Share

Tidak Terima

Author: Lian Nai
last update Last Updated: 2023-02-02 13:46:16

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini, Akbar?" tanya Ustad Jefri serius. "Sebelum kami pertemukan dua keluarga, kamu harus tau satu hal ...."

"Apa itu, Ustad?" 

"Wanita yang akan kami pertemukan denganmu adalah ...."

Akbar menanti jawaban Ustad Jefri dengan air muka kebingungan. Tidak banyak wanita yang ia kenal. Bertemu Kanaya pun karena diperkenalkan oleh teman dari teman, bukan karena perkenalan pribadi. Jadi mengapa pria paruh baya di depannya ini nampak ragu mengatakan siapa wanita itu.

"Guru TK," jawab Ustad Jefri ragu. "Kamu gak masalah kan?"

Akbar terkekeh. Dia mengangkat kepalanya dan mengangguk mantap. "Apapun profesinya, Ustad. Sukur-sukur kalau dia mau menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Tapi, insyaallah saya tidak membatasi ruang geraknya asal ...."

"Asal apa, Bar?"

"Wanita itu mau menerima Emak saya."

Ustad Jefri mengangguk paham. Seulas senyum terbit di bibirnya ketika Akbar masih memikirkan satu-satunya orang tua yang dia miliki. 

"InsyaAllah, Akbar. Ustad dan Umi tidak akan mengecewakan kamu. InsyaAllah."

"Terima kasih banyak, Ustad," sahut Akbar lirih. "Saya pamit pulang, besok siang saya akan datang kembali bersama Emak."

"Ya, Nak. Hati-hati di jalan, salam buat Emak Lamba dari kami," ucap Istri Ustad Jefri yang selalu dipanggil Umi oleh orang-orang sekitar. 

***

Akbar melangkah gontai sambil memikirkan seperti apa perangai wanita yang akan dikenalkan padanya. Sungguh, bayangan tentang wajah sengit Kanaya saat menghardik Emak Lamba masih berkelebatan di otaknya. Akbar masih menyimpan rasa takutnya. Bukan takut jika sewaktu-waktu dirinya ditolak melainkan ketakutan luar biasa jika Emak tidak bisa mendapatkan menantu yang menyayanginya dengan tulus. 

"Ada tamu ya, Mak?" Akbar bertanya sambil melepas sandal. Tubuhnya mematung. Rahangnya tetiba mengeras melihat siapa yang duduk di ruang tamu rumahnya. Tiga gelas teh hangat tersaji di atas meja namun jelas sekali jika isinya masih utuh. 

Mungkin tamunya baru datang, atau mungkin jika tiga manusia yang sedang duduk bersisian itu enggan menyeruput teh hangat buatan Emak Lamba?

Entahlah!

"Duduk, Le!" pinta Emak pada putra semata wayangnya. "Keluarga Kanaya ingin mengatakan sesuatu."

"Kedatangan kami kesini untuk menanyakan perihal rencana pernikahan kalian ...."

"Tidak ada rencana pernikahan, Pak," sela Akbar tegas. "Sejak kapan saya menyanggupi akan menikahi putri anda?"

Wajah Pak Bagiyo menegang. Matanya menatap nyalang pada sosok pria yang masih berdiri di ambang pintu. 

"Ayolah, Akbar." Pak Bagiyo terkekeh. "Seharusnya kedatangan kami kesini sudah sangat membuatmu tersanjung. Apalagi kami datang untuk membicarakan pinangan kamu tempo hari."

"Saya sudah mengatakan dengan jelas kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi tentang pinangan itu, Pak. Dan ya, kenapa harus tersanjung dengan kedatangan kalian, memangnya kalian siapa? Orang paling kaya di kampung sebelah? Tidak kan?"

Wajah Pak Bagiyo dan Bu Tarjo memanas. "Apa maksudmu, kamu mau mengadu harta dengan kami?" tanya Bu Tarjo ketus. "Kalau saja bukan karena Kanaya yang merengek-rengek agar kami menerima pinangan kamu, aku dan suamiku juga tidak sudi datang kesini, Akbar."

"Oh ya? Karena Kanaya yang merengek-rengek atau karena Emak yang berencana menjual perkebunannya demi memenuhi syarat mahar yang Bu Tarjo katakan tempo hari? Jangan malu mengakuinya, Bu ...."

"Akbar!" Emak membentak dengan suara lantang. "Jaga sikapmu, Nak!"

"Apa begini caramu memperlakukan tamu, hah? Begini ajaran yang Bapak dan Emak berikan dalam menyambut tamu di rumah kita?" Mata Emak berkaca-kaca sementara Akbar menunduk sambil sesekali melengos ke arah lain. "Duduk! Kita bicarakan semua urusan ini agar menemukan titik terang."

"Masih bisa Emak menghargai orang-orang yang sudah merendahkan kita?" sahut Akbar getir. "Tidak ada lagi yang harus kita bahas, Mak. Semua selesai dan aku tidak akan menikahi Kanaya."

"Kang ...."

Kanaya memanggil Akbar dengan suara bergetar. Air mata bahkan sudah menggenang di pelupuk matanya yang indah. Bibirnya ingin berucap, namun saat Akbar melengos, lagi-lagi wanita itu harus menutup mulutnya rapat.

"Saya hanya petani miskin, bukan pria kaya yang bisa memberikan banyak harta untuk Bu Tarjo dan Pak Bagiyo, jadi lebih baik tidak kita teruskan pembahasan ini. Anda bisa mencari calon menantu yang jauh lebih segalanya dibandingkan saya."

Bu Tarjo bangkit. Dadanya membusung mendengar Akbar mengusirnya secara tidak hormat. Sementara Pak Bagiyo terlihat frustasi sambil mengusap wajahnya kasar. Entah apa yang ada di pikiran pria paruh baya itu. 

"Sudah baik kami mau datang ke rumahmu yang sederhana ini, Akbar! Seharusnya kamu terima saja Kanaya atau kamu tidak akan menikah sama sekali! Mana ada wanita yang mau hidup denganmu ...."

"Lalu kenapa Kanaya mau dan anda terkesan memaksa?" sela Akbar lagi. Emak Lamba geleng-geleng kepala memberi isyarat agar putranya segera diam. "Apa yang sebenarnya anda kejar dari saya, Bu? Benar kalau perkebunan Emak yang Bu Tarjo harapkan, begitu?"

"Keterlaluan!" bentak Pak Bagiyo naik pitam. "Pria tidak tau aturan seperti ini yang ingin kamu nikahi, Kanaya? Bapak tidak sudi, Nay! Tidak rela Bapak melepas kamu bersama pria yang tidak berpendidikan ini. Ayo pulang!"

Kanaya menggeleng kuat. Wanita cantik itu menangis dan menarik-narik tangan Pak Bagiyo agar tidak hengkang dari rumah Akbar.

"Sikap saya tergantung bagaimana orang memperlakukan saya, Pak. Mohon maaf, tapi perlakuan keluarga anda sudah sangat melukai saya sebelumnya. Jadi, silahkan pergi! Pintu rumah saya terbuka lebar untuk anda."

Akbar menyingkir. Bu Tarjo dan Pak Bagiyo saling pandang lalu sama-sama menyentak napas kasar. Ditariknya tangan Kanaya meskipun putrinya itu menolak sambil menangis. 

"Aku minta maaf, Kang. Kami menerima mahar dari Kang Akbar berapapun itu, tolong ... jangan lepaskan aku begitu saja, Kang!" teriak Kanaya pilu. "Aku akan menyembah kaki Emak bila perlu. Aku akan merawat dia seperti Ibuku sendiri. Maafkan aku ...."

Akbar membuang muka. Hatinya menjerit melihat Kanaya ditarik paksa oleh kedua orangtuanya dalam keadaan menangis pilu. Namun, ada harga diri Emak yang dia junjung tinggi. Sekali dihina, Akbar tidak akan lupa pada hinaan itu. Tidak ada pernah!

"Jangan mengemis cinta pada pria sombong sepertinya, Nay!" bentak Bu Tarjo.

"Aku tidak perduli!" teriak Kanaya lantang. "Bukankah Mamak sendiri yang mengatakan agar aku merengek di depan Kang Akbar, bila perlu, aku sembah kedua kaki Emak Lamba agar mereka mau meminangku. Bukankah itu yang Mamak katakan tadi? Lalu kenapa sekarang melarangku mengemis cinta pada pria yang benar-benar aku inginkan, Mak? Katakan?!" 

Plak ....

Pipi Kanaya terasa perih. Darah segar menghiasi ujung bibirnya akibat tamparan keras dari ....

"Bapak malu aku mengatakan yang sebenarnya? Bapak dan Mamak sama saja, kalian berdua egois!" teriak Kanaya.

Bersambung 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Husna Mufida
lanjut thor ceritanya ga pernah gagal selalu baguus semngaaat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status