Terminal 3 Soekarno-Hatta, pukul 22.05 WIBBoarding gate D17 dipenuhi rombongan berjas dan sneakers mahal.Tim R&D Neuverse Technologies bersiap berangkat ke Boston untuk konferensi teknologi dan partner meet-up.Aurelie berdiri di antara Mira dan Reza. Blazer putih gading, koper cabin warna mint, dan tote bag penuh barang pribadi dan laptop. Wajahnya serius tapi matanya tidak bisa nyembunyiin debaran jantung yang bertempo cepat. Shaquelle, seperti biasa, terlambat lima menit tapi datang dengan gaya: bomber jaket hitam, jeans, dan koper Rimowa seperti hendak pemotretan editorial GQ.“Lama banget,” celetuk Mira, “Padahal enggak ada yang nyuruh dia seganteng itu pas nongol.”Shaquelle nyengir, langsung menuju check-in. “Maaf, tadi teleponan sama maminya calon istri dulu.”Mata Aurelie seketika membulat. “Seriusan, kamu telepon mami?”Shaquelle menjawab setengah berbisik, “Iya donk, kalau cowok gentle harus minta ijin orang tuanya dulu kalau mau bawa cewek pergi, apalagi perginy
Shaquelle berdiri di depan meja HR dengan ekspresi setengah serius.“Saya sudah putuskan, saya akan membawa mereka semua ke Boston. Jadi saya minta semua itinerary tim R&D untuk perjalanan ke Boston segera disiapkan. Hotel, tiket, schedule workshop. Full access. No shortcuts.”Pak Rudi dari HR melongo. “Tapi kita sudah bahas kemarin, Pak … kalau perjalanan ini akan overbudget dari rencana anggaran kita, Pak .…”“Saya yang tanggung kelebihan anggarannya dari rekening pribadi. Saya enggak peduli.”Pak Rudi mengangguk perlahan, walau masih terlihat bingung.Dia lantas keluar dari ruangan sang CEO untuk melakukan perintah pria muda keras kepala itu Masih di ruangannya, Shaquelle mengirim satu chat ke Aurelie.SPF: Sekarang kamu enggak sendiri, Rel. Mereka ikut semua. Jadi enggak akan ada lagi yang nyinyir.Aurelie: Kamu bener-bener gila.SPF: Gila karena cinta.Aurelie: Masalahnya… aku juga mulai ketularan.Shaquelle terkekeh membaca pesan kekasih backstreet -nya.SPF : Pulan
“Rel … Kamu enggak apa-apa, sayang?” Shaquelle memburu Aurelie yang baru saja masuk ke ruangannya.“Kenapa kamu manggil aku sih?” Aurelie mengesah.“Aku khawatir sama kamu, tadi kamu dikunci di toilet.” Shaquelle mendekat, hendak memeluk Aurelie tapi dia sadar kalau tirai masih tergulung di atas dinding kaca sehingga semua orang di lantai tujuh belas bisa melihat mereka. “Aku enggak apa-apa … tapi, apa penilaian itu murni atau karena kamu?” Shaquelle menipiskan bibir. “Bukan aku yang menilai … aku serahkan sama CTO dan VP R&D.” Shaquelle tidak berbohong.Aurelie menundukan kepala, dia lega.“Nara diberhentikan dari magang … dia enggak akan ganggu kamu lagi,” kata Shaquelle membuat Aurelie mendongak menatap wajahnya penuh peringatan.“Itu pelanggaran berat, Rel … enggak boleh ada perundungan di kantor aku ….”“Aku tahu … dengan aku yang terpilih ke Boston pun sudah membuat semua orang semakin membenciku.” Aurelie tersenyum getir.Shaquelle mengembuskan nafas panjang. “Aku m
Gedung Neuverse Technologies, lantai 17, pukul sembilan tiga puluh pagi terasa lebih riuh dari biasanya.Deadline proposal improvement tinggal beberapa jam. Di seluruh ruangan tim R&B, suasana tegang tapi produktif. Aurelie mengetik cepat, matanya fokus, secangkir kopi dingin menemaninya.Proposal hampir selesai. Tinggal menyusun bagian akhir dan klik: kirim. Tapi perasaan aneh sudah muncul sejak pagi.Nara, anak magang dari divisi Public Relation, terus meliriknya. Tatapan tidak ramah, seperti seseorang yang baru kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia miliki. Dan sayangnya, Shaquelle jadi sumbernya.Beberapa kali Nara menyindir saat istirahat bersama. Dari, “Wah, enak ya magang tapi bisa trip ke Bali bareng bos,” sampai, “Ada-ada aja yang dibikin penting cuma karena disenyumin CEO.”Aurelie diam. Tapi pagi itu… Nara melangkah lebih jauh.*Pukul 09.17.Aurelie ke toilet di ujung lorong lantai tujuh belas. Dia bawa ponsel, headset masih tergantung
*Pukul 09.47 — lantai 17, pantry belakang.Aurelie sedang menyendok oat dingin dari kulkas bersama segelas kopi instan sachet yang dia bikin sendiri. Dari balik kulkas, tiba-tiba tangan seseorang menyelinap, menarik dia pelan dari belakang.“Aaaa—”“Shhh… ini aku.” Suara bariton itu pelan, tapi tetap absurd.Aurelie mendelik ke arah Shaquelle yang berdiri nyaris nempel tembok, topi baseball nutupin sebagian wajahnya.“Pak! Ini pantry umum. Banyak orang lewat!”Shaquelle nyengir. “Aku ‘kan cuma… ngasih semangat buat pacarku yang makannya oat sedingin hatinya waktu awal-awal magang di sini.”Aurelie mencubit pergelangan tangannya, pelan. “Jangan manggil aku pacar di kantor.”“Kenapa?” bisiknya manja, “Kan kita pacaran. Masa aku harus panggil kamu ‘anak magang favorit’ terus?”Aurelie menarik napas panjang. “Oke. Tapi minimal jangan kayak ninja di balik kulkas!”Shaquelle menyodorkan kantong kertas kecil.“Apa ini?” tanya Aurelie curiga.“Coklat almond favorit kamu. Tanda cin
Senin pagi. Suasana lantai 17 kantor Neuverse Technologies kembali berjalan seperti biasa — atau setidaknya, berusaha terlihat begitu.Tapi ada satu hal yang nggak bisa dibohongi:Semua mata diam-diam melirik Aurelie.Dengan tote bag di tangan dan langkah hati-hati, Aurelie melangkah masuk ke ruang kerjanya. Rambutnya dikepang santai, kulitnya lebih tan dari biasanya dan entah kenapa… aura dia agak beda. Lebih glowing, kalau kata netizen.Dan tentu saja—tiga orang di meja tim R&B sudah menunggu.Mira menyipitkan mata. Reza bersandar di kursi, ekspresi siap mewawancarai. Rika? Tampangnya sudah kayak redaktur majalah gosip.Mira langsung mulai. “Rel… jadi ka beneran ikut ke Bali?”Aurelie berhenti, menaruh tasnya pelan. “Eh… iya.”“Kan minggu lalu aku tanya apa Ibu dan teman-teman diundang ke Bali? Karena saya baru dapat undangan resmi by email, dan semua menjawab iya.” Aurelie tidak mau disalahkan.Lalu ketiganya saling menatap. Baru mengerti kalau Aurelie bertanya serius buka