Kabut tipis masih menyelimuti ruangan kubah ketika Cassian membuka mata sepenuhnya. Kilatan cahaya biru dan hitam yang bergantian dalam irisnya memberi kesan asing—seolah ia bukan lagi manusia biasa, melainkan hasil rekayasa masa lalu yang rumit. Leo berdiri mematung, tubuhnya tegang, sementara Aurora perlahan mendekat, penuh kehati-hatian.“Cassian,” suara Leo dalam, “apa kau tahu siapa kami?”Cassian mengedipkan mata perlahan, lalu mengangkat kepalanya. Pandangannya berpindah dari Leo ke Aurora, kemudian ke Rania dan Lorenzo yang berjaga di sisi belakang.“Aku tahu kalian,” jawabnya. Suaranya berat, seolah setiap kata harus didorong keluar dari kerongkongan yang sudah terlalu lama diam. “Leo De Luca. Aurora Vale. Proyek ELIAS memori aktif... tahap delapan puluh tujuh... sinkronisasi emosional: tidak stabil.”Aurora menatap Leo, tegang. “Dia bicara seperti—”“—program,” sahut Leo cepat. “Mereka menanamkan protokol dalam pikirannya.”Cassian tertawa pelan. Tapi tawanya dingin. “Jangan
Hening menyelimuti ruang strategi di markas Atlas. Peta digital Eden terbentang di layar lebar, memancarkan cahaya biru kehijauan yang menyoroti wajah-wajah penuh tekad. Leo berdiri tegak di depan layar, jari-jarinya menyusuri garis perimeter merah di tengah kota. Zona Tertutup 0—tempat yang hanya disebut dalam bisik-bisik di kalangan bawah tanah.Aurora berdiri di sisinya, matanya tajam memperhatikan informasi yang ditampilkan. Di belakang mereka, Rania dan Lorenzo duduk di depan konsol komputer, menyisir jalur masuk dan titik pengamanan dari jaringan Eden.“Zona Tertutup 0 dikelilingi oleh sistem keamanan berlapis. Tidak ada akses resmi yang bisa ditembus tanpa memicu alarm kota,” jelas Rania sambil mengetik cepat.“Berarti kita harus masuk tidak resmi,” gumam Leo.Lorenzo menyahut, “Ada jalur air bawah kota, bekas jaringan saluran dari era Eden lama. Tidak tercatat dalam sistem baru karena dianggap runtuh. Tapi sebagian masih aktif—dan salah satunya mengarah tepat ke sisi utara Zon
Ruang bawah tanah Menara Arka terisi hanya oleh suara langkah kaki dan denging sistem yang aktif kembali setelah puluhan tahun tertidur. Leo berdiri membeku di depan layar yang baru saja menampilkan data proyek: ELIAS. Di sisi lain ruangan, Aurora duduk di lantai logam dingin, kedua tangannya mencengkeram kepala.Rania mendekat perlahan ke konsol dan mencoba mengakses lebih dalam. “Semua file ini terkunci dalam tingkat enkripsi tertinggi. Tapi... ada satu berkas terbuka. Berkas itu tidak terenkripsi.”Lorenzo mengangguk. “Tampilkan di sini.”Layar utama menyala. Sebuah rekaman holografik muncul, menampilkan seorang pria paruh baya—berdiri di depan panel data dengan jas putih. Sorot matanya dingin tapi cerdas. Suara yang mengiringi adalah suara yang tidak asing bagi Aurora.> “Log Eksperimen 048 – Proyek ELIAS. Hari ke-4 setelah integrasi batch ketiga. Subjek L, A, dan C menunjukkan respons genetik yang stabil. Cahaya dan Bayangan bereaksi seperti yang diharapkan. Jika eksperimen ini b
Pagi di Eden tak pernah terasa setenang ini sebelumnya. Langit biru merekah tanpa noda, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, matahari menyentuh jalanan kota tanpa dihalangi awan kelam atau sinyal peringatan sistem. Tapi di balik semua itu, Leo tahu, badai yang lebih besar sedang mendekat.Di ruang pemulihan bawah tanah Menara Atlas, Leo duduk di tepi ranjang medis. Luka-luka di tubuhnya belum sembuh sepenuhnya, tapi pikirannya sudah kembali penuh.Aurora datang dengan dua cangkir kopi. Rambutnya dikuncir seadanya, dan wajahnya tetap tenang, meskipun sorot matanya menyimpan sesuatu."Masih berpikir tentang Nexus?" tanyanya sambil menyerahkan cangkir ke tangan Leo.Leo mengangguk pelan. "Bukan hanya itu. Nexus sudah ditutup, tapi... kenapa Eden tetap menyimpan begitu banyak rahasia? Dan kenapa sistem pusat tetap terkunci sebagian, bahkan setelah semuanya?"Aurora duduk di sebelahnya. "Kau merasa ada yang tak beres.""Lebih dari sekadar firasat," jawab Leo. "Alzareth... dia me
Lorong menuju Umbra Nexus bukan hanya sempit dan gelap—ia terasa hidup. Dinding-dindingnya bukan sekadar batu, tetapi kumpulan akar kristal dan urat energi yang berdetak seperti nadi. Setiap langkah yang Leo ambil disambut oleh desiran halus, seolah tempat itu menghela napasnya sendiri.Aurora berjalan di sampingnya, obor plasma di tangan. Wajahnya tegang, tetapi tidak takut. Di belakang mereka, Lorenzo menjaga jarak sambil sesekali memeriksa medan menggunakan alat deteksi spektrum.“Tidak ada sinyal dari permukaan. Komunikasi benar-benar mati,” gumam Lorenzo. “Tempat ini menelan sinyal seperti lubang hitam.”Leo tidak menjawab. Matanya tertuju pada cahaya perak yang menyala dari kristal di tangannya—Kunci Cahaya. Suara Arvenia masih terngiang: "Kebenaran bukanlah cahaya, tapi bayangan yang kau pilih untuk dilawan."“Aku bisa merasakan tekanan di udara,” kata Aurora tiba-tiba. “Seperti… ruang dan waktu melengkung di sekitar kita.”Leo mengangguk. “Nexus bukan sekadar tempat. Ini adala
Kabut tipis menyelimuti lorong kristal yang mengarah ke pusat struktur. Suasananya sunyi, terlalu sunyi. Bahkan napas sendiri terasa seperti gema yang disusupkan ke dalam ruang yang tak semestinya ada. Leo berjalan pelan di depan, diikuti Aurora dan Lorenzo, senjata mereka siap setiap saat.Setelah pertempuran dengan makhluk bayangan, ada semacam perubahan dalam energi di sekitar mereka. Cahaya dari kristal dinding kini tak sekadar berdenyut, tetapi bergetar—seperti menanggapi sesuatu. Sesuatu yang mendekat... atau dibangkitkan.“Aku tidak suka ini,” bisik Lorenzo sambil memperhatikan langit-langit kristal di atas mereka, “Lorong ini seperti... menyadari kehadiran kita.”Aurora berhenti sejenak, merapatkan mantelnya. “Atau mungkin sudah menunggu sejak lama.”Leo menatap dinding yang perlahan berubah warna—dari biru kehijauan menjadi keunguan dan kemudian hitam pekat. Dia menyadari satu hal: ini bukan lagi bagian dari Eden yang dikenal. Ini bagian yang dilupakan sejarah, sengaja dikubu