Share

2. Hati Yang Luka

Seharian Ajeng dikurung di sana.

Tak sempat sarapan membuat tubuhnya terasa lemah.

Terlebih, rasa sakit di perutnya tak mampu Ajeng abaikan.

Brak!

"Keluar kamu, cepet beres kan rumah. Ingat jangan ambil makanan apapun sebelum semua selesai!" sungut Bu Ida.

Tanpa iba dengan kondisi Ajeng, Bu Ida melenggang pergi dan mengeluarkannya dari gudang.

"Alhamdulillah," ucap Ajeng bersyukur.

Dia pun keluar dan mulai membereskan rumah dan memasak sesuai perintah.

Dua jam akhirnya berlalu.

Pekerjaanya nyaris selesai.

Hanya saja, dia begitu lapar.

Tak berani mengambil lauk yang sedang dimasaknya, Ajeng lantas menikmati beberapa suap nasi dengan garam.

"Alhamdulillah...." syukurnya meski dengan makanan seadanya.

"Enak banget ya kamu! Malah asyik makan gratis!" Bu Ida tiba-tiba berteriak.

Glek!

Ajeng menelan nasinya cepat karena terkejut.

Kalau bisa, dia ingin memuntahkan makanan yang sudah ia teguk tadi.

"Maaf Bu, aku tidak meminta izin lebih dulu sama ibu. Aku, sudah masak dan membersihkan dapur. Tapi, aku lapar sekali, Bu."

"Ini bukan rumahmu, jangan seenaknya bersikap! Kalau mau, kamu beli sendiri!"

"Iya Bu," balas Ajeng pada akhirnya.

"Oh iya, siapkan semua di meja makan, Jeng! Kerja jangan nanggung!" Kembali Ida memberi perintah.

Lagi, Ajeng hanya bisa patuh.

Dengan cekatan, dia menyajikan semua hasil masakannya yang belum sempat ditata semua.

"Perempuan memang harus bisa mengerjakan semua. Meja makan sebelum digunakan dilap dulu. Kompor itu juga dilap. Lantai dapur licin karena minyak jangan lupa pel bisa bahaya nanti, sekalian saja pel rumah juga."

Kepala Ajeng berdenyut nyeri mendengar rentetan kalimat yang ditujukan kepadanya. Hanya karena nasi dan garam, dia dimarahi begitu hebat.

Padahal, semua pekerjaan sudah diselesaikannya.

Tidak ada satu pun yang tertinggal. Namun, Bu Ida selalu membuat Ajeng sibuk.

Brak!

"Ambilkan juga nasiku!" perintah Tisna tiba-tiba.

Ajeng hanya bisa patuh menyendok nasi juga lauknya untuk kakak iparnya itu.

Suaminya?

Jangankan peduli, Dimas malah asik dengan sendokkan nasi pertamanya.

"Mbak aku mau es teh, buat minumnya," rengek Tyas tiba-tiba.

"Buat saja Tyas, gula dan teh ada kok," tolak Ajeng karena dia harus rapi-rapi dan melakukan tugas kakak ipar dan mertuannya.

Namun, penolakannya ini membuat Tyas kesal.

"Buatin dong Mbak. Mbak kan disini cuma numpang! Wajar dong aku nyuruh mbak. Hari gini mana ada yang ngasih tempat tinggal gratis, makan gratis, di kasih duit pula. Eh! Tidur di kamar mewah pake AC!" sungut adik ipar Ajeng itu.

"Kamu sudah besar, buat sendiri..Aku---" 

"Jangan begitu sama adikmu! Tyas 'kan sekarang adikmu. Sebagai kakak, kau harus banyak mendukungnya." Suaminya tiba-tiba menatap nyalang padanya, "Biasakan menuruti apa perintah ibu dan adikku."

Ucapan Dimas membuat Ajeng jengah.

Dia bukan mau melawan, tetapi apa anak gadis seperti Tyas tidak bisa membuat tehnya sendiri?

Menahan kesal, Ajeng beranjak dan membuat es teh sesuai pesanan adik iparnya itu.

Setelah menyerahnkannya, dia pun memperhatikan keluarga sang suami makan.

Jujur, Ajeng cukup terkesima juga dengan cara makan mereka.

Semua piring mengambil nasi menggunung, lauk ayam goreng juga seenaknya mereka ambil lagi dan lagi.

Ini bukan hal baru untuk Ajeng, tapi entah kenapa hari ini dia kembali terkesiap.

"Kok bengong? Rapikan ini!"

Ajeng sontak tersadar dari lamunannya. "Iya, bu..."

"Ck! Dasar...." keluh Bu Ida, "inilah Dimas. Makanya, cari istri tuh yang selevel. Apa-apa gak bisa dan lamban!"

Deg!

Level?

Entahlah... hari ini Ajeng sepertinya tak bisa menahan diri lagi.

"Kalau memang level kalian tinggi, kenapa kasih mas kawin cuma sepuluh ribu? Biaya nikah ibuku yang membiayai," ucapnya menahan marah. 

Bu Ida tersenyum. "Itu harga yang cocok buatmu!"

Seketika tawa memenuhi ruangan itu.

"Hahaha, ngaca dong! Mbak, itu muka B aja minta berapa mahar tinggi, emang laku apa? Berapa emangnya, mbak?" kata Tyas sambil terbahak.

"10 ribu 3 gimana?" Bu Ida menyambut celoteh Tyas.

"Hahaha, lebih cocok Bu–" Tyas dan Ida tertawa lepas.

Brak!

Ajeng meletakkan sendok dan piringnya dan beranjak dari tempat duduknya.

"AJENG!" pekik Dimas tampak emosional. Dimas berdiri dan menarik tangan Ajeng.

Namun, wanita itu menepisnya. "Aku tidak terima dengan penghinaan keluargamu. Ini keterlaluan Mas! Aku tidak terima mereka mentertawakanku!"

"Mas juga keterlaluan. Kamu diam dan juga ikut tertawa saat keluargamu menghinaku!"

Ajeng berlari menaiki tangga rumahnya dan menghapus air matanya.

Hal itu jelas membuat keluarga Dimas terkesiap.

Tidak biasanya Ajeng menjawab perkataan Dimas dan keluarganya.

"Sudah biarkan saja. Sikap istri kamu memang begitu Dim, sekarang kamu percaya kan sama ibu?"

"Ibu benar, Mas! Kalau istrimu suka ngelawan, lebih baik kamu ceraikan aja! Banyak kok di luar sana yang suka sama kamu, mas. Apalagi temen aku yang tergila-gila sama, Mas," timpal Tyas.

Dia mengedipkan sebelah matanya, yang disambut senyuman Bu Ida dan Tisna.

"Temen kamu, siapa?"

Tisna jelas penasaran. Siapa wanita yang menyukai adiknya yang sudah beristri, seperti Dimas?

"Dia itu cantik, anak orang kaya. Dia juga kerja di perusahaan milik keluarga!" 

"Kenapa kamu kenalin sama Dimas? Kamu ajak ke sini aja ya," ujar Bu Ida.

Dibanding Ajeng,  menantu kaya jelas lebih oke.

Semua akan mudah untuk dia miliki barang bagus dan branded, uang banyak.

Bisa shopping tiap hari!

"Eh, tapi bagaimana dengan Ajeng? Kalo dia pulang, kita juga yang repot, Bu!" tolak Tyas tak setuju.

"Lebih baik, Dimas tahan istrinya di rumah untuk sementara waktu."

Mendengar itu, Bu Ida mengangguk. "Ya, juga ya."

"Dim, kamu rayu Ajeng lagi. Kamu bisa ceraikan nanti kalau Wulan jadi istri kamu nanti ibu minta pembantu buat gantiin Ajeng. Sekarang, kamu anterin makan malam Ajeng ke kamar sana!" perintah Bu Ida membenarkan ucapan Tisna. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status