NOTIF MALAM
Alya berdiri mematung di tengah lobi PT. Arroihan Group yang mulai sunyi. Hiruk pikuk karyawan yang bergegas pulang seolah menjadi suara latar yang kabur. Fokusnya terkunci pada layar ponsel di tangannya, pada sebaris kalimat dingin dan lugas dari nomor tak dikenal. +62812xxxxxxxx:~A Pastikan kamu belajar kerja dengan benar. Saya tak suka orang yang sia-siakan kesempatan. Tidak ada nama, tapi Alya tahu seratus persen siapa pengirimnya. Gaya bahasa diktator yang penuh kuasa itu sudah seperti sidik jari digital milik Arka Arroihan. "Ini apaan lagi, sih?" desisnya pada diri sendiri. "Dia pasang CCTV di jidat gue apa gimana? Tahu aja gue tadi sempet ketawa-ketiwi di kantin." Perasaan diperhatikan yang aneh kini berubah menjadi perasaan diawasi. Pria itu benar-benar seperti hantu. Tidak terlihat wujudnya seharian ini, tapi auranya terasa sampai ke pesan teks. Jantungnya mulai berdebar tak keruan lagi. Sebagian karena takut, sebagian lagi… karena kesal. Enak aja ngomong! Gue udah kayak kuli dari pagi, masih dibilang sia-siain kesempatan? Rasa kesal memberinya sedikit keberanian. Tapi keberanian itu langsung ciut saat otaknya mengingatkan: dia bos lo, Ly. Bos yang ngasih lo tumpangan tinggal di istananya. Jangan cari gara-gara. Dengan berat hati, ia menepi ke dekat pilar lobi dan memulai perjuangan batin terberat hari itu: mengetik balasan. Setelah melalui tiga draf gagal yang terasa antara terlalu kaku, terlalu santai, atau terlalu menantang maut, ia akhirnya mengirim balasan paling aman. Baik, Pak. Terima kasih atas kesempatan dan perhatiannya. Saya akan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Send. Terlalu formal? Mungkin. Tapi setidaknya tidak akan membuatnya dipecat besok pagi. Alya langsung memasukkan ponsel ke dalam tas tanpa berani menunggu balasan. Cukup sudah drama untuk hari ini. Perjalanan pulang di atas motor ojek terasa berbeda. Kepalanya masih dipenuhi oleh sosok Arka Arroihan. Pria itu seperti teka-teki dengan tingkat kesulitan paling tinggi. Dingin, tapi memberinya tempat tinggal. Mengintimidasi, tapi mengirim pesan pengingat. Menyebalkan, tapi entah kenapa membuat Alya tidak bisa berhenti memikirkannya. Sesampainya di rumah megah itu, suasana terasa lebih menegangkan. Seolah setiap sudutnya menyimpan bayangan si pemilik rumah. Alya bergegas masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan mencoba mencari ketenangan dalam sebungkus mi instan rasa soto—harta karun terakhir dari kampungnya. Sambil menyeruput kuah hangat, ia menatap ironi di sekelilingnya: seorang gadis makan mi instan di dalam kamar yang biaya sewanya semalam mungkin bisa untuk membeli pabrik mi itu sendiri. Malam itu, ia sulit tidur. Bayangan tentang hari esok membuatnya cemas. Bukan hanya karena pekerjaan, tapi karena satu agenda tak terhindarkan: sarapan. Kemungkinan harus duduk semeja dengan pria itu setelah insiden remot TV dan drama pesan teks membuatnya salting sendiri. Notifikasi malam ini telah sukses menjadi pengantar tidur paling buruk yang pernah ia rasakan. ALARM PAGI Alarm di ponselnya terasa seperti lonceng dimulainya ronde pertempuran baru. Alya membuka mata dengan perasaan lesu, hasil dari tidur yang tidak nyenyak karena terus memikirkan pertemuan paginya. Hari ini ia harus bertemu pak Arka. Tatap muka. Dengan perasaan berat, ia memilih pakaian paling netral dari dalam kopernya. Tujuannya satu: menjadi semembosankan mungkin agar tidak menarik perhatian. Setiap langkahnya menuruni tangga menuju ruang makan terasa seperti berjalan menuju ruang eksekusi. Jantungnya sudah berdebar-debar, mempersiapkan diri untuk skenario terburuk. Dan benar saja, skenario terburuk itu menjadi kenyataan. Di salah satu ujung meja makan yang panjang, Arka Arroihan sudah duduk. Bukan dengan jas formal, melainkan kaus polos berwarna gelap yang membuatnya terlihat lebih santai, namun entah kenapa justru memiliki kesan lebih berkuasa. Ia sedang fokus membaca sesuatu di tabletnya, secangkir kopi hitam mengepul di sisinya. Alya berhenti sejenak, ingin sekali berbalik dan lari. Tapi Mbak Rini keburu melihatnya. “Eh, Neng Alya. Pagi, Neng. Sini sarapan dulu,” sapa Mbak Rini ramah. Arka Arroihan mengangkat kepalanya dari tablet. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Alya. Hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat lutut Alya lemas. “P-pagi, Pak,” cicit Alya, menarik kursi yang letaknya paling jauh dari Arka dan duduk dengan kaku. Arka hanya mengangguk singkat sebagai balasan, lalu kembali fokus pada tabletnya. Keheningan yang menyiksa menyelimuti meja makan. Hanya ada suara denting pelan sendok dan garpu Mbak Rini yang meletakkan nasi goreng di piring mereka. Alya makan dengan gerakan super hati-hati. Ia mengunyah pelan-pelan, takut menimbulkan suara yang bisa mengganggu konsentrasi si bos. Rasanya seperti sedang makan di perpustakaan, bukan di ruang makan. “Laporan penjualan bulan kemarin sudah kamu lihat?” Suara berat Arka tiba-tiba memecah keheningan. Alya nyaris tersedak. “B-belum semua, Pak. Baru sebagian yang diinput oleh Mbak Vira kemarin,” jawabnya gugup. “Hari ini, minta data lengkapnya dari Vira. Saya mau kamu buat rangkuman analisisnya dalam satu halaman. Kirim ke email saya sebelum jam lima sore.” Alya membelalak. Rangkuman analisis? Ia bahkan belum paham betul produk perusahaan. Ini perintah atau ujian si? “Baik, Pak. Akan saya kerjakan.” Arka tidak menanggapi lagi, kembali tenggelam dalam tabletnya. Tapi Alya tahu, itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah cara Arka untuk menegaskan kembali posisi mereka: dia adalah bos, dan Alya adalah anak magang. Tidak ada basa-basi, hanya ekspektasi dan pekerjaan. Setelah menghabiskan kopinya, Arka berdiri. “Saya berangkat,” ujarnya singkat, bukan pada Alya secara spesifik, melainkan pada ruangan itu secara umum. Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan Alya yang masih mematung dengan separuh nasi goreng di piringnya. Begitu deru mobil Arka menjauh, Alya langsung melepaskan napas yang sejak tadi ditahannya. Bahunya merosot lemas. Notifikasi semalam dan alarm pagi ini ternyata adalah awal dari serangkaian ujian yang sepertinya tidak akan pernah berakhir. “Baru sarapan aja rasanya kayak lagi sidang skripsi jilid dua,” gumamnya pada piring nasi gorengnya. “Gimana caranya gue bisa bertahan hidup di sini?”Keesokan paginya, Alya bangun dengan satu tujuan: menghindari Arka dengan cara apa pun. Rasa malu dan sakit hati dari malam sebelumnya masih terasa segar, meninggalkan bekas perih di hatinya. Dongeng semalam suntuknya telah berakhir dengan kesimpulan pahit, dan ia tidak punya kekuatan untuk menghadapi sang pemeran utama pria pagi ini.Ia sengaja menunda waktu turun dari kamar, menunggu sampai ia mendengar suara mobil Arka menjauh dari garasi. Hanya setelah yakin rumah itu kosong dari kehadiran si pemilik, barulah ia berani keluar. Di meja makan, Mbak Rini sudah menyiapkan sarapan.“Lho, Neng Alya? Kok baru turun? Pak Arka tadi nyariin, katanya mau berangkat bareng,” ujar Mbak Rini polos.Jantung Alya mencelos. Nyariin? Untuk apa? Untuk kembali menyiksanya dengan keheningan yang canggung?“Oh… Alya ketiduran, Mbak. Semalam kurang tidur,” jawab Alya, berbohong.Ia menyantap sarapannya dalam diam, sendirian di meja makan yang besar itu. Suasananya begitu kontras dengan pagi sebelumnya, s
Senyum di wajah Alya perlahan pudar. Baru saja hatinya menghangat oleh pujian lembut dari Arka. Tapi semuanya berubah secepat kedipan mata, seolah seseorang menarik paksa dirinya kembali ke bumi. Di hadapannya berdiri seorang wanita yang membuat semua rasa percaya diri Alya runtuh seketika. Anggun. Elegan. Gaun merah pas badan yang berkilau memeluk tubuh tinggi langsing itu dengan sempurna. Rambut hitamnya ditata rapi, wajahnya cantik tanpa cela. Bahkan caranya berdiri—tegak, percaya diri, dan fokus—menyampaikan satu hal: ia bukan wanita biasa. Wanita itu menatap lurus ke arah Arka. Arka terdiam sejenak. Hanya satu detik. Tapi cukup bagi Alya melihat perubahan kecil di wajahnya—rahang mengencang, alis sedikit terangkat. Lalu ekspresinya kembali datar seperti biasa. “Dian,” jawab Arka singkat. “Sedang apa kamu di sini?” “Aku baru selesai meeting sama klien. Tadi lihat kamu dari jauh… nggak nyangka banget bisa ketemu,” jawab wanita itu—Dian—dengan tawa ringan. “Udah lama, ya
Alya tidak bisa tidur. Permintaan Arka semalam terus berputar di kepalanya seperti film rusak. Menjadi "partner"-nya? Apa maksudnya? Kepalanya pusing memikirkan semua kemungkinan terburuk. Bagaimana jika ia mempermalukan Arka di depan klien penting? Bagaimana jika ia salah bicara atau salah menggunakan garpu? Gambaran dirinya tersandung gaun mahal di tengah restoran mewah melintas di benaknya, membuatnya meringis ngeri.Tapi di sisi lain, ada suara kecil di hatinya yang berbisik. Ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa diandalkan, bukan hanya sebagai anak magang, tapi sebagai seseorang yang dipercaya oleh Arka. Ini juga caranya membalas kebaikan pria itu. Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri hingga larut malam, Alya akhirnya sampai pada satu kesimpulan pasrah: ia tidak punya alasan kuat untuk menolak.Keesokan paginya, ia turun ke dapur dengan mata panda dan perasaan pasrah. Ia terkejut mendapati Arka sudah ada di sana, berdiri di depan mesin kopi yang
Waktu menunjukkan pukul enam sore. Lantai 15 sudah nyaris kosong. Hanya tersisa Alya di mejanya yang kecil, seorang staf dari divisi lain yang sedang lembur, dan petugas kebersihan yang mulai berkeliling. Hati Alya terasa sama kosongnya dengan ruangan kantor itu. Sejak ia menekan tombol kirim satu jam yang lalu, tidak ada balasan apa pun dari Arka.Setiap notifikasi yang masuk ke ponselnya sontak membuat jantungnya melompat, namun isinya selalu mengecewakan: notif promo dari aplikasi ojek online, sisa kuota internet, atau chat dari grup alumni SMA yang sedang membahas rencana reuni. Tidak ada email, tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari sang CEO.Mungkin hasil analisis gue jelek banget sampai dia nggak tahu mau balas apa, pikir Alya getir. Atau mungkin dia ketawa terbahak-bahak baca analisis ngawur dari anak magang ini, terus langsung nyiapin surat pemecatan.Dengan perasaan kalah, ia membereskan tasnya. Mungkin ini hari terakhirnya bekerja di sini. Setidaknya ia sudah
Alya melangkah masuk ke lobi PT. Arroihan Group dengan perasaan seperti seorang prajurit yang dikirim ke medan perang tanpa peta, hanya berbekal perintah nekat dari sang jenderal. Perintah Arka saat sarapan tadi terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak: “Minta data lengkapnya dari Vira. Buat rangkuman analisisnya. Kirim ke email saya sebelum jam lima sore.” Rangkuman analisis. Dua kata itu terdengar seperti vonis. Seluruh perjalanan di atas ojek online ia habiskan untuk bergumam sendiri, mencoba menenangkan badai di dalam kepalanya. “Analisis apaan, coba? Gue aja bedain mana laporan laba rugi sama daftar belanjaan Mbak Rini aja masih suka ketuker,” gerutunya pelan, membuat abang ojeknya melirik aneh dari spion. Sesampainya di lantai 15, ia meletakkan tasnya dengan lesu. Meja kerjanya yang kecil di dekat printer terasa seperti pos komando yang akan menjadi saksi bisu perjuangannya hari ini. Misinya jelas yaitu menghadapi Mbak Vira. Supervisornya itu memang baik, tapi tatapann
NOTIF MALAM Alya berdiri mematung di tengah lobi PT. Arroihan Group yang mulai sunyi. Hiruk pikuk karyawan yang bergegas pulang seolah menjadi suara latar yang kabur. Fokusnya terkunci pada layar ponsel di tangannya, pada sebaris kalimat dingin dan lugas dari nomor tak dikenal. +62812xxxxxxxx:~A Pastikan kamu belajar kerja dengan benar. Saya tak suka orang yang sia-siakan kesempatan. Tidak ada nama, tapi Alya tahu seratus persen siapa pengirimnya. Gaya bahasa diktator yang penuh kuasa itu sudah seperti sidik jari digital milik Arka Arroihan. "Ini apaan lagi, sih?" desisnya pada diri sendiri. "Dia pasang CCTV di jidat gue apa gimana? Tahu aja gue tadi sempet ketawa-ketiwi di kantin." Perasaan diperhatikan yang aneh kini berubah menjadi perasaan diawasi. Pria itu benar-benar seperti hantu. Tidak terlihat wujudnya seharian ini, tapi auranya terasa sampai ke pesan teks. Jantungnya mulai berdebar tak keruan lagi. Sebagian karena takut, sebagian lagi… karena kesal. Enak aja ngomong!