Mobil melaju dengan kecepatan tinggi menembus jalanan malam Roma. Aurora duduk di kursi belakang, matanya tajam menatap pemandangan yang berkelebat di luar jendela. Pikirannya dipenuhi oleh nama yang terus bergema di kepalanya—Antonio Vasquez.
“Ke mana kita sekarang?” tanya Lorenzo dari kursi pengemudi. Leo yang duduk di sampingnya menjawab, “Kita perlu tempat aman sebelum bergerak lagi. Vasquez pasti akan mengirim lebih banyak orang untuk mencari kita.” Aurora menghela napas. “Kita tidak bisa hanya bersembunyi. Kita harus menemukan Nicolo sebelum dia benar-benar menghilang.” Leo menoleh ke belakang, menatap Aurora serius. “Kita perlu strategi. Jika kita gegabah, itu hanya akan membawa kita ke dalam perangkap.” Aurora tahu Leo benar, tapi ia tidak bisa hanya duduk diam. --- Mereka tiba di sebuah vila terpencil di pinggiran kota—salah satu rumah persembunyian keluarga DeLuca. Begitu memasuki vila, Lorenzo segera memeriksa keamanan tempat itu, sementara Leo menuju dapur untuk mengambil minuman. Aurora berdiri di dekat jendela, menatap langit malam yang gelap. Ia mencoba mengingat kembali semua yang ia ketahui tentang Nicolo—kebiasaannya, tempat favoritnya, orang-orang yang mungkin masih setia padanya. Lalu, sebuah ingatan lama muncul di benaknya. “Leo,” panggilnya tiba-tiba. Leo, yang baru saja meneguk segelas anggur, menoleh. “Apa?” “Ada satu tempat yang mungkin bisa memberi kita jawaban.” Leo mengernyit. “Di mana?” Aurora menatapnya dalam-dalam. “Rumah lama Nicolo.” Lorenzo yang baru saja kembali dari pengecekan keamanan, bersandar di pintu. “Kau yakin dia masih punya sesuatu di sana?” Aurora mengangguk. “Nicolo bukan orang yang ceroboh, tapi dia juga bukan orang yang mudah melepaskan masa lalunya.” Leo berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Baiklah. Kita akan ke sana besok pagi.” --- Pagi harinya, mereka berangkat ke sebuah distrik tua di Roma. Rumah Nicolo terletak di sebuah jalan kecil yang sepi, dengan dinding batu yang ditutupi lumut. Aurora mengamati tempat itu dari jauh sebelum mereka masuk. “Tidak ada tanda-tanda pergerakan.” Leo mengeluarkan pistolnya. “Tetap waspada.” Mereka memasuki rumah itu secara diam-diam. Aurora bisa merasakan aroma kayu tua yang lembap bercampur dengan debu. Perabotan masih tertata rapi, seolah tempat itu sudah lama tak dihuni. Lorenzo segera menyisir ruangan, sementara Leo menuju ke lantai atas. Aurora, di sisi lain, bergerak menuju ruang kerja Nicolo—tempat di mana pria itu biasa menyimpan dokumen-dokumen pentingnya. Tangannya menyentuh meja kayu besar di ruangan itu. Ia membuka beberapa laci, menemukan beberapa dokumen lama, namun tidak ada yang cukup berharga. Lalu, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah buku tua dengan sampul kulit yang tampak sudah usang. Aurora membuka buku itu dan mendapati bahwa itu bukan sekadar buku biasa. Halaman-halamannya penuh dengan catatan tangan Nicolo—kode, tanggal, dan nama-nama yang ia kenali. Leo masuk ke ruangan dan melihat ekspresi Aurora. “Apa yang kau temukan?” Aurora menunjukkan buku itu padanya. “Ini adalah catatan Nicolo. Bisa jadi ini adalah kunci untuk menemukan dia.” Leo mengambil buku itu dan membolak-balik halamannya. “Ada banyak kode di sini… dan beberapa nama yang tidak asing.” Lorenzo tiba-tiba muncul di ambang pintu. “Kita punya masalah.” Aurora dan Leo langsung menatapnya. “Apa?” Lorenzo memberi isyarat ke arah luar jendela. “Kita tidak sendirian.” Aurora langsung melihat ke luar dan mendapati beberapa pria bersenjata sedang mendekati rumah itu. Leo mengumpat. “Sial. Mereka pasti mengikuti kita.” Tanpa pikir panjang, mereka segera bersiap. Aurora meraih pistolnya, sementara Leo dan Lorenzo mengambil posisi bertahan. Tiba-tiba, terdengar suara keras—pintu depan didobrak. Salah satu pria berteriak, “Keluar, dan kami tidak akan membuat ini sulit untuk kalian!” Aurora menyeringai. “Aku tidak suka bernegosiasi dengan pengecut.” Tanpa ragu, ia menembak ke arah salah satu pria itu, membuat kekacauan terjadi. Leo dan Lorenzo langsung bergabung dalam baku tembak, melumpuhkan beberapa musuh dalam hitungan detik. Aurora bergerak cepat, melompat keluar jendela belakang dan berlari menuju gang kecil di samping rumah. Leo dan Lorenzo mengikuti di belakangnya. “Kita harus ke mobil!” teriak Lorenzo. Mereka berlari dengan cepat, suara tembakan masih menggema di belakang mereka. Namun, tepat saat mereka hampir mencapai mobil, sebuah mobil hitam lain melaju cepat ke arah mereka, menghalangi jalan. Pintu mobil itu terbuka, dan seseorang keluar—seseorang yang sangat familiar bagi Aurora. Nicolo. Aurora terkejut, jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak. Nicolo menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aurora…” Aurora mengangkat pistolnya ke arah pria itu. “Kau punya banyak hal yang harus dijelaskan, Nicolo.” Nicolo mengangkat tangannya, tanda bahwa dia tidak bersenjata. “Aku tahu. Tapi percayalah, aku bukan musuhmu.” Leo mendekat, wajahnya penuh amarah. “Kau membunuh Giovanni. Kau mengkhianati kami.” Nicolo menatap Leo dengan serius. “Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Tapi aku tidak bekerja untuk Vasquez.” Aurora menatapnya curiga. “Lalu siapa yang kau lindungi?” Nicolo terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku tidak bisa menjelaskannya di sini. Terlalu berbahaya.” Aurora mengepalkan tangannya. “Kau lebih baik bicara, atau aku akan memastikan kau tidak bisa lagi bersembunyi.” Nicolo menatapnya dalam-dalam. “Kalau begitu, ikut aku. Aku akan menunjukkan sesuatu yang akan mengubah segalanya.” Aurora saling bertukar pandang dengan Leo dan Lorenzo. Ini bisa jadi jebakan. Tapi ini juga bisa jadi kesempatan untuk menemukan jawaban yang mereka cari. Akhirnya, Aurora menghela napas dan berkata, “Baiklah, Nicolo. Tapi jika kau mencoba sesuatu… aku sendiri yang akan menghabisimu.” Nicolo tersenyum kecil. “Kau selalu begitu tegas, Aurora.” Mereka masuk ke mobil Nicolo, siap menghadapi apa pun yang akan mereka temukan selanjutnya. Dan di dalam hatinya, Aurora tahu—permainan baru saja dimulai. ---Udara dingin menyambut Leo saat ia dan Aurora mendarat di wilayah pegunungan Serbia, tepat di perbatasan utara yang menjadi jalur lintas senjata gelap Forum Umbra. Luka, yang sudah lebih dulu tiba bersama dua anggota Il Lupo, menyambut mereka di tempat persembunyian: sebuah vila tua peninggalan perang Yugoslavia.“Ada gerakan dari anak buah Khan,” bisik Luka sambil menunjukkan foto satelit. “Setelah kau ledakkan gudang di Istanbul, mereka mundur ke markas cadangan di sini. Tapi yang mengejutkan... mereka membawa ilmuwan.”Leo memicingkan mata. “Ilmuwan?”Aurora menimpali, “Forum tak hanya memperjualbelikan senjata, tapi juga memodifikasi teknologi militer. Mereka rekrut pakar senjata biokimia dari Ukraina dan Rusia.”Leo menatap layar. “Kita harus tangkap mereka hidup-hidup.”---Markas Forum Umbra – Serbia UtaraDi dalam bangunan tersembunyi di balik hutan pinus bersalju, seorang pria tua berkacamata bundar tengah mempersiapkan bahan kimia. Namanya Dr. Vasko Lunin, pakar racun syaraf
Pagi baru menyinari Milan saat Leo duduk sendirian di ruang strategi bawah tanah. Peta digital menyala samar di hadapannya, memperlihatkan jaringan-jaringan yang pernah tersembunyi—Forum Umbra, sisa-sisa pasukan Ivanov, dan bahkan simpul-simpul kecil yang mengakar hingga Amerika Latin dan Timur Tengah.Aurora masuk tanpa suara, membawa dua cangkir kopi.“Tak tidur semalam?” tanyanya sambil meletakkan cangkir di hadapan Leo.“Tidur artinya membiarkan musuh bernapas lebih lama,” jawab Leo tanpa menoleh.Aurora menatap layar. “Ini... lebih besar dari yang kita kira.”Leo mengangguk. “Forum Umbra bukan cuma organisasi. Mereka adalah ide. Bentuk baru kekuasaan bayangan. Dan mereka mulai merekrut dari tempat yang kita abaikan—daerah konflik, pasar gelap, bahkan teknologi.”Ia menunjuk satu titik di peta, Suriah.“Di sini, mereka membiayai milisi lokal dengan senjata dari pasar hitam. Dari sini, mereka mengirimkan drone dan intel ke Eropa Timur. Kita harus hentikan mata rantai ini.”---Seme
Hening menyelimuti ruang perencanaan markas Il Lupo. Di tengah cahaya redup dan proyeksi peta interaktif, Leo berdiri dengan tangan di belakang punggungnya. Semua mata tertuju padanya—Matteo, Aurora, Luka, dan para komandan senior Il Lupo yang kembali dari tempat persembunyian.“Target kita bukan hanya Tangan Bayangan,” ujar Leo. “Tapi para pembisik di baliknya. Forum Umbra berpikir mereka bisa menulis ulang aturan, tapi malam ini, kita akan buat mereka membaca ulang sejarah.”Peta menampilkan lima lokasi utama: gudang senjata di Balkan, pusat pelatihan di Albania, dan tiga titik distribusi intelijen di Prancis selatan. Aurora maju ke depan.“Serangan simultan, dua jam sebelum fajar. Matteo pimpin tim ke Balkan. Luka dan aku tangani Albania. Leo, kau yakin akan turun langsung ke Prancis?”Leo menatapnya. “Forum Umbra butuh pesan. Dan pesan terbaik dikirimkan langsung oleh pemimpin Il Lupo.”---Beberapa Jam Kemudian – Toulouse, Prancis SelatanDalam penyamaran sebagai truk angkut logi
Pagi itu, Milan tampak damai, tapi Leo tahu dunia bayangan tak pernah benar-benar tertidur. Argos telah dihancurkan, Ivanov telah ditenggelamkan ke kedalaman laut, dan para serigala Il Lupo kembali ke sarangnya. Namun, di balik keberhasilan itu, Leo menyadari satu hal: kosongnya takhta akan selalu menarik musuh baru.“Surat ini datang pagi tadi,” ujar Aurora sambil menyerahkan amplop tebal bersegel emas. “Tanpa pengirim, tapi berasal dari Prancis.”Leo membuka perlahan. Matanya menyipit ketika membaca isi surat: undangan ke sebuah pertemuan rahasia antara para kepala organisasi bayangan Eropa—Forum Umbra. Tempat di mana pengaruh dibentuk, perjanjian dilanggar, dan darah bisa menjadi mata uang.“Forum ini seharusnya sudah dibubarkan sejak lima tahun lalu,” kata Matteo dari sudut ruangan. “Terakhir yang hadir adalah Nicolo... dan ayah Ivanov.”Leo mengangguk. “Kalau mereka memanggilku, itu berarti seseorang ingin menyatukan kekuatan baru. Tanpa Ivanov, kekosongan akan mereka isi.”“Dan
Malam jatuh di Milan dengan tenang, seolah dunia bawah benar-benar sudah menundukkan kepalanya. Tapi Leo tahu lebih dari siapa pun—ketenangan hanyalah jeda sebelum badai berikutnya.Di ruang bawah markas Il Lupo, Leo memandangi peta intelijen baru. Satu titik merah menyala di jantung Istanbul.“Garis komunikasi Phoenix aktif kembali,” kata Aurora sambil menampilkan rekaman suara dari frekuensi gelap. “Ada percakapan antara dua figur bayangan. Mereka menyebut kode ‘Argos’.”“Argos?” tanya Leo, alisnya mengernyit.“Program pemantauan total yang pernah dirancang oleh Rusia dan ditinggalkan. Sistem satelit dengan AI yang bisa memetakan gerakan kriminal, militer, bahkan politisi, dalam waktu nyata.”Matteo bersiul pelan. “Kalau itu aktif... Il Lupo bisa dilumpuhkan dalam sehari.”Leo tak menjawab. Ia tahu siapa yang berada di balik ini—Dimitri Ivanov, sisa terakhir dari keluarga Ivanov yang dulu pernah ditundukkan ayahnya.“Aku akan ke Istanbul,” kata Leo. “Dan kali ini, aku tidak akan kem
Hujan mengguyur kota Milan sejak pagi, membasahi atap markas Il Lupo yang kembali berdenyut dengan aktivitas. Di ruang komando, Leo berdiri di depan papan digital yang menampilkan peta Eropa dan Asia dengan titik-titik merah yang perlahan menyusut.Phoenix telah lumpuh. Tapi tidak musnah.“Dragan masih menyembunyikan satu lokasi cadangan,” ujar Aurora dari kursi analisnya. “Sesuatu yang bahkan intel Rusia dan CIA pun tak bisa deteksi. Tapi aku menemukan petunjuk... ada koneksi ke seseorang dari masa lalu.”Leo menatapnya tajam. “Siapa?”“Valentina Kuznetsova. Mantan pemimpin pasukan intel Phoenix di Balkan. Menghilang tiga tahun lalu setelah konvoi pasukannya diserang. Diduga mati.”“Kalau dia masih hidup,” kata Matteo, yang baru masuk, “maka dia adalah sisa terakhir cakar Phoenix yang harus kita cabut.”Leo mengangguk. “Aku akan cari dia. Sendiri.”---Beberapa Hari Kemudian – MontenegroKota tua di tepi pegunungan Balkan masih menyimpan luka dari perang masa lalu. Leo menyusup ke ar
Penerbangan malam dari Milan menuju Sarajevo berlangsung dalam senyap. Di kabin jet pribadinya, Leo duduk tanpa bicara. Tangannya menggenggam foto ayahnya—Nicolo—yang kini menjadi misteri hidup dan mati. Di sekelilingnya, hanya suara samar dari mesin pesawat dan desiran angin di luar jendela. Matteo, yang duduk di seberangnya, memecah keheningan. “Kau yakin ini bukan jebakan?” Leo tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada gambar. “Jika Dragan benar-benar menahan ayahku, maka ini bukan sekadar perang antar mafia. Ini balas dendam pribadi.” Matteo mengangguk pelan. “Tapi dia tahu itu. Dia tahu kamu akan datang, Leo. Dia sudah menyiapkan sesuatu.” Leo menatap Matteo tajam. “Biarkan dia siapkan segalanya. Aku akan membakar semuanya jika itu yang diperlukan.” --- Sarajevo – Tengah Malam Jet mendarat di bandara kecil di pinggiran kota. Mereka di
Langit Milan tertutup awan kelabu. Di atas atap markas Il Lupo, Leo berdiri memandangi kota yang dulu dianggapnya aman. Kini, bayangan perang menyelimuti segalanya. Di tangannya, dia menggenggam liontin milik Nicolo—satu-satunya peninggalan yang kembali bersamanya setelah operasi di Sarajevo.“Ini bukan tentang balas dendam semata,” gumamnya. “Ini tentang menghentikan kekacauan sebelum dunia dilahap Phoenix.”Luka mendekat dengan berkas laporan. “Aurora berhasil menyusup ke server Phoenix. Kita tahu lokasi utama mereka di Istanbul. Tapi Dragan punya pasukan setidaknya lima puluh elit bersenjata.”Leo tidak tampak gentar. “Kalau itu markas pusat, maka di sanalah kita akhiri semuanya.”Matteo masuk ke ruang komando. “Pasukan kita sudah siap. Jovan dan Emir akan pimpin jalur laut. Kita masuk dari udara. Operasi ini akan kita sebut sesuai nama yang Nicolo tinggalkan—Revenant. Bayangan yang kembali dari kematian.”Leo memandangi layar bes
Api membumbung tinggi dari gudang bawah tanah di perbatasan Bulgaria. Kilatan cahaya oranye menerangi langit malam, disertai ledakan yang mengguncang tanah. Leo berdiri di kejauhan bersama Matteo dan Luka, menyaksikan kebakaran itu tanpa ekspresi."Bukan cuma bunker yang terbakar," gumam Matteo. "Itu simbol. Pusat koordinasi operasi mereka."Leo menoleh ke Luka. "Kita beri sinyal pada semua kelompok di Eropa. Phoenix gagal lepas landas. Kita akan bunuh revolusi mereka sebelum dimulai."Luka mengangguk. "Sudah kukirimkan pesan melalui jaringan Aurora. Semua mata kini tertuju pada Dragan."Namun Leo tahu, ini baru awal. Dragan bukan tipe yang menyerah begitu saja. Ia akan membalas, dan tidak dengan cara biasa.---Milan – Dua Hari KemudianMarkas Leo lebih sibuk dari biasanya. Telepon berdering, pesan datang dari berbagai jaringan. Aurora duduk di meja pusat informasi, mengetik cepat sambil terus menerima kabar t