Share

Bab 2 | Pernikahan

Bel rumah berbunyi, Embun yang sedang bersiap pergi ke toko kuenya segera melesat ke depan melihat siapa yang berkunjung pagi-pagi. Embun membuka pintu dan nampaklah bu Inggrid yang merupakan ibu mertuanya. Embun mempersilakan bu Inggrid masu, lalu membuatkan beliau minuman.

"Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya bu Inggrid setelah Embun meletakkan minuman untuknya.

"Alhamdulillah baik, Ma," jawab Embun sambil mendaratkan bokong di sofa.

Bu Inggrid menyesap teh hangat buatan sang menantu, wanita paruh baya itu memang menyukai teh buatan Embun yang tidak terlalu manis dan pas di lidahnya.

"Apa Lintang sudah bicara sama kamu?" Bu Inggrid meletakkan cangkir teh

"Bicara apa, ya, Ma?" Embun terlihat bingung.

"Masalah pernikahan Lintang yang akan dilaksanakan minggu depan. Apa kamu sudah tau?" tukas bu Inggrid, seketika membuat tulang-tulang Embun serasa remuk, tidak kuat menopang bobot tubuhnya sendiri. Mata Embun berkaca-kaca, semalam Lintang meminta izin untuk menikah lagi, belum juga dirinya menjawab ternyata pernikahan sudah direncanakan. Rasa sakit dan luka yang semalam belum sempat kering. Namun, kembali ditoreh lagi dengan luka yang baru.

"Se-secepat itu, Ma?" Bibir Embun bergetar dan matanya berkaca-kaca.

"Iya. Mama harap kamu mengerti dan mau menerima karena Lintang adalah anak satu-satunya keluarga Svarga. Kami ingin keturunan darinya. Mama dan papa sudah menjodohkan Lintang dengan anak teman papa." Bu Inggrid kembali menyeruput teh buatan Embun dengan menahan perasaannya

Embun bergeming, tenggorokannya tercekat, air matanya lolos begitu saja karena merasa sangat hancur. Bu Inggrid melihat air mata kepedihan itu, beliau mengerti perasaan sang menantu, wanita mana yang rela suaminya menikah lagi. Dia sendiri menyayangi Embun, tapi dia juga menginginkan cucu dari anak semata wayangnya itu.

"Maafkan kami, Embun. Ini pasti menyakitkan untuk kamu, tapi mama berharap kamu bisa menerima dengan lapang dada. Memang tidak mudah, tapi mama yakin kamu bisa, kamu wanita yang kuat."

"Kamu tidak usah khawatir, kami tidak akan membeda-bedakan kamu dan istri Lintang, kalian berdua menantu kami," tambah bu Inggrid. Dalam hati Embun menolak percaya, sedikit banyak pasti ada perbedaan. Bukan tidak mungkin dirinya akan tersisih.

"Mama tidak akan memaksa kamu untuk bertahan dengan Lintang jika kamu tidak sanggup, tapi kembali lagi semua keputusan ada di tangan kalian berdua. Kamu harus tau, Lintang sangat mencintai kamu," lanjut bu Inggrid lagi sambil menatap Embun dengan 

"Aku inginnya pisah saja dari Mas Lintang, tapi dia gak mau menceraikan aku, sungguh ini lebih sakit daripada yang dilakukan Eros dulu," batin Embun sambil menyeka air mata yang tidak ingin berhenti keluar dengan tisu.

Bu Inggrid memeluk Embun yang belum berhenti terisak, merasa kasihan akan nasib sang menantu, tapi keinginannya dan suami jauh lebih besar. Embun tidak lagi merasakan hangat dalam pelukan wanita paruh baya itu, dirinya merasa seperti memeluk pohon berduri.

Seminggu kemudian … Embun membantu Lintang memasangkan jas selaku mempelai pria dari pengantin wanita lain. Dadanya sesak, dengan tangan bergetar Embun mengancingkan jas sang suami.

Selamat berbahagia, Mas," ucap Embun dengan suara bergetar menyembunyikan air mata. Tidak pernah menyangka jika dirinya akan membantu mempersiapkan diri sang suami untuk menikah lagi.

"Embun …."

"Pergilah, Mas. Mereka sudah menunggumu," sela Embun langsung berbalik hendak keluar dari ruangan. Setetes air mata berhasil lolos dan Embun segera menghapusnya.

"Embun." Lintang memeluk wanita yang sudah satu tahun menemaninya, kakinya terasa sangat berat untuk keluar dari kamar menuju penghulu yang sudah menunggu. 

"Aku mencintaimu," ungkap Lintang. Namun, Embun bergeming, nyatanya ungkapan itu tidak lagi membuatnya berbunga-bunga, yang dirasa justru semakin sakit.

"Lintang, kamu sudah siap, Nak?" Terdengar suara bu Inggrid. Embun segera melepaskan belitan tangan Lintang dari tubuhnya.

"Ayo, Nak. Semua sudah menunggu," ujar bu Inggrid.

Bu Inggrid dan Embun kemudian mendampingi Lintang berjalan menuju penghulu dan mempelai wanita yang sudah menunggu, di sana terlihat pak Yolan yang merupakan ayah mertua Embun duduk di kursi roda tampak sumringah dengan pernikahan kedua anaknya, berbeda dengan pernikahannya dulu lelaki itu tampak biasa dan tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Embun juga melihat mantan suaminya dengan seorang wanita dengan perut buncit, Eros sesekali menyempatkan mengelus perut sang istri, mereka tampak sangat bahagia diselingi dengan canda tawa kecil. Embun semakin tidak berdaya, kekurangannya semakin terasa.

"Apa mereka kenal Mas Eros?" batin Embun sambil berusaha fokus menatap langkah ke depan.

Embun memang tidak tahu banyak tentang pernikahan Lintang dan calon madunya, dia hanya datang saat pernikahan hari ini. Embun rasanya ingin pingsan saja, semakin dekat ke meja penghulu kaki terasa berat untuk melangkah dan keadaan itu semakin menyiksa. "Tuhan, kuatkan aku," bisik Embun dalam hati.

Akhirnya, sampai juga Lintang di meja penghulu. Lintang segera duduk di samping calon istrinya. Wanita itu tersenyum bahagia menatap Lintang, meski tahu dirinya adalah yang kedua, tapi dirinya tidak merasa kalah. Pak penghulu menanyakan kesiapan calon pengantin secara bergantian.

"Bagaimana saudari Jasmine, apa anda siap?"

"Siap!" sahut Jasmine dengan malu-malu.

"Saudara Lintang! Apa, Anda, siap?"

"Si-siap!"

"Bagaimana, saudari Embun, apakah Anda ikhlas dan siap menerima saudari Jasmine sebagai madu, Anda?" Lalu pak penghulu menanyakan keikhlasan istri pertama dari mempelai laki-laki.

Mau tidak mau Embun harus mengangguk dan dengan berat hati berkata, "Saya Ikhlas, Pak." Embun menahan genangan air mata yang ingin segera tumpah. Tidak, dia tidak boleh menangis sekarang, setidaknya hingga ijab kabul selesai.

Embun tidak menyangka setahun yang lalu dirinya duduk disamping Lintang dan lelaki itu melantangkan ijab kabul untuknya di depan para saksi. Sekarang dirinya akan menyaksikan sang suami melantangkan ijab kabul untuk wanita lain, yang sebentar lagi menjadi madunya. Wanita cantik pilihan keluarga Svarga, yang pasti lebih sempurna darinya.

Lintang melirik istri pertamanya, tergambar jelas di wajah Embun jika dia tidak bahagia. Dalam hati Lintang mengucapkan beribu kata maaf untuk wanita itu. Ingin rasanya Lintang memeluk Embun, tetapi itu tidak mungkin dilakukannya sekarang.

"Baiklah, kalau begitu mari kita mulai," ucap Pak penghulu. Embun memejamkan mata sejenak meminimalisir sakit yang menjalar di dada.

"Saya nikahkan engkau Lintang Kanigara Svarga bin Yolan Svarga dengan Putri saya Jasmine Wijaya Putri binti Ramon Wijaya dengan mas kawin emas seberat 87 gram, satu set perhiasan dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Pak Ramon seraya menjabat tangan Lintang.

Embun tercengang, mendengar mas kawin yang diberikan, berbeda dengan dirinya dulu hanya berupa seperangkat alat sholat dan emas yang tidak sampai dua puluh gram, tetapi Embun maklum dan sadar diri, dia menikah dengan Lintang bukan gadis lagi. Embun tersenyum getir.

"Saya terima nikah dan kawinnya Embun Maheswari …." ucap Lintang dengan ragu sambil membayangkan wajah istri pertamanya.

"Lintang! Jasmine, ingat Jasmine," bisik bu Inggrid geram.

Ijab kabul pun diulang lagi, hingga tiga kali barulah Lintang berhasil mengucapkan dengan benar. Terlihat Jasmine jengkel karena Lintang salah menyebut nama.

"Saya terima nikah dan kawinnya Jasmine Wijaya Putri binti Ramon Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Lintang sambil menatap mata Pak Wijaya dan melawan rasa gugupnya.

"Bagaimana saksi?" tanya pak penghulu.

Kata sah menggema memekakkan telinga Embun. Semua orang mengucapkan syukur, kecuali Embun. Wanita itu bergeming dan setetes air mata lolos begitu saja. Secepat kilat Embun menghapus bulir bening itu kemudian beranjak pergi ke kamar kecil.

"Tuhan, lapangkan dadaku untuk menerima semua ini, ikhlaskan hatiku dan kuatkan aku," ucap Embun lirih disertai deraian air mata. Embun memukul-mukul dada karena rasa sakit semakin menguasai jiwa.

Hari ini adalah hari bahagia bagi semua orang terlebih bagi keluarga Svarga, tetapi tidak dengan Embun. Baginya hari ini adalah hari dimana kepedihan hidupnya dimulai. Akan ada banyak drama menyakitkan kedepannya, belum menapaki jalan itu saja rasanya dia ingin menyerah. Membayangkannya saja dia sudah tidak sanggup.

Cukup lama Embun menangis.Akhirnya, Embun keluar juga dari kamar kecil dan tidak ingin kembali ke ballroom. Hatinya tidak cukup kuat menerima kenyataan ini. Di wastafel, tidak sengaja Embun berpapasan dengan istri Eros. Jenar menatap sinis sambil tertawa kecil mengejek Embun.

"Sayang, kamu kok aktif sekali. Perut Mama sampe sakit kamu tendang-tendang." Jenar mengelus perutnya sambil melirik Embun lewat ekor mata. Embun berusaha mengabaikan rasa iri yang merasuk di hati dengan terus membersihkan wajah.

"Aduh, Kakak mana, sih katanya mau pipis tadi." Jenar pura-pura celingukan mencari putri sulungnya.

"Ya, seperti inilah rasanya punya anak, repot, tapi seru rumah jadi ramai, tidak sepi seperti kuburan, hidup juga jadi lebih berwarna. Nikmati saja Jenar, bersyukur kamu dipercaya Tuhan untuk dititipi anak karena tidak semua wanita bisa seperti kamu sekarang," monolog Jenar sengaja agar di dengar Embun. Dia masih ingat bagai Embun menamparnya di depan umum empat tahun yang lalu.

Telinga Embun panas mendengarnya, tetapi jiwanya lemas untuk meladeni istri mantan suaminya itu. Akhirnya, Embun bergegas keluar dari toilet dengan pikiran yang melalang buana. Celotehan Jenar tadi membuat kekurangannya semakin terasa.

Di depan Toilet, Embun tidak sengaja menabrak seseorang. "Maaf …," ucap Embun menggantung setelah tau siapa yang ditabraknya.

"Embun!"

"Kamu!"

Bersambung ….

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status