Bayangan Embun memergoki Eros dengan Jenar di sebuah food court empat tahun yang lalu berputar-putar di kepala bak sebuah film, padahal waktu itu belum ketuk palu dan Eros sudah ada pengganti dirinya. Embun merasa dikhianati, sakit itu tetap terasa, meski sudah tidak ada lagi cinta untuk Eros. Tidak ingin berbasa-basi, Embun segera melewati tubuh Eros. Namun, langkahnya terhenti ketika Eros mengatakan sesuatu.
"Tidak bisakah kita berteman, Embun? Kamu terus saja membenciku, padahal …," ucapan Eros terjeda dikala mendengar lengkingan suara anak kecil memanggilnya. "Papa!""Sayang!" Eros berbalik mendapati putri kecilnya berlari ke arahnya."Papa, tante ini siapa?" tanya gadis kecil dengan tubuh gembul dan menggemaskan. Kalau saja anak itu bukan anak Eros rasanya Embun ingin mencubit pipinya yang chubby."Tante ini teman Papa dan Mama, kenalan gih sama tantenya.""Halo tante, nama aku Embun." Dengan pintarnya bocah itu mengulurkan tangan.Embun terkejut mendengar nama anak itu sama dengan namanya, sebenarnya Embun sangat gemas. Namun, mengingat anak itu adalah anak Eros dan Jenar, Embun jadi tidak suka. Tanpa menjawab apalagi menyambut uluran tangan bocah cantik tersebut, Embun pergi begitu saja."Tantenya sombong, Pa," adu anak tersebut terdengar jelas di telinga Embun."Tidak apa, sayang. Mungkin tantenya lagi sariawan," hibur Eros pada putri kecilnya."Apa Maksudnya memberi nama anaknya sama dengan namaku, aku tidak sudih!" Gerutu Embun sembari melangkah cepat.Sungguh hari ini dirinya seperti terjebak di lembah derita, ada saja hal-hal yang membuatnya sakit. Embun berjalan ke luar hotel meninggalkan acara pernikahan Eros dan Jasmine, dia ingin segera sampai di rumah, terlalu lama berada di tempat itu sama saja dengan memperlebar luka hatinya."Embun tunggu!" Eros berlari kecil menghampiri Embun yang hendak menaiki taksi."Kamu belum bisa memaafkan aku?" Ujar Eros sambil memandang lawan bicaranya."Aku sudah lama memaafkan, tapi tidak untuk berteman. Sebaiknya kita tidak usah berhubungan lagi, kita bukan siapa-siapa jadi tidak terlalu penting!""Tidak bisa, Embun. Kita sudah jadi keluarga sekarang, istri Lintang itu adalah adik istriku. Kita pasti akan bertemu di acara-acara keluarga."Embun sangat terkejut mendengarnya, bagaimana bisa Eros menjadi kakak iparnya, lelaki yang dulu menyakitinya menjadi keluarga dengan lelaki yang sekarang juga menyakitinya. Sungguh kehidupan seperti apa yang dijalaninya, kenapa orang-orang yang tidak punya hati itu mengelilinginya.Dulu hampir setiap malam Embun menangis meminta kepada Tuhan agar secepatnya menghapuskan Eros dari hatinya dan Tuhan mengirimkan Lintang sebagai penyembuh luka. Namun, sekarang Lintang juga menoreh luka untuknya. Apakah takdir hidupnya hanya untuk dilukai pikir Embun.Apa karena dirinya tidak sempurna sehingga tidak berhak bahagia? Tidak berharga dan dipandang sebelah mata, apa dunia sekejam itu untuk orang seperti dirinya?"Permisi." Embun melangkah masuk ke dalam taksi. Namun, gerakannya terhenti karena cekalan tangan Eros di lengannya. "Tunggu Embun!""Mau apa lagi, Ros? Belum puas kamu melihatku terluka? Pergilah, keluarga kecilmu pasti mencarimu." Setelahnya Embun bergegas masuk ke dalam taksi dan menutup pintu.Eros meremas rambut sambil menatap taksi yang membawa Embun kian menjauh. Rasa bersalah masih menghantuinya, meski Embun sudah memaafkan.Di dalam taksi Embun menangis tersedu-sedu. Ingatannya melayang ke waktu empat tahun yang lalu, di malam anniversary pernikahan yang kelima tahun, sebuah kenyataan pahit datang menyambar."Mas mau kita bercerai, Embun.""Ma-Mas bercanda, kan?" senyum di wajah Embun langsung pudar. Kalimat itu terdengar menyakitkan."Tidak, Embun. Mas serius.""Tapi kenapa, Mas? Apa salahku?" Mata Embun berkaca-kaca."Kamu tidak salah, Embun. Kamu wanita yang baik, terima kasih sudah setia dan sabar menemaniku selama lima tahun ini, tapi aku ingin keturunan, Embun. Maafkan aku," ucap Eros menghujam jantung Embun. Setetes bulir bening lolos begitu saja dari sudut mata Embun.Kemudian ingatan Embun beralih ke waktu seminggu yang lalu, kenyataan yang tidak kalah pahitnya dengan yang dulu."Embun, aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Maafkan aku jika keputusan ini membuatmu terluka, tapi aku terpaksa harus melakukannya.""Mas kenapa? Memangnya Mas mau melakukan apa?" Embun menyunggingkan senyuman manis, berpikir jika Lintang sedang mengerjainya, mengingat hari itu adalah anniversary pernikahan mereka yang ke satu tahun."Sungguh ini bukan keinginanku, tapi orang tuaku menginginkan cucu dariku maka dari itu aku meminta izin untuk menikah lagi. Maafkan aku, Embun. Semoga kamu mengerti." Lintang menggenggam erat kedua tangan Embun sambil menatap ke dalam mata wanita itu."A-apa?" Air mata Embun lolos begitu saja.*****Embun berdiam diri di kamar, air matanya tak henti-henti mengalir. Dunianya baru saja hancur karena cinta sang suami kini telah berbagi. Tidak ada satu pun orang yang mencarinya atau sekedar menanyakan kabar lewat ponsel. Sepi dan sunyi melengkapi derita Embun, saat ini semua orang sedang berbahagia dan melupakan dirinya."Sekarang saja aku sudah tersisih, Mas. Bagaimana nantinya? Harusnya Mas lepaskan saja aku daripada seperti ini sama saja kau menyiksaku. Menahanku untuk tetap di sisimu dengan alasan mencintaiku, nyatanya cintamu menyakitiku, Mas." Embun berbicara sendiri menumpahkan isi hatinya.Di luar terdengar rintik hujan menyapa bumi menghantarkan hawa dingin menusuk jiwa yang kesepian, malam dingin Embun lalui seorang diri tanpa ada kehangatan. Pikiran Embun melanglang buana, memikirkan jika saat ini sang suami sedang mereguk manisnya madu pernikahan bersama Istri barunya. Hati Embun menjerit membayangkan itu, jauh di lubuk hati dia tidak rela berbagi. Namun, Embun tidak bisa menolak karena sadar akan kondisi dirinya."Sungguh ini lebih sadis dari yang dulu, Mas. Kupikir bersamamu akan lebih bahagia. Namun, ternyata lebih menderita. Caramu menyakitiku luar biasa, Mas.""Apa salahku, Tuhan? Sehingga kau hukum aku seperti ini," ucap Embun tersedu-sedu sambil mengeratkan pelukannya pada bantal guling.Sementara itu, di sebuah kamar hotel, Lintang duduk di tepi ranjang, menunggu Jasmine yang masih membersihkan diri di dalam kamar mandi. Lelaki itu memikirkan bagaimana keadaan Embun sekarang, pasalnya wanita itu tidak terlihat lagi setelah akad nikah selesai. Lintang tau wanita itu pasti sangat terluka.Lintang menatap ke arah pintu kamar mandi, apakah dia bisa melakukannya dengan Jasmine, sementara dirinya tidak mencintai wanita itu. Lintang meremas rambut, frustasi. Malam pengantin seharusnya menjadi malam yang bahagia bagi setiap pasangan yang baru saja halal, tetapi tidak dengan Lintang. Malam pengantinnya ini terasa hampa, hanya raga yang ada di tempat itu, tidak dengan hatinya."Maafkan aku untuk luka yang sengaja kubuat, Embun. Aku terpaksa," batin Lintang sambil menatap langit-langit kamar."Mas …." Suara Lembut Jasmine membuyarkan lamunan Lintang. Gadis itu tersenyum kepada suaminya lalu duduk di samping lelaki itu, dia terlihat malu-malu."Embun …." Entah mengapa Lintang melihat Jasmine sebagai Embun. Senyum di bibir Jasmine seketika hilang dan berganti dengan wajah masam."Mas! Ini aku Jasmine! Berhentilah memikirkannya, dia tidak akan pernah memberikan keturunan untukmu!" Jasmine marah."Maaf, Jasmine.""Ini malam pertama kita, Mas! Harusnya kamu fokus sama kita bukan sama wanita mandul itu!""Jasmine, Embun itu istriku juga!""Mas bentak aku? Hanya karena wanita mandul itu? Padahal kita baru saja menikah." Mata Jasmine berkaca-kaca."Ja-Jasmine, bukan seperti itu maksudku." Lintang berusaha meraih tangan Jasmine. Namun, Jasmine menepis tangan Lintang."Aku akan katakan pada Papa agar segera mengurus perceraian kita!" Ancam Jasmine sambil beranjak menuju pintu. Namun, Lintang mencegahnya, dia tidak ingin orang tuanya kecewa. Bagaimana perasaan bu Inggrid dan pak Yolan jika pernikahan yang baru saja dilaksanakan harus segera berakhir."Jasmine, Jasmine, maafkan aku. Aku tidak sengaja." Lintang membawa Jasmine ke dalam pelukannya, gadis itu tersenyum karena merasa menang.Bersambung ….Malam semakin larut, semua penghuni rumah sudah terlelap. Namun, tidak dengan Jenar. Dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan masalah-masalah yang kini menghimpit hidupnya. Jenar meremas kuat ujung selimut. Perasaan cemas, takut dan bayangan-bayangan buruk berputar di kepala membuatnya sangat tidak tenang. Di kamar yang sunyi dan tenang itu, isi kepala Jenar begitu berisik. “Ya, Tuhan. Tolong berikan aku jalan agar aku bisa menyelesaikan masalah ini,” kata Jenar dalam hati dengan penuh harap.“Aku tahu aku pernah salah, Tuhan, tapi kali ini tolonglah aku. Maafkan kesalahan yang pernah kulakukan. Aku mohon kali ini tolong aku.” Jenar memohon dalam hati. Matanya terpejam. Kepalanya sudah panas berpikir namun tak kunjung menemukan jalan.“Apa aku harus bekerja agar dapat uang?” Jenar bertanya pada dirinya sendiri karena sebuah ide muncul di kepala. “Tapi … apakah Mas Eros akan mengizinkan?” Dia ragu, mengingat Eros hanya ingin Jenar di rumah, mengurus suami dan anak saja. Semangatn
Lintang berdiri di balkon kamar, memandangi gemerlap bintang di langit yang terlihat indah malam ini. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah membuat perasaannya tenang.“Aku bersyukur sekali, akhirnya Embun sadar. Meskipun harus membiarkannya sendiri dulu saat ini, tapi itu bukanlah suatu hal yang buruk. Nanti juga aku akan bisa memeluknya seperti dulu. Lebih tepatnya memeluk kedua istriku.” gumam Lintang sembari mendongak, matanya tak lepas dari keindahan langit. “Aku tidak harus kecewa dengan keputusannya, ini hanya sementara,” tambahnya merasakan sedikit kekecewaan. Kepalanya menunduk.“Aku tahu, kau tidak sekejam itu. Kau hanya kecewa di awalnya saja. Aku tidak salah mempertahankanmu karena akhirnya hatimu luluh juga.” Bibir Lintang melengkung membentuk sebuah senyuman. Pandangannya lurus ke depan seolah Embun berada di sana. “Aku berhasil,” lanjutnya bangga. “Kalau sudah begini, nanti aku tidak akan susah lagi membujuknya agar mau melakukan sidang.” Bibir itu tersenyum semakin lebar.
“Oh, ya, Jenar. Mulai hari ini Mama mau tinggal di sini, tinggal sama kalian dan cucu-cucu Mama yang lucu,” kata Bu Riana membuat Jenar semakin terkejut.“Ke-kenapa begitu, Ma? Bagaimana dengan Eris?” Jenar gugup, tapi tetap berusaha agar ekspresi wajahnya biasa saja. “Eriska Minggu depan mau ke Malaysia, dia dipindah tugas ke sana. Mama tidak mau di rumah sendirian, sepi, tidak ada teman ngobrol. Setelah Mama pikir lebih baik Mama tinggal sama kalian,” jelas Bu Riana. Jenar menghela napas kasar tanpa sepengetahuan mertuanya, seketika beban di pundaknya terasa bertambah.Jenar jadi kesal terhadap wanita paruh baya itu. Bukan tidak ingin wanita itu tinggal di rumahnya, tetapi saat ini dia tidak ingin ada lebih banyak orang di rumah. Ia takut rahasianya terbongkar. “Wanita tua ini hanya akan menambah masalahku saja!” umpatnya dalam hati.Di lubuk hati yang paling dalam, sungguh Jenar tidak ingin satu atap dengan mertua. Terlebih dari rumor yang dia dengar jika mertua sering menjadi b
Matahari bersinar hangat menyambut hari yang istimewa. Di sepanjang trotoar, balon warna-warni menari tertiup angin, dan spanduk bertuliskan “Grand Opening Embun’s Cake - from oven to heart” terpampang di depan toko yang baru dibuka.Aroma harum kue panggang tercium dari balik etalase kaca. Barisan pengunjung mulai mengular, penasaran mencicipi aneka kue spesial yang menggoda selera. Dari brownies lembut, cheese tart creamy, hingga kue lapis legit khas racikan rumahan.Di dalam toko, nuansa hijau pastel berpadu dengan dekorasi bunga segar dan senyum ramah para staf. Musik lembut mengiringi langkah pengunjung yang masuk satu per satu, disambut dengan welcome drink dan potongan kue tester.Embun, dengan wajah penuh haru dan bangga, berdiri di tengah keramaian. Setelah kata sambutan singkat dan doa bersama, pita di depan pintu dipotong. Tepuk tangan pun bergema, menandai toko Embun’s Cake resmi dibuka.Lintang lewat di depan toko kue Embun dan melihat keramaian itu. Dia sedikit heran dan
Bel rumah Jenar berbunyi, wanita yang tengah menemani anak-anaknya bermain di ruang depan langsung berdiri.“Pasti ada yang ketinggalan lagi,” gumam Jenar menuju pintu dan mengira itu suaminya.“Ya, ada apa ….” Ucapan Jenar menggantung ketika mendapati dua lelaki berseragam cokelat. Rasanya dia ingin menutup pintu kembali.“Selamat pagi, Maaf mengganggu, apakah Anda Ibu Jenar Zaira Wijaya?” tanya salah satu polisi.“I-iya, benar, Pak. Ada apa, ya?” jawab Jenar ragu. Dia bingung dan merasa sedikit takut. “Kami dari kepolisian sektor kota. Kami datang untuk menyampaikannya surat perintah penangkapan atas nama Anda, terkait penyelidikan atas dugaan keterlibatan Anda dalam kasus kecelakaan berencana sembilan tahun yang lalu,” lanjut rekan sang polisi.Duar! Bagai disambar petir, tiba-tiba rahasianya terbongkar dan entah siapa yang telah melaporkannya. Matanya melotot, jantungnya berdegup cepat. Jenar sangat ketakutan dan segala pikiran buruk muncul di kepala.“Apa? Saya … saya tidak men
Mendengar suara orang yang ditunggu-tunggu, Jenar dan Jasmine berdiri dari duduknya. Keduanya tersenyum sinis dengan tatapan mengejek. “Halo Mba? Aku kemari hanya ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Jasmine manis lalu menatap Jenar sekilas dengan senyum penuh arti. Embun berdecih mendengar kata-kata Jasmine. Terdengar manis seperti madu namun sebenarnya mengandung racun. “Kabarku baik-baik saja seperti yang kau lihat.” Embun melipat tangannya di dada. “Oh, um … seperti itu, ya? Kau yakin? Kau tidak berbohong? Aku sedikit khawatir padamu?” Jasmine tertawa dalam hati. “Seperti yang kau lihat,” sahut Embun, “sekarang kau sudah tahu kabarku, jadi silakan pulang!” Jasmine geram mendengar Embun mengusirnya. Tangan di samping tubuhnya terkepal dengan mata menatap nyalang. “Mengapa kau mengusir kami? Ini juga rumah adikku. Dia juga istrinya Lintang dan kau selalu harus ingat itu!” ketus Jenar. “Ya benar, aku juga istrinya Mas Lintang dan sebentar lagi kami akan memiliki anak. Jadi, aku