Share

Mahar Sepuluh Ribu
Mahar Sepuluh Ribu
Penulis: Rafli123

1. Mahar Yang Tidak Sesuai.

"Heh! Kamu itu pantas mendapatkan mahar sepuluh ribu. Rugi dong ibu kalau kasih mahar kamu banyak," sinis Ibu mertuaku, "kamu itu nggak ada gunanya di sini! Jadi, bereskan ruangan ini, dasar mantu miskin, mandul pula! Apes benar Dimas punya istri, kamu." 

Ajeng mengusap wajahnya kala mengigat kata-kata yang begitu menyakitkan hati. 

Padahal dulu, dia bangga Dimas dan keluarganya tampak tidak memandang latar belakang Ajeng yang sederhana.Namun, siapa sangka pernikahan yang dianggap mewah di kampungnya ternyata menyimpan sesuatu yang menyakitkan?!

Bukan hanya keluarga Dimas memberikan mahar seadanya, seserahan yang mereka bawa pun barang murahan. Parahnya, mereka langsung membawa Ajeng pergi agar sang ibu tak bisa meminta ganti biaya pernikahan!

Ditatapnya sang suami yang masih sibuk dengan gawainya. "Mas, sebenarnya apa alasan kamu dan keluargamu melakukan hal ini?" 

"CK! Apa, sih? Apa tidak ada yang bisa membuat suamimu itu senyum, hah?"  sinis sang suami tiba-tiba. 

"Aku cuma tanya mas, kenapa kamu bisa kasih aku mahar sepuluh ribu. Dan ucapan ibu tadi cukup jelas buat aku. Tapi, aku mau tahu alasannya?" desak Ajeng.

Dimas yang tersulit emosi mengacak rambutnya, menatap dalam wajah istrinya.

"Kamu, yakin ingin tahu?" 

Dengan rasa penasaran yang semakin mendalam, Ajeng mengangguk meski hatinya belum sepenuhnya kuat untuk mendengar kata yang menyakitkan.

"Karena kamu pantas menerima mahar itu. Kamu pikir aku mau ngeluarin duit banyak untuk menikah, hah? Kamu jangan lupa, kamu itu orang lain dan keluargaku mereka. Ibu, adik dan kakakku. Mereka yang seharusnya menerima uang 'ku bukan kamu. Lagi pula itu layak buah kamu yang miskin. Rugi dong! Aku kerja keras duit abis cuma nikahin wanita kayak kamu!" ujar Dimas cuek.

"Kamu tega mas? Mengenai mahar, itu sudah menjadi takdirku. Apapun alasan kamu, tapi ini bukan hanya itu tapi nafkah juga. Aku ini istri kamu, aku berhak semua uang kamu. Aku, tidak mempermasalahkan kamu yang menghidupi mereka tapi, itu hak aku mas." 

Tangis Ajeng pecah berulang kali beristigfar agar hatinya tenang tetapi, kenyataan di depannya sungguh membuatnya shock. Rumah tangganya bagaikan neraka, meski Ajeng berusaha menjadi menantu dan istri yang baik tapi faktanya mereka menganggap dirinya sebagai benalu, miskin dan mandul.

"Apa kamu bilang? Tega? menipu?" bentak Dimas tiba-tiba

"Siapa yang kamu maksud menipu? Ibuku? Atau aku? Pikir dong, Ajeng! Pria mana yang mau menikah dengan wanita miskin seperti kamu, hah?"

"Masih untung aku mau! Wajar dong kalau ibu kamu yang membiayai semuanya. Ibuku, sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal dan makan gratis buat kamu. Lagian Ibu kamu aja setuju, kenapa kamu yang marah, sih? Ternyata benar yang di katakan ibu. Selain mandul kamu juga bodoh, selain itu kamu tidak ada gunakan. Otak kamu itu kosong!" Dimas menonyor kepala Ajeng dengan ibu jarinya.

"Ada apa ini?"

Bu Ida, sang mertua tiba-tiba datang.

"I--ibu--"

Belum sempat berbicara, Ajeng sudah diseret keluar. "Dimas, kamu istirahat saja!"

Brak!

Pintu ditutup membuat Ajeng kini berhadapan dengan sang ibu mertua.

"Apa yang kamu, lakukan? Kamu tahu ini jam 5 kurang? Untuk apa membangunkan Dimas? Nanti kepalanya sakit!" bentak wanita tua itu tiba-tiba, "Dia itu cape tahu nggak, sih, kamu? Hormati dong suamimu! Malah ditanya-tanya gitu!"

"Kok bisa ada perempuan kaya kamu? Udah mandul, gak hormat lagi!"

"Tapi, aku hanya ingin diskusi, Bu."

Plakk!

Tamparan untuk kesekian kalinya dari ibu mertua, entah kesalahan apa yang di buatnya sampai ibu mertuanya melayangkan tangannya di pipi kirinya.

"Jangan macam-macam, Ajeng. Pokoknya, lakukan saja tugasmu. Abis salat shubuh nanti, kamu siapkan sarapan! Mulai sekarang, waktu sarapan diubah!" bentaknya.

"Jam enam pagi, harus sudah di tersedia di meja makan, tidak perlu kaget kamu terbiasa bangun pagi. Tapi selesaikan masakan lebih dulu bagu kerjaan lain. Kamu paham?"

Bu Ida menatap tegas wajah Ajeng yang terpaksa mengangguk. "Baik bu, aku akan buatkan sarapan lebih dulu."

Mendengar itu, sang mertua tersenyum puas dan berlalu--meninggalkan Ajeng yang akhirnya berjalan menuju kamar.

Namun, suaminya itu sudah tertidur lelap.

Lagi-lagi, pria itu tak peduli padanya.

"Ya Allah, kuatkanlah hambamu...." lirih Ajeng pedih.

****

"Amin...."

Begitu bangun, Ajeng memang langsung melaksanakan salat subuh seorang diri. 

Dia tak berani membangunkan Dimas sebab sang mertua pernah memarahinya. 

Lagipula, dia juga harus membersihkan rumah dan menyediakan sarapan sebelum jam 6 pagi.

Jadi, wanita itu pun bangkit dan tak dipedulikan pipinya yang membengakak.

Setumpuk piring kotor menantinya!

"Hah..." Helaan napas setelah berhasil membersihkannya.

Rumah semewah apapun kalau jorok tidak dibersihkan tetap saja pantas di sebut kumuh!

Dia pun mulai menyapu dan mengepel.

Hanya saja kala sedang menunduk dekat lemari, sebuah tepukan di pundak wanita berhijab itu membuatnya terkejut.

"Ajeng! Ngapain kamu?"

Tisna sang kakak ipar menyorotnya curiga,menelisik tubuh Ajeng dari atas sampai ke bawah.

"Aku bersih-bersih, Kak."

"Sepagi ini?" Tisna mengintip ke dalam kamar dan menemukan Dimas yang masih tertidur. "Apa kamu mau mencuri, Ajeng? Kebangetan banget kamu, udah numpang di sini sekarang kamu mau jadi maling di rumah ini juga!" Tisna berkacak pinggang di depan Ajeng yang berusaha untuk menjelaskan pada kakak iparnya kalau tuduhannya salah.

Tisna menarik tangan Ajeng menyeretnya hingga ruang tamu.

Akan tetapi, suara Tisna berhasil membangunkan seluruh keluarga sehingga mereka berhamburan ke sana.

Mereka terkejut dengan Tisna yang berkacak pinggang tangan kanannya terus menuding dengan ibu jarinya ke wajah Ajeng. Posisi Ajeng yang duduk di lantai seakan tengah bersimpuh di kaki Tisna.

"Kak, Ajeng kenapa?" Dimas, orang yang lebih dulu mengulurkan tangan dan bertanya pada Tisna.

"Kamu tanya saja sendiri. Dia mau ngapain mengendap-endap ke kamar kalian. Dia itu mau maling di rumah ini, Dimas. Istri kamu itu maling!" sentak Tisna.

Ajeng menggelengkan kepala, mencoba untuk mencari pembelaan tapi Dimas menarik kembali' tangannya dari genggaman tangan Ajeng.

"Mencuri? Maling? Maksud kakak, apa?" tanya Dimas bingung.

"Mas, aku tidak mencuri. Aku hanya ingin menutup pintu pelan, supaya kamu tidak terbangun. Kak, Tisna salah paham mas, itu tuduhan kak Tisna yang tidak beralasan. Percaya sama aku, mas. Mana mungkin aku mencuri di rumah aku sendiri!"

"Tapi--"

Srak!

Tanpa basa-basi, Bu Ida menarik lengan gadis itu kasar. "Kamu harus dikurung di gudang! Udah hidup enak di sini, beraninya mau mencuri."

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status