Tak lama terdengar deru sepeda motor, mungkin Mas Bendu mau berangkat kerja, "Maaf Mas, hari ini aku tidak melepas kamu pergi kerja. Selamatkan suamiku dalam perjalanan Yaa Allah." bisikku dalam hati.Aku tak menyangka dapat mertua dan ipar jahat untuk kedua kalinya. Cukup rasanya aku ditindas ketika pernikahanku yang pertama. Cukup juga sebulan lebih aku menerima sindiran, umpatan, dan sergahan dari mertua. Belum lagi ipar tidak tahu diri, dia harusnya lebih giat mencari kerja, bukan lenyeh-lenyeh seperti anak bayi di rumah."Yaa Rabb kuatkan hatiku untuk menghadapi mereka. Beri aku kesabaran yang lebih banyak dan jauhkan aku dari fitnah mematikan. Lindungilah keluarga kecilku yang baru seumur jagung ini Yaa Allah.""Lio, Liodra, buka pintunya. Kamu jadi menantu tahu diri dikit. Ini rumah ibu saya bukan kamu. Ingat kamu hanya numpang di sini." pintu kamarku digedor tanpa jeda bahkan bunyinya sangat kuat, kalau bukan karena segan enggan sekali aku meresponnya.Liodra? Kamu? Nini beran
"Mas, kok kamu nggak bangunin aku?" sapaku memulai pembicaraan.Tidak ada sahutan, malah Mas Bendu meraih gadgetnya yang diletakkan di bawah bantal. Karena tidak ada respon dari dia, aku mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat Subuh.Seusai sholat akupun masih berusaha mencairkan suasana."Mas, kamu marah?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Jangankan direspon dia malah menyentak kakinya. "Yasudahlah aku sudah berusaha, lebih baik aku biarkan saja." bisikku di dalam hati.Aku bertolak ke dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Ketika ku buka kulkas tidak ada satupun stok yang bisa dimasak untuk makan siang. Hanya bumbu untuk nasi goreng yang tersedia. Setelah selesai membuat nasi goreng akupun menjemput Mas Bendu ke kamar untuk mengajaknya sarapan."Mas, yuk sarapan. Aku sudah bikinin nasi goreng kesukaanmu." ajakku pada suami yang sudah ready untuk berangkat kerja.Ku raih pergelangan tangannya, lagi dan lagi dia menyentak tanpa menghiraukan pintaku, lalu berlalu keluar ka
Tak lama ibu bertolak pergi dari kamarku, Nini datang menyambar pintu yang ingin ku tutup."Hei tunggu." sergah Nini menyambar pintu kamar yang hendak ku tutup."Apa-apaan sih, Ni!" sungutku dengan tatapan tajam sembari menahan pintu kamar."Kamu yang apa-apaan. Bilang apa tadi sama ibu, itu mulut di sekolahin dulu biar tahu sopan santun.""Lah 'kan emang bener makan apa yang ada aja. Salah aku dimana coba? Yang harus disekolahin itu mulut kamu. Tahu sopan santun nggak?' sindirku."Niniiii, udah Nak nggak usah ngomong sama mantan janda. Nanti kamu ketularan lho, kalau Mas mu sudah pulang biar kita aduin saja." sorak ibu dari dapur."Awas ya, kalau saja ibu nggak ngelarang udah aku jambak rambut mu." ancamnya disertai mata membulat, aku tidak takut sama sekali.Perlakuan sama dengan ibu, Nini kuberi senyum lebar merekah sebelum dia berbalik badan meninggalkan kamarku. Biar saja dia yang sesak nafas melihat sikap ku yang masa bodoh.Sekalipun aku memang numpang di sini tapi bukan berart
"Mas, akhirnya kamu sampai rumah juga, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku khawatir sama kamu." sapaku lalu meraih tangannya hendak mencium ketika kaki Mas Bendu baru melangkah memasuki rumah."Eh Bendu kamu sudah pulang, gimana tadi acaranya? Lancar?" ibu menyerobot datang dari belakang ku, menyenggol tubuh idealku ke tepi dinding hingga tubuhku sedikit terhempas.Aku mundur beberapa menjaga jarak aman, jangan sampai nanti dia sengaja menyenggolku lagi."Lancar, Bu Alhamdulillah." jawabnya sambil menghenyakkan pantat di sofa ruang tamu lalu membuka balutan jaket dari tubuhnya.Mas Bendu tidak merespon ataupun menjulurkan tangannya padaku. Dia malah melengah seakan sosokku tidak terlihat oleh kedua netranya. Sungguh membuat kesabaran ku habis diperlakukan seperti ini.Ku hela nafas kesal lalu bertolak menuju kamar. Ku baringkan tubuh ini di peraduan, kepala ku mulai terasa sakit mungkin efek aku kurang makan dan juga lelah pikiran. Ku pijit ringan meredakan rasa sakit.🌟🌟🌟Subu
"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin
"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b