Home / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 4 - Notif Malam dan Alarm Pagi

Share

Bab 4 - Notif Malam dan Alarm Pagi

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-06-25 14:01:04

NOTIF MALAM

Alya berdiri mematung di tengah lobi PT. Arroihan Group yang mulai sunyi. Hiruk pikuk karyawan yang bergegas pulang seolah menjadi suara latar yang kabur. Fokusnya terkunci pada layar ponsel di tangannya, pada sebaris kalimat dingin dan lugas dari nomor tak dikenal.

+62812xxxxxxxx:~A

Pastikan kamu belajar kerja dengan benar. Saya tak suka orang yang sia-siakan kesempatan.

Tidak ada nama, tapi Alya tahu seratus persen siapa pengirimnya. Gaya bahasa diktator yang penuh kuasa itu sudah seperti sidik jari digital milik Arka Arroihan.

"Ini apaan lagi, sih?" desisnya pada diri sendiri. "Dia pasang CCTV di jidat gue apa gimana? Tahu aja gue tadi sempet ketawa-ketiwi di kantin."

Perasaan diperhatikan yang aneh kini berubah menjadi perasaan diawasi. Pria itu benar-benar seperti hantu. Tidak terlihat wujudnya seharian ini, tapi auranya terasa sampai ke pesan teks. Jantungnya mulai berdebar tak keruan lagi. Sebagian karena takut, sebagian lagi… karena kesal.

Enak aja ngomong! Gue udah kayak kuli dari pagi, masih dibilang sia-siain kesempatan?

Rasa kesal memberinya sedikit keberanian. Tapi keberanian itu langsung ciut saat otaknya mengingatkan: dia bos lo, Ly. Bos yang ngasih lo tumpangan tinggal di istananya. Jangan cari gara-gara.

Dengan berat hati, ia menepi ke dekat pilar lobi dan memulai perjuangan batin terberat hari itu: mengetik balasan. Setelah melalui tiga draf gagal yang terasa antara terlalu kaku, terlalu santai, atau terlalu menantang maut, ia akhirnya mengirim balasan paling aman.

Baik, Pak. Terima kasih atas kesempatan dan perhatiannya. Saya akan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Send.

Terlalu formal? Mungkin. Tapi setidaknya tidak akan membuatnya dipecat besok pagi. Alya langsung memasukkan ponsel ke dalam tas tanpa berani menunggu balasan. Cukup sudah drama untuk hari ini.

Perjalanan pulang di atas motor ojek terasa berbeda. Kepalanya masih dipenuhi oleh sosok Arka Arroihan. Pria itu seperti teka-teki dengan tingkat kesulitan paling tinggi. Dingin, tapi memberinya tempat tinggal. Mengintimidasi, tapi mengirim pesan pengingat. Menyebalkan, tapi entah kenapa membuat Alya tidak bisa berhenti memikirkannya.

Sesampainya di rumah megah itu, suasana terasa lebih menegangkan. Seolah setiap sudutnya menyimpan bayangan si pemilik rumah. Alya bergegas masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan mencoba mencari ketenangan dalam sebungkus mi instan rasa soto—harta karun terakhir dari kampungnya. Sambil menyeruput kuah hangat, ia menatap ironi di sekelilingnya: seorang gadis makan mi instan di dalam kamar yang biaya sewanya semalam mungkin bisa untuk membeli pabrik mi itu sendiri.

Malam itu, ia sulit tidur. Bayangan tentang hari esok membuatnya cemas. Bukan hanya karena pekerjaan, tapi karena satu agenda tak terhindarkan: sarapan. Kemungkinan harus duduk semeja dengan pria itu setelah insiden remot TV dan drama pesan teks membuatnya salting sendiri. Notifikasi malam ini telah sukses menjadi pengantar tidur paling buruk yang pernah ia rasakan.

ALARM PAGI

Alarm di ponselnya terasa seperti lonceng dimulainya ronde pertempuran baru. Alya membuka mata dengan perasaan lesu, hasil dari tidur yang tidak nyenyak karena terus memikirkan pertemuan paginya. Hari ini ia harus bertemu pak Arka. Tatap muka.

Dengan perasaan berat, ia memilih pakaian paling netral dari dalam kopernya. Tujuannya satu: menjadi semembosankan mungkin agar tidak menarik perhatian. Setiap langkahnya menuruni tangga menuju ruang makan terasa seperti berjalan menuju ruang eksekusi. Jantungnya sudah berdebar-debar, mempersiapkan diri untuk skenario terburuk.

Dan benar saja, skenario terburuk itu menjadi kenyataan.

Di salah satu ujung meja makan yang panjang, Arka Arroihan sudah duduk. Bukan dengan jas formal, melainkan kaus polos berwarna gelap yang membuatnya terlihat lebih santai, namun entah kenapa justru memiliki kesan lebih berkuasa. Ia sedang fokus membaca sesuatu di tabletnya, secangkir kopi hitam mengepul di sisinya.

Alya berhenti sejenak, ingin sekali berbalik dan lari. Tapi Mbak Rini keburu melihatnya.

“Eh, Neng Alya. Pagi, Neng. Sini sarapan dulu,” sapa Mbak Rini ramah.

Arka Arroihan mengangkat kepalanya dari tablet. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Alya. Hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat lutut Alya lemas.

“P-pagi, Pak,” cicit Alya, menarik kursi yang letaknya paling jauh dari Arka dan duduk dengan kaku.

Arka hanya mengangguk singkat sebagai balasan, lalu kembali fokus pada tabletnya. Keheningan yang menyiksa menyelimuti meja makan. Hanya ada suara denting pelan sendok dan garpu Mbak Rini yang meletakkan nasi goreng di piring mereka.

Alya makan dengan gerakan super hati-hati. Ia mengunyah pelan-pelan, takut menimbulkan suara yang bisa mengganggu konsentrasi si bos. Rasanya seperti sedang makan di perpustakaan, bukan di ruang makan.

“Laporan penjualan bulan kemarin sudah kamu lihat?”

Suara berat Arka tiba-tiba memecah keheningan. Alya nyaris tersedak.

“B-belum semua, Pak. Baru sebagian yang diinput oleh Mbak Vira kemarin,” jawabnya gugup.

“Hari ini, minta data lengkapnya dari Vira. Saya mau kamu buat rangkuman analisisnya dalam satu halaman. Kirim ke email saya sebelum jam lima sore.”

Alya membelalak. Rangkuman analisis? Ia bahkan belum paham betul produk perusahaan. Ini perintah atau ujian si?

“Baik, Pak. Akan saya kerjakan.”

Arka tidak menanggapi lagi, kembali tenggelam dalam tabletnya. Tapi Alya tahu, itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah cara Arka untuk menegaskan kembali posisi mereka: dia adalah bos, dan Alya adalah anak magang. Tidak ada basa-basi, hanya ekspektasi dan pekerjaan.

Setelah menghabiskan kopinya, Arka berdiri. “Saya berangkat,” ujarnya singkat, bukan pada Alya secara spesifik, melainkan pada ruangan itu secara umum. Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan Alya yang masih mematung dengan separuh nasi goreng di piringnya.

Begitu deru mobil Arka menjauh, Alya langsung melepaskan napas yang sejak tadi ditahannya. Bahunya merosot lemas. Notifikasi semalam dan alarm pagi ini ternyata adalah awal dari serangkaian ujian yang sepertinya tidak akan pernah berakhir.

“Baru sarapan aja rasanya kayak lagi sidang skripsi jilid dua,” gumamnya pada piring nasi gorengnya. “Gimana caranya gue bisa bertahan hidup di sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang di hati CEO tampan    Epilog

    Dua Tahun Kemudian... Di Bawah Langit Garut... ​Udara pagi di Garut terasa jernih dan sejuk, dipenuhi aroma tanah basah sisa hujan semalam dan wangi bunga-bunga dari taman Bu Aminah. Di dalam rumahnya yang kini terasa lebih ramai, Alya sedang dengan sabar menguncir rambut seorang gadis kecil yang duduk di pangkuannya. ​“Nah, sudah cantik putri Bunda,” bisik Alya sambil mengecup pipi gembil itu. ​Larasati Alya Wijaya, atau Lara, putrinya yang baru berusia satu setengah tahun, tertawa riang. Ia memiliki mata ibunya yang berbinar dan senyum ayahnya yang menawan. Kehadirannya adalah penanda dari babak baru kehidupan mereka yang penuh cinta. ​“Bunda! Ayah! Ayo, nanti kita terlambat!” seru sebuah suara yang tidak lagi terdengar kekanak-kanakan. Bara, yang kini sudah berusia delapan tahun, berdiri di ambang pintu, tampak gagah dengan kemeja batiknya. Ia tumbuh menjadi anak laki-laki yang cerdas, percaya diri, dan sangat menyayangi adik pe

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 222 - Jalan Pulang

    ​Sebulan kemudian, dedaunan di taman belakang rumah mereka di Jakarta mulai berguguran, menandai pergantian musim. Bagi Alya, itu juga terasa seperti penanda pergantian babak dalam hidupnya. Keputusan untuk kembali ke Garut telah dibuat, dan bulan terakhir mereka di Jakarta diisi dengan proses pelepasan yang manis dan teratur. ​Perpisahan pertama adalah dengan Nindya. Mereka duduk di kafe favorit mereka untuk terakhir kalinya. ​“Jadi lo beneran balik ke Garut?” tanya Nindya, ada nada sedih di balik gaya bicaranya yang jenaka. “Setelah semua perjuangan lo menaklukkan kota ini? Lo udah jadi Ratu di sini, Ly.” ​Alya tersenyum dan meraih tangan sahabatnya. “Aku sadar, Nin, aku ke sini bukan untuk menaklukkan Jakarta. Aku ke sini untuk menemukan kembali diriku dan menyembuhkan keluargaku. Dan sekarang, misinya sudah selesai. Rumah kami yang sebenarnya ada di sana.” ​“Janji ya, lo bakal sering ke sini atau gue yang bakal sering neror lo di sana,” ka

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 221 - Fajar Setelah Badai Tergelap

    ​Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah mewah Jakarta itu terasa begitu berbeda. Gema dari pertarungan, tangisan, dan pengkhianatan telah memudar, digantikan oleh kehangatan dari rutinitas keluarga yang damai. Dinding-dinding yang tadinya terasa dingin dan asing, kini dipenuhi oleh tawa Bara, aroma masakan Alya, dan kehadiran Arka yang kini selalu terasa menenangkan. ​Pagi itu, Alya sedang berdiri di teras belakang dengan secangkir teh hangat, mengawasi Arka dan Bara yang sedang bermain sepak bola di taman. Arka, sang mantan Kaisar Es, kini tidak ragu untuk bergulingan di atas rumput dan membiarkan putranya menertawakannya. Ia telah menanggalkan jubah perangnya, dan kembali menjadi suami dan ayah seutuhnya. Melihat pemandangan itu, Alya merasakan gelombang kedamaian yang begitu sempurna hingga terasa sureal. ​Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan video dari Nindya. ​“Ly!” sapa Nindya heboh. “Gue masih nggak percaya tiap kali baca be

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 220 - Pertanggungjawaban Sandra

    ​Sebulan kemudian, Alya menatap ke luar jendela ruang kerjanya. Pemandangan Jakarta yang dulu terasa mengancam, kini tampak berbeda. Itu hanyalah sebuah kota, latar dari kehidupannya yang baru. Kehidupan yang, secara ajaib, terasa begitu damai. ​Rumah mereka kini benar-benar terasa seperti rumah. Dipenuhi oleh tawa Bara, aroma masakan Alya yang bereksperimen di dapur, dan kehadiran Arka yang kini selalu terasa hangat dan menenangkan. Suaminya itu benar-benar telah berubah. Ia memimpin Arroihan Group dengan tangan yang kokoh namun adil, mendelegasikan lebih banyak, dan selalu memprioritaskan waktu untuk pulang dan makan malam bersama keluarganya. ​Hubungan Alya dengan Saphira—ia masih sulit membiasakan diri dengan nama itu—juga berkembang menjadi sesuatu yang unik. Mereka bukan sahabat, tapi mereka adalah sekutu yang solid. Mereka berkomunikasi hampir setiap hari, merancang setiap detail dari proyek “Wisma Kebaikan Rahman Wijaya” di Garut. Di antara diskusi tentan

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 219 - Ritual Keadilan

    ​Perjalanan menuju Puncak pada hari Selasa, 9 September 2025, terasa begitu berbeda dari semua perjalanan mereka sebelumnya. Udara di dalam mobil sunyi, namun bukan karena ketegangan atau amarah, melainkan karena sebuah perasaan gentar yang khusyuk. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka, tapi mereka berdua merasa bahwa ini adalah sebuah perjalanan menuju akhir dari sebuah bab yang panjang dan menyakitkan. ​“Menurutmu apa yang dia maksud dengan ‘keadilan’, Mas?” tanya Alya pelan. ​Arka menggeleng, matanya fokus pada jalanan yang menanjak. “Aku tidak tahu, Sayang. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dia sedang merencanakan sesuatu yang licik. Rasanya… berbeda.” ​Mereka tiba di depan rumah kayu kecil itu. Pemandangannya masih sama asrinya, namun auranya terasa lebih damai. Melati Suryo menyambut mereka di pintu dengan sebuah pelukan hangat untuk Alya. Matanya yang sembap menunjukkan bahwa ia telah banyak menangis, namun kini ada seberkas cahay

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 218 - Panggilan dari Puncak

    ​Beberapa minggu berlalu seperti sebuah mimpi yang indah. Rumah yang tadinya terasa seperti medan perang, kini telah berubah menjadi surga kecil yang sesungguhnya. Kepercayaan dan keintiman yang telah terjalin kembali di antara Alya dan Arka menjadi fondasi yang kokoh, mengubah setiap sudut rumah menjadi penuh kehangatan.​Arka benar-benar menepati janjinya. Ia mendelegasikan lebih banyak pekerjaan pada Vira, menolak rapat-rapat yang tidak penting, dan selalu berusaha pulang sebelum Bara tidur. Sisi “manja”-nya yang dulu hanya muncul sesekali, kini menjadi bagian dari keseharian mereka—sebuah permintaan pelukan tiba-tiba di tengah kesibukan Alya, atau rengekan cemburu yang lucu saat Alya terlalu fokus pada Bara. Bagi Alya, semua itu adalah bukti cinta yang paling tulus.​Alya sendiri menemukan dunianya. Kemenangannya di komite sekolah telah memberinya rasa hormat dan posisi yang tak terbantahkan. Ia kini memimpin program bimbingan membaca dengan penuh semangat, dan para ibu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status