"Eh maaf. Jangan kebanyakan sambal. Sambalnya buat saya,"
Kata Rayhan sekali lagi kembali ke mejaku. Ia mengambil mangkok sambalnya beserta mangkok-mangkoknya membuat aku dan yang lain mangap.
Mereka terbahak.
"CEO lo ganteng ganteng tuh kenapa?” kata Nadya sambil tertawa ngakak diikuti pukulan ke meja.
Aku langsung terbatuk. Hebat. Nasi hampir aja nyangkut. Sementara dari pojok sana, Rayhan cuma nyuap makanan dengan tenang. Datar. Seolah nggak baru aja bikin aku hampir mati berdiri. Nikah diam-diam ternyata... bukan cuma soal sembunyiin cincin. Tapi juga sembunyiin deg-degan tiap detik.
Sementara Fona dan Nadya hanya tertawa ngakak mendengarnya. Makananku terasa hambar karena nafsu makanku mendadak hilang. Aku ... Cuma pengen balik ke ruangan lagi dan nggak ketemu sama suamiku itu, eh.
Bel berubunyi menandakan waktu istirahat selesai, aku bergegas meninggalkan mereka di kantin. Sesampainya di ruangan, aku mulai nyusun draft mingguan yang disuruh Mbak Lala dari divisi HR, ketika notifikasi muncul di layar ponselku.
“Kayla, ke ruangan saya. – R.”
Duh. Baru sehari jadi istri pura-pura, udah jadi langganan dipanggil ke ruangan CEO. Kalau sampai ada yang ngeliat aku keluar masuk kantor bos mulu, bisa-bisa muncul gosip: “anak magang koloran tapi nyantol sama atasan.”
Aku berdiri dengan pelan, pura-pura tenang lebih tepatnya. Padahal di dalam hati, drama udah muter kayak sinetron jam 7 malam. Pas aku sampai di depan ruangannya, Mbak Sekretaris yang duduk di luar langsung melirik aku dari atas sampai bawah.
“Sendirian?” tanyanya ketus.
Aku menganggukan kepala sopan, “...Iya, Mbak.”
“Udah ditungguin tuh,” katanya sambil senyum mencurigakan.
Oke. Napas dulu. Aku buka pintu setelah mendapat izin dari Rayhan, yang lagi duduk santai, jasnya terlepas, lengan kemeja digulung sampai siku. Satu tangan pegang iPad, tangan satunya megang... snack?
“Eh, masuk,” katanya santai.
Aku melongo. Ini... CEO super galak yang tadi pagi ngajak nikah?
“Kenapa manggil saya?” tanyaku pelan, duduk di kursi tamu. “Ada yang harus saya kerjain?”
“Nggak. Cuma pengin lihat kamu,” ujarnya dingin.
Aku nyaris keselek udara. “Hah?!”
Dia tersenyum tipis. “Bercanda.”
Aku mendecak kesal. “Jangan bercanda kayak gitu. Saya panik.”
Rayhan berdiri, melangkah menuju kulkas kecil di sudut ruangan dan mengambil dua botol minum. Dia melempar satu ke arahku—tepat, ringan, dan aku hampir nggak nangkep.
“Nanti malam, kita harus dinner sama tanteku. Jadi siapin baju yang rapi. Jangan pakai hoodie atau tas tote bag magang kamu itu.”
Aku melotot tak terima. “Dinner keluarga?! Kok makin serius sih ini pura-puranya?”
“Karena mereka harus percaya. Kalau gagal, warisan lepas. Dan kamu juga bisa lepas ... dari gaji dobel dan apartemen di Kuningan.”
Aku menghela napas lelah. “Kenapa sih harus saya?”
Dia mendekat pelan, bersandar di meja, dan menatapku dalam. “Kamu satu-satunya yang cukup polos buat tanda tangan akta nikah tanpa nanya dua kali.”
Ini... magang rasa Mission Impossible.
“Baik,” ujarku menganggukan kepala. Aku berdiri dari kursi, siap balik ke meja kerja buat lanjut ngerjain spreadsheet magangku yang membosankan.
“Nanti pulang bareng sopir pribadi saya,” ujarnya tiba-tiba.
Aku menghentikan langkahku, lalu menoleh ke arahnya. “Hah? Serius? Kayak ... dijemput gitu?” tanyaku tak yakin.
Rayhan mengangguk santai. “Namanya Pak Jaja. Mobilnya standby di basement.”
Aku mematung. Sopir pribadi. Mobil mewah. Langsung ke apartemen CEO. Padahal jam segini anak-anak magang lain masih rebutan ojek online sambil nunggu promo diskon.
“Emang nggak ketahuan ya?” bisikku waswas.
“Tenang,” Rayhan menjawab santai. “Pak Jaja udah biasa urus urusan pribadi saya. Termasuk istri dadakan.”
Aku mendesah kesal. “Gila. Ini beneran hidupku sekarang?” tanyaku tak percaya.
Rayhan menyeringai pelan. “Selamat datang di realita baru, Nyonya Rayhan.”
Aku melangkah keluar dari ruangannya dengan gerakan yang ragu, hampir aja nabrak meja karena otakku masih loading. Satu-satunya yang kupikirin sekarang adalah, Gimana caranya bersikap kayak anak magang normal, kalau tiap pulang dijemput pakai mobil sedan hitam dengan sopir pribadi, terus langsung ke apartemen elit buat tinggal bareng CEO?
Tapi ya sudahlah. Jam kantor udah hampir habis. Teman-teman magang di divisi mulai beberes, siap-siap cabut. Aku juga buru-buru beresin laptop dan file kerjaan, berharap bisa kabur tanpa banyak pertanyaan. Tapi ternyata semesta belum merestui.
“Kayla, kok buru-buru banget, sih? Lo mau ngapain?” Itu suara Nita, sesama anak magang yang super kepo.
Aku cuma bisa tersenyum kaku. “Ehm … pulang duluan. Dijemput,” ujarku menunjuk entah kemana.
Nita langsung cengengesan. “Ciee … dijemput pacar yaa~” ujarnya menggoda.
“Bukan,” jawabku cepat. “Sama … Pak Jaja.”
“Pak Jaja? Siapa tuh?” tanyanye kepo.
Aku nyaris kepleset lanyard ketika mendengar pertanyaannya. “Eh ... sopir. Sopir pribadi ... bos.”
Tiba-tiba, Rayhan mendekatkan dirinya dan memangkas jarak di antara kami, kali ini ia berdiri tepat di hadapanku dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya dan tatapan menusuk. Perlahan, dia mengangkat satu tangannya dan dalam sedetik berhasil melingkar di pundakku. Aku refleks mundur dan mencoba melepaskannya, akan tetapi, tenaganya terlalu kuat ... tubuhku terlebih dulu dia tarik ke dalam pelukannya.“Cup. Cup,” ujarnya menepuk punggungku.Tubuhku membeku, nafasku terhenti, dan detak jantungku berubah lebih cepat. Aku ingin melepaskan diri dari dekapannya, tapi ... badanku menolak. Wajahku tepat berada di dadanya, menghirup parfum yang begitu menenangkan. Aku memejamkan mataku sejenak, menikmati momen yang ... tiba-tiba menjadi favoritku.“Rayhan,” bisikku ketika kesadaranku mulai kembali. “Lepas. Nanti di lihat orang.”“Tapi badan kamu nggak gerak,” bisiknya.Damn. Kali ini aku kalah lagi. Aku makin tenggelam dalam rasa malu yang menyerang, tangannya meraih tanganku yang
Ia menatapku sekilas sebelum kembali fokus pada ponselnya, “Saya ada kunjungan ke Eropa seminggu ke depan,” ujarnya santai seperti tak ada maalah.Darahku langsung mendidih di ubun-ubun begitu mendengar alasannya, aku memejamkan mataku sejenak, dan menghela nafasnya panjang, “Kamu gila, ya? “ ujarku pada akhirnya. “Kenapa kamu nggak bilang dari semalem? Saya udah siap sepagi ini biar nggak telat lagi ... nggak dihukum lari keliling kantor ... nggak diajak inspeksi yang bikin kaki pegel. Terus kamu bilang mau ada kunjungan ke Eropa?” kesalku, menggelengkan kepala.“Latian disiplin.”“Bener-bener psikopat,” gumanku, nyaris tak terdengar.“Saya dengar umpatan kamu,” sindirnya membalas tatapanku. Lalu meninggalkanku begitu saja ke arah dapur.Langkahku mengikutinya dari belakang, masih tak terima dengan apa yang ia lakukan padaku pagi ini.“Saya ke Eropa sama dua kepala divisi. Tugas kamu selama saya pergi ... mengawasi kantor, dan anak magang,” titahnya dengan tangan yang sibuk menyeduh
Tubuhku menegang, seketika. Oke, ini jebakan.“A-apa saya boleh ... lihat lebih detail, Pak?” tanyaku hati-hati.Ia mengangkat sebelah alisnya, “Dua menit,” ujarnya menyerahkan padaku.Aku menatapnya, ingin berontak. Dua menit? Hei. Apakah ini ujian? Aku mencoba memfokuskan mataku menelusuri deretan angka yang tertulis di dalamnya. Satu kali, dua kali, tiga kali, nggak ada yang aneh. Aku mengernyitkan keningku tak paham. Lalu, mataku kembali menelusuri angka di kolom rejected items dan gotcha! Ada satu bagian yang lonjakaknnya sedikit aneh.“Yang batch ke-1162 ... kenapa item yang kena reject mengalami lonjakan dua kali lipat dari pada batch sebelumnya dan setelahnya?” tanyaku menatap Pak Rayhan, bingung.Rayhan menatapku pelan, lalu menoleh ke arah Pak Anton. Dan membuat pria itu terlihat gugup, “I-itu, Pak ... kami sedang melakukan investigasi.”“Lain kali jangan tunggu peritah saya, jika ada sedikit kejanggalan, segera lakukan investigasi,” ujarnya dingin. “Saya minta laporan hasil
Aku terdiam sejenak, merutuki kebodohanku sendiri. Kalimat ‘suami gue’ tadi keceplosan tanpa sempet difilter dulu. Aku menjatuhkan wajahku di atas meja.“Kayla?” panggil Fina lagi, kali ini terdengar lebih dekat. “Lo ngomong apa barusan? Suami? Lo udah punya suami, Kay?”Aku menoleh ke arahnya, lalu tersenyum. “Ya cowok yang tadi lu maksud pacar halu gue ... itu sekarang jadi suami gue. Masa gitu aja lo nggak paham sih?!” kilahku setengah putus aja.Dina mendorong bahuku, cukup keras, “Yaelah, lo bikin jantungan aja. Gue kira lo beneran udah nikah gitu ala ala intimate wedding tanpa ngundang siapa-siapa. Gus sempet mikir, jangan-jangan lo udah h—”“Jangan-jangan apa?” potongku panik. “Lo nggak punya pikiran kalo gue hamil duluan, kan?” tanyaku menatapnya, nyalang.Fina menyipitkan matanya, lalu terkikik pelan, “Ya, Kay, kali aja kan. Siapa suruh tiba-tiba lo bahas suami,” ujarnya membela diri. “Tapi, ya, Kay. Lo itu keliatan beda tau ... kayak yang udah deket aja sama Pak Rayhan. Maks
“Maaf, Pak. Tadi alarm saya—”“Basi. Anak magang harusnya datang sebelum CEO-nya hadir, bukan setelahnya. Alasan klasik seperti itu sudah tidak berlaku di perusahaan. Jangan kalian pikir karena kalian hanya magang di perusahaan saya, kalian bisa bertindak sesuka hati. Saya punya peraturan yang harus ditaati oleh semua pegawai di kantor ini, termasuk saya sendiri,” ujar Rayhan dengan nada menusuk.Aku semakin menunduk malu, tanganku mulai keringat dingin ketika mendengar para karyawan yang mulai menahan tawanya. Bahkan aku bisa lihat dari ekor mataku, beberapa di antaranya langsung mengambil ponselnya.“Mulai sekarang, setiap kamu telat, kamu harus lari keliling kantor satu putaran sambil bawa papan bertuliskan, ‘Saya bukan Cinderella, saya anak magang yang harus mematuhi aturan perusahaan.”Aku mendongak, dan menatap Rayhan yang kini tengah menyilangkan tangannya di depan dada, “Hah?! Serius?” ceplosku tak sadar.Rayhan menatapku datar, “Kurang jelas?” A
“Rayhan?” panggilku dengan mata menyapu ruangan, memastikan tak ada orang yang menyelinap di kamar ini. :Rayhan kamu masih di kamar, kan?”“Aduhhh...”“Astaga ... kamu kenapa?!” tanyaku begitu mendengar erangannya.Aku buru-buru menyalakan lampu tidur yang berada di sampingku, lalu melongok dan menemukan Rayhan yang sudah tergeletak di lantai. Tapi, bukan karena ia terjatuh saat tidur melainkan, satu tangannya memegang bantal dari tumpukan benteng yang ... basah.Rayhan mendongak dan menatapku menyelidik, “Kayla,” panggilnya santai. “Kamu ngeludah, ya?”Aku terpaku dengan wajah yan memanas. Mataku menatap bantal itu dengan seksama, lalu beralih pada benteng suci yang kubangun beberapa menit yang lalu dan kini sudah runtuh setengahnya.“Astaga ... enggak kok! Nggak mungkin aku sejorok itu! Sa—saya nggak bakal ngiler!” bantahku spontan, lalu menyambar bantal itu dan menciumnya pelan, “Tuh nggak bau!” tunjukku padanya, “Mungkin karena embun dari AC kali!”Rayhan mengangkat sebelah alisny