Share

Bab 3. Mandi Subuh

Seperti biasa aku bangun sebelum subuh, bergegas mandi karena semalam aku baru saja memberi hadiah pada Mas Bendu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah diberi izin untuk bekerja.

"Mas, bangun." panggilku pelan membangunkan suami dengan menggoyangkan-goyangkan kakinya. Tidak ada respon apapun dari Mas Bendu mungkin terlalu lelah.

"Mas, Mas bangun udah mau Subuh." panggilku sekali lagi.

Dia menggeliatkan badan lalu beberapa detik kemudian duduk. Dia tersenyum indah padaku membuat jantungku berpacu lebih cepat.

"Udah mandi saja kamu, Dik." sapanya.

"Udah dong, Mas. Sana mandi, nanti kita sholat berjamaah ya." suruhku. Untung di kamar suami ada kamar mandi, jadi seisi rumah tidak perlu tahu kapan aku 'bermain' dengan suami.

Setelah Mas Bendu mandi kami pun melaksanakan sholat secara berjamaah. Runitas seperti biasa jikalau aku sedang tidak halangan.

Setelah sholat berjamaah aku pun melanjutkan aktivitas berkutat di dapur menyiapkan sarapan untuk seisi rumah, sedangkan Mas Bendu tampak memainkan gadgetnya, mungkin sedang bermain game.

Pagi ini aku hanya memasak nasi goreng untuk sarapan sedangkan untuk makan siang ibu dan Nini ku buatin telur dadar ditambah sayur bayam. Lagian di bawah tudung saji masih ada ayam dua potong dan juga ikan kering campur kentang balado.

🌟🌟🌟

"Mas, yuk berangkat. Aku udah rapih nih." ajakku pada Mas Bendu yang masih mematut diri di depan cermin.

"Yuk." jawabnya dengan senyum-senyum padaku.

"Kok senyum-senyum, Mas. Aku jadi tersipu malu." 

"Kamu cantik." pujinya, membuat pipiku merona seperti dikasih blash-on.

"Memangnya kemarin-kemarin aku nggak cantik, Mas?" ujarku sembari membulatkan bibir.

"Cantik, tapi sekarang lebih cantik." godanya lagi. Ya wajar saja sekarang aku terlihat lebih cantik, berdandan seadanya untuk mencari pekerjaan. Mana tauan nanti ada lowongan kerja yang langsung interview.

Ibu dan Nini tengah duduk di ruang tamu sembari memainkan gadgetnya masing-masing sontak terperangah melihat aku sudah berpakaian rapi.

"Bendu, itu istrimu mau kemana pagi-pagi sudah rapi. Kalau cuma ke pasar nggak musti berpakaian rapi begitu lah, lebay banget." ucapnya ketus dengan menatap masam padaku, belum lagi ujung bibirnya yang sedikit menyungging.

Aku hanya memberikan senyum tipis pada mertuaku itu, palingan beberapa detik lagi Mas Bendu bakalan jelasin.

"Ini lho bu. Liodra katanya mau nyari kerjaan, mumpung belum hamil." jawab Mas Bendu santai.

"Wah baguslah kalau kakak nyari kerja daripada banyak nyantai di rumah ini. Masa iya Mas, aku udah capek beres-beres rumah Kak Liodra malah ongkang-ongkang kaki di rumah." kata-kata yang keluar dari mulut Nini begitu sangat berbanding terbalik dengan kenyataan. Hatiku memanas mendengarkan penuturannya ingin sekali ku remas-remas pake ulekan cabe biar tambah dower bibirnya.

"Haa, apa Ni? Bukannya......." belum selesai aku bertutur kata, ibu menyahut bagai petir gledek.

"Kerja Ben? Kalau kerja kapan punya momongan kamunya. Ingat, usia Lio juga tua dari kamu 4 tahun. Kalau kerja pasti bakalan sibuk, orang yang mau program hamil itu kudu banyak istirahat." protes ibu.

"Kalau rezeki in syaa Allah nggak kemana kok, Bu." jawab Mas Bendu. 

"Yes, aku dibela suami tercinta. Nggak salah aku pautkan hati padanya setelah Sholat Istikharah selama seminggu untuk menentukan pilihan saat itu." bisik-bisik dari dalam naluriku.

"Yasudah, Bu. Kami berdua pamit dulu ya." ucap Mas Bendu sambil meraih tangan ibu untuk di cium.

"Eh, bentar dulu. Ben, ibu minta duit 50 ribu dong." ujar ibu menengadahkan tangan ke Mas Bendu.

"Bukannya tunjangan gaji Ayah masih ada, Bu?"

"Itu mana cukup sampai akhir bulan Ben, minggu kedua udah habis duitnya."

"Bendu belum gajian Bu." elak Mas Bendu. Aku hanya memperhatikan gerak-gerik ibu yang mencurigakan di mataku.

"Ya kalau di kamu nggak ada tanyalah sama istri mu ini. Ibu perhatiin sejak dua bulan kalian menikah gajimu cepat habis ya, Ben. Pasti Liodra boros."

"Iya, Mas. Sama pelit juga istrimu ini lho Mas. Masa aku nitip sarapan kagak dibeliin." Nini ikut nimbrung menyudutkan ku, tangannya masih asyik memainkan gadget.

"Astagfirullah, enggak Mas. Aku nggak ada kayak gitu." protesku. Kali ini mulutku enggan terkunci, mereka akan semakin menjadi-jadi kalau aku diamkan.

"Udahlah, kok jadi ribut begini. Dik, kamu masih pegang uang nggak?"

"Ada, Mas 50ribu pas. Tapi...."

"Nah, itukan ada istrimu Ben. Mana Lio?" tangannya menengadah ke arah Mas Bendu tadi, kini beralih padaku.

"Iya, memang ada Mas. Tapi 'kan aku mesti pegang uang juga buat ongkos pulang nanti." jelasku.

"Gini aja, besok Mas 'kan gajian. Kamu kasih aja dulu duit 50ribu ke ibu, terus kamu besok aja nyari lowongan kerjanya yah daripada h

jadi ribut gini malu kalau kedengaran sama tetangga." jelas Mas Bendu menengahkan. 

Aku hanya diam saja dengan wajah kusut, kusodorkan duit 50ribu ke ibu. Lalu kucium punggung tangan Mas Bendu. "Yasudah kamu hati-hati ya Mas."

Aku balik badan masuk ke dalam kamar. Hatiku sakit diperlakukan seenaknya oleh mertua dan ipar. Tak kupedulikan Mas Bendu yang memanggil-manggil namaku saat aku masuk ke dalam kamar.

"Tuh, perempuan begitu kamu nikahin juga 'kan ibu sudah bilang dulu jangan nikah sama janda." terdengar samar cerocos mertua ketika aku sudah berada di dalam kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status