Share

Tidak Terima

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini, Akbar?" tanya Ustad Jefri serius. "Sebelum kami pertemukan dua keluarga, kamu harus tau satu hal ...."

"Apa itu, Ustad?" 

"Wanita yang akan kami pertemukan denganmu adalah ...."

Akbar menanti jawaban Ustad Jefri dengan air muka kebingungan. Tidak banyak wanita yang ia kenal. Bertemu Kanaya pun karena diperkenalkan oleh teman dari teman, bukan karena perkenalan pribadi. Jadi mengapa pria paruh baya di depannya ini nampak ragu mengatakan siapa wanita itu.

"Guru TK," jawab Ustad Jefri ragu. "Kamu gak masalah kan?"

Akbar terkekeh. Dia mengangkat kepalanya dan mengangguk mantap. "Apapun profesinya, Ustad. Sukur-sukur kalau dia mau menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Tapi, insyaallah saya tidak membatasi ruang geraknya asal ...."

"Asal apa, Bar?"

"Wanita itu mau menerima Emak saya."

Ustad Jefri mengangguk paham. Seulas senyum terbit di bibirnya ketika Akbar masih memikirkan satu-satunya orang tua yang dia miliki. 

"InsyaAllah, Akbar. Ustad dan Umi tidak akan mengecewakan kamu. InsyaAllah."

"Terima kasih banyak, Ustad," sahut Akbar lirih. "Saya pamit pulang, besok siang saya akan datang kembali bersama Emak."

"Ya, Nak. Hati-hati di jalan, salam buat Emak Lamba dari kami," ucap Istri Ustad Jefri yang selalu dipanggil Umi oleh orang-orang sekitar. 

***

Akbar melangkah gontai sambil memikirkan seperti apa perangai wanita yang akan dikenalkan padanya. Sungguh, bayangan tentang wajah sengit Kanaya saat menghardik Emak Lamba masih berkelebatan di otaknya. Akbar masih menyimpan rasa takutnya. Bukan takut jika sewaktu-waktu dirinya ditolak melainkan ketakutan luar biasa jika Emak tidak bisa mendapatkan menantu yang menyayanginya dengan tulus. 

"Ada tamu ya, Mak?" Akbar bertanya sambil melepas sandal. Tubuhnya mematung. Rahangnya tetiba mengeras melihat siapa yang duduk di ruang tamu rumahnya. Tiga gelas teh hangat tersaji di atas meja namun jelas sekali jika isinya masih utuh. 

Mungkin tamunya baru datang, atau mungkin jika tiga manusia yang sedang duduk bersisian itu enggan menyeruput teh hangat buatan Emak Lamba?

Entahlah!

"Duduk, Le!" pinta Emak pada putra semata wayangnya. "Keluarga Kanaya ingin mengatakan sesuatu."

"Kedatangan kami kesini untuk menanyakan perihal rencana pernikahan kalian ...."

"Tidak ada rencana pernikahan, Pak," sela Akbar tegas. "Sejak kapan saya menyanggupi akan menikahi putri anda?"

Wajah Pak Bagiyo menegang. Matanya menatap nyalang pada sosok pria yang masih berdiri di ambang pintu. 

"Ayolah, Akbar." Pak Bagiyo terkekeh. "Seharusnya kedatangan kami kesini sudah sangat membuatmu tersanjung. Apalagi kami datang untuk membicarakan pinangan kamu tempo hari."

"Saya sudah mengatakan dengan jelas kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi tentang pinangan itu, Pak. Dan ya, kenapa harus tersanjung dengan kedatangan kalian, memangnya kalian siapa? Orang paling kaya di kampung sebelah? Tidak kan?"

Wajah Pak Bagiyo dan Bu Tarjo memanas. "Apa maksudmu, kamu mau mengadu harta dengan kami?" tanya Bu Tarjo ketus. "Kalau saja bukan karena Kanaya yang merengek-rengek agar kami menerima pinangan kamu, aku dan suamiku juga tidak sudi datang kesini, Akbar."

"Oh ya? Karena Kanaya yang merengek-rengek atau karena Emak yang berencana menjual perkebunannya demi memenuhi syarat mahar yang Bu Tarjo katakan tempo hari? Jangan malu mengakuinya, Bu ...."

"Akbar!" Emak membentak dengan suara lantang. "Jaga sikapmu, Nak!"

"Apa begini caramu memperlakukan tamu, hah? Begini ajaran yang Bapak dan Emak berikan dalam menyambut tamu di rumah kita?" Mata Emak berkaca-kaca sementara Akbar menunduk sambil sesekali melengos ke arah lain. "Duduk! Kita bicarakan semua urusan ini agar menemukan titik terang."

"Masih bisa Emak menghargai orang-orang yang sudah merendahkan kita?" sahut Akbar getir. "Tidak ada lagi yang harus kita bahas, Mak. Semua selesai dan aku tidak akan menikahi Kanaya."

"Kang ...."

Kanaya memanggil Akbar dengan suara bergetar. Air mata bahkan sudah menggenang di pelupuk matanya yang indah. Bibirnya ingin berucap, namun saat Akbar melengos, lagi-lagi wanita itu harus menutup mulutnya rapat.

"Saya hanya petani miskin, bukan pria kaya yang bisa memberikan banyak harta untuk Bu Tarjo dan Pak Bagiyo, jadi lebih baik tidak kita teruskan pembahasan ini. Anda bisa mencari calon menantu yang jauh lebih segalanya dibandingkan saya."

Bu Tarjo bangkit. Dadanya membusung mendengar Akbar mengusirnya secara tidak hormat. Sementara Pak Bagiyo terlihat frustasi sambil mengusap wajahnya kasar. Entah apa yang ada di pikiran pria paruh baya itu. 

"Sudah baik kami mau datang ke rumahmu yang sederhana ini, Akbar! Seharusnya kamu terima saja Kanaya atau kamu tidak akan menikah sama sekali! Mana ada wanita yang mau hidup denganmu ...."

"Lalu kenapa Kanaya mau dan anda terkesan memaksa?" sela Akbar lagi. Emak Lamba geleng-geleng kepala memberi isyarat agar putranya segera diam. "Apa yang sebenarnya anda kejar dari saya, Bu? Benar kalau perkebunan Emak yang Bu Tarjo harapkan, begitu?"

"Keterlaluan!" bentak Pak Bagiyo naik pitam. "Pria tidak tau aturan seperti ini yang ingin kamu nikahi, Kanaya? Bapak tidak sudi, Nay! Tidak rela Bapak melepas kamu bersama pria yang tidak berpendidikan ini. Ayo pulang!"

Kanaya menggeleng kuat. Wanita cantik itu menangis dan menarik-narik tangan Pak Bagiyo agar tidak hengkang dari rumah Akbar.

"Sikap saya tergantung bagaimana orang memperlakukan saya, Pak. Mohon maaf, tapi perlakuan keluarga anda sudah sangat melukai saya sebelumnya. Jadi, silahkan pergi! Pintu rumah saya terbuka lebar untuk anda."

Akbar menyingkir. Bu Tarjo dan Pak Bagiyo saling pandang lalu sama-sama menyentak napas kasar. Ditariknya tangan Kanaya meskipun putrinya itu menolak sambil menangis. 

"Aku minta maaf, Kang. Kami menerima mahar dari Kang Akbar berapapun itu, tolong ... jangan lepaskan aku begitu saja, Kang!" teriak Kanaya pilu. "Aku akan menyembah kaki Emak bila perlu. Aku akan merawat dia seperti Ibuku sendiri. Maafkan aku ...."

Akbar membuang muka. Hatinya menjerit melihat Kanaya ditarik paksa oleh kedua orangtuanya dalam keadaan menangis pilu. Namun, ada harga diri Emak yang dia junjung tinggi. Sekali dihina, Akbar tidak akan lupa pada hinaan itu. Tidak ada pernah!

"Jangan mengemis cinta pada pria sombong sepertinya, Nay!" bentak Bu Tarjo.

"Aku tidak perduli!" teriak Kanaya lantang. "Bukankah Mamak sendiri yang mengatakan agar aku merengek di depan Kang Akbar, bila perlu, aku sembah kedua kaki Emak Lamba agar mereka mau meminangku. Bukankah itu yang Mamak katakan tadi? Lalu kenapa sekarang melarangku mengemis cinta pada pria yang benar-benar aku inginkan, Mak? Katakan?!" 

Plak ....

Pipi Kanaya terasa perih. Darah segar menghiasi ujung bibirnya akibat tamparan keras dari ....

"Bapak malu aku mengatakan yang sebenarnya? Bapak dan Mamak sama saja, kalian berdua egois!" teriak Kanaya.

Bersambung 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Husna Mufida
lanjut thor ceritanya ga pernah gagal selalu baguus semngaaat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status