Catat: jangan manggil ‘sayang’, jangan lirak-lirik, jangan senyum-senyum sendiri.
Padahal ... baru satu jam nikah, rasanya udah kayak main petak umpet yang ngorbanin nyawa. Setiap langkah harus hati-hati. Tiap napas kudu sesuai SOP. Dan yang paling penting, jangan sampai keduluan senior HRD yang katanya julid, Bu Rani. Kalau dia tahu aku istri bos, bisa-bisa besok aku dikira mau rebutan jabatan.
“Pokoknya, di kantor kamu harus tetap jadi Kayla anak magang. Bikin kopi kalau disuruh, ikut meeting kalau dijadwalin, dan jangan pakai nada manja waktu ngomong ke saya,” tambahnya.
Aku membatin, duh, padahal suara manja itu udah bawaan orok. Gimana dong?
Dia mendekatkan tubuhnya sedikit. “Dan satu lagi. Jangan sampai ada yang tahu kamu tinggal di apartemen yang sama dengan saya.”
“Terus kalau kita ketemu kamu di lift?” tanyaku dengan polos.
“Pura-pura nggak kenal,” katanya santai menyesap kopi hitamnya.
Aku mendesis pelan, “Wah, mantap juga actingnya. Ini lebih kompleks dari drama TV nasional.”
Dia tersenyum tipis. “Makanya bayarannya dobel. Kamu bukan cuma magang ... kamu juga aktris part-time.”
Aku mendadak pengin ngelempar naskah ke penulis skenario. Oke. Sip. Mulai hari ini, aku bukan cuma anak magang. Aku juga... istri rahasia CEO. Dan kayaknya mulai besok, sarapan favoritku bukan roti atau kopi... Tapi tekanan darah tinggi.
“Udah selesai?” tanyaku waktu dia sibuk di telepon.
Dia mengangguk pelan sambil. “Sekarang kamu BOLEH keluar, balik ke tempat magang,” katanya datar, tanpa lirikan sedikit pun.
Aku membulatkan mata terkejut. “Hah? Sekarang?”
“Ya. Kamu masih anak magang, kan?” Dia menatapku dengan alisnya yang terangkat. “Atau kamu bisa leha-leha?” tanyanya to the point.
Astagaaa… Disentil pake logika banget. Aku langsung berdiri, hampir aja nyenggol kursi meeting yang mahal itu. “Baik, Pak. Saya ... saya kembali ke tempat saya.”
Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruang meeting. Pura-pura santai. Pura-pura habis briefing biasa. Padahal barusan aku... sah jadi istri orang.
Begitu keluar, aku langsung melangkah cepat menuju meja divisi, berusaha menyembunyikan wajah yang mungkin masih memerah. Entah karena grogi, syok, atau efek AC tadi yang dinginnya nggak kira-kira. Begitu masuk lagi ke ruangan divisi, teman-teman langsung ngeliatin aku kayak aku baru pulang dari audisi sinetron.
“Kay!”
“Lama banget sih, Kay?” celetuk Mbak Rika, senior paling cerewet sekaligus paling tajam penciumannya.
“Iya, lo diapain sama Pak Rayhan?” tambah yang lain.
Aku langsung cengar-cengir kaku. “Eh ... iya ... hehehe. Ternyata ... brief-nya lumayan panjang,” jawabku sambil menarik kursi dan duduk pelan-pelan kayak orang abis keluar sidang.
“Briefing apaan sih sampe satu jam? CEO-nya ngobrol sama saya aja biasanya lima menit udah kelar, loh,” sambung Rika curiga.
Glek.
“Eh, mungkin tadi aku kebanyakan nanya,” jawabku asal. Nggak mungkin juga bilang, tadi aku diajak nikah, Mbak. Mau lihat surat nikahnya?
“Jangan-jangan lo kena marah, ya? Soalnya muka lo merah gitu ... kayak abis ketahuan bikin salah,” celetuk Fina dari seberang meja.
Aku makin salah tingkah mendengarnya. Tangan udah mulai sibuk ngacak-ngacak kertas kosong biar kelihatan sibuk banget. “Ah, enggak kok. Mungkin karena AC-nya dingin banget, jadi muka aku merah ... ketarik angin,” ucapku ngawur.
Mereka saling pandang lalu ketawa satu sama lain.
“Yaudah, buruan balik kerja. Nanti disuruh masuk lagi malah beneran jadi magang seumur hidup,” kata Mbak Rika lagi.
Aku mengangguk dengan cepat, mencoba kembali fokus ke layar laptop. Tapi jantungku masih deg-degan.
Baru aja satu jam nikah, udah harus pura-pura lupa. Gila. Ini bukan magang biasa.-
“Kay?” panggil Fina membuatku menoleh. “Ayo makan ke bawah. Kantin rame nih, sekalian nemenin gue beli jus,” ajaknya lagi.
Aku mengangguk pelan. “Ayo, gue juga udah lapar,” ujarku mengelus perut yang sedikit membuncit.
Kami turun bedua ke kantin gedung. Seperti biasa, antrean panjang, suara ramai, dan aroma rendang kantin yang khas bikin lapar mendadak naik level. Baru aja selesai bayar makan dan muter nyari tempat duduk... mataku menangkap sosok Rayhan duduk sendiri di meja pojok. Sendirian. Dengan jas masih rapi, tapi dasinya udah agak dilonggarin. Wajahnya tetap setegas biasanya, tapi... pas dia lihat aku, matanya sedikit melunak.
Sedikit. Aku buru-buru buang pandang, pura-pura nggak lihat. Inget Kayla. Kamu anak magang. Bukan istri orang... eh, istri CEO maksudnya.
“Eh, itu Pak Rayhan, ya?” bisik Fina pelan.
Aku tersedak ludah sendiri. “Hmm? Masa sih?” tanyaku pura-pura tak tahu.
“Iya tuh! Ih, cakep banget padahal cuma makan ayam goreng. Coba deh duduk deket dia, siapa tahu disapa,” goda Fina sambil tersenyum jahil.
'Jangan. Please. Jangan duduk deket situ,' bisikku dalam hati.
Tapi tentu, hidupku hari ini isinya cuma jebakan batman. Fina udah jalan duluan, dan... ya ampun. Dia duduk dua meja dari Rayhan.
"Aduh ...," ujarku sambil menepuk jidat. "Kenapa harus di situ sih," bisikku pada diri sendiri.
Aku nggak punya pilihan lain. Mau kabur ntar malah Fina tambah curiga. Akhirnya aku ikut duduk dan pura-pura nggak lihat ke arah laki-laki yang ... ya, beberapa jam lalu jadi suamiku. Dan baru suapan pertama, aku bisa ngerasain. Tatapan itu. Tatapan dari meja dua langkah di belakangku. Aku bisa ngerasain Rayhan lagi ngeliatin. Tapi aku nggak berani noleh. Gila. Gimana kalau dia nyapa? Gimana kalau dia... nyebut aku ‘sayang’ karena lupa? Tapi, ya Tuhan... bukan Rayhan kalau nggak tiba-tiba nyeleneh.
“Kayla.” Namaku dipanggil. Pelan. Tegas. Dan cukup keras buat satu meja denger.
Aku pelan-pelan menoleh. “Y-ya, Pak?”
Tatapannya lurus. Datar. “Jangan kebanyakan sambal.” katanya datar, lalu balik makan.
Satu detik. Dua detik. Meja kami hening. Aku mau pura-pura nggak dengar, tapi kalimat barusan...
Idiot!
Kata-kata itu terasa menusuk lebih dalam dari yang kukira. Aku menundukkan kepala cepat, menggigit bibir bawah, dan menahan air mata yang hampir jatuh di depan mereka. Nafasku berat—dan semua suara di sekitar terdengar seperti gema yang memekakkan."Eh itu tuh ada anaknya."Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa kesal yang kini menyelingkupi dadaku, tapi aku tahu jika aku tak mungkin membalas semua ucapan mereka. Langkahku terayun cepat, menuju ruangan, sebelum kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan semakin membuat hatiku sakit. Murahan.Satu kata itu terus menggema di kepalaku, seolah menghancurkan sisa ketenanganku yang berusaha kubangun sejak tadi malam. Aku membenamkan wajahku di atas meja, menutup kedua telingaku rapat. Tapi, sayangnya air mata ini tak lagi bisa kutahan. Sakit. Sakit sekali mendengar hal yang bahkan aku sendiri belum tau kebenarannya. “Kay?” panggil Fina dengan mengusap bahuku pelan. Aku buru-buru menyeka mataku, lalu mengangkat wajahku pelan. “Lo udah tau
Setelah merasa sedikit tenang, aku kembali melangkah menuju ruang tamu, tepat saat ponselku bedering dan nama Rayhan muncul di layar, panggilan dari suamiku yang membuat jantungku seketika berdetak lebih kencang. Ah, suamiku sedang apa kamu di sana?“Hey...,” sapa Rayhan begitu aku menggeser tombol hijau, senyum khasnya begitu membuatku tiba-tiba merasa rindu dengan kehadirannya. Dari background sata ini, aku bisa melihat jika dia sudah berada di kamar hotel—kemeja putihnya dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka, dan rambutnya yang agak berantakan. “Lagi ngapain, hm? Kok kelihatannya pucet banget gitu?” lanjutnya dengan mata yang menajam.Aku buru-buru merapikan posisi dudukku, berusaha tetap tersenyum walau bibirku terasa kering. “Enggak, cuma capek aja ... hari ini capek banget rasanya,” alibiku mencoba bersikap manja seperti biasa.Rayhan menyipitkan matanya lagi, kali ini tatapannya terfokus pada wajahku. “Capek sampe kayak gitu? Kamu kelihatan lemes banget, Kay. Mukamu pu
“Waduh, Mbak Kayla ... kayaknya capek banget, ya, hari ini,” ujar Pak Jaja menyambutku ketika melihatku melangkah ke arahnya, membuka pintu belakang dengan cekatan.Aku menghela napas panjang, seolah setuju dengan ucapannya. “Iya, nih, Pak. Lumayan capek,” jawabku mengerucutkan bibir, lalu masuk, menyenderkan tubuhku,.memejamkan mata dan menarik napas panjang, seolah menghilangkan beban yang hari ini kurasakan.Tin. Tin.“Mari, Pak,” sapa Pak Jaja terdengar begitu renyah, membuatku membuka mata, melihat mobil yang mulai melaju dan meninggalkan halaman kantor dengan perlahan. Di sepanjang perjalanan, hanya ada suara mesin dan musik yang terdengar. Aku menatap kosong keluar jendela, memperhatikan lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu per satu. Sementara pikiran terus menerus berputar—dengan kata “hamil” itu yang nggak juga mau hilang dari kepala, walau udah berkali-kali aku bilang ke diri sendiri kalau itu cuma sugesti.“Mbak Kayla kenapa diem aja, atuh? Biasanya juga suka cerita—te
“Lo nggak boleh mikir sejauh itu, Kay,” bisikku menggeleng pelan, menatap diriku sendiri melalui pantulan cermin, tapi, air mata di sudut mataku justru menetes, tanpa permisi. Aku menggigit bibir bawahku lebih keras, seolah rasa sakit itu bisa menghilangkan kegelisahan yang ada di dalam dadaku. “Nggak mungkin,” gumamku, berulang-ulang, seolah dengan mengucapkannya, aku bisa mengubah kenyataan yang ada. Tapi setiap detik yang kulalui justru terasa seolah memperjelas semuanya. “Argh!” geramku tertahan. Mencengkeram pinggiran wastafel hingga buku-buku jariku memutih. “Hidup gue kenapa segila ini sih?!” Drt. Drt. Getaran diponselku membuatku sedikit tersentak, aku menatap wajahku sekali lagi, mengamatinya dari dalam. Lalu kuhela napas panjang, menghilangkan semua beban yang begitu berat. Tanganku terangkat menerima telepon dengan nama Fina tertera di layar ponsel, membuatku menghela napas sekali lagi. “Iya ... gue balik,” ujarku singkat sebelum mendengar sepatah katapun dari Fina. Lal
Aku terlonjak begitu mendengar suara yang tak asing untukku, sontak, aku menyembunyikan ponsel di belakang tubuhku dan ketika berbalik badan, aku mendapati Siska yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tangan bersidekap dada.“Lagi baca apa tuh?” tanyanya dengan mengangkat wajahnya tinggi, seolah sengaja mengintip apa yang kubaca.“Nggak, cuma—artikel kesehatan biasa,” alibiku, menggelengkan kepala singkat.Siska menaikkan sebelah alisnya, menatapku dengan tatapan merendakan. “Artikel kesehatan yang lagi bahas ‘tanda-tanda awal kehamilan’, ya?” tanyanya membuat jantungku mencelos. “Saya nggak salah denger kan, ya, tadi ada yang ngomong hamil-hamil gitu,” lanjutnya dengan tersenyum miring.Darahku seperti berhenti mengalir, tubuhku lemas, dan masalah baru sepertinya akan segea datang. “Kak Siska, jangan salah paham dulu, deh,” ujarku mencoba terlihat biasa, padahal, rasa gugup sudah menghampiri seluruh tubuhku.Siska kembali menaikkan satu alisnya, kali ini tatapannya semakin meneli
Sudah hampir sebulan sejak kepulanganku dari Zimbabwe. Semua kembali seperti semula — rapat, laporan, jadwal klien, dan rutinitas kantor yang sangat padat, termasuk Rayhan yang sibuk dengan urusan kantor dan meeting bolak balik ke luar negeri. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini tiap kali aku melihat layar laptop, pikiranku sering melayang ke padang savana — ke suara gajah dari kejauhan, dan tawa Rayhan waktu memotretnya diam-diam.“Fin, bisa nggak kopinya jauhin dulu?” ucapku cepat dengan menahan napas.Fina yang tengah mengetik sesuatu, kini menghentikan gerakannya, lalu menatapku dengan dahi berkerut. “Hah? Lah kenapa?” tanyanya bingung. "Biasanya juga luo oke aja ... apalagi ini kopi yang lo biasa minum juga."Aku buru-buru menggelengkan kepala. “Gue mual Fin. Serius, gue kayak nggak kuat sama baunya.”Fina langsung memindahkan tumblernya sedikit menjauhiku lalu kembali menatapku penuh heran, “Lho, lo kenapa sih? Muka lo juga pucet banget. Jangan-jangan lo masih jetlag, lagi?”Aku