Share

Part 2 Alasan Poligami

"Maaf kalau Asyraf tidak sopan masuk ke sini, tapi-,” ucapan Asyraf terpotong.

“Nanti Ina jelaskan, Mas,” sela Naina cepat. Jantung Naina berdetak tak beraturan. Ia memikirkan cara untuk membicarakan ini dengan kepala dingin. Ia tak mau jika ada pertengkaran.

“Bapak, Ibu, Ina pamit ke kamar dulu ya.” Naina beralih menatap kedua mertuanya, lantas undur diri dari hadapan mereka. Tangannya menarik perlahan lengan suaminya yang mulai minta penjelasan.

“Ada apa ini, Naina?” tanya Asyraf dengan suara tenang, tapi penuh penekanan. Jika Asyraf memanggil dengan sebutan ‘Naina’ itu artinya ia sedang berbicara serius, menasehati istrinya atau menginginkan penjelasan. Ia akan menyebut nama istrinya dengan intonasi tegas. Naina pun hafal akan hal itu, saat ini suaminya sedang membutuhkan sebuah penjelasan.

“Mas, bersedia kan untuk menikah lagi?” Pertanyaan yang meluncur begitu saja dari bibir mungil Naina. Senyumnya mengembang. Namun, perlahan memudar saat air mata pertama itu luruh di kedua pipinya.

“Mas tidak mau menikah lagi, Na. Apapun alasannya Mas tidak bisa. Poligami bukan soal yang mudah, apalagi Mas bukan anak pesantren, Mas tidak berani,” jelasnya dengan intonasi pelan. Lembut ia menyingkap jilbab yang dikenakan istrinya, memperlihatkan rambutnya yang lurus dan hitam legam.

“Jika masalahnya karena kita belum bisa memiliki anak, itu kehendak Allah. Umurmu masih dua puluh delapan tahun, sedangkan Mas tiga puluh delapan tahun. Kita belum terlalu tua memiliki untuk memiliki anak. Siapa tahu dua atau tiga tahun lagi Allah memberi karunia,” sambungnya meyakinkan. Menggenggam jemari istrinya.

Ia tahu bahwa masalah anak yang sejak lima tahun lalu menjadi prahara tersendiri di kehidupan rumah tangganya. Istrinya memiliki kelainan rahim, susah untuk hamil. Jika terjadi kehamilan, itu tidak akan bertahan lama. Seperti yang dialami Naina lima tahun yang lalu, tepat di usia enam minggu ia keguguran. Hingga akhirnya semua keluarga mengetahui bahwa Naina memiliki kelainan rahim. Kemungkinan hamil memang ada, tapi janin yang berkembang tak bisa bertahan lama di rahimnya.

Awan gelap berarak mengusir bintang-bintang yang tengah bercahaya. Menyamarkan cahaya rembulan yang menyinari atap-atap rumah.

“Pernikahan ini bukan tentang kita saja, Mas.” Naina membuka suara. Ia menyusut sisa air mata dari hilirnya. Menarik nafas, lalu mengembuskannya dengan berat. Naina mengembangkan senyumnya, memperlihatkan satu lesung pipinya. Menata hati, agar tak menangis lagi. Jangan sampai ia gagal membujuk suaminya untuk menikah lagi.

“Mungkin benar apa yang dikatakan Mas, tapi umur kedua orangtua kita tak ada yang tahu. Jika dua atau tiga tahun lagi kita masih diberikan kesehatan, bapak dan ibu belum tentu masih sehat seperti sekarang. Bukan berfikiran buruk atau mendoakannya, tapi orangtua kita sudah sangat merindukan kehadiran cucu.”

“Semua ini demi beliau, Mas. Lapangkan dada kita, ikhlaskan semua takdir dari-Nya. Jika Allah memberi kekurangan padaku, itu artinya Allah akan menggantinya dengan yang lain. Bukankah Allah memberi banyak kelebihan juga? Badan yang sehat, suami yang setia dan sangat perhatian, keluarga yang sangat menyayangi. Itu semua kelebihan yang Ina dapatkan dari pernikahan ini, Mas.” Asyraf terdiam.

Lima menit berlalu hening. Gemericik air terdengar, artinya jutaan air langit terjun bebas ke bumi. Angin dingin menyeruak masuk melalui kisi-kisi jendela, membuat gorden berwarna biru dongker itu melambai-lambai.

“Menikah lagi itu bukan perkara mudah. jika di luar sana banyak lelaki yang memilih menikah lagi, Mas malah tidak mau masuk dalam lingkaran poligami. Dek Na, kadang Mas belum bisa menyikapi kecemburuanmu dengan ibu atau sebaliknya. Tapi posisi kalian jelas berbeda, ibu adalah orang yang melahirkanku dan kamu adalah pendampingku, kecemburuan kalian ada porsinya masing-masing. Apa kamu bisa mengontrol kecemburuan saat Mas bersama wanita lain?”

Bagai tertembak telak, pertanyaan itu sukses membuat Naina bungkam. Ia menyadari bahwa dirinya sangat pencemburu. Namun, bisakah ia mengontrol cemburunya saat sang suami dengan wanita lain, seperti ia mengontrol cemburunya pada ibu mertua?

Naina beranjak, membiarkan pertanyaan itu menguap di langit-langit kamar. Sedikit pun ia tak bersuara, meninggalkan suaminya yang duduk di tepi kasur. Tujuannya saat ini adalah kamat mandi. Sejenak ia ingin menyegarkan diri dengan berwudu, lantas melaksanakan salat witir sebelum tidur.

Segera ia menggelar tempat sujudnya, melaksanakan salat sunnah yang sudah menjadi kebiasaannya. Ia tumpahkan segala sakit yang mendera, juga segala rasa sesak yang menghimpit dada. Melangitkan doa-doa agar diberikan kekuatan. Satu per satu ia mencabut panah-panah yang menghunjam di hatinya. Agar ia leluasa mengobati luka itu, agar ia bisa membesarkan hatinya.

Dengkuran halus terdengar. Suaminya telah terlelap, wajahnya menyisakan gurat kelelahan. Usai menyisir rambut, Naina merebahkan tubuh di samping sang suami yang kini membelakanginya. Dipeluknya punggung itu, lantas terdengar isakan kecil dari sana.

“Kamu menangis, Na? Ya Allah, maafkan Mas ya sudah meninggalmu tidur.” Sesaat Asyraf terbangun, lalu membalikkan tubuhnya menghadap sang istri. Memeluk pinggangnya juga mengelus pucuk kepalanya.

“Mas, jika memang kebahagiaan ibu dan bapak adalah kehadiran cucu, Ina rela, Mas ... Ina rela berbagi Mas Asyraf dengan orang lain. Semoga dengan ini, bisa membuktikan bakti Ina kepada beliau. Mas berhak bahagia, dan itu akan mejadi kebahagiaan tersendiri untuk Ina.”

Naina menghamburkan pelukannya. Membenamkan wajah di dada bidang suaminya dan terisak di sana.

Asyraf membisu. Mengehentikan gerakan tangan yang mengelus kepala istrinya. Mencerna ucapan Naina. Nafasnya tak beraturan, itu artinya ia tengah gelisah.

“Tak apa, Mas. Ini semua demi beliau. Kita niatkan untuk ibadah. Jika masalahnya Mas takut tak bisa adil, kita belajar bersama. Mas belajar adil, dan Ina belajar mengontrol rasa cemburu.”

Tidak ada komentar. Asyraf memilih diam. Ia sendiri belum terlalu mengerti definisi adil dalam poligami itu bagaimana. Ia merasa takut jika suatu saat melukai hati salah satu istrinya.

“Sudah malam, kita istirahat dulu ya.”

Naina hanya mengangguk. Menutupi air matanya yang terus berderai. Ia menahan isakan-isakan kecilnya, membuat hidungnya tak lagi bernafas lega.

Cinta ...

Semburat rasa yang bisa menghadirkan warna. Tak hanya warna merah jambu semata. Namun warna apa saja berada di dalamnya. Ahh, tidak. Banyak orang yang jatuh cinta melupakan warna hitam dan kelabu di sana. Banyak orang yang melupakan duka dan lara di dalamnya. Karena saat mencintai baginya tak ada cela untuk sekedar meneteskan air mata. Lalu bagaimana jika kehilangan orang yang dicinta? Jangankan kehilangan, melihat cinta yang terbagi saja rasa cemburu mendera. Dari situlah seseorang akan menyadari adanya warna hitam dan kelabu di antara rasa cinta.

Cinta memang manis, tapi tak semanis ketika dia membuat kita menangis. Cinta memang tak harus memiliki, namun hati perih ketika dia ada yang memiliki. Namun, dari cinta pula kita belajar dewasa. Belajar menahan sakit walau kecewa, menahan perih meski terluka. Ada jodoh yang akan menghabiskan waktunya bersama kita, dan belajar jatuh cinta lagi dan lagi, bahkan jatuh cinta setiap hari.

Naina baru menyadari bahwa ujian cintanya baru saja diuji. Sekuat tenaga ia harus bisa melewati. Meski cinta itu akan terbagi, setidaknya masih ada bagian untuk dirinya.

Hujan telah reda, menyisakan tetes-tetes air di dedaunan dan atap rumah. Angin berembus pelan, menerbangkan beberapa daun kering yang jatuh di tanah. Suara jangkrik berderik ikut meramaikan malam yang telah sunyi.

Malam kian matang. Awan kelabu telah berlalu, meninggalkan bintang-bintang yang masih setia untuk bersinar. Asyraf dan Naina terlelap dalam buaian malam.

[Besok ibu kirim foto calon-calonnya Asyraf] Pesan itu masuk ke ponsel Naina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status