Share

BAB 3 - mencoba menerima!

"Aa.. apa yang kamu bicarakan nak?" Tanya ibu mertuaku memastikan, namun aku hanya menunduk.

"Rendra! Jelaskan pada ibu apa benar yang Tari katakan?" Bentak ibu dari suamiku itu.

"Benar Bu, aku sudah menikahi Sinta 3 bulan yang lalu," 

Aku dan Sinta hanya menangis dan memejamkan mata , mertuaku itu sangat terkejut , ibu sangat syok atas apa yang dikatakan anaknya. Hingga pandangannya tiba-tiba gelap, dan ibu akhirnya pingsan.

"Ibuuu.." 

Kami bertiga berhambur memeluk ibu.

"Ini semua salahmu, Mas."

"Baiknya kita bawa ibu ke dalam dulu, Dek." 

"Tidak, Mas jangan sentuh ibu." 

"Dek, ibu harus segera di beri pertolongan pertama, biar aku segera memanggil dokter keluarga kita." 

Mas Rendra segera menggendong ibunya dan bergegas masuk ke rumah di ikuti Aku di belakangnya. Sinta hanya terdiam melihat kami masuk  ke rumah membawa Ibu, baguslah jika dia masih punya rasanya malu untuk tidak ikut masuk. 

Tak lama dokter keluargapun tiba, ibu mertuaku  segera mendapatkan pertolongan, kondisinya memang sedang kurang sehat, jadi mungkin itu yang menyebabkannya pingsan setelah mendengar berita mengejutkan itu.

Ibu mertuaku perlahan sadar,  dan dia mencari Mas Rendra, Mas Rendra segera mendekati ibunya dan memegang tangan kiri ibunya.

"Tenang Bu, Rendra dan Tari ada disini," 

Plaakkk... Pipi Mas Rendra justru di tampar, ibu pun segera menepis tangan Mas Rendra, ada guratan kemarahan di wajahnya ke pada putra semata wayangnya itu.

"Kamu... Kenapa kamu mempunyai sifat memalukan seperti ini? Kenapa kamu menjadi seorang penghianat untuk istrimu dan anak-anakmu sendiri, Hah!" 

"Bu, masalah ini nanti saja yah dibahasnya, ibu pulih dulu," ucapku mencoba menenangkan ibu mertuaku.

"Diam nak, kamu diam saja jangan mencoba membela lelaki penghianat ini!" Ibu nampak sangat murka kepada Mas Rendra.

"Maafkan aku Bu, mungkin ini penghianatan bagi ibu, tetapi bagiku ini adalah Cinta," ucap Mas Rendra mencoba membenarkan pernikahannya.

"Ibu tidak merestui hubunganmu dengan Sinta, lupakan Sinta dan kembali bersama Tari dan anak-anakmu!" Tegas Ibu.

"Rendra tidak bisa, Bu. Sinta hanya memiliki aku, dia tidak memiliki siappun," Mas Rendra mencoba mempertahankan pendiriannya. 

Aku yang mendengar itu merasa sangat hancur, apa begitu besar cinta suamiku kepada Sinta? Ibu melihatku dengan perasaan yang sulit untuk di gambarkan,  dia paham sekali apa yang di rasakan menantunya ini.

"Silahkan kamu keluar dari rumah ini, mulai sekarang kamu bukan anak ibu lagi!" 

"Tari mohon, Bu. Jangan seperti ini, jangan usir Mas Rendra," 

"Tapi dia telah tega melukai hatimu, Nak. Ibu tidak pernah mendidik anak lelaki ibu untuk menyakiti hati istrinya seperti ini." 

"Bu, ini rumah tangga Tari. Izinkan Tari untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara kami,"

Aku kembali mencoba untuk menenangkan mertuaku, bagaimanapun ini rumah tanggaku dengan ayah dari kedua anak-anakku, Aku hanya tidak ingin di usianya yang sudah tidak muda lagi mertuaku harus berpisah dari anak lelakinya.

"Kamu akan menyesalinya Rendra, wanita sebaik Tari tidak sebanding dengan seorang Sinta!" 

Mertuaku langsung memelukku dan mengelus rambutku, hangat sekali, kasih sayang seorang ibu yang tulus. Aku tersenyum kepada ibu, dan segera bangkit mengahanpiri suamiku yang sejak tadi hanya bisa terdiam menerima semua murka dari ibunya.

"Mas kita bisa berbicara di luar?" 

Aku memberikan senyum kepada Ibu bahwa Aku bisa mengatasi ini semua dengan baik. Aku bergegas melangkah keluar dan di ikuti Mas Rendra di belakang.

Kami sampai di kamar tempat kami berbagi semua rasa, Aku membalikkan badan dan  menatap suamiku dengan tajam, Aku  mengepalkan kedua tanganku dan berusaha untuk menguatkan hati untuk apa yang akan Aku katakan.

"Mas, Aku siap menerima Sinta menjadi maduku!"

Ucapanku membuat Ayah dari anak-anakku itu kebingungan, mungkin dia berfikir Aku akan mengamuk atau menyerangnya seperti kebanyakan wanita yang mengetahui pernikahannya telah di khianati, namun kamu salah, Mas. Aku bukan wanita rendahan yang akan memukulimu dengan membabi buta, ada anak-anak yang tetap harus di pikirkan masa depannya.

"Kamu serius ,Dek? Mas akan menuruti perintah ibu untuk pergi dari rumah ini." 

"Aku serius, Mas."

"Kamu yakin, Dek? Untuk mengizinkan Mas berpoligami?" 

"Iya"

"Baiklah, Mas akan mengajak Sinta masuk ke rumah," 

"Tetapi aku ada syarat untuk ini." 

"Baiklah, apa yang harus Mas lakukan?" 

"Biarlah Sinta tetap tinggal di apartemennya, aku tak sudi dia memasuki rumah kita, dan jangan sampai anak-anak kita tahu bahwa Sinta adalah istrimu yang lain," 

"Dan satu lagi, jika Sinta memang mencintaimu, aku tak akan membiarkan dia mengambil harta ataupun aset yang telah kita dapatkan bersama, hanya uang gajimu yang berhak kamu berikan kepada Sinta." Lanjutku untuk persyaratannya.

"Mana  bisa begitu, Dek. Sinta juga istrinya, Mas. Dia punya hak yang sama sepertimu," 

Geram sekali aku kepada suamiku itu, kenapa sekarang suamiku itu sungguh tidak tahu di untung masih ingin tawar menawar dengan persyaratan yang aku ajukan? Dengan berat hati aku terpaksa untuk mau menerima Sinta menjadi Maduku , tetapi Mas Rendra masih banyak tingkah, sungguh diluar nalar jalan pikiran suamiku saat ini.

"Kalau begitu, Aku akan melaporkan Sinta dan kamu kepada polisi, karena telah menikah diam-diam tanpa persetujuan Istri pertama, biar kalian dapat hukuman atas perbuatan kalian!" Ancamku.

"Jangan begitu, Dek. Jika Mas sampai dipenjara nanti bagaimana dengan perusahaan kita? Lebih baik Mas pergi saja dari rumah sesuai permintaan ibu" 

" Itu terserah , Mas, tapi jangan berharap Mas akan bisa bertemu anak-anak lagi!" 

Melihat keteguhan hatiku dan ancaman-ancamanku Mas Rendra terdiam sejenak, kesalahannya kepadaku memang sangat mentakitkan, tapi bagaimanapun anak-ansknya tetap membutuhkan sosok Ayah dalam tumbuh kembang mereka, Membayangkan harus berbagi suami dan cintanya saja sudah membuatnya frustasi.

"Baiklah.. hubungan Mas dan Sinta tidak akan ada seorangpun yang tahu," 

"Iya." 

Mas Rendra meninggalkan kamar, dan berjalan menuju taman, Mas Rendra menghampiri istri keduanya itu.

Benar saja, Sinta masih berdiri di tempatnya, tanpa berpindah sedikitpun, dan segera menghampiri Mas Rendra.

"Sinta, ayo kita pulang ke apartemen," ajak Rendra sembari memegang tangan Sinta.

"Aku khawatir dengan keadaan ibu, Mas. Aku ingin menjenguknya," Sinta menepis tangan Mas Rendra dan melangkah ke rumah ingin melihat ibu mertuanya. 

"Jangan sekarang, Sin. Ibu sedang istirahat, baiknya kita pulang ke apartemen dulu."

"Tapi Mas,"

Rendra menutup mulut Sinta dengan telunjuknya, pertanda Sinta harus diam dan mengikutinya untuk pulang ke apartemen mereka. Dari lantai dua, Aku yang melihat Mas Rendra dan Sinta dengan air mata mengalir, melihat suamiku kini menggandeng wanita lain tak hanya dirinya.

Walau Aku berucap ingin menerima Sinta sebagai maduku, tetapi tetap saja hati ini  merasakan sakit yang teramat, tidak ada yang ingin berbagi suami kepada wanita manapun. Tetapi kini Aku  terpaksa harus belajar terbiasa dengan rasa sakit itu.

"Nak.. boleh ibu bicara?" 

Ucapan ibu segera menyadarkan ku dari kesedihan ini aku menghapus air mataku, tidak ingin membuatnya khawatir.

"Jangan dihapus nak, biarkan keluar airmatamu, agar hatimu merasa tenang."

"Aku tidak akan menangis Bu, tak ada yang perlu ditangisi." 

Ibu mertuaku memegang kedua tanganku dan menatap wajah menantu ini dengan penuh kasih sayang. 

"Jika kamu tidak ingin di poligami , ibu pasti akan membantumu, nak. Ibu tidak rela kamu menangis terus seumur hidup!" 

"Bu, aku tahu bahwa keputusanku ini akan memiliki resiko, tetapi aku tidak punya hak untuk memisahkan anak-anak dari Ayahnya."

"Anak-anak akan mengerti suatu saat nanti, mereka hanya kehilangan Ayah, mereka memiliki ibu, nenek dan Tante yang akan  menyayangi mereka."

"Bu, tetap beda kasih sayang seorang Ayah dengan kasih sayang seorang ibu. Ibu tidak melihat, dari mata Mas Rendra terlihat dia begitu mencintai Sinta, hingga rela jika disuruh keluar dari rumah," Jelasku.

"Ibu sudah memperingati kamu tentang Sinta, bahwa tidak baik jika membiarkannya terlalu dekat dengan keluargamu, apalagi suamimu."

Perkataan ibu memang benar, dulu aku tidak pernah memikirkan akan terjadi hal seperti ini,  Aku hanya memikirkan bagaimana cara membantu Sinta. Tetapi Sinta malah merebut suamiku.

"Maafkan aku bu, aku tidak mendengarkan nasehat ibu, dan tetep bersikeras membantu Sinta dan membawa Sinta untuk tinggal disini waktu itu, aku tidak tahu bahwa dia akan merebut suamiku seperti ini. Hiks."

Aku menangisi kebodohanku , Aku menyesali semua yang telah Aku lakukan untuk menolong Sinta.

"Kamu tidak salah nak, yang salah adalah Sinta yang tidak tahu malu, sudah di tolong tetapi berani menghujamkan pisau ke hati penolongnya."

Aku hanya bisa menangis di dalam pelukannya, Ibu memelukku erat di dalam pelukannya, membelaiku, terimakasih Bu, telah menyayangiku layaknya seorang Ibu kepada Anak kandungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status