"Tutup mulutmu, Nay!" Bu Tarjo meninggikan suara sambil melotot. "Seret dia, Pak! Bisa-bisanya menjatuhkan harga diri orang tua demi pria angkuh seperti dia. Sah-sah saja kalau pria yang kamu tangisi ini kaya dan mapan, lihat ... pekerjaannya saja tidak jelas tapi mati-matian kamu menangis demi dia. Memalukan!"Kanaya mengusap pipinya sembari menangis. Dadanya bergemuruh. Panas akibat tamparan Pak Bagiyo ternyata tidak lebih sakit daripada pengabaian yang Akbar berikan. "Benar kata Mamak kamu, Kanaya. Untuk apa membuang-buang air mata hanya karena pria miskin sepertiku. Pulang lah, jangan jadi anak durhaka. Memalukan kalau sampai semua orang tahu kamu menangisi seorang petani sepertiku," ucap Akbar sambil tersenyum sinis. "Apa kata orang nanti, bisa-bisa mereka mengira kalau kedua orang tuamu memintaku untuk menikahi putrinya. Bukankah itu memalukan?"Pak Bagiyo dan Bu Tarjo menatap nyalang pada sosok pria berusia matang di depannya. Ucapan Akbar semakin lama semakin banyak mengandun
"Besok?"Ustad Jefri nampak keheranan. Pasalnya, beberapa hari belakangan Akbar terlihat seperti enggan memulai hubungan baru, tapi hari ini ...."Mendadak sekali, kenapa?"Akbar dipersilahkan duduk di teras dengan sisa-sisa napas yang masih terengah-engah. Dia meneguk ludahnya kasar ketika Ustad Jefri bertanya, kenapa?"Ada satu dua hal yang mengganggu saya, Ustad. Dan, sepertinya dengan menyegerakan menikah maka gangguan itu akan hilang dengan sendirinya," papar Akbar. Matanya lagi-lagi memanas. "Maaf, bukan saya bermaksud menjadikan wanita pilihan Ustad sebagai tameng. Hanya saja ....""Tentang Kanaya?"Akbar mengangguk ragu. Bukan rahasia umum lagi di kampungnya tentang kabar bahwa Akbar ditolak oleh keluarga Kanaya. Entah siapa yang menyebarkan berita ini lebih dulu yang jelas, semua tetangga tahu jika putra Emak Lamba ditolak karena mahar yang tidak sesuai keinginan keluarga Kanaya."Maaf, bukan Bapak ingin ikut campur lebih dalam urusan kamu. Menikah memang sangat baik jika dis
"Kang Akbar!" Kanaya berteriak nyaring sekali. "Apa maksutnya ini? Dilsah? Siapa yang melamar dia, Kang?"Semua orang yang tengah berdiri di halaman rumah Dilsah pun menoleh terkejut dengan teriakan yang keluar dari bibir merah Kanaya. "Ada apa, Nay? Dia calon suami Dilsah, kamu kenal?" tanya salah satu tetangga dekat mereka. "Harusnya tadi kamu ikut bantu-bantu, Nay, bagaimanapun juga Dilsah itu teman sekolah kamu dulu."Kanaya menyentak napasnya kasar. Dengan langkah lebar dan kemarahan yang memenuhi rongga dadanya, wanita berambut sebahu itu mendekati Akbar dan berdiri tak acuh di samping Emak Lamba dan Ustad Jefri."Apa maksudnya ini, Kang?" tanya Kanaya berulang. Air mata menggumpal dan siap tumpah saat kedua matanya beradu dengan mata Akbar. "Apa maksud kedatangan Akang ke rumah Dilsah? Bukankah Akang bilang hanya mencintaiku, tapi ini ...."Beberapa tetangga terlihat kaget. Tidak menyangka jika Kanaya adalah seseorang yang sempat ada di hati Akbar."Loh, kok ....""E- eh, mere
"Cuih, pria seperti dia tidak pantas diperebutkan, Nay." Bu Tarjo meludah tepat di bawah kaki Akbar. "Dia bisa besar kepala nanti. Sudah, ayo pulang! Biarkan saja dia menikah dengan Dilsah. Sama-sama masa depan suram," cibir Bu Tarjo kasar. Dilsah menarik ujung bibirnya sinis. Sejak awal dia tahu jika Akbar adalah pria yang sempat datang ke rumah Kanaya. Namun entah mengapa dia justru menerima pinangan dari Ustad Jefri dan hatinya terasa mantap sekali pada Akbar. "Kang, kalau Kang Akbar menikahi Dilsah hanya karena dia meminta mahar yang murah, aku berjanji akan menerima pinangan Akang dengan mahar berapapun," kata Kanaya merengek. Bu Tarjo menoleh dan menatap putrinya dengan sengit. Kedua tangannya berkacak pinggang, bola matanya melebar sempurna mendengar Kanaya memohon-mohon di depan seorang pria miskin. "Tolong jangan balas aku dengan cara seperti ini, Kang. Aku ... mana mungkin aku rela kalau Akang menikah dengan wanita udik seperti dia.""Lalu wanita seperti apa yang seharusny
"Bapak mau menyaksikan pernikahan Dilsah sebelum Bapak tutup usia ....""Pak ...." Dilsah memanggil lirih. Wajahnya yang tanpa make up terlihat basah. "Jangan berbicara makin melantur. Gak baik," imbuh Dilsah. Bu Mila menyusut hidungnya di samping Emak Lamba. Acara pertunangan yang seharusnya berjalan bahagia kini justru dipenuhi tangis. "Seminggu setelah hari pertunangan, saya akan menikahi Dilsah di depan Bapak dan Penghulu."Dilsah menatap nanar pada sosok pria yang duduk bertekuk lutut di depan Bapak. Ucapan Akbar entah mengapa tidak membawa kebahagiaan bagi Dilsah. Ada perasaan risau yang bergelayut ketika pria itu menyanggupi akan mengambil alih dirinya dari Bapak. "Dua hari setelah pertunangan," sahut Bapak egois. "Bapak mau dua hari setelah hari ini kalian menikah.""Pak, jangan memberatkan Mas Akbar, menikah mendadak tentu akan merogoh kocek lebih banyak," sela Dilsah tidak terima. "Seminggu setelah hari pertunangan, Bapak jangan ....""Menikah besok atau seminggu ke depan
"Emak pamit ya, Nduk, jaga kesehatan karena dua hari lagi kalian akan menikah." Suara Emak Lamba membuyarkan fokus Dilsah dan Akbar. Sejenak, teriakan Kanaya bagai angin lalu bagi kedua pasangan yang berdiri sejajar itu. "Terima kasih sudah memudahkan jalan untuk Akbar sehingga dipermudah meminang kamu, Dilsah."Dilsah tersenyum. Dia memeluk Emak Lamba dan berbisik. "Emak jaga diri baik-baik, sampai ketemu dua hari lagi."Bu Mila terkekeh melihat putri dan besannya berpelukan erat. "Kalian ini sudah seperti calon mertua dan calon menantu yang akan dipisah jarak saja."Semua orang tertawa. Ya, benar. Rumah Akbar dan Dilsah bahkan hanya terpisah satu kampung tapi Emak Lamba dan calon menantunya sejak tadi tiada henti saling memeluk seakan-akan keduanya tidak akan bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama. "Jangan hancurkan suasana yang mengharu biru, Bu Mila," sahut tetangga yang lain. "Kelihatan sekali kalau Emak Lamba be
Laela yang mendengar suara perempuan dari halaman sedikit berlari mendekati Pak Bagiyo yang tengah berdiri di ambang pintu. "Siapa ... P-- pak?" Suaranya tercekat ketika melihat seorang wanita dengan pakaian modis sambil menenteng tas mahal sedang berdiri di samping mobil mewah."Hai, La," sapa Amira sambil tersenyum sinis. "Semua orang disini belum tau kalau kamu hamil?"Baru redam kasak-kusuk para tetangga, kini kembali riuh ketika seorang wanita asing yang tiba-tiba datang dan mengatakan tentang kehamilan Laela. "B-- bicara apa kamu? Pergi dari rumahku!" usir Laela seraya berteriak. "Aku bahkan gak kenal kamu siapa ....""Oh ya?" sahut Amira begitu tenang. "Yakin kamu gak tau siapa aku? Yakin, kalau kamu gak kenal siapa Bara Hermawan?"Pak Bagiyo menoleh dan menatap tajam putrinya yang saat ini sedang gemetaran hebat. Wajah Laela menegang. Bibirnya ingin menyahut semua perkataan Amira, namun keberani
"Mbak Kanaya?"Suara Kang Dadang yang memanggil dari halaman rumah membuat Akbar dan Emak terperanjat. Tiba-tiba saja percakapan mereka yang sejak tadi menyanjung Dilsah terhenti. Bahkan Emak Lamba berjalan keluar dan ... benar saja, ada sosok perempuan dengan wajah berantakan tengah terduduk di halaman sambil meremas baju yang melekat di dadanya. "Ada apa, Dang?" Emak bertanya, "Kamu yang bawa dia kesini?"Kang Dadang menggeleng. "Sejak pulang dari sawah tadi aku lihat dia sedang berdiri di depan rumah Emak. Tiba-tiba menangis sambil terduduk di tanah, aku panggil dia, Mak, tapi gak ada respon," papar Kang Dadang bingung. Emak beralih fokus pada tubuh Kanaya yang masih terlihat bergetar. Matanya menutup rapat dan tangisannya pun masih berlanjut. Namun aneh, Kanaya seakan tidak mendengar percakapan orang-orang di dekatnya."Coba didekati, Mak. Takutnya nanti ada omongan tidak enak, apalagi dia menangis di depan rumah Emak," saran Kang Dadang iba. "Emak gak usir dia kan tadi?""Emak