Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi.
"Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng."Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.Mereka tahu jika Ajeng tinggal bersama suami dan keluarganya, sedangkan di rumah hanya ibunya sendiri yang seorang janda. Kemarahan Bu Ida menjadi tontonan gratis tetangga Ajeng."Bu, Sekar! Ada apa ini, Bu?" Bu Ema tetangga dekat Bu Sekar menghampiri, mengira jika ada orang yang tengah berbuat jahat padanya."T– tidak ada apa-apa Bu Ema," sahut Bu Sekar berusaha bersikap tenang."Kenapa nggak mau jujur? Malu anda, kalau keburukan Ajeng di ketahui mereka, iya?" Bu Ida Kembali memancing kemarahan Bu Sekar dan Ajeng. Melihat banyaknya tetangga yang datang Bu Ida tersenyum puas, rencana baru muncul untuk mempermalukan keluarga Ajeng dan keuntungan untuk meminta uang ganti rugi."Ibu, ibu, dengar ya, Ajeng kenapa saya pulang kan karena dia berselingkuh dengan pria lain dan anak yang di kandung Ajeng itu bukan dari benih anak saya. Padahal dia hidup enak, suami manajer gaji besar nggak tau istrinya selingkuh, apa pantas di sebut istri?" sambung Bu Ida."Cukup Bu, lebih baik sekarang ibu pergi dari rumahku," pinta Ajeng."Enak aja, kamu ngusir ibu? Bayar dulu utang kamu. Selain uang yang buat kamu makan, uang ganti rugi gelas kristal yang kamu pecahkan sampai sekarang belum kamu ganti!" sentak Bu Ida."Ganti rugi? Besan sejak tadi saya tidak banyak bicara. Tapi besan terus saja menjelekkan Ajeng! Jika mau ganti rugi saya juga mau minta ganti rugi!" Bu Sekar, tidak terima anaknya terus di serang untuk ganti rugi."Lo, Kenapa anda minta ganti rugi dari saya? Anda waras, kan? Yang ngasih tempat tinggal saya, ngasih makan saya, jelas saya minta ganti rugi. Anak anda yang selingkuh duluan, enak aja minta ganti rugi ke saya! Dasar orang miskin belagu!" Bu Ida, tidak hentinya ngotot agar uangnya kembali selama satu tahun lebih Ajeng tinggal di sana.Bu Sekar memejamkan matanya lelah menghadapi besannya yang terus meminta ganti rugi darinya. Tuduhan demi tuduhan pada putrinya membuat Bu Sekar semakin tidak terima. Tetapi, sikap arogan besannya telah mengundang para tetangga berdatangan ke rumahnya jika tidak di hentikan sekarang pasti akan semakin runyam."Bu besan, saya orang miskin. Tapi saya tidak bodoh! Setalah anak laki-laki besan menikahi anak gadis saya sudah menjadi kewajiban laki-laki yang menjadi suaminya untuk memberikan nafkah lahir atau pun batin. Itu hak yang di dapat anak gadis yang menjadi istri anak laki-laki besan. Tetapi, jika hal itu tidak di berikan maka anak gadis saya yang sudah menjadi istri anak besan bisa menuntut di pengadilan dan tuduhan yang sudah di berikan pada anak saya. Selain itu ada hal lain yang besan harus pikirkan, sampaikan pada anak besan untuk mengembalikan kondisi anak saya seperti sebelumnya." Ungkap Bu Sekar.Suara tetangga yang menyoraki Bu Ida semakin kencang seiring Bu Sekar mengatakan tetang putrinya. Ya, melihat tubuh kurus, wajah pucat dan luka itu sudah menjadi bukti kuat."Hei, anda harus tau apa yang di lakukan Ajeng itu bakti pada suami dan keluarganya. Kenapa masalah kegadisan di permasalahkan? Bukankah itu sudah jadi hak anak saya mendapatkannya lalu kenapa anda–" Bu Ida terdiam, urung melanjutkan ucapannya saat Bu Sekar menggeleng. Tisna sejak awal diam mengambil alih sebab Tisna tidak ingin kalau Bu Sekar lebih banyak menuntut dari keluarganya."Tunggu Bu Sekar! Sejak tadi saya diam tapi anda tidak hentinya menuntut ini, itu dari ibu saya. Anak anda memang selingkuh ini buktinya!" Tisna mengeluarkan berapa lembar foto Ajeng bersama seorang pria yang keluar dari mobil. Mereka berada di rumah sakit untuk mengantar Ajeng agar bersedia di rawat."I– ini, Astaghfirullah mbak," Ajeng mengambil foto yang tergeletak di atas meja ada berapa yang membut dadanya gemuruh. Foto yang sudah di edit sedemikan rupa sehingga terlihat jika Ajeng saling bergandengan tangan."Apa bukti ini tidak kuat? Apa salah ibu saat meminta ganti rugi? Karena anak anda yang membuat ulah. Ibu, ibu kalian bisa lihat foto ini bagaimana Ajeng yang berselingkuh dengan pria lain dan ini foto saat mereka di rumah sakit dan aku yang bertemu dengannya," ucap Tisna panjang lebar."Ini fitnah! Mbak Tisna sudah cukup fitnahnya. Sekarang kalian pergi dari sini!" ucap Ajeng, telah habis kesabaran."Eh, ngusir kamu? Oke, nggak masalah aku kasih kamu waktu satu minggu untuk ganti rugi semua uang yang di keluarkan adikku. Kalau tidak siap, kalian siap masuk penjara!" ujar Tisna, pergi dari rumah Ajeng.Tetangga yang melihat foto itu hanya menggeleng sebagian dari mereka tidak percaya. Sebab Ajeng bukan anak seperti itu, tetapi ada yang terang-terangan mencibirnya."Pakaian alim, bukan jaminan nakal. Ih, amit-amit jangan deket deh takut ketularan!" ujar berapa orang, meninggalkan rumah Bu Sekar."Eh, iya, bisa gitu padahal kelihatan alim polos taunya, suhu!"Cibiran demi cibiran dari tetangga membuat hati Bu Sekar dan Ajeng semakin terasa nyeri. Seandainya Ajeng lebih dulu sampai mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Namun, terlambat sulit untuk Ajeng membuktikan jika tuduhan itu salah.Ajeng meremas dadanya yang terasa sakit ibunya menangis karena masalah rumah tangganya. Untuk pertama kalinya Ajeng melihat ibunya menangis."Bu, maafkan aku. Maafkan aku Bu," tangis Ajeng pecah dalam pelukan Bu Sekar. Ibu dan anak itu saling memberikan kekuatan, mereka menangis bersamaan. Aini yang berdiri tak jauh dari mereka mengusap matanya, jika tadi Ajeng tak melarangnya tentu dia bersedia menjadi saksi tetapi sayangnya Ajeng tetaplah Ajeng yang tak ingin orang lain terlibat dalam masalahnya."Kenapa kamu larang aku buat bungkam mulut mertua dan ipar kamu, Jeng? Mereka pantas kita lawan. Kalau begini kamu yang di anggap salah aku nggak suka itu Jeng. Bu, aku saksinya kalau Ajeng tidak selingkuh pria yang bersama dengan Ajeng itu adalah bos kami!""Yang di katakan Aini benar, saya bos nya Ajeng di toko!"Tiba-tiba saja, pria itu muncul membuat yang lain terbelalak.Bertiga menolah ke arah pintu di mana seorang laki-laki tinggi berdiri menatap mereka. Bu Sekar dan Ajeng saling melepaskan pelukan mereka dan saling menatap satu sama lainnya."A – Aini," lirih Ajeng, terbata. Menuntut kejelasan pada Aini, tidak mungkin pemilik toko dan perusahaan bersedia datang ke rumahnya yang sederhana bahkan di bilang kumuh oleh keluarga Dimas.Aini menggeleng bukti jika dirinya pun tak tahu soal bos mereka yang tiba-tiba sudah di rumah Ajeng."Nak siapa, dia? Kenapa mengaku sebagai bos kalian? Apa kalian mengenalnya?" tanya Bu Sekar. Di lihatnya dua wanita muda yang mengangguk bersamaan.Bu Sekar tersenyum itu artinya pria yang berdiri di ambang pintu adalah orang yang baik dan tidak menyebar fitnah di kemudian hari. Namun, sesaat bibirnya kembali murung jika benar pria itu bos mereka itu artinya yang di katakan besannya itu benar. Apa mungkin putrinya berhubungan dengan bosnya?"Astaghfirullahaladzim," gumam Bu Sekar."Assalamualaikum, Bu, maaf sudah lancang
"Wulan ada apa, nak? Apanya yang kotor?" Bu Ida, menghampiri Wulan yang berdiri di atas kursi."I – itu, kenapa kotor? Ada kecoa lagi, jorok banget sih! Apa nggak ada yang niat bersihin?" Wulan menunjuk kecoa di bawah meja, berapa plastik bekas makanan berserakan di lantai dan meja. Kompor yang berminyak, piring kotor dimana-mana. "Oh, itu gampang. Biar Dimas buang ya," Bu Ida menepuk lengan Dimas, menyuruhnya mengambil sapu untuk membuang kecoa."Jangan! Kenapa harus nyuruh mas Dimas? Kan ada ibu sama mbak Tisna, Tyas juga ada. Untuk apa nyuruh mas Dimas? Bisa 'kan kalian yang buang?" sergah Wulan. Sapu yang ada tangan Dimas, diambil dan di berikan pada Bu Ida yang hanya diam terpaku. Sudah lama ia tidak memegang sapu sejak Ajeng tinggal di rumahnya. Jangankan untuk mengerjakan hal berat. Sekedar mengambil minum, itu pun Bu Ida selalu meminta Ajeng menyiapkan di kamar."A– apa harus, ibu?" gumam Bu Ida, bingung harus bagaimana cara membuang kecoa yang ada di bawah kaki Wulan. Dima
"Oke, aku setuju. Tapi ingat kamar dia nggak boleh di atas. Tapi, di bawah lebih tepatnya di samping dapur. Kita bongkar gudang itu untuk jadi kamarnya Ajeng. Jangan ada yang dekat sama dia selama di sini!" ujar Wulan, mengiyakan ucapan Tyas dengan nada mengancam."Itu hal yang gampang. Tapi, bagaimana caranya membawa Ajeng kembali ke rumah?" kali ini Tyas mengangkat bahunya menyerah untuk memikirkan cara agar bisa membawa Ajeng ke rumah mereka lagi.Berbeda dengan ibu, istri dan saudaranya Dimas terdiam tanpa menimpali ucapan mereka enggan untuk berkomentar baginya diam yang terbaik. Memikirkan bagaimana perasaan Ajeng jika harus di jemput kembali ke tempat yang tidak seharusnya, karena ia telah menjatuhkan talak dan membiarkan Ajeng kembali atau tetap tinggal. Justru keluarganya yang mengusir Ajeng termasuk dirinya. Semua yang di lakukan Ajeng sudah ditolak olehnya, terlebih sosok pria yang berada di samping Ajeng meski tidak melihat wajahnya namun hal itu membuat Dimas cemburu."D
"Siapa Bu?" Ajeng menghampirinya Bu Sekar. Yang makan berdiri di depan pintu.Reaksi yang sama saat melihat seseorang yang berdiri di sana. Wajahnya mencelos pria yang menancapkan ribuan belati di hatinya kini berdiri tanpa bersalah."Apa kabar, Jeng? Boleh mas, masuk?" Masuk? Bukankah ibunya sudah mengizinkannya untuk masuk? Ajeng hanya mengangguk. Gegas pergi ke dapur membuatkan teh hangat untuk pria yang masih berstatus suaminya secara hukum."Untuk apa kamu datang ke sini? Belum puas kamu sakiti hati Ajeng? Kamu lupa janji kamu sama ibu?" ucap Bu Sekar, lirih. Sangat lirih sehingga terdengar hanya di telinga Dimas.Bu Sekar tidak lupa apa yang pernah di ucapkan Dimas padanya, sebagai bentuk rasa terima kasihnya yang sudah memberikan restu. Namun, semua hilang begitu saja seiring Ajeng yang di bawanya pulang ke rumah.Janji yang di ucapkan di depan Bu Sekar tanpa sepengetahuan oleh siapapun. Termasuk Ajeng."Bu, aku ingat dan tujuan aku ke sini ingin meminta maaf pada ibu dan juga
"Kamu gimana sih mas, cuma bawa wanita itu aja kamu nggak bisa!" seru Wulan. Dua jam Dimas diam tanpa memberikan alasan yang kuat mengenai Ajeng tak bisa di bawa pulang. Terbayang kotor dan baunya rumah mertuanya setelah berapa hari sampah, piring kotor dan kain lap yang basah tanpa ada yang berniat untuk di cuci atau di jemur."Mas, kamu diam sih? Jawab dong!" sentak Wulan. Kesal Dimas bungkam sejak kepulangannya dari kantor."Kamu bisa diam sebentar, sayang? Aku lelah, pulang kerja aku pikir ada makanan tapi ini, segelas air saja aku tidak menemukan di atas meja. Pekerjaan ringan itu kamu juga tidak bisa?" ucap Dimas, tak kalah kesal melihat sikap Wulan yang semakin menjadi."Aku bukan pembantu kamu, mas. Kalau haus kamu bisa ambil sendiri, bisa 'kan? Ada Tyas, mbak Tisna sama ibu. Mereka pengangguran beda sama aku yang pagi ke butik pulang malam! Aku pikir nikah sama kamu hidupku lebih berwarna lebih enak tanpa pusing sama urusan rumah tapi, apa? Bahkan di rumahku, aku lebih menik
Pria itu seketika melepaskan tangannya mendongak mendapat dorongan keras dari wanita di depannya. Wanita yang hancur karena ulahnya yang menyudutkan posisinya agar bisa melindunginya dari amarah sang kakak kala itu."Mbak, izinkan aku menceritakan semuanya. Aku benar-benar menyesal, aku tidak bisa hidup dengan tenang setelah hari itu," ucapnya penuh sesal.Bu Sekar mendudukkan tubuhnya di kursi teras, rumah sederhana penuh dengan kenangan bersama Ajeng kecil kini terusik dengan kehadiran orang di sama lalunya. Adik dari mendiang suaminya tengah bersimpuh di kakinya.Ingatan masa lalu berkelebatan di benaknya tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja. Seandainya Bu Sekar tegas kejadian itu tak terulang dan putrinya tidak perlu di perlakukan tak adil oleh suami dan keluarga."Aku tahu kesalahan aku tidak bisa di maafkan sama mbak Sekar tapi, aku mohon dengarkan penjelasan dariku mbak. Setalah ini aku janji tidak akan mengusik kalian lagi," ucapnya sungguh-sungguh.Bu Sekar menghapus
"Ck! Anda begitu pandai membolak-balikkan keadaan. Anak anda yang berselingkuh dan anda pula yang merestui pernikahan mereka, menjadikan sahabat saya pembantu di rumah anda tanpa di bayar. Ibu, ibu! Lihat foto di sana, itu adalah foto kami di sini. Disana pula ada sahabat saya, lihat perubahan dulu dan sekarang!" seru Aini, seketika membuat kegaduhan. Mereka saling berebut ingin melihat wajah Ajeng, tak lama terdengar umpatan pada Bu Ida yang terpaku melihat bagaimana wajah Ajeng yang cantik tanpa polesan di antara mereka hanya Ajeng yang menutup kepalanya dengan kerudung."I– itu bohong! Bisa aja kan itu editan jaman sekarang 'kan canggih mantu saya itu —" ucapan Bu Ida terhenti seseorang datang entah dari mana dengan suara lembut."Tidak ada editan di foto itu. Bahkan saya ada di sana bersama mereka, lihat bagaimana Ajeng yang begitu cantik dan segar, di bandingkan dengan sekarang. Bagaikan langit dan bumi bukan?" ujar Bu Widya pemilik toko tempat Ajeng bekerja."Ibu jangan bohong
Bu Sekar yang sejak tadi melamun terkejut dengan guncangan tubuhnya. Keterkejutannya menjadi ketika wajah mereka saling beradu."Bu–" lirih Ajeng.Bu Sekar berusaha untuk tersenyum meski senyum itu jelas terlihat berbeda. Ajeng sendiri tidak tahu harus mengatakan bagaimana pada putrinya untuk memulai kisah yang lama ia sembunyikan bagaimana perasaan putrinya setelah mengetahui kenyataan yang ada lalu bagaimana mereka bisa menjalani kehidupan mereka yang baru nanti."A– Ajeng, kamu sudah pulang? Kenapa kamu tidak mengucapkan salam?" tanya Bu Sekar."Bu, dari tadi aku sudah salam. Nyari ibu kesana kemari tapi ibu tidak ada, taunya ibu ada di sini. Boleh aku tahu apa yang ibu pikirkan? Sampai aku panggil ibu tidak jawab?" Bu Sekar gelagapan perkataan Ajeng membuatnya sulit untuk bernapas. Sesak menghimpit hatinya. "Nak, kita bicara di dalam. Ada hal yang ingin ibu katakan padamu," Bu Sekar menarik tangan Ajeng menjauh dari tanaman yang subur.Di sinilah mereka berdua, gazebo kecil yang