Share

Keanehan Laela

Author: Lian Nai
last update Last Updated: 2023-01-10 15:27:32

"Kenapa kamu bawa balik lagi rantang itu, Nay?" tanya Bu Tarjo keheranan. "Sudah habis masakan kamu dimakan Akbar? Apa Mamak kata, pria seperti Akbar itu pasti mudah luluh dengan sedikit perhatian. Berterima kasih lah kau ke Mamak," imbuh Bu Tarjo pongah.

Kompyang ....

Kanaya membanting rantang stainless yang sempat ia genggam asal karena isinya yang sudah berserakan di sawah. Bu Tarjo memekik kaget. Diurutnya dada sambil menatap sengit pada putri bungsunya yang terlihat tidak bersemangat. 

"Apa-apaan kamu, Kanaya?!" bentak Bu Tarjo geram. "Kau pikir barang-barang Mamak ini hasil mencuri sampai-sampai seenak jidat kamu buang-buang begini, hah?!"

"Kenapa pula kamu pulang sambil marah-marah, Akbar bilang gak enak masakan kamu, iya? Tersinggung kamu?"

"Semua ini gara-gara Mamak!" teriak Kanaya sambil menangis. "Harusnya Mamak terima saja berapapun mahar yang Kang Akbar berikan, sekarang ...."

Kanaya terduduk di lantai sambil menangis. Bu Tarjo menatap putrinya dengan air muka kebingungan. Sebelum berangkat ke sawah, Kanaya terlihat bahagia bahkan menyombongkan dirinya bahwa Akbar pasti menyukai makanan yang ia bawa. Tapi sekarang ... pulang dari sawah dia justru marah-marah dan kalap di depan Ibunya sendiri. 

"Kang Akbar tidak mau lagi memperjuangkan ku. Dia ... bahkan dia menolak saran dari Emak Lamba untuk menjual perkebunan Bapaknya. Kang Akbar tidak mau lagi membangun mimpi bersama denganku, Mak. Semua ini gara-gara Mamak!"

Bu Tarjo tercengang. Siapa sangka jika Mak Lamba berani mempertaruhkan hartanya demi meminang Kanaya. Tau begitu, seharusnya bisa lah mulutnya bermanis-manis di depan wanita tua yang sempat ia hina kala itu. 

"Apa kamu bilang ...? Mak Lamba mau menjual perkebunan? Mereka ... ah, tidak ... wanita tua itu punya kebun, Nay?"

Kanaya masih menangis. Dia mencengkeram erat kerah bajunya dan tersedu-sedu mengingat perkataan Akbar di sawah tadi. 

"Kenapa kamu gak bilang, Kanaya!" Suara Bu Tarjo meninggi. Kanaya mengangkat wajahnya dan menatap Bu Tarjo sendu. "Semua gara-gara Mamak," cicit Kanaya lagi. "Kang Akbar itu satu-satunya pria yang Naya cintai, Mak ...."

"Omong kosong tentang cinta," sela Bu Tarjo cepat. "Mamak tanya, kenapa kamu gak bilang kalau Emak Lamba punya perkebunan, hah?"

Bu Tarjo memijat pelipisnya dengan gerakan berulang. "Ck, kalau perkebunan mereka dijual, Mamak yakin kalau uangnya lebih dari lima puluh juta," ucapnya frustrasi. "Mamak gak mau tau, kamu harus bisa mengambil hati Mak Lamba, Nay! Bujuk Akbar supaya mau ...."

"Cukup, Mak, cukup!" Kanaya memekik lantang. Laela yang baru pulang bekerja pun dibuat keheranan dengan keributan yang terjadi di dalam rumahnya. Siang ini, kakak Kanaya itu pulang karena merasakan mual yang luar biasa. Kepalanya berputar, perutnya seperti diaduk bahkan beberapa kali dia mencoba memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan berakhir muntah. 

"Semua sudah terlambat, Mamak! Kang Akbar, pria yang Mamak hina sebagai petani miskin itu menyerah memperjuangkan aku! Aku akan menjadi perawan tua seperti Mbak Laela!" pekik Kanaya membuat derap langkah Laela terhenti. Kepalanya yang pening semakin terasa pening ketika adik satu-satunya menghina dirinya sebagai perawan tua. Napasnya memburu. Marah. Bisa-bisanya seorang adik menghina Kakaknya sendiri?

"Heh, apa-apaan mulutmu itu, Nay?!" Suara Laela meninggi. Wajahnya memanas mendengar Kanaya menghancurkan harga dirinya sebagai seorang Kakak. "Gagal menikah itu urusan kamu, kenapa pula menyangkut pautkan aku disini, hah?"

Kanaya menunduk dalam. Hancur. Harapan yang sudah ia bangun tinggi bersama Akbar kini harus musnah karena keserakahan dunia. 

"Lagipula bodoh kalau kamu menangisi pria seperti Akbar. Buang pria miskin dan cari penggantinya yang lebih kaya. Kau tau, Nay, bahkan tempo hari aku ludahi dia," papar Laela sombong. Dia tertawa mengingat wajah padam Akbar siang itu ketika ludahnya mendarat sempurna di lengan pria yang dulu menjatuhkan hatinya begitu dalam pada Kanaya. "Kita itu wanita, Nay ... sudah seharusnya memilih calon suami yang jelas masa depannya. Malu-maluin kamu menangisi ...."

"Kamu meludahinya, Mbak?" tanya Kanaya getir. "Kamu meludahi Mas Akbar?"

Laela mengangguk sambil mengedikkan bahu. "Pria tidak tau diri seperti dia memang pantas diperlakukan ...."

"Keterlaluan kamu, Mbak Laela!" bentak Kanaya sengit. "Kang Akbar salah apa sama kamu sampai-sampai tega melakukan hal ...."

"Halah jangan sok naif kamu, Nay. Pria seperti Akbar memang pantas diberi pelajaran."

Kedua tangan Kanaya mengepal kuat. Bibirnya mengatup rapat menahan emosi. Belum sempat mulutnya terbuka untuk menghardik sikap Laela yang keterlaluan, Bu Tarjo sudah melerai dua putrinya seraya memijit pelipisnya lembut.

"Sudah, sudah! Lagipula masalah Akbar saja kalian ini sampai ribut. Kamu juga, Nay, jaga mulutmu itu, pokoknya Mamak tetap gak setuju kalau kamu menikah dengan mahar murah. Kalau bisa, rayu Akbar agar mau menjual perkebunannya dan menikahimu. Paham?!"

Kanaya melengos. Hatinya masih berdenyut nyeri mengingat sikap Akbar kepadanya tadi. Sementara Laela bersikap tak acuh, dia menutup mulutnya dan berlari menuju kamar mandi di dekat dapur.

"Huwek ... huwek ...."

Hanya air. Lagi-lagi hanya air yang keluar dari dalam perutnya. Bu Tarjo menatap penuh selidik pada sulungnya yang terlihat menekuk tubuh di depan kloset.

Mendapat tatapan tajam dari Sang Ibu, Laela mendadak salah tingkah dan berkata. "Masuk angin sepertinya, Mak."

"Sejak kapan kamu telat makan? Beberapa hari belakangan bahkan porsi makan kamu jauh lebih banyak dari biasanya," ucap Bu Tarjo janggal. "Kamu masuk angin, apa masuk anak?"

***

"Mak, kalau aku mengajukan proposal ta'aruf pada wanita yang Ustad Jefri sarankan tempo hari, bagaimana menurut Emak?"

Emak Lamba yang sedang mengolah daun kangkung pun menoleh. "Bagaimana baiknya menurut kamu, Le," sahutnya pasrah. "Satu saja pesan Emak, cobalah untuk egois dan mendahulukan masa depan kamu, Nak. Emak sudah tua, umur Emak pun mungkin hanya tinggal hitungan tahun. Kalau kamu selalu menomorsatukan Emak, kapan kamu akan menikah?"

Akbar menoleh tidak senang. "Umur manusia tidak ada yang tahu, Mak. Bisa jadi aku yang akan meninggalkan Emak lebih dulu. Jadi, apa salah kalau aku ingin membahagiakan Emak bersama istriku nanti?"

Emak Lamba mengulas senyum teduh. Tidak salah didikan Sang Suami pada Akbar dahulu. Kini, putranya tumbuh sebagai pria yang baik dan bertanggung jawab.

"Sekali lagi, Emak tidak memaksa kalau kamu belum siap ...."

"Aku sepenuhnya sudah siap, Emak. Bakda Maghrib nanti aku akan ke rumah Ustad Jefri. Emak mau ikut?"

Emak Lamba menggeleng samar. "Emak setuju bagaimanapun keputusan kamu dan wanita mana yang kamu pilih. Maafkan Emak karena sudah menghancurkan impian kamu bersama Kanaya ...."

"Impianku adalah membahagiakan Emak dan istriku kelak. Dan Kanaya ... dia bukan istriku, Mak. Aku dan dia hanyalah orang asing yang sempat terjebak pada perasaan semu. Emak tidak bersalah, terima kasih karena sudah menjadi Emak terbaik bagi Akbar."

Bersambung 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status