Share

MJIC - 3

Penulis: senjaaaaaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-21 17:26:46

"Eh maaf. Jangan kebanyakan sambal. Sambalnya buat saya," 

Kata Rayhan sekali lagi kembali ke mejaku. Ia mengambil mangkok sambalnya beserta mangkok-mangkoknya membuat aku dan yang lain mangap.

Mereka terbahak.

 "CEO lo ganteng ganteng tuh kenapa?” kata Nadya sambil tertawa ngakak diikuti pukulan ke meja.

Aku langsung terbatuk. Hebat. Nasi hampir aja nyangkut. Sementara dari pojok sana, Rayhan cuma nyuap makanan dengan tenang. Datar. Seolah nggak baru aja bikin aku hampir mati berdiri. Nikah diam-diam ternyata... bukan cuma soal sembunyiin cincin. Tapi juga sembunyiin deg-degan tiap detik.

Sementara Fona dan Nadya hanya tertawa ngakak mendengarnya. Makananku terasa hambar karena nafsu makanku mendadak hilang. Aku ... Cuma pengen balik ke ruangan lagi dan nggak ketemu sama suamiku itu, eh.

Bel berubunyi menandakan waktu istirahat selesai, aku bergegas meninggalkan mereka di kantin. Sesampainya di ruangan, aku mulai nyusun draft mingguan yang disuruh Mbak Lala dari divisi HR, ketika notifikasi muncul di layar ponselku.

 “Kayla, ke ruangan saya. – R.”

Duh. Baru sehari jadi istri pura-pura, udah jadi langganan dipanggil ke ruangan CEO. Kalau sampai ada yang ngeliat aku keluar masuk kantor bos mulu, bisa-bisa muncul gosip: “anak magang koloran tapi nyantol sama atasan.”

Aku berdiri dengan pelan, pura-pura tenang lebih tepatnya. Padahal di dalam hati, drama udah muter kayak sinetron jam 7 malam. Pas aku sampai di depan ruangannya, Mbak Sekretaris yang duduk di luar langsung melirik aku dari atas sampai bawah.

“Sendirian?” tanyanya ketus.

Aku menganggukan kepala sopan, “...Iya, Mbak.”                      

“Udah ditungguin tuh,” katanya sambil senyum mencurigakan.

Oke. Napas dulu. Aku buka pintu setelah mendapat izin dari Rayhan, yang lagi duduk santai, jasnya terlepas, lengan kemeja digulung sampai siku. Satu tangan pegang iPad, tangan satunya megang... snack?

“Eh, masuk,” katanya santai.

Aku melongo. Ini... CEO super galak yang tadi pagi ngajak nikah?

“Kenapa manggil saya?” tanyaku pelan, duduk di kursi tamu. “Ada yang harus saya kerjain?”

“Nggak. Cuma pengin lihat kamu,” ujarnya dingin.

Aku nyaris keselek udara. “Hah?!”

Dia tersenyum tipis. “Bercanda.”

Aku mendecak kesal. “Jangan bercanda kayak gitu. Saya panik.”

Rayhan berdiri, melangkah menuju kulkas kecil di sudut ruangan dan mengambil dua botol minum. Dia melempar satu ke arahku—tepat, ringan, dan aku hampir nggak nangkep.

“Nanti malam, kita harus dinner sama tanteku. Jadi siapin baju yang rapi. Jangan pakai hoodie atau tas tote bag magang kamu itu.”

Aku melotot tak terima. “Dinner keluarga?! Kok makin serius sih ini pura-puranya?”

“Karena mereka harus percaya. Kalau gagal, warisan lepas. Dan kamu juga bisa lepas ... dari gaji dobel dan apartemen di Kuningan.”

Aku menghela napas lelah. “Kenapa sih harus saya?”

Dia mendekat pelan, bersandar di meja, dan menatapku dalam. “Kamu satu-satunya yang cukup polos buat tanda tangan akta nikah tanpa nanya dua kali.”

Ini... magang rasa Mission Impossible. 

“Baik,” ujarku menganggukan kepala. Aku berdiri dari kursi, siap balik ke meja kerja buat lanjut ngerjain spreadsheet magangku yang membosankan.

“Nanti pulang bareng sopir pribadi saya,” ujarnya tiba-tiba. 

Aku menghentikan langkahku, lalu menoleh ke arahnya. “Hah? Serius? Kayak ... dijemput gitu?” tanyaku tak yakin.

Rayhan mengangguk santai. “Namanya Pak Jaja. Mobilnya standby di basement.”

Aku mematung. Sopir pribadi. Mobil mewah. Langsung ke apartemen CEO. Padahal jam segini anak-anak magang lain masih rebutan ojek online sambil nunggu promo diskon.

“Emang nggak ketahuan ya?” bisikku waswas.

“Tenang,” Rayhan menjawab santai. “Pak Jaja udah biasa urus urusan pribadi saya. Termasuk istri dadakan.”

Aku mendesah kesal. “Gila. Ini beneran hidupku sekarang?” tanyaku tak percaya.

Rayhan menyeringai pelan. “Selamat datang di realita baru, Nyonya Rayhan.”

Aku melangkah keluar dari ruangannya dengan gerakan yang ragu, hampir aja nabrak meja karena otakku masih loading. Satu-satunya yang kupikirin sekarang adalah, Gimana caranya bersikap kayak anak magang normal, kalau tiap pulang dijemput pakai mobil sedan hitam dengan sopir pribadi, terus langsung ke apartemen elit buat tinggal bareng CEO?

Tapi ya sudahlah. Jam kantor udah hampir habis. Teman-teman magang di divisi mulai beberes, siap-siap cabut. Aku juga buru-buru beresin laptop dan file kerjaan, berharap bisa kabur tanpa banyak pertanyaan. Tapi ternyata semesta belum merestui.

“Kayla, kok buru-buru banget, sih? Lo mau ngapain?” Itu suara Nita, sesama anak magang yang super kepo.

Aku cuma bisa tersenyum kaku. “Ehm … pulang duluan. Dijemput,” ujarku menunjuk entah kemana.

Nita langsung cengengesan. “Ciee … dijemput pacar yaa~” ujarnya menggoda.

“Bukan,” jawabku cepat. “Sama … Pak Jaja.”

“Pak Jaja? Siapa tuh?” tanyanye kepo.

Aku nyaris kepleset lanyard ketika mendengar pertanyaannya. “Eh ... sopir. Sopir pribadi ... bos.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 170 - Pingsan

    Aku nggak tahu sudah berapa lama aku meninggalkan apartemen. Yang aku tahu cuma satu, kakiku terus melangkah tanpa tujuan, sementara pikiranku makin penuh, makin berat, makin berisik. Udara pagi yang harusnya sejuk malah terasa nyelekit di kulitku. Rasanya kayak semua orang punya tempat pulang … kecuali aku. Tadinya aku cuma pengen keluar sebentar biar bisa menghirup udara segar. Tapi makin jauh aku melangkah, makin sesak dada ini. Overthinking itu kayak gelombang, makin aku coba abaikan, makin kencang dia datang. Bayangan foto itu—aku dan Rayhan dari belakang, di depan dokter. Komentar-komentar grup kantor yang membuatku semakin terpojok. Bisik-bisik yang seakan mengambil kesimpulan sendiri. Semua itu muter menerus berputar di kepala. “Aku … harusnya … nggak kayak gini,” gumamku lirih, menggeleng. Langkahku mulai sedikit gontai. Aku berhenti di sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari komplek apartemen. Anginnya sepoi menerbangkan dedaunan, tapi dunia rasanya berputar t

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 169 - Kabur

    Komentar mulai masuk satu per satu. Seakan foto itu menjadi hal yang menarik bagi mereka. Aku menutup mulutku menggunakan tangan, menatap foto itu tak percaya.Reno: “Nah ini nih yang gue bilang! Liat kan??!”Shinta: “ASTAGA. Ini KAYAK APAAN TAU NGGAK SIH?? BENERAN BERDUAAN DONG SAMA PAK RAYHAN??”Tania: “Omg ... ini jelas-jelas bukan hubungan profesional antara CEO sama ANAK MAGANG. Kayla megang perut. Pak Rauhan liat Kayla. Plis.”Lina – Admin HR: “Guys stop dulu ... pembahasan ini udah nggak enak. Tapi ... iya sih ... ini lebih dari mencurigakan dari apapun yang ada di pikiran kita.”Darahku berdesir. Aku menggigit jari telunjukku kencang, sampai aku hampir nggak merasakan sakit apa-apa.Air mataku jatuh lagi. Hatiku kacau. Jantungku berdetak kencang. Rasa sedih dan mual yang kurasakan, menghilang entah kemana.Takut.Malu.Dan ... terpojok.Aku menggeleng kencang. “Aku nggak ... aku nggak ngapa-ngapain ... Rayhan ... cuma nganterin ... cuma nganter doang ...,” suaraku pecah, padah

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 168 - Kok Bisa Kayak Gini

    “Aduh ...,” desisku menekan perut dan dada, ketika rasa pahit naik mulai ke tenggorokan, membuat lidahku kelu.Aku menutup mulutku dan buru-buru bangkit dari tempat tidur. Kakiku goyah, langkahku terseret menuju kamar mandi. Begitu sampai, aku berpegang pada wastafel, mencoba menarik napas ... tapi rasa mual itu kembali menyerang.“A—ah ...,” aku memuntahkan isi perutku yang sebenarnya baru terisi sedikit. Mualnya semakin terasa, sampai mataku pedih dan air mata mengalir di peluuk mataku, bercampur dengan rasa perih di tenggorokan.Kumuntahkan semua yang ada diperut, meskipun hanya tersisa cairan bening. Tanganku gemetar, tubuhku dingin. Napasku tersendat, dadaku naik turun tak karuan.“Kenapa ... mual terus,” gumamku lirih, membasuh wajah dengan air dingin, sedikit menyegarkan. Aku engusap perutku lembut, “Baby, jangan mual terus, ya. Mama capek,” bisikku.Tanganku bergerak menyentuh pipi yang masih basah—campuran antara air mata, keringat dingin dan air.“Lemes banget,” lirihku, ber

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 167 - Ray, Pulanglah

    Aku masih meringkuk di sofa, dengan selimut menutupi setengah tubuhku. Napasku masih tersengal, dada terasa ketarik tiap kali aku mencoba mengatur napas. Mata sudah memanas, tapi masih ada sisa air yang jatuh tanpa izin.Apartemen ini ... senyap.Terlalu senyap, sampai aku bisa mendengar detak jam dinding yang berdenting pelan tapi nyaris menusuk telinga.Dan semakin lama aku terdiam, semakin keras kesunyian itu menampar diriku.Aku akhirnya bangun, berdiri dengan langkah yang goyah. Entah kenapa kakiku membawaku kembali ke dapur—ke meja makan—ke tempat ia ninggalin sarapan tadi.Sticky note kecil itu masih di sana.Tulisan Rayhan yang rapi itu menatapku balik.Love, Rayhan.Aku mendesah pelan, suaraku retak.“Love ...,” ulangku lirih, pahit banget rasanya.Tanganku menyentuh catatan itu, tapi aku cepat-cepat menariknya lagi, takut tambah nangis.“Kenapa kamu ninggalin aku gini, Ray ...?” Suara itu keluar begitu saja. Getir, pecah, tak terhankan.Aku mengambil bubur itu lagi, mencoba

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 166 - Aku Nggak Papa

    “Oh ... yaudah. Aku matiin ya, Sayang.”Aku membuka mulut, ingin menahannya lebih lama—“Tapi nanti aku telepon lagi, ya,” ujar Rayhan tergesa, terdengar suara kursi yang sedikit bbergeser.“Oh ... ya,” sahutku lirih. “Aku—”Klik.Telepon terputus.Tubuhku kaku, jantungku mulai berdebar tak karuan, keringat dingin mulai merasuki badanku. Aku mendekatkan ponsel ke telinga, seolah barangkali tadi cuma salah pencet dan telepon masih tersambung.“... Ray?” bisikku memastikan. Aku menekan telepon lebih dalam, mempertajam pendengaranku.Sunyi.Aku menelan ludah kasar, menekan tombol layar lagi, memastikan nama Rayhan masih tertera di sana.Panggilan sudah berakhir. Nggak ada suaranya yang menenangkan. Nggak ada tarikan napasnya yang terdengar lelah. Nggak ada panggilan “Sayang?” yang biasanya selalu muncul tiap aku terdiam sebentar.“Ray ...?” panggilku sekali lagi, kali ini semakin pelan.Tetap hening, tanpa suara sedikitpun.Dadaku semakin sesak. Tanganku yang memegang ponsel, kini berge

  • Magang Jadi Istri CEO   MJIC 165 - Nangis

    Aku terbangun ketika matahari pagi menembus tirai kamar dari sela-sela gorden. Aku mengerjap pelan, rasanya keplaku sedikit berat. Tanganku meraba sisi ranjang di sebelahku.Kosong.Aku menoleh perlahan, mengerutkan dahi sembari mengembalikan kesadaran. “Rayhan,” lirihku setengah sadar. “Kamu dimana?” lanjutku sedikit berteriak.Aku segara bangun dan bersandar, merapikan rambutku yang masih berantakan. Jam di dinding menunjukkan pukul 7 lebih sedikit. Aku kembali mengedarkan pandangan menyapu seluruh penjuru kamar sembari menajamkan pendengaranku, berharap Rayhan hanya keluar kamar. Tapi, nihil. Tas kerja yang biasa ia bawa, sudah hilang, lengkap dengan jam tangan terbarunya.Rayhan ... udah berangkat?“Rayhan?” teriakku lagi. Aku menyibakkan selimut dan mencoba mengingat kejadian semalam. Aku mengingat lagi—saat aku terbangun di tengah malam, lampu kamar masih menyala. Sepertinya dia masih kerja ... atau masih kepikiran sesuatu.Aku melangkah cepat ke kamar mandi, membersihka wajahku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status