Mendapat kepercayaan dari Mbak Vira terasa seperti mendapat suntikan roket. Selama dua hari berikutnya, Alya bekerja dengan energi yang seolah tak ada habisnya. Namun, antusiasme itu mulai meredup saat ia dihadapkan pada kenyataan: punya ide itu mudah, mengubahnya menjadi proposal bisnis yang profesional ternyata jauh lebih sulit.Malam itu, meja makan di rumah Arka telah berubah menjadi medan perang Alya. Laptopnya terbuka, dikelilingi oleh kertas-kertas berisi data, catatan acak, dan coretan-coretan diagram yang lebih mirip benang kusut. Ia sudah mencoba membuat kerangka proposalnya berulang kali, tapi semuanya terasa salah.“Gila, idenya dari gue, tapi cara nulisnya kayak soal ujian masuk surga. Susah banget!” keluhnya pada cangkir tehnya yang sudah dingin. Ia merasa tertekan. Ia tidak ingin mengecewakan Vira.Saat ia sedang memijat pelipisnya yang pening, suara langkah kaki yang familier terdengar menuruni tangga. Arka pulang. Jantung Alya langsung sedikit berdebar, ia buru-buru m
Alya melangkah masuk ke ruang rapat divisi dengan perasaan gugup yang berbeda. Ini bukan lagi rasa takut seorang anak magang yang tidak tahu apa-apa. Ini adalah rasa cemas seorang peserta ujian yang akan mempresentasikan hasil risetnya di hadapan para penguji yang terkenal killer. Ia memeluk map biru berisi data dan catatannya seperti sebuah perisai, mengambil posisi duduk di kursi paling ujung, tepat di sebelah Mbak Vira yang sudah menunggunya dengan wajah serius.Rapat dimulai. Suasana langsung terasa tegang. Para manajer senior mulai berdebat sengit tentang strategi pemasaran untuk melawan Perdana Corp. Suara mereka saling tumpang tindih. Ada yang menyarankan untuk memotong harga produk Z-Line secara agresif, ada pula yang menentang keras karena akan menghancurkan margin keuntungan.“Kita tidak punya pilihan! Penjualan kita terus turun. Kalau tidak banting harga, kita akan kehilangan pangsa pasar!” seru Pak Budi, manajer pemasaran.“Banting harga itu bunuh diri jangka panjang, Bud!
Alya berjalan keluar dari ruang rapat dengan perasaan seringan kapas. Beban berat yang selama ini menekan pundaknya seolah terangkat. Ia kembali ke mejanya, masih dengan senyum lebar yang sulit ia sembunyikan. Kepercayaan yang diberikan Vira barusan terasa seperti medali kehormatan paling berharga.Belum sempat ia duduk, Nindya sudah melesat dari divisinya dan menghambur ke mejanya dengan wajah penuh antusiasme.“Gimana? Gimana? Sukses?” desak Nindya dengan suara berbisik yang heboh. “Muka lo bersinar-sinar kayak habis dapet THR, pasti sukses besar!”Alya tertawa pelan. “Alhamdulillah, Nin. Lancar. Dan… Mbak Vira ngajak aku buat ikut di tim strategi produk baru.”Mata Nindya membelalak. “SERIUS?! Gila! Itu bukan posisi buat anak magang, Ly! Itu posisi buat staf senior! Keren banget lo!” Nindya nyaris memekik sebelum buru-buru menutup mulutnya sendiri. “Ini harus dirayain! Nggak mau tahu, pulang kantor lo harus traktir gue kopi di kafe yang baru buka itu. Wajib!”Alya tertawa lagi, kal
Malam itu, setelah percakapan singkat dengan Arka, Alya tidak bisa langsung tidur. Bukan karena cemas, melainkan karena otaknya bekerja dengan kecepatan penuh. Kiasan Arka tentang "perang" telah membuka sebuah perspektif baru yang membuatnya melihat tumpukan data di hadapannya bukan lagi sebagai angka-angka mati, melainkan sebagai sebuah peta strategi pertempuran. Ia begadang sampai larut, menyusun ulang semua catatannya, menghubungkan titik-titik yang sebelumnya tak terlihat.Keesokan paginya, suasana di meja makan terasa berbeda. Ada sebuah energi antisipasi yang hening. Alya duduk sambil membaca ulang catatannya, bibirnya bergerak tanpa suara, menghafal poin-poin penting.Arka, yang sedang menyesap kopinya, memperhatikannya dari balik tabletnya. Ia tidak bertanya, tapi Alya tahu ia tahu.“Hari ini?” tanya Arka singkat, suaranya memecah keheningan.Alya mengangkat kepala dari catatannya dan mengangguk mantap. “Iya, Pak. Pagi ini.”Arka tidak mengucapkan “semoga berhasil” atau member
Hari-hari berikutnya, Alya seolah memiliki tujuan hidup yang baru. Map biru berisi data riset kompetitor itu menjadi dunianya. Ia tidak lagi datang ke kantor dengan perasaan was-was atau takut. Ia datang dengan semangat membara dan rasa penasaran yang besar. Meja kecilnya di sudut ruangan kini bukan lagi tempat persembunyian, melainkan markas komando pribadinya.Ia menenggelamkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan. Siang dan malam, pikirannya dipenuhi oleh grafik, persentase pangsa pasar, dan analisis SWOT para pesaing. Ia bahkan membawa beberapa dokumen (yang sudah diizinkan oleh Vira) untuk ia pelajari di rumah. Ia ingin membuktikan pada Vira, pada Arka, dan yang terpenting, pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa.Perubahan fokusnya ini membawa dampak pada dinamika di sekitarnya. Ia menjadi lebih jarang terlihat di pantry atau mengobrol santai. Saat makan siang pun, ia sering kali hanya makan cepat bersama Nindya sambil matanya tetap menatap beberapa lembar kertas rangkuman yang ia buat.
Alya menghabiskan akhir pekannya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa aman karena tahu Arka telah melindunginya. Di sisi lain, ia merasa cemas akan hari Senin. Bagaimana ia harus bersikap di kantor sekarang? Terutama di hadapan Mbak Vira. Ia takut supervisornya itu akan semakin sinis, melihatnya sebagai anak magang yang mendapat perlakuan khusus dan hanya bisa berlindung di balik kekuasaan CEO.Hari Senin pagi, Alya melangkah masuk ke divisi operasional dengan jantung berdebar. Ia sengaja datang lebih awal, berharap bisa mulai bekerja sebelum suasana kantor menjadi terlalu ramai. Ia duduk di mejanya, menyalakan komputer, dan mencoba fokus pada tumpukan dokumen yang menunggunya.Tak lama kemudian, Mbak Vira datang. Seperti biasa, penampilannya rapi dan langkahnya efisien. Ia meletakkan tasnya, menyalakan komputernya, dan Alya menahan napas, menunggu perintah atau mungkin sindiran pertama hari itu. Tapi Vira tidak mengatakan apa-apa. Ia bekerja dalam diam.Keheningan itu