Bab 2
"Gimana?""Apa yang gimana, Bu?"Keesokan pagi jam tujuh, Giandra disuruh Emma check out dari hotel. Istri pertama itu menyetir sendiri dan menjemputnya."Tadi malam? Berhasil? Kamu jadi pake baju dinas yang aku kasih?"Giandra tersenyum masam kala ingatannya tentang peristiwa kemarin mencuat dalam benak. Wajah sinis dan dingin Darren terlintas, membuat bulu kuduknya berdiri semua."Kenapa?"Emma bertanya tatkala melihat Giandra tak memberi respons sambil terus mencengkram setir. Jalanan di hari Minggu tidak seramai hari biasa, makanya Emma berani membawa mobil sendiri yang mana hari biasa selalu ditemani suami atau supir."Suami Ibu kabur di malam pertamanya.""Maksudnya?" Sedikit terkekeh, Emma bertanya."Iya, aku ditinggal sendiri di hotel mewah itu. Pak Darren pergi setelah marah-marah tak jelas dan memaki. Tak lama setelah Bu Emma pulang meninggalkan kami berdua di kamar itu."Emma tergelak. Senang karena merasa suaminya benar-benar tidak mencintai istri barunya. Meski dia tahu, kalau paras Giandra akan mengingatkan pria itu dengan seseorang yang sangat berkesan dalam hidupnya."Kalau begini terus, aku khawatir tidak bisa meneruskan rencana Ibu." Giandra menunjukkan wajah pasrah. Dia bingung bagaimana harus menghadapi suami sekaligus atasan tersebut. Pria itu kentara tidak menginginkan kehadirannya."Kamu tidak bisa bilang begitu, Gi. Kamu sudah menerima uangku. Kamu harus menuntaskan tugasmu segera."Berdecak kesal, Emma tak mau Gian menyerah begitu saja. Enak saja. Sudah menerima haknya, tetapi tidak mau menjalankan kewajiban yang sudah dibebani."Kayaknya Pak Darren benci sekali dengan aku, Bu. Bagaimana mungkin dia mau melakukan hal itu kepadaku? Tatapannya kayak mau menerkamku hidup-hidup."Keluhan Giandra membuat Emma mengangkat satu sudut bibir, merasa lega atas sikap suaminya. Berarti apa yang dikatakan Darren padanya dianggap serius."Aku tak bisa melakukan hubungan suami istri dengan wanita manapun selain kamu, Emma. Jadi aku mohon jangan menyuruhku melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak mau melakukannya."Pengemudi itu menarik napas sebelum kembali mengatakan sesuatu kepada adik madunya."Mas Darren memang seperti itu dengan wanita yang ingin aku pinjam rahimnya. Itu artinya cinta Mas Darren hanya untukku. Dia tidak akan bisa jatuh hati kepada wanita manapun, termasuk kamu. Meski wajahmu cantik dan tubuhmu seksi. Dia tipe pria yang setia."Emma tersenyum memamerkan lesung pipi yang sedikit dalam. Cantik dan elegan, itu yang dirasakan Giandra ketika pertama kali mereka bertemu."Dia terlihat galak di depan wanita lain, tapi di depanku dia selalu lembut, baik dan perhatian. Karena aku tahu cara mengambil hatinya." Emma melanjutkan beberapa menit kemudian ketika Giandra hanya diam, tak memberi komentar apa pun."Bagaimana caranya, Bu?"Tersirat sedikit penasaran dengan suami berwajah dingin itu, apa ada cara tertentu untuk meluluh hatinya?Emma tak langsung menjawab. Dia pun harus tetap fokus pada jalan di mana saat mobilnya mulai berbelok memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggalnya. Sekaligus membiarkan Giandra menunggu dan memeluk rasa penasarannya beberapa detik."Rahasia. Tak mungkin aku beritahu kamu. Aku khawatir setelah kamu tahu rahasia itu, nanti dia jatuh cinta padamu."Deretan gigi rapi dipamerkan dan kerlingan mata pun diberikan Emma kepada Giandra setelah kalimatnya usai diucapkan. Bersamaan itu pula, jari Emma menekan klakson ketika berada di depan pagar besi hitam yang tingginya diperkirakan dua meter.Pria paruh baya berseragam segera membuka besi kokoh dan membungkuk ketika mobil putih Emma melewatinya. Dalam hitungan dua menit, mobil mewah tersebut terparkir sempurna di halaman, samping mobil hitam berinisial M, milik suaminya."Yuk, kita turun.""Buat apa kita ke sini?" tanya Giandra sedikit aneh. Dia bukan tak tahu ini adalah rumah Darren dan Emma."Sekarang kamu juga tinggal di sini bersama kami. Selain itu, aku lebih leluasa memantau agar kamu tidak lari dari tanggung jawabmu. Ingat, kamu hanya perlu membuat dirimu hamil bukan membuat dirimu mencintai suamiku. Paham?"Nada itu penuh penekanan. Dia pun langsung turun dari mobil tanpa menunggu tanggapan Giandra yang langsung membuang muka ke arah rumah megah bak kastil cinderlela.***Dengan ragu ditemani seorang pelayan berseragam putih, kaki Giandra menjejaki lantai marmer nan mahal dengan lambat. Emma sudah masuk rumah terlebih dahulu, membiarkan madunya terbiasa dengan suasana baru."Sebelah sini, Bu.""Panggil aku Gian saja, Mbak. Tidak usah sungkan.""Maaf, saya tidak bisa, Bu."Jawaban pelayan tersebut memaksa Giandra diam, tak bisa berbuat banyak hal. Lagipula menurutnya, itu bukan masalah besar dan tidak berpengaruh banyak meski telinganya tidak nyaman dengan sebutan tadi."Untuk apa kamu menyuruhnya datang ke sini, Emma?"Suara itu terdengar ketika baru saja Giandra tiba di ruang makan. Bola matanya mengedar ke sekeliling ruang makan. Meja dan kursi dengan warna senada berbahan kayu mahal, sedang ditempati Darren dan Emma. Wanita itu masih mengunci diri, belum berani melangkah lagi setelah mendengar kalimat Darren yang menatapnya tak suka. Entah benar tak suka kehadirannya karena diri itu atau karena pakaian yang dikenakan.Giandra terlihat cantik dan seksi dengan tanktop merah dilapisi kardigan hitam. Tertutup bagian lengan tetapi terlihat jelas mulusnya kulit leher dan sedikit belahan dada yang indah. Celana yang dipakai berwarna hitam, lima belas centimeter di atas lutut."Dia itu istrimu juga, Mas. Dia berhak tinggal bersama kita."Emma meletakkan kembali sendok dan garpu kemudian berdiri, berjalan mendekati Giandra yang masih bingung harus berbuat apa. Dia tak nyaman iris mata Darren yang terus memindai dirinya."Yuk, ke sana. Sapa dia dengan hormat." Emma berbisik ketika sudah berdiri di depannya.Masih bimbang, tetapi Giandra patuh dan mulai melangkah setelah menarik napas panjang. Ini bagian risiko yang harus dihadapi, berhadapan dengan atasan sekaligus suami dingin yang telah membentengi diri dari sosok wanita, selain istrinya.Dia menghentikan langkah, memberanikan diri menarik dan duduk di samping suami yang baru menikahinya kemarin siang. Siapa sangka, baru saja melekatkan bokong di kursi, kembali dia harus berupaya menulikan telinganya terhadap ocehan pria berkaos hitam itu."Jangan pernah berpikir akan menjadi nyonya besar di rumah ini! Kamu hanya dinikahi secara siri dan itu pun hanya sementara.""Tidak, Tuan yang terhormat. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku hanya ...."Gian mencoba memberi penjelasan jika dirinya tak berkeinginan menguasai rumah dan hartanya. Dia akan bekerja profesional sesuai perjanjian yang ada."Kamu wanita yang terlalu berani mengambil risiko. Ingat, kamu juga tidak akan mendapatkan fasilitas seperti yang aku berikan kepada istriku. Tidak ada kartu kredit dan supir pribadi."Gian senyum remeh, juga tidak menyangka akan dinilai seperti wanita matre. Ingin dia menegaskan alasannya menerima tawaran itu bukan karena ingin hidup enak menumpang agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan istri sahnya."Iya, Tuan. Aku tidak tertarik akan ...""Jangan memotong pembicaraanku. Aku belum selesai. Selain tak tahu malu, ternyata kamu wanita yang tak tahu sopan santun ya? Apa kamu pernah diajari untuk menghormati suamimu yang sedang berbicara? Harusnya kamu dengarkan sampai aku selesai dan menunggu sampai aku mempersilakan kamu untuk berbicara."Nada itu penuh penegasan, tatapan yang diberikan sulit diterjemahkan. Namun, wanita itu masih tak gentar untuk mempertahankan egonya"Apa katamu, Tuan? Suami? Apa Tuan sudah menganggap aku istrimu?"Lagi, tanpa takut, Gian pun menyahuti dengan nada mengejek. Salah satu alisnya pun terangkat. Dia tak menyangka akan menghadapi pria super arogan, menjilat ludah yang sudah dibuang ke lantai. Bukankah dia telah meremehkan dan tidak menganggapnya sebagai istri? Kini, dia menganggap dirinya adalah suami yang harus dihormati. Ah, terlalu naif.Mendengar kalimat istri barunya, Darren berdecak keras, berdiri lalu berjalan meninggalkan ruang makan yang mendadak menjadi mencekam"Ajarin dia sopan santun pada orang yang seharusnya dihormati. Aku tidak mau kamu memungut orang yang tak mempunyai akhlak dan tak berpendidikan seperti dia."Ucapan Darren tertuju pada Emma sebelum dia benar-benar menghilang dari pandangan Giandra. Wanita itu masih betah duduk menatap nasi goreng seafood dan jus jeruk yang belum tersentuh sama sekali di meja Darren. Makanan yang sukses memilin usus dan meningkatkan rasa lapar karena tadi malam Gian belum makan apa-apa."Kamu semestinya tidak menyahuti Mas Darren yang ujung-ujungnya akan membuatnya semakin kesal. Kamu harus bersikap hormat dan sopan. Tahan mulutmu untuk melawan. Kalau kamu terus menerus melakukan cara ini, kamu akan dalam masalah. Kamu paham?"Emma memberi petuah sebelum melangkah keluar, menemui suaminya.Gian menghentakkan tangan Darren yang menggenggam tangannya saat mereka sudah menginjak lantai kantor."Kenapa?" Tanpa melepasnya, dia menoleh ke arah Gian sambil terus berjalan menuju lift."Nggak enak dilihat anak-anak. Aku jadi grogi."Tersenyum lebar, Darren malah mengganti posisi tangan, merangkul bahu wanita yang jalan bersisian dengannya."Mas!" Mata Gian semakin melotot."Kamu istri sah sekarang. Kenapa malu? Ini kamu lihat apa yang aku bawa?"Gian menggeserkan bola mata menuju ke arah tangan yang memegang setumpuk kartu undangan. Dia mengerutkan kening lalu mendongak kepala mencari jawaban."Karyawan di sini harus kenal dengan nyonya Lesmana yang baru dan aku akan mengundang mereka semua.""What?"Tanpa memberi kesempatan Gian melayangkan protes, Darren membawanya masuk ke dalam lift bersama karyawan lain yang menyembunyikan rasa ingin tahu. Darren tampak tak peduli sedangkan Gian ber
Pria itu Agung Wirawan yang kebetulan bertemu dengan Lidya di London dan berkenalan. Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia sampai akhirnya dia menemukan flash disk rekaman CCTV. Entah siapa yang memindahkan rekaman itu ke dalam flash disk yang tak sengaja dia temukan di meja kerja sang papa.Di sana terlihat jelas Puspa memasukkan sesuatu ke dalam minuman si suami di dapur. Lalu, tak lama pria itu mendatangi meja makan dan meminumnya setelah disuguhkan Puspa. Hanya butuh sepuluh detik, papa Agung kejang dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara Puspa melipat tangan ke depan dada dan tak terlihat panik sama sekali. Sampai akhirnya, tubuh suaminya lemas dan melosot ke lantai."Mama membunuh papa?"Setelah menyaksikan sepotong cuplikan di layar laptop, mulut Emma membeo dengan pelan."Jangan panggil dia Mama. Dia bukan mama kita. Mama kita sudah tenang di surga. Wanita keji itu tak lain adalah seekor binatang yang kejam. Demi menguasai semua ha
"Jangan bunuh anakku! Pergi kalian! Pergi!"Suara keras memenuhi ruangan 3x3 meter. Dengan tangan yang terikat, terselip di baju khusus rumah sakit jiwa, Puspa meronta. Terkadang dia tertawa tak jelas ketika melihat sesuatu yang lucu baginya."Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat wanita kaya dan cantik seperti aku?" Tawa di akhir kalimat itu membuat bulu kuduk Gian dan Emma merinding. Mereka tak diperbolehkan masuk karena khawatir Puspa akan melukai dan bertindak kasar. Mereka berdiri di depan pintu dengan jendela kaca di tengahnya. Hanya dengan cara ini, mereka bisa melihat wanita yang sudah divonis menderita gangguan jiwa oleh dokter.Seminggu lalu, saat melihat darah mengalir keluar dari perut Irvan, Puspa merasa sangat menyesal. Tidak sengaja telah menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tak lama kejadian itu, beberapa polisi serta Darren masuk ke dalam ruang yang beraroma amis dan tak menemukan Gian.Emma. Wanita itu duduk sambi
Mendengar kabar duka itu, Gian sangat terpukul. Dia tak menyangka bayi dalam perutnya tidak bisa bertahan sampai dia dilahirkan. Namun, dia tahu rasa nyeri di perut semalaman itu sudah memberi isyarat bahwa kondisi si janin sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang bisa disesali, bukan kesalahan Darren karena terlambat datang menolongnya. Keesokkan harinya, Gian terpaksa menjalankan tindakan kuret yang ditemani Darren. Dokter mengizinkan lantaran wanita itu butuh pendamping yang menguatkannya. Dia bisa tiba-tiba menangis jika mengingat sesuatu hal sedih yang baru terjadi. Suasana hatinya tak menentu dan belum stabil.***"Bagaimana akhirnya Mas bisa menemukan aku di kota itu?"Setelah seminggu keadaannya sudah stabil, Gian memberanikan diri untuk bertanya hal yang ingin diketahui. Dia sudah bisa menerima apapun yang telah menimpa pada calon bayinya. Ikhlas dan pasrah."Selama ini diam-diam aku menautkan GPS di ponselmu dan aku bisa lel
Namun jika dipikir kembali, Gian bisa mengambil semua hikmah yang terjadi. Dengan semua rangkaian permasalahan yang rumit itu, dia bisa kembali ke kehidupan masa lalunya. Bertemu Darren dan menjadi istrinya yang memang tak disengaja. Benar kata orang, skenario Tuhan tidak ada yang tahu bagaimana ending-nya. Akan tetapi dia percaya, semua akan indah pada waktunya.Entah apa yang dijawab Hardi, Gian tak bisa mendengarkannya. Nyeri menjalar di seluruh kepala ketika dia berhasil mengingat kejadian demi kejadian. Menutup mata, dia larut dalam mimpi. Lelah hati dan fisik membuatnya hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Haus, lapar, sakit di sekujur tubuhnya bergabung menjadi satu paket. Deru napasnya terlihat berirama dan kesadaran itu menghilang.***"Sayang, kamu bisa mendengarkan aku? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu membaik?"Perlahan, orang yang dipanggil membuka mata dengan mengerjapkan berkali-kali. Aroma obat khas rumah sakit menero
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek