Share

Keanehan Laela

"Kenapa kamu bawa balik lagi rantang itu, Nay?" tanya Bu Tarjo keheranan. "Sudah habis masakan kamu dimakan Akbar? Apa Mamak kata, pria seperti Akbar itu pasti mudah luluh dengan sedikit perhatian. Berterima kasih lah kau ke Mamak," imbuh Bu Tarjo pongah.

Kompyang ....

Kanaya membanting rantang stainless yang sempat ia genggam asal karena isinya yang sudah berserakan di sawah. Bu Tarjo memekik kaget. Diurutnya dada sambil menatap sengit pada putri bungsunya yang terlihat tidak bersemangat. 

"Apa-apaan kamu, Kanaya?!" bentak Bu Tarjo geram. "Kau pikir barang-barang Mamak ini hasil mencuri sampai-sampai seenak jidat kamu buang-buang begini, hah?!"

"Kenapa pula kamu pulang sambil marah-marah, Akbar bilang gak enak masakan kamu, iya? Tersinggung kamu?"

"Semua ini gara-gara Mamak!" teriak Kanaya sambil menangis. "Harusnya Mamak terima saja berapapun mahar yang Kang Akbar berikan, sekarang ...."

Kanaya terduduk di lantai sambil menangis. Bu Tarjo menatap putrinya dengan air muka kebingungan. Sebelum berangkat ke sawah, Kanaya terlihat bahagia bahkan menyombongkan dirinya bahwa Akbar pasti menyukai makanan yang ia bawa. Tapi sekarang ... pulang dari sawah dia justru marah-marah dan kalap di depan Ibunya sendiri. 

"Kang Akbar tidak mau lagi memperjuangkan ku. Dia ... bahkan dia menolak saran dari Emak Lamba untuk menjual perkebunan Bapaknya. Kang Akbar tidak mau lagi membangun mimpi bersama denganku, Mak. Semua ini gara-gara Mamak!"

Bu Tarjo tercengang. Siapa sangka jika Mak Lamba berani mempertaruhkan hartanya demi meminang Kanaya. Tau begitu, seharusnya bisa lah mulutnya bermanis-manis di depan wanita tua yang sempat ia hina kala itu. 

"Apa kamu bilang ...? Mak Lamba mau menjual perkebunan? Mereka ... ah, tidak ... wanita tua itu punya kebun, Nay?"

Kanaya masih menangis. Dia mencengkeram erat kerah bajunya dan tersedu-sedu mengingat perkataan Akbar di sawah tadi. 

"Kenapa kamu gak bilang, Kanaya!" Suara Bu Tarjo meninggi. Kanaya mengangkat wajahnya dan menatap Bu Tarjo sendu. "Semua gara-gara Mamak," cicit Kanaya lagi. "Kang Akbar itu satu-satunya pria yang Naya cintai, Mak ...."

"Omong kosong tentang cinta," sela Bu Tarjo cepat. "Mamak tanya, kenapa kamu gak bilang kalau Emak Lamba punya perkebunan, hah?"

Bu Tarjo memijat pelipisnya dengan gerakan berulang. "Ck, kalau perkebunan mereka dijual, Mamak yakin kalau uangnya lebih dari lima puluh juta," ucapnya frustrasi. "Mamak gak mau tau, kamu harus bisa mengambil hati Mak Lamba, Nay! Bujuk Akbar supaya mau ...."

"Cukup, Mak, cukup!" Kanaya memekik lantang. Laela yang baru pulang bekerja pun dibuat keheranan dengan keributan yang terjadi di dalam rumahnya. Siang ini, kakak Kanaya itu pulang karena merasakan mual yang luar biasa. Kepalanya berputar, perutnya seperti diaduk bahkan beberapa kali dia mencoba memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan berakhir muntah. 

"Semua sudah terlambat, Mamak! Kang Akbar, pria yang Mamak hina sebagai petani miskin itu menyerah memperjuangkan aku! Aku akan menjadi perawan tua seperti Mbak Laela!" pekik Kanaya membuat derap langkah Laela terhenti. Kepalanya yang pening semakin terasa pening ketika adik satu-satunya menghina dirinya sebagai perawan tua. Napasnya memburu. Marah. Bisa-bisanya seorang adik menghina Kakaknya sendiri?

"Heh, apa-apaan mulutmu itu, Nay?!" Suara Laela meninggi. Wajahnya memanas mendengar Kanaya menghancurkan harga dirinya sebagai seorang Kakak. "Gagal menikah itu urusan kamu, kenapa pula menyangkut pautkan aku disini, hah?"

Kanaya menunduk dalam. Hancur. Harapan yang sudah ia bangun tinggi bersama Akbar kini harus musnah karena keserakahan dunia. 

"Lagipula bodoh kalau kamu menangisi pria seperti Akbar. Buang pria miskin dan cari penggantinya yang lebih kaya. Kau tau, Nay, bahkan tempo hari aku ludahi dia," papar Laela sombong. Dia tertawa mengingat wajah padam Akbar siang itu ketika ludahnya mendarat sempurna di lengan pria yang dulu menjatuhkan hatinya begitu dalam pada Kanaya. "Kita itu wanita, Nay ... sudah seharusnya memilih calon suami yang jelas masa depannya. Malu-maluin kamu menangisi ...."

"Kamu meludahinya, Mbak?" tanya Kanaya getir. "Kamu meludahi Mas Akbar?"

Laela mengangguk sambil mengedikkan bahu. "Pria tidak tau diri seperti dia memang pantas diperlakukan ...."

"Keterlaluan kamu, Mbak Laela!" bentak Kanaya sengit. "Kang Akbar salah apa sama kamu sampai-sampai tega melakukan hal ...."

"Halah jangan sok naif kamu, Nay. Pria seperti Akbar memang pantas diberi pelajaran."

Kedua tangan Kanaya mengepal kuat. Bibirnya mengatup rapat menahan emosi. Belum sempat mulutnya terbuka untuk menghardik sikap Laela yang keterlaluan, Bu Tarjo sudah melerai dua putrinya seraya memijit pelipisnya lembut.

"Sudah, sudah! Lagipula masalah Akbar saja kalian ini sampai ribut. Kamu juga, Nay, jaga mulutmu itu, pokoknya Mamak tetap gak setuju kalau kamu menikah dengan mahar murah. Kalau bisa, rayu Akbar agar mau menjual perkebunannya dan menikahimu. Paham?!"

Kanaya melengos. Hatinya masih berdenyut nyeri mengingat sikap Akbar kepadanya tadi. Sementara Laela bersikap tak acuh, dia menutup mulutnya dan berlari menuju kamar mandi di dekat dapur.

"Huwek ... huwek ...."

Hanya air. Lagi-lagi hanya air yang keluar dari dalam perutnya. Bu Tarjo menatap penuh selidik pada sulungnya yang terlihat menekuk tubuh di depan kloset.

Mendapat tatapan tajam dari Sang Ibu, Laela mendadak salah tingkah dan berkata. "Masuk angin sepertinya, Mak."

"Sejak kapan kamu telat makan? Beberapa hari belakangan bahkan porsi makan kamu jauh lebih banyak dari biasanya," ucap Bu Tarjo janggal. "Kamu masuk angin, apa masuk anak?"

***

"Mak, kalau aku mengajukan proposal ta'aruf pada wanita yang Ustad Jefri sarankan tempo hari, bagaimana menurut Emak?"

Emak Lamba yang sedang mengolah daun kangkung pun menoleh. "Bagaimana baiknya menurut kamu, Le," sahutnya pasrah. "Satu saja pesan Emak, cobalah untuk egois dan mendahulukan masa depan kamu, Nak. Emak sudah tua, umur Emak pun mungkin hanya tinggal hitungan tahun. Kalau kamu selalu menomorsatukan Emak, kapan kamu akan menikah?"

Akbar menoleh tidak senang. "Umur manusia tidak ada yang tahu, Mak. Bisa jadi aku yang akan meninggalkan Emak lebih dulu. Jadi, apa salah kalau aku ingin membahagiakan Emak bersama istriku nanti?"

Emak Lamba mengulas senyum teduh. Tidak salah didikan Sang Suami pada Akbar dahulu. Kini, putranya tumbuh sebagai pria yang baik dan bertanggung jawab.

"Sekali lagi, Emak tidak memaksa kalau kamu belum siap ...."

"Aku sepenuhnya sudah siap, Emak. Bakda Maghrib nanti aku akan ke rumah Ustad Jefri. Emak mau ikut?"

Emak Lamba menggeleng samar. "Emak setuju bagaimanapun keputusan kamu dan wanita mana yang kamu pilih. Maafkan Emak karena sudah menghancurkan impian kamu bersama Kanaya ...."

"Impianku adalah membahagiakan Emak dan istriku kelak. Dan Kanaya ... dia bukan istriku, Mak. Aku dan dia hanyalah orang asing yang sempat terjebak pada perasaan semu. Emak tidak bersalah, terima kasih karena sudah menjadi Emak terbaik bagi Akbar."

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status