Seharian Ajeng dikurung di sana.
Tak sempat sarapan membuat tubuhnya terasa lemah.
Terlebih, rasa sakit di perutnya tak mampu Ajeng abaikan.
Brak!
"Keluar kamu, cepet beres kan rumah. Ingat jangan ambil makanan apapun sebelum semua selesai!" sungut Bu Ida.
Tanpa iba dengan kondisi Ajeng, Bu Ida melenggang pergi dan mengeluarkannya dari gudang."Alhamdulillah," ucap Ajeng bersyukur.
Dia pun keluar dan mulai membereskan rumah dan memasak sesuai perintah.
Dua jam akhirnya berlalu.
Pekerjaanya nyaris selesai.
Hanya saja, dia begitu lapar.
Tak berani mengambil lauk yang sedang dimasaknya, Ajeng lantas menikmati beberapa suap nasi dengan garam.
"Alhamdulillah...." syukurnya meski dengan makanan seadanya.
"Enak banget ya kamu! Malah asyik makan gratis!" Bu Ida tiba-tiba berteriak.
Glek!
Ajeng menelan nasinya cepat karena terkejut.
Kalau bisa, dia ingin memuntahkan makanan yang sudah ia teguk tadi.
"Maaf Bu, aku tidak meminta izin lebih dulu sama ibu. Aku, sudah masak dan membersihkan dapur. Tapi, aku lapar sekali, Bu.""Ini bukan rumahmu, jangan seenaknya bersikap! Kalau mau, kamu beli sendiri!""Iya Bu," balas Ajeng pada akhirnya."Oh iya, siapkan semua di meja makan, Jeng! Kerja jangan nanggung!" Kembali Ida memberi perintah.Lagi, Ajeng hanya bisa patuh.
Dengan cekatan, dia menyajikan semua hasil masakannya yang belum sempat ditata semua.
"Perempuan memang harus bisa mengerjakan semua. Meja makan sebelum digunakan dilap dulu. Kompor itu juga dilap. Lantai dapur licin karena minyak jangan lupa pel bisa bahaya nanti, sekalian saja pel rumah juga."Kepala Ajeng berdenyut nyeri mendengar rentetan kalimat yang ditujukan kepadanya. Hanya karena nasi dan garam, dia dimarahi begitu hebat.
Padahal, semua pekerjaan sudah diselesaikannya.Tidak ada satu pun yang tertinggal. Namun, Bu Ida selalu membuat Ajeng sibuk.
Brak!"Ambilkan juga nasiku!" perintah Tisna tiba-tiba.
Ajeng hanya bisa patuh menyendok nasi juga lauknya untuk kakak iparnya itu.
Suaminya?
Jangankan peduli, Dimas malah asik dengan sendokkan nasi pertamanya.
"Mbak aku mau es teh, buat minumnya," rengek Tyas tiba-tiba."Buat saja Tyas, gula dan teh ada kok," tolak Ajeng karena dia harus rapi-rapi dan melakukan tugas kakak ipar dan mertuannya.Namun, penolakannya ini membuat Tyas kesal.
"Buatin dong Mbak. Mbak kan disini cuma numpang! Wajar dong aku nyuruh mbak. Hari gini mana ada yang ngasih tempat tinggal gratis, makan gratis, di kasih duit pula. Eh! Tidur di kamar mewah pake AC!" sungut adik ipar Ajeng itu."Kamu sudah besar, buat sendiri..Aku---""Jangan begitu sama adikmu! Tyas 'kan sekarang adikmu. Sebagai kakak, kau harus banyak mendukungnya." Suaminya tiba-tiba menatap nyalang padanya, "Biasakan menuruti apa perintah ibu dan adikku."
Ucapan Dimas membuat Ajeng jengah.
Dia bukan mau melawan, tetapi apa anak gadis seperti Tyas tidak bisa membuat tehnya sendiri?Menahan kesal, Ajeng beranjak dan membuat es teh sesuai pesanan adik iparnya itu.
Setelah menyerahnkannya, dia pun memperhatikan keluarga sang suami makan.
Jujur, Ajeng cukup terkesima juga dengan cara makan mereka.
Semua piring mengambil nasi menggunung, lauk ayam goreng juga seenaknya mereka ambil lagi dan lagi.
Ini bukan hal baru untuk Ajeng, tapi entah kenapa hari ini dia kembali terkesiap.
"Kok bengong? Rapikan ini!"
Ajeng sontak tersadar dari lamunannya. "Iya, bu..."
"Ck! Dasar...." keluh Bu Ida, "inilah Dimas. Makanya, cari istri tuh yang selevel. Apa-apa gak bisa dan lamban!"
Deg!
Level?
Entahlah... hari ini Ajeng sepertinya tak bisa menahan diri lagi.
"Kalau memang level kalian tinggi, kenapa kasih mas kawin cuma sepuluh ribu? Biaya nikah ibuku yang membiayai," ucapnya menahan marah.
Bu Ida tersenyum. "Itu harga yang cocok buatmu!"
Seketika tawa memenuhi ruangan itu.
"Hahaha, ngaca dong! Mbak, itu muka B aja minta berapa mahar tinggi, emang laku apa? Berapa emangnya, mbak?" kata Tyas sambil terbahak.
"10 ribu 3 gimana?" Bu Ida menyambut celoteh Tyas."Hahaha, lebih cocok Bu–" Tyas dan Ida tertawa lepas.Brak!Ajeng meletakkan sendok dan piringnya dan beranjak dari tempat duduknya.
"AJENG!" pekik Dimas tampak emosional. Dimas berdiri dan menarik tangan Ajeng.Namun, wanita itu menepisnya. "Aku tidak terima dengan penghinaan keluargamu. Ini keterlaluan Mas! Aku tidak terima mereka mentertawakanku!"
"Mas juga keterlaluan. Kamu diam dan juga ikut tertawa saat keluargamu menghinaku!"
Ajeng berlari menaiki tangga rumahnya dan menghapus air matanya.
Hal itu jelas membuat keluarga Dimas terkesiap.Tidak biasanya Ajeng menjawab perkataan Dimas dan keluarganya.
"Sudah biarkan saja. Sikap istri kamu memang begitu Dim, sekarang kamu percaya kan sama ibu?"
"Ibu benar, Mas! Kalau istrimu suka ngelawan, lebih baik kamu ceraikan aja! Banyak kok di luar sana yang suka sama kamu, mas. Apalagi temen aku yang tergila-gila sama, Mas," timpal Tyas.Dia mengedipkan sebelah matanya, yang disambut senyuman Bu Ida dan Tisna.
"Temen kamu, siapa?"Tisna jelas penasaran. Siapa wanita yang menyukai adiknya yang sudah beristri, seperti Dimas?
"Dia itu cantik, anak orang kaya. Dia juga kerja di perusahaan milik keluarga!""Kenapa kamu kenalin sama Dimas? Kamu ajak ke sini aja ya," ujar Bu Ida.
Dibanding Ajeng, menantu kaya jelas lebih oke.Semua akan mudah untuk dia miliki barang bagus dan branded, uang banyak.
Bisa shopping tiap hari!
"Eh, tapi bagaimana dengan Ajeng? Kalo dia pulang, kita juga yang repot, Bu!" tolak Tyas tak setuju.
"Lebih baik, Dimas tahan istrinya di rumah untuk sementara waktu."
Mendengar itu, Bu Ida mengangguk. "Ya, juga ya."
"Dim, kamu rayu Ajeng lagi. Kamu bisa ceraikan nanti kalau Wulan jadi istri kamu nanti ibu minta pembantu buat gantiin Ajeng. Sekarang, kamu anterin makan malam Ajeng ke kamar sana!" perintah Bu Ida membenarkan ucapan Tisna.
"Itu tidak sebanding dengan kamu yang menerima cintaku, Aisha. Aku berjanji akan membuatmu bahagia selamanya. Tidak ada lagi mahar Sepuluh Ribu atau pun nafkah sepuluh ribu padamu. Ingatkan aku jika lalai dalam memberimu nafkah," ucap Khandra lembut."Kamu adalah segalanya untukku. Dan padamu aku berlabuh, menyerahkan segalanya, cintai aku jika aku layak untuk kamu cintai. Sebaliknya jika aku tak layak maka –" Khandra terdiam. Tatapan Aisha tak biasa."Kamu bicara apa, sih, Dra? Ngelantur aja. Aku suka cincin ini, akan aku pakai.""Alhamdulillah, ayok. Kita pulang, jadi mau ke rumah Wina? Apa bunda tadi, ya?""Mas anterin aku ke pabrik aja ya. Tadi ada telpon katanya ada masalah di sana.""Oke. Jangan lupa sebentar lagi kita akan tunangan. Aku tidak mau kamu lelah.""Ya. Kamu jangan khawatir."Wina yang menikmati hari-harinya sebagai istri dari Arga putra bungsu dari keluarga Rayyan. Tidak ada hari terlewat untuk saling berbagi cerita. Seperti siang ini setelah menyelesaikan pekerjaa
Jawaban Aisha membuat semua yang ada di ruang keluarga pun bersorak bahagia sebab penantian panjang Khandra berakhir dengan manis. Aisha wanita yang ia cintai sejak lama menerima cintanya tanpa syarat. Tidak ingin menunggu lagi Khandra pun meminta pada kedua orang tua Aisha untuk mempercepat pernikahan mereka tentu saja hal itu disambut bahagia oleh kedua orang tua Aisha dan keluarga besarnya. Mengingat mereka sangat mengenal siapa Khandra yang sebenarnya namun sayang dibalik kabar bahagia itu ada rasa rindu dan sedih Khandra tidak bisa memberitahukan kabar bahagia itu pada sang Ibu sebab wanita yang sangat mendukung hubungannya dengan Aisha telah pergi untuk selamanya tepat Aisha pergi ke luar negeri. Mereka sudah sepakat jika seminggu lagi mereka akan bertunangan keluarga ingin mereka segera menikah namun Aisha menginginkan mereka tunangan untuk sementara waktu sampai tiga bulan. Bukan tidak mungkin Aisha hanya menyiapkan semua bukan hanya hatinya tapi juga kesiapan lahirnya.
Suara Aisha kembali terdengar setelah menyelesaikan lantunan ayat suci. Kini wanita bergamis jingga berdiri menghampiri keluarganya yang terdiam di sana menatap tak percaya jika di hadapan mereka adalah Aisha. Keterkejutan dan kesedihan di wajah mereka berubah menjadi air mata bahagia mendapati sosok yang kini tengah berjalan ke arah mereka.Satu tahun mereka menahan rindu, meski mereka mampu untuk datang menemui Aisha namun mereka mengurungkannya mengingat sang putri menolak untuk di temui. Tidak bermaksud untuk membuat kedua orang tuanya tersinggung akan penolakannya tetapi Aisha memiliki alasan sendiri mengapa ia tidak ingin ditemui sebab jika sudah bertemu dengan keluarganya tentu membuat Aisha ingin segera kembali ke rumah. "Sayang kenapa kamu tidak memberi kabar jika pulang?""Kalau aku memberitahu Bunda namanya bukan kejutan. Apa kabar bunda, ayah dan kamu Arga, ah, lupa adik Iparku yang cantik. Bagaimana dengan kalian semua aku merindukan kalian semua.""Kabar kami baik, kak.
Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya. Seperti yang dialami oleh Aisha setelah pernikahan adiknya dengan sang sahabat dia pun memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk menyembuhkan luka hatinya akibat pengkhianatan dilakukan oleh suaminya. Walau hal itu terjadi sudah cukup lama namun luka itu sangat membekas di hatinya sehingga ia memilih untuk menenangkan diri. Lamaran dari sahabat kecilnya pun dia abaikan bukan berarti tidak ada perasaan apapun ia hanya ingin menyelami perasaannya apakah ia benar-benar sudah melupakan Ferdi mantan suaminya, apakah hanya rasa iba yang kelak akan menjadi permasalahan baru jika dia menerima cinta Khandra. Satu tahun berlalu setelah dia pergi ke negeri orang bukan untuk menghindari akan tetapi ia ingin mengobati lukanya sendiri. Senyumnya mengembang melihat seseorang yang sudah menunggunya. "Apa aku terlambat datang?" "Tidak. Justru sebaliknya sepertinya kamu terlalu cepat sehingga kamu harus menunggu aku datan
Kesibukan terlihat di salah satu hotel ternama di ibukota bukan hanya pengantinnya saja tetapi pihak keluarga dari pembelai pria pun sangat sibuk bukan karena tidak percaya dengan orang lain, tetapi mereka ingin memberikan kesan tersendiri untuk salah satu keluarga mereka yang tidak lain adalah Arga yang akan menikah dengan Wina. Pernikahan berlangsung dengan hikmah pagi tadi dan malam nanti dimulainya pesta yang tentu dengan meriah dan mewah. Mengingat Wina hidup sebatang kara sebab sang Bibi yang dulu mengurusnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga semua disiapkan oleh keluarga Ajeng. Aisha orang yang menyatukan hubungan mereka justru kini ia disibukkan dengan segala kerempongan yang dilakukan adik iparnya yang begitu cemas mengingat mereka akan menghabiskan malam untuk pertama kalinya dengan seorang pria. Berulang kali Aisha menjelaskan bahwa hal itu lumrah terjadi karena ia pun pernah merasakan hal yang sama yang kini dirasakan oleh Wina sebab saat itu Aisha begit
Hari berlalu begitu cepat minggu berganti bulan dan kini setahun sudah setelah kejadian di mana keluarga mantan suaminya datang ke rumah bersama ibu dan istrinya. Aisha sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan tanpa ada rasa dendam dalam hati.Kabar hukuman tiga puluh tahun sampai di telinganya, namun Aisha yang diam-diam meminta pihak berwajib untuk mengurangi hukuman jika terbukti Wulan telah sadar dan bertaubat. Semua ia lakukan mengingat wanita yang berusaha untuk menyingkirkan dirinya seusia Ibunya, mana mungkin Aisha tega melakukan hal itu. Menghabiskan waktu lama di dalam penjara hal yang sangat ia takutkan."Kamu yakin nak?""Ya, bund, kasihan. Bund tahu kan Tante Wulan itu sudah cukup umur. Melihat Tante Wulan, aku ingat Bunda,"Ajeng tersenyum begitu beruntung memiliki anak seperti Aisha dan Arga yang selalu memikirkan perasaan orang lain meski hatinya terluka. "Apa Bunda tidak setuju, dengan keputusan yang aku ambil ini?""Tentu tidak sayang. Justru sebaliknya Bunda sang