Home / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 3 - Ritme Kantor dan Pangeran Kantin

Share

Bab 3 - Ritme Kantor dan Pangeran Kantin

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-06-25 14:00:02

Pagi harinya, Alya bangun dengan satu misi utama: keluar dari rumah Arka Arroihan tanpa terdeteksi. Insiden remot TV semalam sukses membuatnya malu setengah mati. Bertemu dengan pria itu sekarang adalah hal terakhir yang ia inginkan. Ia bahkan sudah menyusun skenario di kepalanya: jika berpapasan, ia akan pura-pura lupa atau amnesia.

Dengan langkah mengendap-endap bak nya seorang maling, ia menyelinap keluar kamar. Rumah besar itu masih senyap. Di ruang makan, ia melihat Mbak Rini sedang menata meja sarapan.

“Lho, Neng Alya? Nggak sarapan dulu?” sapa Mbak Rini.

“Nggak, Mbak, hehe. Takut telat,” jawab Alya, berbohong. Padahal jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia menyambar selembar roti tawar, mengoleskan selai cokelat dengan kecepatan kilat, lalu langsung pamit sambil berlari kecil menuju gerbang untuk memesan ojek.

Sepanjang perjalanan menuju kantor PT. Arroihan Group, pikirannya berkecamuk. Semalam adalah bukti nyata bahwa tinggal di rumah itu adalah ide buruk. Sangat buruk. Kehadiran Arka Arroihan, bahkan dalam diam, memiliki gravitasi yang bisa mengacaukan seluruh sistem sarafnya.

“Fokus, Ly, fokus,” gumamnya pada diri sendiri di balik helm. “Lo ke sini buat kerja, cari duit, bukan buat deg-degan karena bos aneh.”

Sesampainya di kantor, suasana langsung berbeda. Udara yang kemarin terasa mengintimidasi, hari ini terasa seperti tantangan. Ia menarik napas dalam-dalam, melangkah masuk ke lobi dengan punggung sedikit lebih tegak. Hari pertama, mari kita mulai.

Divisi operasional di lantai 15 sudah ramai. Seorang wanita berpenampilan rapi dan berambut sebahu menghampirinya. Wajahnya cantik, tapi tatapannya tajam dan efisien. Di name tag-nya tertulis ‘Vira Maheswari’.

“Alya, kan? Anak magang baru?” tanyanya, suaranya tegas.

“Iya, Bu… eh, Kak,” ralat Alya cepat.

Vira tersenyum tipis, sangat tipis. “Panggil Mbak aja. Aku supervisor kamu di sini. Meja kamu di pojok sana, dekat printer. Pelajari dulu SOP perusahaan di komputermu, setelah itu temui aku lagi.”

Alya mengangguk patuh. Vira tampak seperti tipe orang yang tidak suka basa-basi. Perfeksionis. Alya bisa merasakannya. Selama setengah hari, Alya menjadi robot multifungsi. Ia disuruh menginput data penjualan yang jumlahnya ratusan, memfotokopi laporan setebal bantal, hingga mencari arsip proyek lama di gudang basement.

Gudang itu pengap, remang-remang, dan berbau kertas lapuk yang bisa membuat hidungnya gatal. “Ini gudang apa kuburan kuno, sih?” gerutunya sambil bersin-bersin karena debu. Tapi ia tidak mengeluh di depan siapa pun. Ia mengerjakan semuanya dengan sigap. Ia tahu, ini adalah ujian.

Waktu makan siang tiba. Perutnya sudah keroncongan. Ia membeli nasi bungkus di kantin dan mencari tempat duduk. Lagi-lagi, ia merasa seperti anak hilang. Semua orang makan sambil mengobrol dengan kelompoknya masing-masing. Alya akhirnya menemukan satu kursi kosong di meja paling pojok, di sebelah pot tanaman besar.

“Nasib… nasib. Makan aja ditemenin pot,” keluhnya dalam hati sambil membuka bungkus nasinya.

Sebuah suara ramah tiba-tiba terdengar. Alya

mendongak dan melihat seorang pria muda dengan senyum cerah berdiri di hadapannya, membawa nampan berisi makanan.

Alya mengerjap. “Eh?”

“Boleh gabung di sini? Meja lain penuh

banget,” ujar pria itu, menunjuk sekeliling kantin yang ramai.

“Oh, i-iya, Kak. Boleh, silakan,” jawab Alya, sedikit menggeser tasnya.

Pria itu duduk di seberangnya. “Anak magang baru, ya? Belum pernah lihat sebelumnya.”

Alya mengangguk. “Iya, Kak. Saya Alya.”

“Aku Dani, dari tim IT,” balasnya sambil mengulurkan tangan. Alya menyambutnya dengan sopan. “Santai aja, nggak usah kaku gitu. Selamat datang di PT. Arroihan Group ya”

Alya tersenyum. Akhirnya, ada yang

menyapanya dengan normal. “Rimba banget ya, Kak, kayaknya.”

Dani tertawa. “Iya, banget. Gimana hari pertama? Udah disuruh angkat galon belum sama Mbak Vira?”

Obrolan mereka mengalir begitu saja. Dani orang yang sangat asyik. Ia lucu, santai, dan penuh ceria.

“Pokoknya kalau lo butuh bantuan apa pun, atau sekadar teman makan biar nggak dikira jomblo ngenes, cari aja gue, oke?” ujar Dani sebelum pamit karena ada rapat.

“Siap, Kak! Makasih banyak, ya!”

Alya melambaikan tangan dengan senyum tulus. Perasaannya jauh lebih baik. Setidaknya, ada ‘Pangeran Kantin’ yang

menyelamatkannya dari kesendirian.

Sore harinya, pekerjaan selesai. Alya membereskan mejanya dengan perasaan lelah tapi puas. Ia berhasil bertahan. Saat berjalan keluar dari lobi, ia meraih ponselnya, hendak membalas pesan ibunya yang belum sempat ia buka. Namun, matanya terpaku pada satu notifikasi lain. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal yang semalam membuatnya salah tingkah.

Eh… tunggu. Ini bukan nomor yang sama dengan yang mengiriminya pesan soal makan malam. Ini nomor baru. Tapi gaya pesannya…

+62812xxxxxxxx:~A

Pastikan kamu belajar kerja dengan benar. Saya tak suka orang yang sia-siakan kesempatan.

Alya berhenti melangkah. Jantungnya kembali berdebar. Tidak perlu menjadi agen CIA untuk tahu siapa pengirimnya. Gaya bahasa yang dingin, memerintah, dan arogan itu sudah seperti hak paten milik Arka Arroihan.

Pria itu benar-benar… mengawasinya. Bahkan saat tak terlihat. Dan Alya tidak tahu, apakah harus merasa ngeri, atau justru merasa seperti di awasi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 98 - Hari-Hari Penantian

    ​Beberapa hari berlalu dalam keheningan yang seragam, terasa seperti sebuah jeda yang panjang dan menyakitkan dalam sebuah lagu. Alya dan Bara menciptakan sebuah ritme baru di rumah Bu Aminah. Pagi diisi dengan membuat sarapan bersama, di mana Alya akan dengan sabar mengajari Bara cara mengoleskan selai di atas roti. Siang mereka habiskan dengan bermain di halaman belakang, membangun istana dari bantal tua atau menggambar, menciptakan gelembung kebahagiaan kecil yang rapuh.​Namun, di balik semua itu, ada penantian yang konstan. Setiap kali ponselnya bergetar, jantung Alya akan berhenti berdetak sesaat. Tapi itu hanya notifikasi biasa. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Keheningan dari Jakarta terasa lebih memekakkan daripada pertengkaran mana pun. Alya marah pada dirinya sendiri karena kebiasaan bodohnya yang masih saja berharap. “Hapus saja nomornya,” kata satu sisi hatinya. “jangan bodoh, bagaimana jika ada keadaan darurat mengenai Bara?” balas sisi lainnya.

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 97 - Langkah Pertama Di Atas Bumi Yang Retak

    ​Kembali ke rumah Bu Aminah dengan dua tas besar terasa seperti sebuah kemunduran yang nyata. Saat Alya melangkah masuk, ia disambut oleh tatapan khawatir ibunya dan pelukan Bara yang tidak mengerti apa-apa.​“Bunda sudah pulang!” seru putranya riang.​Alya memaksakan senyum dan memeluk Bara erat. “Iya, Sayang. Untuk sementara, kita tinggal di sini dulu sama Nenek, ya.”​Meskipun disambut dengan kehangatan, rumah ibunya kini terasa sedikit sesak. Bukan karena ukurannya, tapi karena status Alya di dalamnya. Ia bukan lagi seorang istri mandiri yang sedang berkunjung, melainkan seorang anak yang kembali pulang karena badai dalam rumah tangganya. Perasaan itu menggerogotinya, meskipun Bu Aminah tidak pernah sekali pun membuatnya merasa demikian.​Keesokan harinya, Alya memulai misinya. Setelah memastikan Bara asyik bermain, Alya menghampiri ibunya yang sedang duduk di teras.​“Bu, aku mau mulai cari kontrakan,” katanya, suaranya mantap, menco

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 96 - Surat di Atas Bantal

    ​Kertas putih yang terlipat rapi itu terasa berat di tangan Alya, jauh lebih berat dari bobotnya yang sesungguhnya. Kertas itu seolah menyerap semua keheningan dan ketegangan di dalam kamar tidur mereka yang kini terasa asing. Nama ‘Alya-ku tersayang’ yang tertulis dengan gaya tulisan tangan Arka yang tegas namun elegan, membuatnya bergidik.​Sebagian dirinya, bagian yang lelah dan terluka, berteriak untuk meremas kertas itu menjadi bola, melemparkannya ke tempat sampah, dan pergi dari sana tanpa menoleh ke belakang. Itu adalah jalan yang paling aman. Kata-kata Arka adalah senjata. Dulu, ia menggunakan kata-kata manis untuk menjebaknya, kata-kata kejam untuk menghancurkannya. Apa bedanya dengan sekarang?​“Jangan dibaca,” bisik suara ketakutan di dalam dirinya. “Itu hanya akan berisi kebohongan indah. Alasan-alasan yang dirangkai untuk membuatnya terlihat seperti pahlawan. Itu hanya akan membuatmu goyah.”​Namun, sebagian dirinya yang lain, bagian yang masih mengingat Arka yang membua

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 95 - Benteng Baru

    ​Fajar di Desa kecil datang dengan cara yang sama lembutnya seperti biasa. Cahaya matahari keemasan perlahan menerangi puncak-puncak gunung, dan kicauan burung menjadi alarm alami. Namun bagi Alya, pagi itu terasa berbeda. Ia terbangun di kamar masa kecilnya di rumah Bu Aminah, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti kembali menjadi gadis rapuh seperti dulu, bukan seorang istri atau ibu.​Perasaan hampa yang dingin menyelimutinya. Semalam, setelah melihat berita dan menerima telepon dari Arka, ia tidak menangis lagi. Ia hanya duduk dalam diam, membiarkan rasa sakit itu meresap hingga ia mati rasa. Arka telah memilih. Dan kini, ia juga harus memilih. Memilih untuk hancur, atau memilih untuk bangkit.​Ia mendengar suara tawa Bara dari ruang tengah. Pilihan itu menjadi sangat jelas.​Saat ia keluar dari kamar, putranya itu sedang asyik menyusun balok-balok kayu bersama Bu Aminah. Melihat ibunya, Bara langsung berlari dan memeluk kakinya.​“Bunda, selamat pagi!”​

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 94 - Syarat Sang Sandra

    Sandra berjalan pelan mendekati meja Arka, tatapannya menyapu sekeliling ruangan megah itu, seolah menilai kembali teritori yang pernah hilang.“Ibu akui, kemampuanmu tidak tumpul,” kata Sandra memulai, suaranya terdengar datar, sebuah pujian yang tidak terasa seperti pujian. “Kamu berhasil menenangkan mereka untuk saat ini.”Arka tidak merespon. Ia hanya menatap ibunya dengan sorot mata lelah namun tajam. Ia sudah tidak punya energi untuk basa-basi. “Langsung saja ke intinya, Bu. Apa yang Ibu inginkan?”Sandra tersenyum tipis, senyum yang sama yang selalu ia gunakan dalam negosiasi bisnis. Senyum yang menandakan ia merasa memegang kendali.“Tentu saja,” katanya, duduk di kursi di seberang meja Arka tanpa diundang. “Ibu senang kamu kembali. Ini adalah tempatmu yang seharusnya. Sekarang, karena Ibu sudah mengizinkanmu kembali memegang kendali sementara, ada beberapa syarat yang harus kamu patuhi.”Arka menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangannya di dada. Sikapnya menunjukkan i

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 93 - Suara Dari Seberang

    ​Di ruang rapat PT.Arroihan Group, Arka adalah sang kaisar. Dingin, penuh kendali, dan tak terbantahkan. Dalam waktu kurang dari dua jam, ia berhasil membungkam para penentang, memaparkan rencana penyelamatan yang brilian, dan memaksa dewan direksi untuk memberinya kuasa penuh. Konferensi pers investor yang mengancam itu pun dibatalkan. Badai pertama berhasil ia redam.​Namun, saat ia kembali ke keheningan kantor CEO-nya yang megah, kemenangan itu terasa hampa. Adrenalin bisnis yang memompa darahnya selama rapat kini surut, menyisakan kekosongan yang luar biasa dan rasa rindu yang menyakitkan pada keluarganya.Di atas meja mahoni yang berkilauan, ia meletakkan satu-satunya benda pribadi yang ia bawa, gambar keluarga buatan Bara. Tiga sosok bergandengan tangan di bawah matahari. Sebuah dunia yang begitu kontras dengan pemandangan hutan beton dari jendela kantornya.​Ia meraih ponselnya, mengabaikan puluhan notifikasi ucapan selamat. Matanya hanya tertuju pada satu hal. Tautan berita ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status