, aku tidak akan pernah hamil!" pekik Embun lalu berlari ke dalam kamar mandi untuk menghindari Lintang. Lelaki itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dan memanggil nama sang istri."Embun, buka please!""Embun, Sayang. Aku ini suami kamu, wajar aku ingin melakukannya karena aku mencintaimu.""Embun, Sayang buka pintunya, plis." Lintang frustasi karena Embun tidak kunjung membukakan pintu.Di dalam kamar mandi Embun menutup kedua telinga meredam suara Lintang yang menjijikkan. Setelah suara yang memekakkan itu tidak terdengar lagi, Embun berdiri di depan cermin menatap pantulan diri yang menyedihkan. Cermin itu seolah menertawakan dirinya, kemudian Embun berlari ke bawah shower dan membiarkan air dingin mengguyur tubuh.Ingatannya melayang ke waktu empat tahun yang lalu, tepat di hari anniversary pernikahan yang kelima tahun, Eros mengutarakan ingin bercerai darinya.Bagai petir yang menyambar di siang bolong. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba sebuah kepahitan datang menyambar, meluluh lantahkan hidupnya dan sekarang terulang kembali. Hari ini tepat satu tahun pernikahannya dengan Lintang lelaki itu meminta izin menikah lagi.Alasannya sama karena Embun tidak bisa memberikan keturunan. Sakit! Sebuah kenyataan menyakitkan yang tidak ingin Embun terima, tetapi tidak bisa menolak juga.Bukan kejutan manis nan romantis yang Embun dapatkan di anniversary pernikahan mereka, melainkan sebuah kejutan pahit yang menyakitkan.Dua lelaki telah memberikan kejutan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Sebuah kado luka yang dibungkus indah dengan manisnya janji. Berhasil membuat Embun terbang melayang di atas awan dan akhirnya dihempaskan ke dasar jurang.Embun menangis tersedu-sedu, membiarkan air mata mengalir bersama derasnya air shower, dinginnya air tidak lagi dipedulikan. Tubuh Embun meluruh ke lantai. Embun merasa menjadi wanita paling bodoh karena merasa tertipu untuk kedua kalinya."Argh!" pekik Embun tanpa suara.Lintang bersandar di kepala ranjang menunggu Embun keluar dari kamar mandi, dalam hati lelaki itu merasa sangat bersalah. Dia sendiri sakit akan keputusan itu. Namun, mau bagaimana lagi? Dia tidak punya saudara yang akan memberikan penerus keluarga Svarga.Kalau boleh Lintang menolak permintaan orang tuanya, tetapi ketika dia mengatakan penolakan sang ayah justru drop dan masuk rumah sakit. Lelaki tua yang sakit-sakitan itu sangat ingin menimang cucu dari darah dagingnya sendiri sebelum beliau tutup usia.Lintang dihadapkan dua pilihan yang sulit, Rasanya kepala dan dadanya mau meledak. Namun, demikian orang tua Lintang tidak memaksa haru menceraikan Embun, mereka membebaskan Lintang mau mempertahankan atau melepaskan. Mata Lintang tidak lepas dari pintu kamar mandi yang tertutup, lelaki itu setia menunggu sang istri."Aku tidak bisa membayangkan kalau kamu pergi dari hidup aku, Embun. Aku sangat menyayangimu. Aku tidak peduli sama kekurangan kamu, tapi aku juga menyayangi orang tuaku," gumam Lintang."Maafkan aku, Embun. Semoga kamu mengerti dan mau menerima. Aku juga sakit dengan keputusan ini," tambahnya.Sudah satu jam lebih Embun tidak kunjung keluar dari kamar mandi, Lintang khawatir dan kembali menggedor-gedor pintu kamar mandi. Namun, tidak ada jawaban hanya terdengar suara gemericik air."Embun!""Embun, kamu tidak apa-apa sayang?""Embun, dengar aku? Buka pintunya, please!"Tanpa menunggu lagi, Lintang segera mendobrak pintu kamar mandi itu. Beberapa kali dobrakan barulah Pintu tersebut terbuka, mata Lintang membelalak melihat Embun menggigil di bawah guyuran air."Embun!" Lintang Berlari menghampiri Embun dan mematikan shower."Tidak usah pedulikan aku, Mas!" sentak Embun ketika Lintang mengulurkan tangan hendak membantunya berdiri."Nanti kamu sakit," ucap Lintang tulus. Dia benar-benar khawatir dengan sang istri."Jika sakit pun tidak ada apa-apanya dibanding sakit di hatiku, Mas! Kalau bisa Tuhan ambil saja nyawaku malam ini agar aku tidak terus-terusan merasa kecewa," ucap Embun sambil tersedu-sedan."Embun ….""Dengan begitu Mas bisa berbahagia dengan istri baru dan anak-anak kalian nanti. Lupakan saja aku yang tidak berguna ini!" tambah Embun."Jangan bicara seperti itu, Embun. Aku akan tetap menyayangimu, meskipun nanti aku punya istri lagi tetap kamulah ratu di hatiku. Kamu tidak akan terganti."Embun menggeleng, dia tidak percaya akan ucapan Lintang. Bagaimana bisa dirinya tidak tergantikan, sementara sekarang saja posisinya sudah terancam. Itu hanya omong kosong.Janji yang dulu saja Lintang ingkari, lalu bagaimana nanti jika sudah mempunyai anak dari istri barunya, bukan tidak mungkin lama-kelamaan Embun hanya akan menjadi istri pajangan karena dirinya bukan lagi yang utama."Jangan menjanjikan madu, Mas. Jika nantinya racun yang aku terima."Bersambung ….Pagi ini Embun pergi ke kantor polisi untuk mengurus surat keterangan kehilangan. Dia harus cepat-cepat mengurusnya sebelum dirinya disibukkan dengan toko kue yang sebentar lagi akan beroperasi. Bukan tidak mungkin dia akan melupakannya lagi.“Sudahi kebodohanmu, Embun!” gumam Embun pada dirinya. Dia kemudian turun dari mobil dan masuk ke dalam kantor polisi.“Selamat pagi, Pak. Saya ingin melaporkan kehilangan buku nikah saya dan meminta surat keterangan kehilangan,” kata Embun pada petugas SPKT (Sentra Kepelayanan Polisi Terpadu).“Selamat pagi, Ibu. Tentu, bisa dijelaskan lebih lanjut? Buku nikahnya hilang di mana atau bagaimana ceritanya?” tanya sang polisi.“Buku nikah saya hilang beberapa hari yang lalu dan saya sudah mencarinya di seluruh rumah, tetapi saya tidak menemukannya. Saya butuh surat keterangan kehilangan untuk mengurus duplikatnya di KUA.” Embun menjelaskan.“Baik, Ibu. Saya akan bantu buatkan laporan kehilangan. Sebelumnya, bisa saya lihat identitas Ibu, seperti KTP
“Sayang, saudara kamu pinjam uang lagi?” tanya Eros mendekati Jenar sembari memegang ponsel. Jantung Jenar berdetak cepat, tubuhnya panas dingin.“I-iya, Mas. Ada masalah sehingga harus operasi lagi.” kata Jenar dengan gugup. Sejak beberapa hari yang lalu dia selalu mentransfer Jafar lagi. “Jumlah yang dipinjam sangat besar, kapan mereka akan mengembalikannya?” tanya Eros mengalihkan pandangan pada wajah Jenar. “Dan apa pekerjaan saudaramu itu?” lanjutnyaJenar terdiam dengan jantung yang berdebar-debar. Bukan debaran jatuh cinta melainkan debaran ketakutan.Dia memaksa otaknya berpikir mencari jawaban yang masuk akal untuk membuat Eros percaya.“Siapa namanya?” tanya Eros mengejutkan Jenar.“Namanya … Jafar. Anak Jafar itu yang operasi.”“Kau kenapa? Seperti terkejut?” Eros heran melihat reaksi sang istri.“Tidak, aku hanya sedang memikirkan anak-anak kita,” kata Jenar cepat lalu menampilkan senyum palsu.“Jika mereka pinjam lagi tolak saja, kita sudah cukup banyak membantu. Kita j
“Haha! Rasakan itu mandul! Pasti sekarang dia sedang bersimbah air mata,” gumam Jenar senang. Wanita itu diam-diam mengikuti dan menyaksikan semuanya. “Aku tidak akan puas sebelum mereka bercerai! Aku dan adikku pantas menjadi satu-satunya wanita di hati lelaki kami,” monolog Jenar sambil menatap pantulan dirinya di cermin wastafel. “Aku sudah berhasil menyingkirkannya dari hidup Mas Eros dan sekarang aku juga akan menyingkirkannya dari suami adikku,” lanjutnya dengan senyum menyeringai. “Menyingkirkan tanpa jejak.” Jenar merasa bangga mengingat apa yang telah dilakukannya pada Embun dulu. “Bahkan hingga detik ini tidak ada seorang pun yang tahu,” lanjutnya tersenyum penuh kemenangan. “Kecuali para oknum itu … dan Jafar. Ya, Jafar sialan! Sekarang dia muncul lagi memanfaatkan semua itu untuk memerasku!” gerutu Jenar dengan kesal, tangannya mengepal mengingat Jafar yang selalu menerornya. “Sial!” Dia memukul pelan meja wastafel. “Bagaimana aku harus menghindari lelaki itu? atau
Embun terpaksa masuk kembali ke dalam rumah sakit mengikuti suaminya. “Mas …,” kata Embun mengimbangi langkah Lintang. Lelaki itu diam saja seperti tidak mendengar ada yang bicara.“Mama tadi sudah mengusirku,” lanjutnya.“Kau pantas mendapatkannya,” sahut Lintang datar dan merobek hati Embun.“Mas, aku ….”“Tidak usah membantah, kau memang salah!” ketus Lintang menyela ucapan istrinya.“Baiklah,” batin Embun, dia tersenyum getir.Melihat kedatangan Lintang dan Embun, amarah Bu Inggrid kembali tersulut. Dia berdiri dan siap mengusir kembali menantu yang memuakkan itu.“Untuk apa kamu bawa wanita ini lagi kemari?” ketusnya lalu menatap Embun dengan mata melotot.“Ada yang ingin aku bicarakan dengannya, Ma,” sahut Lintang.“Bagaimana keadaan Jasmine, Ma? Bagaimana dengan bayi kami.” Tampak sekali wajah Lintang panik.“Mama belum tahu, dari tadi Mama di sini dokter belum keluar juga. Semoga saja mereka baik-baik saja.”“Semoga,” kata Lintang.“Semua ini gara-gara wanita sialan ini!” Bu I
“Lepaskan brengsek!” Pekik Jenar.“Bila perlu kupatahakan saja tanganmu ini,” kata Embun sambil memelintir tangan Jenar semakin kuat. Wanita itu semakin menjerit, tangannya terasa seperti mau lepas.“Wanita jahat sepertimu pantasnya dibuat cacat saja biar tidak bisa lagi melakukan kejahatan. Kau telah menghancurkan hidup seseorang dan berlagak seperti tidak memiliki dosa. Dan sekarang kau juga berlagak ingin menjadi pahlawan?” Tubuh Jenar menegang mendengar perkataan Embun.“Apa maksudmu berkata seperti itu? Siapa yang kau maksud?” suara Jenar sedikit bergetar, Embun tahu wanita itu sedang ketakutan.“Menurutmu siapa?”“Mengapa bertanya padaku, mana aku tahu. Lepaskan!” Jenar memberontak, tetapi tak kunjung terlepas.Obrolan Jenar dan teman lelakinya di parkiran waktu itu kembali terngiang-ngiang di ingatan dan membuat darah Embun mendidih. Dia jadi gelap mata dan memelintir tangan Jenar semakin keras membuat wanita itu menjerit histeris.Melihat Jenar tersiksa Jasmine berdiri dan sek
“Jasmine! Jasmine! Jasmine, bangun, sayang,” Lintang menepuk-nepuk pipi sang istri untuk membangunkannya dari mimpi buruk. Ibu hamil itu terbangun dan duduk. Napasnya terengah-engah.“Kamu mengalami mimpi buruk,” kata Lintang lalu meraih gelas air putih di atas nakas dan memberikannya pada sang istri. Jasmine hanya meminum setengahnya.“Mas …,” Jasmine seperti ingin menangis.“Tenanglah itu hanya mimpi.” Lintang meraih tubuh Jasmine dan memeluk untuk menenangkannya.“Aku masih merasa sedih, meskipun hanya mimpi, tapi semua terasa seperti nyata,” kata Jasmine.“Kau bermimpi tentang apa?”“A-aku bermimpi tentang Mba Embun, dia kecelakaan dan meninggal.” Suara Jasmine bergetar. “Aku menyaksikan bagaimana kondisinya yang mengenaskan, ada bagian tubuhnya yang terpisah dan itu sangat mengerikan. Darah yang berceceran itu masih jelas teringat dan semua terasa nyata,” lanjut Jasmine bercerita.“Tenanglah, Mba-mu pasti baik-baik saja. Mimpi hanyalah bunga tidur.”“Aku takut, Mas. Aku takut ter