Home / Rumah Tangga / Mahar Sepuluh Ribu / 1. Mahar Yang Tidak Sesuai.

Share

Mahar Sepuluh Ribu
Mahar Sepuluh Ribu
Author: Rafli123

1. Mahar Yang Tidak Sesuai.

Author: Rafli123
last update Last Updated: 2024-03-18 00:37:47

"Heh! Kamu itu pantas mendapatkan mahar sepuluh ribu. Rugi dong ibu kalau kasih mahar kamu banyak," sinis Ibu mertuaku, "kamu itu nggak ada gunanya di sini! Jadi, bereskan ruangan ini, dasar mantu miskin, mandul pula! Apes benar Dimas punya istri, kamu." 

Ajeng mengusap wajahnya kala mengigat kata-kata yang begitu menyakitkan hati. 

Padahal dulu, dia bangga Dimas dan keluarganya tampak tidak memandang latar belakang Ajeng yang sederhana.Namun, siapa sangka pernikahan yang dianggap mewah di kampungnya ternyata menyimpan sesuatu yang menyakitkan?!

Bukan hanya keluarga Dimas memberikan mahar seadanya, seserahan yang mereka bawa pun barang murahan. Parahnya, mereka langsung membawa Ajeng pergi agar sang ibu tak bisa meminta ganti biaya pernikahan!

Ditatapnya sang suami yang masih sibuk dengan gawainya. "Mas, sebenarnya apa alasan kamu dan keluargamu melakukan hal ini?" 

"CK! Apa, sih? Apa tidak ada yang bisa membuat suamimu itu senyum, hah?"  sinis sang suami tiba-tiba. 

"Aku cuma tanya mas, kenapa kamu bisa kasih aku mahar sepuluh ribu. Dan ucapan ibu tadi cukup jelas buat aku. Tapi, aku mau tahu alasannya?" desak Ajeng.

Dimas yang tersulit emosi mengacak rambutnya, menatap dalam wajah istrinya.

"Kamu, yakin ingin tahu?" 

Dengan rasa penasaran yang semakin mendalam, Ajeng mengangguk meski hatinya belum sepenuhnya kuat untuk mendengar kata yang menyakitkan.

"Karena kamu pantas menerima mahar itu. Kamu pikir aku mau ngeluarin duit banyak untuk menikah, hah? Kamu jangan lupa, kamu itu orang lain dan keluargaku mereka. Ibu, adik dan kakakku. Mereka yang seharusnya menerima uang 'ku bukan kamu. Lagi pula itu layak buah kamu yang miskin. Rugi dong! Aku kerja keras duit abis cuma nikahin wanita kayak kamu!" ujar Dimas cuek.

"Kamu tega mas? Mengenai mahar, itu sudah menjadi takdirku. Apapun alasan kamu, tapi ini bukan hanya itu tapi nafkah juga. Aku ini istri kamu, aku berhak semua uang kamu. Aku, tidak mempermasalahkan kamu yang menghidupi mereka tapi, itu hak aku mas." 

Tangis Ajeng pecah berulang kali beristigfar agar hatinya tenang tetapi, kenyataan di depannya sungguh membuatnya shock. Rumah tangganya bagaikan neraka, meski Ajeng berusaha menjadi menantu dan istri yang baik tapi faktanya mereka menganggap dirinya sebagai benalu, miskin dan mandul.

"Apa kamu bilang? Tega? menipu?" bentak Dimas tiba-tiba

"Siapa yang kamu maksud menipu? Ibuku? Atau aku? Pikir dong, Ajeng! Pria mana yang mau menikah dengan wanita miskin seperti kamu, hah?"

"Masih untung aku mau! Wajar dong kalau ibu kamu yang membiayai semuanya. Ibuku, sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal dan makan gratis buat kamu. Lagian Ibu kamu aja setuju, kenapa kamu yang marah, sih? Ternyata benar yang di katakan ibu. Selain mandul kamu juga bodoh, selain itu kamu tidak ada gunakan. Otak kamu itu kosong!" Dimas menonyor kepala Ajeng dengan ibu jarinya.

"Ada apa ini?"

Bu Ida, sang mertua tiba-tiba datang.

"I--ibu--"

Belum sempat berbicara, Ajeng sudah diseret keluar. "Dimas, kamu istirahat saja!"

Brak!

Pintu ditutup membuat Ajeng kini berhadapan dengan sang ibu mertua.

"Apa yang kamu, lakukan? Kamu tahu ini jam 5 kurang? Untuk apa membangunkan Dimas? Nanti kepalanya sakit!" bentak wanita tua itu tiba-tiba, "Dia itu cape tahu nggak, sih, kamu? Hormati dong suamimu! Malah ditanya-tanya gitu!"

"Kok bisa ada perempuan kaya kamu? Udah mandul, gak hormat lagi!"

"Tapi, aku hanya ingin diskusi, Bu."

Plakk!

Tamparan untuk kesekian kalinya dari ibu mertua, entah kesalahan apa yang di buatnya sampai ibu mertuanya melayangkan tangannya di pipi kirinya.

"Jangan macam-macam, Ajeng. Pokoknya, lakukan saja tugasmu. Abis salat shubuh nanti, kamu siapkan sarapan! Mulai sekarang, waktu sarapan diubah!" bentaknya.

"Jam enam pagi, harus sudah di tersedia di meja makan, tidak perlu kaget kamu terbiasa bangun pagi. Tapi selesaikan masakan lebih dulu bagu kerjaan lain. Kamu paham?"

Bu Ida menatap tegas wajah Ajeng yang terpaksa mengangguk. "Baik bu, aku akan buatkan sarapan lebih dulu."

Mendengar itu, sang mertua tersenyum puas dan berlalu--meninggalkan Ajeng yang akhirnya berjalan menuju kamar.

Namun, suaminya itu sudah tertidur lelap.

Lagi-lagi, pria itu tak peduli padanya.

"Ya Allah, kuatkanlah hambamu...." lirih Ajeng pedih.

****

"Amin...."

Begitu bangun, Ajeng memang langsung melaksanakan salat subuh seorang diri. 

Dia tak berani membangunkan Dimas sebab sang mertua pernah memarahinya. 

Lagipula, dia juga harus membersihkan rumah dan menyediakan sarapan sebelum jam 6 pagi.

Jadi, wanita itu pun bangkit dan tak dipedulikan pipinya yang membengakak.

Setumpuk piring kotor menantinya!

"Hah..." Helaan napas setelah berhasil membersihkannya.

Rumah semewah apapun kalau jorok tidak dibersihkan tetap saja pantas di sebut kumuh!

Dia pun mulai menyapu dan mengepel.

Hanya saja kala sedang menunduk dekat lemari, sebuah tepukan di pundak wanita berhijab itu membuatnya terkejut.

"Ajeng! Ngapain kamu?"

Tisna sang kakak ipar menyorotnya curiga,menelisik tubuh Ajeng dari atas sampai ke bawah.

"Aku bersih-bersih, Kak."

"Sepagi ini?" Tisna mengintip ke dalam kamar dan menemukan Dimas yang masih tertidur. "Apa kamu mau mencuri, Ajeng? Kebangetan banget kamu, udah numpang di sini sekarang kamu mau jadi maling di rumah ini juga!" Tisna berkacak pinggang di depan Ajeng yang berusaha untuk menjelaskan pada kakak iparnya kalau tuduhannya salah.

Tisna menarik tangan Ajeng menyeretnya hingga ruang tamu.

Akan tetapi, suara Tisna berhasil membangunkan seluruh keluarga sehingga mereka berhamburan ke sana.

Mereka terkejut dengan Tisna yang berkacak pinggang tangan kanannya terus menuding dengan ibu jarinya ke wajah Ajeng. Posisi Ajeng yang duduk di lantai seakan tengah bersimpuh di kaki Tisna.

"Kak, Ajeng kenapa?" Dimas, orang yang lebih dulu mengulurkan tangan dan bertanya pada Tisna.

"Kamu tanya saja sendiri. Dia mau ngapain mengendap-endap ke kamar kalian. Dia itu mau maling di rumah ini, Dimas. Istri kamu itu maling!" sentak Tisna.

Ajeng menggelengkan kepala, mencoba untuk mencari pembelaan tapi Dimas menarik kembali' tangannya dari genggaman tangan Ajeng.

"Mencuri? Maling? Maksud kakak, apa?" tanya Dimas bingung.

"Mas, aku tidak mencuri. Aku hanya ingin menutup pintu pelan, supaya kamu tidak terbangun. Kak, Tisna salah paham mas, itu tuduhan kak Tisna yang tidak beralasan. Percaya sama aku, mas. Mana mungkin aku mencuri di rumah aku sendiri!"

"Tapi--"

Srak!

Tanpa basa-basi, Bu Ida menarik lengan gadis itu kasar. "Kamu harus dikurung di gudang! Udah hidup enak di sini, beraninya mau mencuri."

Deg!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar Sepuluh Ribu    116. SAH

    "Itu tidak sebanding dengan kamu yang menerima cintaku, Aisha. Aku berjanji akan membuatmu bahagia selamanya. Tidak ada lagi mahar Sepuluh Ribu atau pun nafkah sepuluh ribu padamu. Ingatkan aku jika lalai dalam memberimu nafkah," ucap Khandra lembut."Kamu adalah segalanya untukku. Dan padamu aku berlabuh, menyerahkan segalanya, cintai aku jika aku layak untuk kamu cintai. Sebaliknya jika aku tak layak maka –" Khandra terdiam. Tatapan Aisha tak biasa."Kamu bicara apa, sih, Dra? Ngelantur aja. Aku suka cincin ini, akan aku pakai.""Alhamdulillah, ayok. Kita pulang, jadi mau ke rumah Wina? Apa bunda tadi, ya?""Mas anterin aku ke pabrik aja ya. Tadi ada telpon katanya ada masalah di sana.""Oke. Jangan lupa sebentar lagi kita akan tunangan. Aku tidak mau kamu lelah.""Ya. Kamu jangan khawatir."Wina yang menikmati hari-harinya sebagai istri dari Arga putra bungsu dari keluarga Rayyan. Tidak ada hari terlewat untuk saling berbagi cerita. Seperti siang ini setelah menyelesaikan pekerjaa

  • Mahar Sepuluh Ribu    115. Cincin Berlian

    Jawaban Aisha membuat semua yang ada di ruang keluarga pun bersorak bahagia sebab penantian panjang Khandra berakhir dengan manis. Aisha wanita yang ia cintai sejak lama menerima cintanya tanpa syarat. Tidak ingin menunggu lagi Khandra pun meminta pada kedua orang tua Aisha untuk mempercepat pernikahan mereka tentu saja hal itu disambut bahagia oleh kedua orang tua Aisha dan keluarga besarnya. Mengingat mereka sangat mengenal siapa Khandra yang sebenarnya namun sayang dibalik kabar bahagia itu ada rasa rindu dan sedih Khandra tidak bisa memberitahukan kabar bahagia itu pada sang Ibu sebab wanita yang sangat mendukung hubungannya dengan Aisha telah pergi untuk selamanya tepat Aisha pergi ke luar negeri. Mereka sudah sepakat jika seminggu lagi mereka akan bertunangan keluarga ingin mereka segera menikah namun Aisha menginginkan mereka tunangan untuk sementara waktu sampai tiga bulan. Bukan tidak mungkin Aisha hanya menyiapkan semua bukan hanya hatinya tapi juga kesiapan lahirnya.

  • Mahar Sepuluh Ribu    114. Lamaran

    Suara Aisha kembali terdengar setelah menyelesaikan lantunan ayat suci. Kini wanita bergamis jingga berdiri menghampiri keluarganya yang terdiam di sana menatap tak percaya jika di hadapan mereka adalah Aisha. Keterkejutan dan kesedihan di wajah mereka berubah menjadi air mata bahagia mendapati sosok yang kini tengah berjalan ke arah mereka.Satu tahun mereka menahan rindu, meski mereka mampu untuk datang menemui Aisha namun mereka mengurungkannya mengingat sang putri menolak untuk di temui. Tidak bermaksud untuk membuat kedua orang tuanya tersinggung akan penolakannya tetapi Aisha memiliki alasan sendiri mengapa ia tidak ingin ditemui sebab jika sudah bertemu dengan keluarganya tentu membuat Aisha ingin segera kembali ke rumah. "Sayang kenapa kamu tidak memberi kabar jika pulang?""Kalau aku memberitahu Bunda namanya bukan kejutan. Apa kabar bunda, ayah dan kamu Arga, ah, lupa adik Iparku yang cantik. Bagaimana dengan kalian semua aku merindukan kalian semua.""Kabar kami baik, kak.

  • Mahar Sepuluh Ribu    113. Kejutan

    Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya. Seperti yang dialami oleh Aisha setelah pernikahan adiknya dengan sang sahabat dia pun memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk menyembuhkan luka hatinya akibat pengkhianatan dilakukan oleh suaminya. Walau hal itu terjadi sudah cukup lama namun luka itu sangat membekas di hatinya sehingga ia memilih untuk menenangkan diri. Lamaran dari sahabat kecilnya pun dia abaikan bukan berarti tidak ada perasaan apapun ia hanya ingin menyelami perasaannya apakah ia benar-benar sudah melupakan Ferdi mantan suaminya, apakah hanya rasa iba yang kelak akan menjadi permasalahan baru jika dia menerima cinta Khandra. Satu tahun berlalu setelah dia pergi ke negeri orang bukan untuk menghindari akan tetapi ia ingin mengobati lukanya sendiri. Senyumnya mengembang melihat seseorang yang sudah menunggunya. "Apa aku terlambat datang?" "Tidak. Justru sebaliknya sepertinya kamu terlalu cepat sehingga kamu harus menunggu aku datan

  • Mahar Sepuluh Ribu    112. Pesta

    Kesibukan terlihat di salah satu hotel ternama di ibukota bukan hanya pengantinnya saja tetapi pihak keluarga dari pembelai pria pun sangat sibuk bukan karena tidak percaya dengan orang lain, tetapi mereka ingin memberikan kesan tersendiri untuk salah satu keluarga mereka yang tidak lain adalah Arga yang akan menikah dengan Wina. Pernikahan berlangsung dengan hikmah pagi tadi dan malam nanti dimulainya pesta yang tentu dengan meriah dan mewah. Mengingat Wina hidup sebatang kara sebab sang Bibi yang dulu mengurusnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga semua disiapkan oleh keluarga Ajeng. Aisha orang yang menyatukan hubungan mereka justru kini ia disibukkan dengan segala kerempongan yang dilakukan adik iparnya yang begitu cemas mengingat mereka akan menghabiskan malam untuk pertama kalinya dengan seorang pria. Berulang kali Aisha menjelaskan bahwa hal itu lumrah terjadi karena ia pun pernah merasakan hal yang sama yang kini dirasakan oleh Wina sebab saat itu Aisha begit

  • Mahar Sepuluh Ribu    111. Menikahlah Denganku

    Hari berlalu begitu cepat minggu berganti bulan dan kini setahun sudah setelah kejadian di mana keluarga mantan suaminya datang ke rumah bersama ibu dan istrinya. Aisha sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan tanpa ada rasa dendam dalam hati.Kabar hukuman tiga puluh tahun sampai di telinganya, namun Aisha yang diam-diam meminta pihak berwajib untuk mengurangi hukuman jika terbukti Wulan telah sadar dan bertaubat. Semua ia lakukan mengingat wanita yang berusaha untuk menyingkirkan dirinya seusia Ibunya, mana mungkin Aisha tega melakukan hal itu. Menghabiskan waktu lama di dalam penjara hal yang sangat ia takutkan."Kamu yakin nak?""Ya, bund, kasihan. Bund tahu kan Tante Wulan itu sudah cukup umur. Melihat Tante Wulan, aku ingat Bunda,"Ajeng tersenyum begitu beruntung memiliki anak seperti Aisha dan Arga yang selalu memikirkan perasaan orang lain meski hatinya terluka. "Apa Bunda tidak setuju, dengan keputusan yang aku ambil ini?""Tentu tidak sayang. Justru sebaliknya Bunda sang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status