"Heh! Kamu itu pantas mendapatkan mahar sepuluh ribu. Rugi dong ibu kalau kasih mahar kamu banyak," sinis Ibu mertuaku, "kamu itu nggak ada gunanya di sini! Jadi, bereskan ruangan ini, dasar mantu miskin, mandul pula! Apes benar Dimas punya istri, kamu."
Ajeng mengusap wajahnya kala mengigat kata-kata yang begitu menyakitkan hati.Padahal dulu, dia bangga Dimas dan keluarganya tampak tidak memandang latar belakang Ajeng yang sederhana.Namun, siapa sangka pernikahan yang dianggap mewah di kampungnya ternyata menyimpan sesuatu yang menyakitkan?!
Bukan hanya keluarga Dimas memberikan mahar seadanya, seserahan yang mereka bawa pun barang murahan. Parahnya, mereka langsung membawa Ajeng pergi agar sang ibu tak bisa meminta ganti biaya pernikahan!
Ditatapnya sang suami yang masih sibuk dengan gawainya. "Mas, sebenarnya apa alasan kamu dan keluargamu melakukan hal ini?" "CK! Apa, sih? Apa tidak ada yang bisa membuat suamimu itu senyum, hah?" sinis sang suami tiba-tiba. "Aku cuma tanya mas, kenapa kamu bisa kasih aku mahar sepuluh ribu. Dan ucapan ibu tadi cukup jelas buat aku. Tapi, aku mau tahu alasannya?" desak Ajeng.Dimas yang tersulit emosi mengacak rambutnya, menatap dalam wajah istrinya."Kamu, yakin ingin tahu?" Dengan rasa penasaran yang semakin mendalam, Ajeng mengangguk meski hatinya belum sepenuhnya kuat untuk mendengar kata yang menyakitkan."Karena kamu pantas menerima mahar itu. Kamu pikir aku mau ngeluarin duit banyak untuk menikah, hah? Kamu jangan lupa, kamu itu orang lain dan keluargaku mereka. Ibu, adik dan kakakku. Mereka yang seharusnya menerima uang 'ku bukan kamu. Lagi pula itu layak buah kamu yang miskin. Rugi dong! Aku kerja keras duit abis cuma nikahin wanita kayak kamu!" ujar Dimas cuek."Kamu tega mas? Mengenai mahar, itu sudah menjadi takdirku. Apapun alasan kamu, tapi ini bukan hanya itu tapi nafkah juga. Aku ini istri kamu, aku berhak semua uang kamu. Aku, tidak mempermasalahkan kamu yang menghidupi mereka tapi, itu hak aku mas." Tangis Ajeng pecah berulang kali beristigfar agar hatinya tenang tetapi, kenyataan di depannya sungguh membuatnya shock. Rumah tangganya bagaikan neraka, meski Ajeng berusaha menjadi menantu dan istri yang baik tapi faktanya mereka menganggap dirinya sebagai benalu, miskin dan mandul."Apa kamu bilang? Tega? menipu?" bentak Dimas tiba-tiba"Siapa yang kamu maksud menipu? Ibuku? Atau aku? Pikir dong, Ajeng! Pria mana yang mau menikah dengan wanita miskin seperti kamu, hah?"
"Masih untung aku mau! Wajar dong kalau ibu kamu yang membiayai semuanya. Ibuku, sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal dan makan gratis buat kamu. Lagian Ibu kamu aja setuju, kenapa kamu yang marah, sih? Ternyata benar yang di katakan ibu. Selain mandul kamu juga bodoh, selain itu kamu tidak ada gunakan. Otak kamu itu kosong!" Dimas menonyor kepala Ajeng dengan ibu jarinya.
"Ada apa ini?"Bu Ida, sang mertua tiba-tiba datang.
"I--ibu--"
Belum sempat berbicara, Ajeng sudah diseret keluar. "Dimas, kamu istirahat saja!"
Brak!Pintu ditutup membuat Ajeng kini berhadapan dengan sang ibu mertua.
"Apa yang kamu, lakukan? Kamu tahu ini jam 5 kurang? Untuk apa membangunkan Dimas? Nanti kepalanya sakit!" bentak wanita tua itu tiba-tiba, "Dia itu cape tahu nggak, sih, kamu? Hormati dong suamimu! Malah ditanya-tanya gitu!"
"Kok bisa ada perempuan kaya kamu? Udah mandul, gak hormat lagi!"
"Tapi, aku hanya ingin diskusi, Bu."
Plakk!
Tamparan untuk kesekian kalinya dari ibu mertua, entah kesalahan apa yang di buatnya sampai ibu mertuanya melayangkan tangannya di pipi kirinya."Jangan macam-macam, Ajeng. Pokoknya, lakukan saja tugasmu. Abis salat shubuh nanti, kamu siapkan sarapan! Mulai sekarang, waktu sarapan diubah!" bentaknya.
"Jam enam pagi, harus sudah di tersedia di meja makan, tidak perlu kaget kamu terbiasa bangun pagi. Tapi selesaikan masakan lebih dulu bagu kerjaan lain. Kamu paham?"
Bu Ida menatap tegas wajah Ajeng yang terpaksa mengangguk. "Baik bu, aku akan buatkan sarapan lebih dulu."
Mendengar itu, sang mertua tersenyum puas dan berlalu--meninggalkan Ajeng yang akhirnya berjalan menuju kamar.
Namun, suaminya itu sudah tertidur lelap.
Lagi-lagi, pria itu tak peduli padanya.
"Ya Allah, kuatkanlah hambamu...." lirih Ajeng pedih.
****"Amin...."Begitu bangun, Ajeng memang langsung melaksanakan salat subuh seorang diri. Dia tak berani membangunkan Dimas sebab sang mertua pernah memarahinya.
Lagipula, dia juga harus membersihkan rumah dan menyediakan sarapan sebelum jam 6 pagi.
Jadi, wanita itu pun bangkit dan tak dipedulikan pipinya yang membengakak.
Setumpuk piring kotor menantinya!
"Hah..." Helaan napas setelah berhasil membersihkannya.
Rumah semewah apapun kalau jorok tidak dibersihkan tetap saja pantas di sebut kumuh!
Dia pun mulai menyapu dan mengepel.Hanya saja kala sedang menunduk dekat lemari, sebuah tepukan di pundak wanita berhijab itu membuatnya terkejut.
"Ajeng! Ngapain kamu?"
Tisna sang kakak ipar menyorotnya curiga,menelisik tubuh Ajeng dari atas sampai ke bawah.
"Aku bersih-bersih, Kak."
"Sepagi ini?" Tisna mengintip ke dalam kamar dan menemukan Dimas yang masih tertidur. "Apa kamu mau mencuri, Ajeng? Kebangetan banget kamu, udah numpang di sini sekarang kamu mau jadi maling di rumah ini juga!" Tisna berkacak pinggang di depan Ajeng yang berusaha untuk menjelaskan pada kakak iparnya kalau tuduhannya salah.Tisna menarik tangan Ajeng menyeretnya hingga ruang tamu.Akan tetapi, suara Tisna berhasil membangunkan seluruh keluarga sehingga mereka berhamburan ke sana.
Mereka terkejut dengan Tisna yang berkacak pinggang tangan kanannya terus menuding dengan ibu jarinya ke wajah Ajeng. Posisi Ajeng yang duduk di lantai seakan tengah bersimpuh di kaki Tisna.
"Kak, Ajeng kenapa?" Dimas, orang yang lebih dulu mengulurkan tangan dan bertanya pada Tisna."Kamu tanya saja sendiri. Dia mau ngapain mengendap-endap ke kamar kalian. Dia itu mau maling di rumah ini, Dimas. Istri kamu itu maling!" sentak Tisna.Ajeng menggelengkan kepala, mencoba untuk mencari pembelaan tapi Dimas menarik kembali' tangannya dari genggaman tangan Ajeng."Mencuri? Maling? Maksud kakak, apa?" tanya Dimas bingung."Mas, aku tidak mencuri. Aku hanya ingin menutup pintu pelan, supaya kamu tidak terbangun. Kak, Tisna salah paham mas, itu tuduhan kak Tisna yang tidak beralasan. Percaya sama aku, mas. Mana mungkin aku mencuri di rumah aku sendiri!"
"Tapi--"
Srak!
Tanpa basa-basi, Bu Ida menarik lengan gadis itu kasar. "Kamu harus dikurung di gudang! Udah hidup enak di sini, beraninya mau mencuri."Deg!
Seharian Ajeng dikurung di sana. Tak sempat sarapan membuat tubuhnya terasa lemah. Terlebih, rasa sakit di perutnya tak mampu Ajeng abaikan. Brak! "Keluar kamu, cepet beres kan rumah. Ingat jangan ambil makanan apapun sebelum semua selesai!" sungut Bu Ida.Tanpa iba dengan kondisi Ajeng, Bu Ida melenggang pergi dan mengeluarkannya dari gudang. "Alhamdulillah," ucap Ajeng bersyukur. Dia pun keluar dan mulai membereskan rumah dan memasak sesuai perintah. Dua jam akhirnya berlalu.Pekerjaanya nyaris selesai.Hanya saja, dia begitu lapar. Tak berani mengambil lauk yang sedang dimasaknya, Ajeng lantas menikmati beberapa suap nasi dengan garam."Alhamdulillah...." syukurnya meski dengan makanan seadanya. "Enak banget ya kamu! Malah asyik makan gratis!" Bu Ida tiba-tiba berteriak.Glek! Ajeng menelan nasinya cepat karena terkejut.Kalau bisa, dia ingin memuntahkan makanan yang sudah ia teguk tadi. "Maaf Bu, aku tidak meminta izin lebih dulu sama ibu. Aku, sudah masak dan membersi
Entah apa yang terjadi, setelah kejadian itu, Dimas dan keluarganya berlaku cukup baik.Ajeng juga diperbolehkan kembali bekerja di toko kue. Namun, setiap harinya ia harus bangun jam tiga pagi untuk memasak, membersihkan seluruh rumah yang besar itu dan mencuci dengan mesin cuci pakaian seluruh anggota keluarga."Jeng. Kamu sakit? Kok pucat." Aini teman kerja Ajeng tampak khawatir."Cuma lemah dan lesu aja kayaknya," ujar Ajeng.Hanya saja, ia memang merasa sangat lemah hari ini. Di toko banyak orderan, sehingga Ajeng harus lembur."Eh kamu demam, Jeng. Astaga, sini adonan kuenya biar ku handle. Pulanglah aku akan lapor pada Bos bahwa kamu memang sakit. Aku bertanggung jawab atas keselamatan semua karyawan selama bekerja." Aini, tahu siapa Ajeng. Wanita yang bekerja keras namun, setelah menikah begitu banyak perubahan dalam dirinya termasuk ponsel yang sampai saat ini tidak dimiliki Ajeng.Bukan tidak punya atau dijual, tapi lebih tepatnya disita ibu mertua.Ajeng hanya bisa menurut
Belum sempat Ajeng menyimpan ponsel pintu kamar mandi terbuka. Terlambat, hati masih mengetahui apa yang dilakukan oleh Ajeng."Kamu apapun ponsel aku, Ajeng? Kamu memeriksa ponselku? Lancang, sekali kamu Ajeng." Dimas merebut paksa ponsel yang ada di tangan Ajeng, dan menyembunyikannya.Ajeng yang begitu lelah dengan kondisi tubuhnya kurang fit memutuskan untuk tidak memancing emosi Dimas mengalah untuk kesekian kalinya sudah menjadi hal terbiasa untuknya namun Ajeng ingin apa yang sudah mereka lakukan padanya tentu mereka menyesalinya."Aku tidak membaca ponsel kamu Mas hanya saja aku memindahkan karena baju yang kamu letakkan di sini tanpa sengaja aku tarik dan ponsel kamu hampir jatuh dan aku mengambilnya untuk menyelamatkan agar puasa kamu tidak jatuh dan hancur,"Hanya bertanya saja Dimas akan marah. Tentang akad jelas-jelas dia salah juga marah bahkan keluarganya ikut memarahinya. Apalagi ini mengenai ponsel dan pesan yang sudah ia baca.'Apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?' b
"Cukup! Mas Dimas jaga sikapmu. Aku tidak suka posisi duduk kalian. Dan kau wanita yang bernama Wulan! Jangan memegang lengan suamiku. Jangan menyuapinya dan menempel padanya. Dia suamiku. Apa kau masih punya harga diri?" Ajeng bicara tegas, semua mata memandang Ajeng.Tisna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ajeng, Ajeng! Ck, bodoh kok di piara!" cindir Tisna."Diam kak Tisna, aku bicara dengan suamiku! Mas Dimas, MENJAUH-DARI WANITA-ITU!" Ajeng meledak sejadinya. Berita sakit jantung Ibu dari mertuanya, sikap Bu Ida dan semua kekesalannya akhirnya tumpah tak tertahan. "Hahaha, ada sapi ngamuk!" Tyas, Ida dan Wulan tertawa serentak. Dimas pun tersenyum. "Ada apa? Apa yang kalian tertawakan?" Ajeng heran dijadikan lelucon. Wulan berdiri. "Baik Aku akan jelaskan. Aku tidak tega denganmu. Dengar wanita kampung, benarkan Mas Dimas dia wanita kampung?""Dimas mengangguk. "Iya, sayang!" Ajeng mendelik demi mendengar kata sayang, dari mulut Dimas. Dadanya terasa nyeri dan bergemuruh. Sa
Seminggu usai pernikahan Dimas dan Wulan di ketahui oleh Ajeng, wanita berhijab itu kembali dengan aktivis mengerjakan semua tugas di rumah dan bekerja di toko. Uang gaji yang di dapat dari toko kue cukup untuk ia tabung dan memenuhi kebutuhan pribadinya.Apa kabar Dimas? Sejak pertengkaran itu tak pernah Ajeng melihatnya. Janji untuk adil hanya di bibir saja, sampai detik ini Dimas tak pernah adil pada Ajeng. Nafkah tetap sehari sepuluh ribu, menurut ibu dan Dimas nafkah sesuai dengan mahar yang di berikan Dimas pada Ajeng."Ajeng tunggu!" Bu Ida, berjalan cepat mendekati menantu pertamanya."Ada apa Bu?" ujar Ajeng, mengerutkan keningnya. Tidak seperti biasanya Bu Ida datang menunggunya berangkat, apa ini ada sesuatu?"Jeng, kamu udah gajian kan? Ibu minta dong, Wulan belum kasih ibu uang belanja. Kamu tahu kan Dimas lagi sayang-sayangnya sama Wulan jadi mereka lupa jatah belanja," Bu Ida, memasang wajah lembut dan iba pada Ajeng.'sudah aku duga, ada maunya,' batin Ajeng."Kenapa B
Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi. "Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah."Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya."Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng."Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang s
Ajeng memilih untuk pulang ke rumah, mengabaikan bos baru yang diam dengan keadaan yang membuatnya sulit untuk membela diri. Walau semua tumbuhan itu tidak benar.Sampai di rumah mobil Dimas sudah terparkir di halaman, Ajeng menguatkan hati dan mentalnya untuk menghadapi keluarga Dimas yang menunggunya di dalam termasuk Wulan.Dan benar saja saat kakinya melangkah di teras mereka menatap tajam Ajeng terlebih lagi Dimas kini berdiri dan menyeretnya dengan kasar.Tanpa bertanya tangannya terkepal kuat, melayang di wajahnya."Katakan anak siapa yang kamu kandung hah? Apa pria yang menghantarkan kamu ke rumah sakit? Jadi selama ini kamu sudah berselingkuh di belakang aku, Ajeng? Katakan!" suara Dimas meninggi, begitu tinggi hingga tubuh Ajeng bergetar. Belum hilang rasa sakit di wajahnya kini suara Dimas yang berhasil menggetarkan tubuhnya nyari. Ini adalah kali pertama Dimas marah dengan suara yang cukup keras, meskipun mereka kerap kali bertengkar, suara di Dimas tak setinggi sekarang
Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu."Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya."Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan."Sekarang sudah tenang, Jeng?" "Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost."Kebetulan tadi ada tetangga kamu,