Beberapa bulan yang lalu, Sinta menghubungiku tengah malah, jam menunjukkan pukul 12 malam lebih 30 menit, Aku yang sedang tertidur bersama suamiku terbangun mendengar suara dering gawai yang berbunyi terus menerus.
Beberapa kali berbunyi akhirnya Aku meraih gawaiku itu, ku lihat Sinta yang menelpon , 'sepertinya Sinta dengan dalam masalah, tengah malam begini meneleponku' ucapku dalam hati.
"Halo, Sinta, ada apa?"
"Halo, Tar. Tolong aku, aku butuh bantuanmu, hiks," ucap Sinta sembari menangis.
"Kamu kenapa Sinta? Ferdi kemana?"
"Mas Ferdi pergi entah kemana, setelah dia menganiaya aku, Tar,"
Terdengar suaranya meringis kesakitan, aku panik, entah apa yang terjadi kepadanya.
"Astaghfirullah, apa yang kamu katakan, Sinta? Kamu di pukuli oleh Ferdi?"
"Iya, Tar, dan sekarang aku sedang merasakan sakit perut yang luar biasa, tolong aku Tar, tolong selamatkan aku dan bayiku," jawab Sinta, lalu telepon terputus.
"Halo.. halo.. Sinta.. Sinta.."
"Ada apa Dek? Kenapa dengan Sinta?" Tanya Mas Rendra yang sedari tadi berada di sampingku itu.
"Kita harus segera kerumah Sinta sekarang Mas!"
"Baiklah, aku akan segera menyiapkan mobil,"
Kamu segera menuju ke rumah Sinta, 45 menit untuk sampai di rumah Sinta, waktu sudah tengah malam jalanan tidak terlalu ramai, namun Aku masih saja panik, dan terus berdoa untuk keselamatan Sinta, Mas Rendra yang melihatku khawatir mencoba untuk menenangkanku dengan menggenggam hangat tanganku.
"Tenanglah.. sahabatmu pasti akan baik-baik saja,"
"Ini semua salahku, Mas. Harusnya aku lebih tegas saat melarang Sinta menikahi Ferdi. Dari awal Ferdi sudah terlihat bukan orang baik,"
"Semua sudah terjadi, Dek. Ini pilihan Sinta sendiri, kamu sudah berusaha keras untuk menghentikan pernikahan itu, tetapi Sinta malah melarangmu dan memintamu untuk diam." Ujar Mas Rendra.
"Sinta masih begitu polos,Mas. Dia tidak memiliki orangtua, dan berfikir Ferdi akan menjadi pelindungnya, tetapi malah menjadi monster dalam hidupnya."
Aku masih terus menyalahkan diriku yang kurang keras dalam melarang Sinta untuk menikahi Ferdi, Aku menyesalinya, kini sahabatku itu tengah di ambang hidup dan mati.
"Semua memang sudah terjadi,Mas , kita akan tolong Sinta untuk keluar dari kehidupannya yang menyeramkan itu,"
"Baiklah Sayang. Kita bantu sahabatmu itu," Mas Rendra menyetujui permintaan istrinya ini dan mengelus lembut rambutku.
Sesampainya kami di rumah Sinta, segera Kami turun dari mobil, melihat pagar rumah tidak terkunci kami bergegas masuk ke dalam rumah, masuk di ruang tamu keadaan sudah sangat kacau balau, sudah berantakan dan banyak barang yang pecah.
"Sinta.." gumamku khawatir mencari Sinta.
Kami melihat Sinta sudah penuh darah dan badannya penuh memar di atas sofa.
Aku begitu sedih hingga menangis melihat Sinta terluka parah seperti itu "Sinta.. Sinta.. apa yang terjadi kepadamu, hiks."
"Dek, baiknya kita segera ke rumah sakit, agar Sinta mendapat penanganan segera."
"Ayo Mas, kita pergi sekarang,"
Aku dan Sinta masuk ke bagian belakang mobil, Mas Rendra segera masuk ke dalam mobil dan tancap gas ke rumah sakit.
Selama purjalanan Aku menangis terus, mencoba untuk menyadarkan Sinta, namun sia-sia, Sinta sama sekali tidak merespon merespon panggilanku.
Darah segar terus keluar dari bagian bawah Sinta. Aku yang melihat itu panik luar biasa, Aku takut jika Sinta keguguran, sedangkan kehamilannya ini sangat di harapkan oleh Sinta.
Setelah menempuh perjalanan 30 menit mereka sampai di rumah sakit, perawat yang melihat kondisi Sinta pun segera membawa tempat tidur pasien dan mendorongnya menuju ICU.
Sinta langsung masuk ruangan ICU untuk mendapatkan penanganan serius, Mas Rendra mengisi administrasi dan lain-lain, sedangkan Aku masih terus mondar - mandir di depan pintu ICU.
Selang beberapa waktu, dokter keluar dan menanyakan wali Sinta, karena harus mendapat izin untuk di lakukan tindak operasi.
"Maaf, apa ibu adalah wali dari pasien?" tanya dokter kepadaku.
"Iya dok, saya walinya," jawabku cepat.
"Begini, pasien mengalami penganiayaan yang cukup serius, apalagi di bagian perut bawahnya, sepertinya dia mendapat hantaman di bagian perut dengan keras, hingga membuat pasien terancam keguguran," jelas dokter.
"Tolong selamatkan pasien dan calon anaknya , dok."
"Untuk pasien bisa diselamatkan dengan menandatangani surat persetujuan untuk kuretase, karena saat ini kehamilannya seperti racun yang akan membahayakan nyawa pasien."
"Sinta akan hancur jika kehilangan bayinya, dok."
"Selamatkan nyawa pasien dan merelakan kehamilannya atau dua-duanya meninggal?"
Tak ada pilihan lagi, Aku menatap Mas Rendra, suamiku â…žmenguatkan bahwa keputusanku adalah yang terbaik untuk Sinta.
Setelah menandatangani berkas persetujuan, dokter akhirnya melakukan tindakan kuretase, yang awalnya nyawa Sinta terancam kini telah terselamatkan.Setelah operasi selesei, Sinta dipindahkan ke ruang rawat biasa, dirinya belum sadarkan diri. aku dengan setia mendampinginya terus tanpa pergi kemanapun.
"Dek, istirahatlah, jika kamu memaksakan begini, kamu yang akan sakit." ucap Rendra menyuruh Tari istirahat.
"Aku tidak bisa tenang , Mas. Nanti Sinta akan mencariku saat dia sadar."
"Anak-anak kita di rumah juga mencarimu, Dek. Pulanglah dulu, setelah kamu istirahat dan mengurus anak-anak barulah kemari lagi. Mas sudah menyuruh Gilang untuk mengantarkanmu pulang."
"Baiklah Mas, kabari jika Sinta sudah sadar."
"Pasti, Mas akan kabari kamu."
Aku menuruti perintah suamiku, mengingat kedua anaknya yang pasti mencarinya, apalagi si kecil yang masih ASI, walau ASI perah ada si kecil Rangga tetep suka menyusu langsung.
Jam menunjukkan pukul 7 pagi saat Aku tiba di rumah, Nada putri pertamanya telah bersiap untuk berangkat sekolah, melihat mamanya Nada pun langsung berlari memeluk mamanya yang semalam tidak dirumah.
"Mama.. mama habis pergi kemana? Kok jam segini baru pulang dan masih pakai piyama lagi?" Tanya Nada dengan polos.
"Mama baru nganterin sahabat Mama ke rumah sakit, sayang, Nada semangat yah sekolahnya," jawabku sembari mengecup pipi gembulnya itu.
"Mama juga punya sahabat? Jadi seperti Nada dan Nadia dong , Ma," ucap Nada dengan polosnya memamerkan sahabatnya juga si Nadia.
"Iya, sahabat dekat seperti Nada dan Nadia,"
"Yeay... Kapan-kapan Nada pengen ketemu sahabat Mama itu, namanya siapa, ma?"
"Namanya Tante Sinta, sayang,"
"Sudah, Nada berangkat sekolah dulu, nanti kesiangan loh."
"Oke, Ma. Nada berangkat dulu, Assalamualaikum," Nada dengan cepat mencium punggung tanganku dan segera masuk mobil untuk segera berangkat sekolah.
"Anak ini sungguh membuat hati bahagia, Nadaku sayang."
Aku segera masuk ke rumah, ibu mertuaku sedang menyuapi Rangga, Rangga jika bersama ibu sangat anteng dan menurut, mungkin karena ibu mertuaku begitu melimpahi kasih sayang kepada kedua cucunya.
"Eh.. itu lihat , mama sudah pulang," ucap ibumu pada Rangga saat melihatku datang.
"Assalamualaikum Bu," Aku segera mencium punggung tangan ibu mertuaku.
"Waalaikumsalam, kamu terlihat capek sekali nak? Ayo makan dulu, ini ibu buatkan masakan kesukaanmu, semur ayam dan sambal goreng ati."
"Hmm.. ibu bener-bener memahami Tari, Tari sudah kelaparan sejak tadi, tapi aku mau mandi dulu biar seger."
"Kamu ini, seperti anak kecil saja, ayo segera makan, mandi nanti saja."
"Gimana aku gak kaya anak kecil, sebab punya mertua yang selalu memanjakan menantunya seperti anak sendiri," ucapku sembari memeluk pinggang ibu mertuaku itu.
"Gak malu itu di lihatin sama Rangga, kalau mamanya juga masih manja sama seperti Rangga," ucap Bu Retno menunjuk Rangga yang tertawa melihat tingkah mamanya.
"Hehehehe, oke aku mau segera makan masakan lezat ibuku, yummy."
Aku bersemangat sekali memakan masakan yang sudah di buatkan oleh ibu mertuaku. Aku beruntung memiliki mertua yang sangat menyayangiku layaknya seorang anak kandung. Tak pernah sekalipun Ibu Retno menggosipkan diriku ataupun memarahiku.
Sosoknya seperti menggantikan sosok ibu kandungku yang telah tiada waktu aku berusia 12 tahun. Sebelum menikah dengan Mas Rendra, Aku takut akan memiliki mertua yang galak dan suka menggosip seperti yang di sinetron. Haha
Suami yang mencintai, Ibu mertuaku yang menyayangiku dan Adik Ipar yang baik, Anak-anak yang lucu dan menggemaskan, Sungguh Tuhan begitu baik kepadaku.
Setelah puas menikmati malam yang panas, Rindu dan Yash saling menatap langit-langit hotel."Yash, apakah yang kita lakukan ini benar?" "Tentu saja benar, sayang. Aku mencintaimu." "Seharusnya kamu menghabiskan malam pertama dengan Azura. Hiks." Rindu menangis meratapi kenyataan bahwa Yash sudah beristri tapi malah menghabiskan malam bersamanya. "Hai.. hai dengarkan Aku. Aku punya tujuan lain menikahi Azura. Aku sama sekali tidak mencintainya." "Kenapa kamu seperti ini Mas?""Itu karena ornagtua Azura yang sudah mengahancurlan masa kecilku, Rin." "Apa? Tante Tari dan Om Mozhaf memang mereka melakukan apa." Akhirnya Mozhaf menceritakan semuanya kepada Rindu. Rindu sangat terkejut ternyata meraka masih memiliki hubungan di masa lalu. "Yash.. apa kamu sudah gila?" Rindu mendorong Yash setelah mendengar ceritanya."Biarlah aku melakukan urusan balas dendamku, Rin. Cintaku tetaplah kamu, tolong jangan campuri rencanaku dan tetap bahagia bersamaku." "Tapi.. Azura tidak bersalah."
Satu jam sebelum ijab qobul Yash dan Azura.Setelah semalam berkabar dengan penuh penyesalan kepada Azura bahwa Rindu tidak bisa datang di acara pernikahannya, Rindu sudah berada di bandara untuk menunggu pesawat yang akan dia naiki menuju Bali."Kenapa begitu mendadak acara bedah buku ini ya? Pas sekali di acara pernikahan Adikku." Cicit Rindu ketika sudah menunggu jadwal keberangkatannya. Tapi karena sedang ada masalah di pesawat yang akan Rindu naiki, maka penerbangan akan delay selama enam jam untuk proses perbaikan. Rindu begitu senang, dengan delaynya pesawat, jadi dirinya bisa menghadiri pernikahan Azura dan ikut berbahagia bersama adiknya itu."Zura, Kaka datang, Kaka ingin ikut hadir dalam acara bahagiamu." Rindu segera mengendarai mobilnya ke rumah Tari dan Mozhaf dimana acara pernikahan Azura berlangsung. Sekitar dua puluh menit Rindu mengendarai akhirnya Rindu sampai di rumah Tari dan Mozhaf.Tari yang melihat Rindu datang begitu bahagia, menyambut Rindu dengan hangat b
Azura dan keluarganya sibuk mengurus pernikahannya yang akan dilaksanakan besok, hanya beberapa tamu undangan yang akan menghadiri acara pernikahan Azura dan Yash.Sesuai permintaan Yash, acara di laksanakan di rumah Azura dan tidak mengadakan acara besar-besaran. Tari dan Mozhaf mengikuti semua permintaan Yash asal nanti Azura bisa berbahagia.Namun tampak Azura tidak bersemangat, wajahnya terlihat sedih dan murung. Tari yang menyadari itu langsung mengajak Azura untuk berbicara di kamarnya."Nak, ada apa denganmu? Harusnya kamu bahagia besok hari pernikahanmu." Tanya Tari saat sudah berada di kamar pengantin Azura."Ma, apakah Mas Yash sesibuk itu? Sampai selama seminggu ini kami tidak bertemu? Bahkan Mas Yash meminta temannya yang menyerahkan sesesahan itu. Bahkan pas fitting baju Mas Yash tidak hadir, sepertinya pernikahan ini tidak membuatnya senang." Azura tertunduk sedih, bulir bening menetes dari pipinya. Azura yang memiliki hari lembut, sangat kecewa dengan sikap dari Yash
"Tuan, apakah kita akan memberitahu ornagtua Tuan dan kakek bahwa Tuan akan segera menikah?" Tanya Baim sembari menyetir.Yash mendekati Baim dan memukul kepala Baim dengan cukup keras walau tidak terlalu sakit."Apa kau sudah gila, Im? Ini pernikahan jebakan, orangtua dan kakek ku tidak harus tahu!" "Baik Tuan, maafkan saya." "Kamu juga harus merahasiakan ini, mengerti Im?" "Baik Tuan." Baim kembali serius menyetir, agar bisa membawa mobil mewah Tuannya dengan nyaman.Yash kembali menatap kearah luar mobil, kecupan yang Azura berikan tadi masih terbayang di pikirannya. Tiba-tiba ponsel Yash berdering. Tertera naman Cintaku di sana. Bayang-bayang Azura seketika hilang saat Yash melihat panggilan telepon itu dan segera menerima telepon itu."Halo , sayang. Maaf Aku terlalu sibuk jika tidak bisa menghubungimu." Wanita di sebrang sana yang sedang bertelepon dengan Yash pun dengan lembut menjawab. (Tidak apa-apa sayang. Kamu pasti sibuk setelah pelantikan CEO dan kebebasan ibumu."
"Mama, papa. Mas Yash sudah datang."Deg.. Yash sangat terkejut, Azura ternyata menyiapkan makan malam bersama kedua orangtuanya yaitu Tari dan Mozhaf. Yash masih belum siap untuk bertemu dengan mereka berdua yang begitu Yash benci.Yash terdiam, sejujurnya Yash belum siap untuk bertemu kedua orangtua Azura. Tetapi gadis berjilbab di depannya itu justru sudah membawa kedua orangtuanya."Mas, kenalkan ini Papa dan Mama ku," Azura memberikan kode dengan mengedipkan sebelah matanya kepada orangtuanya. "Nak Yash, senang bertemu denganmu Nak. Kami orangtua Azura." Mozhaf sembari menyodorkan tangannya.Yash seolah muak dengan makan malam ini, tapi demi rencananya berhasil Yash harus bisa bertahan. "Saya Yash. Kekasih Azura, putri kalian." Mozhaf dan Tari saling pandang dan tersenyum, tampannya mereka bergitu bahagia saat Yash menyebut dirinya kekasih Azura. Begitupun Azura terlihat malu-malu."Azura beruntung bisa mendapatkan kekasih yang tampan sepertimu, nak." Cicit Tari setelah semua
Yash bersiap untuk menyambut kedatangan Mamanya, setelah dua puluh tahun berlalu, kini mamanya akan menginjakkan kakinya di rumah masa kecilnya lagi. Rasa rindu begitu menyeruak di hati Yash. Rumah telah di hias dengan begitu cantik atas ide dari Yash. Berbagai makanan kesukaan Nia juga sudah di siapkan. Yash sudah mulai memahami kondisi mamanya sejak berusia sepuluh tahun. Yash muda yang sudah begitu dewasa, dengan tegar sering mengunjungi mamanya di penjara, walau hanya sekedar berbagi cerita ataupun membawakan makanan kesukaan Nia.Setelah Yash lulus SMA, Nia sudah mulai melarang Yash menjenguknya ketika. Nia tidak ingin membuat citra Yash yang saat itu sudah masuk Universitas terbaik menjadi buruk hanya karena sering menemuinya.Yash menolak permintaan mamanya, sebab bagi Yash tidak bertemu dengan Mamanya adalah suatu siksaan. Tapi tekad Nia sudah bulat, Nia sama sekali tidak akan menemui Yash ketika Yash berkunjung. Rasa sedih mulai menghinggapi hatinya, sampai akhirnya Yash ha