Share

Bab 2 : Mahar 700 juta

"Saya tidak berminat bercanda denganmu Om." balas Qinan dengan raut datar. Sebenarnya ia sedang menyadarkan dirinya sendiri yang mungkin saat ini sedang berkhayal terlalu tinggi. Bukannya apa ia hanya takut saking tingginya sampai melampaui batas yang seharusnya lalu akhirnya sakit karena jatuhnya terlalu dalam jika sadar.

"Saya serius! Ikut saya ke mobil."

Qinan coba telisik wajah Satya, barangkali ia memang bercanda tingkat dewa dan Qinan sebagai pihak penonton yang tak paham. Tapi ternyata tak seperti itu. Satya memang serius.

"Tak selalu harus terjun ke jurang saat kamu menemui jalan buntu. Putar balik pun tidak apa. Kadang solusimu terlewat tanpa kamu sadari," ucap Satya lagi yang menyadari jika Qinan meragukannya. "Dan untuk kali ini, bukan terlewat. Tapi saya yang menghalangimu menemukan solusi. Masuklah ke mobil sebelum mereka melihatmu."

Qinan angguki tawaran Satya. Ia melangkah menuju mobil dengan Satya memapahnya. Tak ingin salah paham dan gagal fokus. Tapi Qinan akui ia sedikit trenyuh, entah hatinya yang seperti lilin atau karena memang sepantasnya begitu. Satya itu ... selain baik, ia tampan sekali, Tuhan.

Qinan prediksi, usia Satya mungkin 5 tahun lebih tua darinya. Ya dari wajah dan tampilannya sepertinya seperti itu. Kalau tidak salah sih, Qinan bukan cenayang soalnya.

"Saya Satya Aditama, 35 tahun dan ... ini adalah anak saya. Harta saya yang paling berharga setelah wanita ini." Satya tunjukan sebuah foto di ponselnya. Foto bertiga ala keluarga cemara.

Ctaaass!

Telinga Qinan lebih dari tersambar petir rasanya mendengar penjelasan singkat dari pria tadi, Satya ya? Qinan sempat berpikir kalau lelaki itu masih single dan ia akan menjadi cinderella untuknya. Gadis miskin yang dipilih pangeran menjadi permaisurinya. MIMPI!

Sekali lagi, Satya telah beristri dan punya anak. Wanita yang Satya sebut tadi, tentu saja istrinya kan? Siapa lagi memangnya. Cantik dan berkelas penampilannya.

"Hallo ... Bisa saya lanjutkan?"

"E-Eh iya O-Om Satya. Lanjutkan saja, saya dengarkan. Maaf tadi melamun."

Satya menggelengkan kepalanya, tanpa senyum. Sejak pertama bertemu, Qinan belum melihatnya tersenyum barang satu milipun.

"Jadi nanti kamu akan bekerja dirumah saya."

"Baik Om, saya bisa semuanya. Masak, nyuci, ngepel, nyetrika, bahkan saya bisa nyupir Om. Katakan saja tugas saya dan dalam waktu berapa lama saya harus bekerja untuk Om?" Qinan bertanya dengan panjang lebar, bahkan sebenarnya itu sudah Qinan singkat. Lalu Qinan melipat bibirnya ke dalam saat Satya bukan menjawabnya melainkan menatapnya tajam dengan tatapan tak suka.

"Makanya jangan menyela. Saya belum selesai bicara."

Qinan mengangguk lalu menunduk. Ia berjanji akan tetap dalam posisi seperti itu. Pun tak akan berucap dan bertanya banyak hal lagi, hanya akan mendengarkan penjelasan dari Satya saja.

"Saya tidak butuh semua yang kamu sebutkan tadi. Semua sudah ada yang mengerjakan."

Qinan ber'oh ria. "Lalu?"

"Saya dan Sean anak saya adalah tugasmu. Pekerjaanmu!"

"A-APA???"

Sumpah demi apa? Qinan tak salah dengar kan ini? Qinan langgar janjinya, ia mendongak sejadi-jadinya. Kedua netranya menatap penuh pada Satya yang kini di hadapannya.

"Oh, sepertinya saya salah dengar," kata Qinan yang melihat raut Satya nampak datar saja.

"Memangnya apa yang kamu dengar?"

"Tidak. Mm ... Itu, saya dengar pekerjaan saya adalah mengurus Om dan anak Om," ucap Qinan dengan terbata. Ia takut salah bicara lagi.

"Kamu masih muda. Tidak mungkin salah dengar. Jadi bagaimana, apa kamu bersedia?"

"Mengurus seperti apa yang Om maksud?"

"Semuanya yang berkaitan dengan saya dan Sean. Semua kebutuhan saya dan Sean luar dalam kamu yang urusi."

Qinan membulatkan matanya dengan sempurna. Sedang yang ditatap rupanya tak peka. Justru memundurkan diri, menyenderkan punggungnya pada jok motor dengan nafas berat keluar dari mulutnya.

"Sudahlah kalau tidak mau. Lupakan saja. Ganti saja uangnya nanti dengan uang berbunga," katanya kemudian. Ia sudah meraih kunci mobilnya, lalu cepat-cepat Qinan menahannya.

"Bukan begitu Om. Saya masih tidak mengerti, apa dengan memberi pekerjaan tadi artinya Om mengajak saya menikah?"

Satya kerutkan keningnya. "Apa seharusnya begitu?"

"Bagaimana saya bisa mengurus semuanya luar dan dalam jika status saya bukan siapa-siapanya Om Satya," terang Qinan.

"Kalau begitu ayo menikah! Di depan sana ada KUA. Mana tanda pengenalmu?"

°°°

Antara percaya dan tidak, nyatanya kini Qinan telah keluar dari gedung KUA terdekat dengan buku nikah hijau dan merah di tangannya. Ayahnya sedang sakit, jadi tak bisa menjadi wali nikah untuknya. Sedih sekali rasanya, tapi justru untuk itulah Qinan lakukan ini. Untuk kesembuhan ayahnya.

"Saya trima nikah dan kawinnya Qinandra Larasati binti Hadid Budianto dengan mas kawin uang sebesar tujuh ratus juta rupiah dibayar tunai!"

Suara lantang dan lancar Satya mengucap ijab qobul di depan penghulu masih terngiang jelas di rungu Qinan. Betapa semuanya berubah sejak kalimat itu di ikuti kata 'sah' dari dua saksi yang tak lain adalah asisten Satya tadi.

Qinan usap airmatanya yang membasahi pipi. Lalu di simpannya kedua buku itu dalam tasnya. Satya bilang, biar Qinan saja yang menyimpannya karena Satya sering lupa.

"Trimakasih Om. Sekarang saya pamit ke Rumah Sakit," pamit Qinan pada Satya yang tengah sibuk bermain ponselnya.

"Siapa yang mengijinkanmu ke Rumah Sakit?" Tanya Satya sambil menahan tangan Qinan.

"Saya harus segera ke sana untuk mengurus administrasi ayah saya Om. Supaya ayah saya bisa segera ditangani. Waktu saya tidak banyak, tinggal 3 jam lagi. Kalau saya tidak ke sana ayah saya akan dipulangkan secara paksa dalam kondisi yang masih kritis."

"Biasakan bertanya dulu, supaya kosakata panjang lebar yang keluar dari bibirmu itu tidak mubazir."

Skakmat. Qinan diam jadinya. Padahal Qinan tak merasa jika setiap katanya itu jatuhnya mubazir. Ikhlas lahir batin Qinan mengucapkannya, mengeluarkannya.

"Semua sudah diurus sama Rizal, asisten saya. Jangan khawatir. Ayahmu sudah masuk ruang operasi sekarang. Kalau tak percaya kamu boleh hubungi pihak keluargamu." Selalu seperti itu gaya bicara Satya, Qinan jadi susah mengelompokannya apa itu masuk kriteria serius atau bercanda.

Dengan tetap memastikan wajah Satya tak berubah tertawa, Qinan mencari-cari ponselnya dalam tas lalu segera menelpon sang adik yang tengah menunggu di Rumah Sakit. Sambungan terhubung, Qinan dengar suara sang adik setengah bergetar.

[Alhamdulillah Kak, alhamdulillah. Ayah sudah masuk ruang operasi sekarang, nggak papa Rian tunggu di sini sendiri Kak. Kakak pasti capek sampai dapetin uang sebanyak itu untuk operasi Ayah. Kak Qinan istirahat saja. Kakak memang hebat.]

Qinan tak sanggup menjawabnya. Bahkan saat melihat video yang ditunjukan sang adik kalau ayahnya benar-benar di ruang operasi sekarang, juga bukti pembayaran berikut perawatan sang ayah selama dua bulan kedepan, bening dimatanya luruh. Tumpah ruah membanjiri pipi.

Ia lihat ke samping pada sosok malaikatnya yang nyata. Sama, kepadanyapun Qinan tak sanggup berkata. Bibirnya bergetar hebat, sibuk sendiri menahan isak. Qinan tubrukan dirinya pada pria itu, Satya. Masih dengan mengisak.

"Makasih Om, makasih."

Satya sendiri hanya mematung, bahkan tangannya tak bergerak sedikitpun. Sekedar membalas pelukan pun tidak.

"Iya. Sudah lepaskan saya. Jangan kekanakan! Saya malu ada banyak orang. Sekarang ikut saya ke Rumah. Tanggungjawabmu sudah menunggu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status