Share

10. Bos Baru

Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi.

"Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng.

"Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.

Mereka tahu jika Ajeng tinggal bersama suami dan keluarganya, sedangkan di rumah hanya ibunya sendiri yang seorang janda. Kemarahan Bu Ida menjadi tontonan gratis tetangga Ajeng.

"Bu, Sekar! Ada apa ini, Bu?" Bu Ema tetangga dekat Bu Sekar menghampiri, mengira jika ada orang yang tengah berbuat jahat padanya.

"T– tidak ada apa-apa Bu Ema," sahut Bu Sekar berusaha bersikap tenang.

"Kenapa nggak mau jujur? Malu anda, kalau keburukan Ajeng di ketahui mereka, iya?" Bu Ida Kembali memancing kemarahan Bu Sekar dan Ajeng. Melihat banyaknya tetangga yang datang Bu Ida tersenyum puas, rencana baru muncul untuk mempermalukan keluarga Ajeng dan keuntungan untuk meminta uang ganti rugi.

"Ibu, ibu, dengar ya, Ajeng kenapa saya pulang kan karena dia berselingkuh dengan pria lain dan anak yang di kandung Ajeng itu bukan dari benih anak saya. Padahal dia hidup enak, suami manajer gaji besar nggak tau istrinya selingkuh, apa pantas di sebut istri?" sambung Bu Ida.

"Cukup Bu, lebih baik sekarang ibu pergi dari rumahku," pinta Ajeng.

"Enak aja, kamu ngusir ibu? Bayar dulu utang kamu. Selain uang yang buat kamu makan, uang ganti rugi gelas kristal yang kamu pecahkan sampai sekarang belum kamu ganti!" sentak Bu Ida.

"Ganti rugi? Besan sejak tadi saya tidak banyak bicara. Tapi besan terus saja menjelekkan Ajeng! Jika mau ganti rugi saya juga mau minta ganti rugi!" Bu Sekar, tidak terima anaknya terus di serang untuk ganti rugi.

"Lo, Kenapa anda minta ganti rugi dari saya? Anda waras, kan? Yang ngasih tempat tinggal saya, ngasih makan saya, jelas saya minta ganti rugi. Anak anda yang selingkuh duluan, enak aja minta ganti rugi ke saya! Dasar orang miskin belagu!" Bu Ida, tidak hentinya ngotot agar uangnya kembali selama satu tahun lebih Ajeng tinggal di sana.

Bu Sekar memejamkan matanya lelah menghadapi besannya yang terus meminta ganti rugi darinya. Tuduhan demi tuduhan pada putrinya membuat Bu Sekar semakin tidak terima. Tetapi, sikap arogan besannya telah mengundang para tetangga berdatangan ke rumahnya jika tidak di hentikan sekarang pasti akan semakin runyam.

"Bu besan, saya orang miskin. Tapi saya tidak bodoh! Setalah anak laki-laki besan menikahi anak gadis saya sudah menjadi kewajiban laki-laki yang menjadi suaminya untuk memberikan nafkah lahir atau pun batin. Itu hak yang di dapat anak gadis yang menjadi istri anak laki-laki besan. Tetapi, jika hal itu tidak di berikan maka anak gadis saya yang sudah menjadi istri anak besan bisa menuntut di pengadilan dan tuduhan yang sudah di berikan pada anak saya. Selain itu ada hal lain yang besan harus pikirkan, sampaikan pada anak besan untuk mengembalikan kondisi anak saya seperti sebelumnya." Ungkap Bu Sekar.

Suara tetangga yang menyoraki Bu Ida semakin kencang seiring Bu Sekar mengatakan tetang putrinya. Ya, melihat tubuh kurus, wajah pucat dan luka itu sudah menjadi bukti kuat.

"Hei, anda harus tau apa yang di lakukan Ajeng itu bakti pada suami dan keluarganya. Kenapa masalah kegadisan di permasalahkan? Bukankah itu sudah jadi hak anak saya mendapatkannya lalu kenapa anda–" Bu Ida terdiam, urung melanjutkan ucapannya saat Bu Sekar menggeleng. Tisna sejak awal diam mengambil alih sebab Tisna tidak ingin kalau Bu Sekar lebih banyak menuntut dari keluarganya.

"Tunggu Bu Sekar! Sejak tadi saya diam tapi anda tidak hentinya menuntut ini, itu dari ibu saya. Anak anda memang selingkuh ini buktinya!" Tisna mengeluarkan berapa lembar foto Ajeng bersama seorang pria yang keluar dari mobil. Mereka berada di rumah sakit untuk mengantar Ajeng agar bersedia di rawat.

"I– ini, Astaghfirullah mbak," Ajeng mengambil foto yang tergeletak di atas meja ada berapa yang membut dadanya gemuruh. Foto yang sudah di edit sedemikan rupa sehingga terlihat jika Ajeng saling bergandengan tangan.

"Apa bukti ini tidak kuat? Apa salah ibu saat meminta ganti rugi? Karena anak anda yang membuat ulah. Ibu, ibu kalian bisa lihat foto ini bagaimana Ajeng yang berselingkuh dengan pria lain dan ini foto saat mereka di rumah sakit dan aku yang bertemu dengannya," ucap Tisna panjang lebar.

"Ini fitnah! Mbak Tisna sudah cukup fitnahnya. Sekarang kalian pergi dari sini!" ucap Ajeng, telah habis kesabaran.

"Eh, ngusir kamu? Oke, nggak masalah aku kasih kamu waktu satu minggu untuk ganti rugi semua uang yang di keluarkan adikku. Kalau tidak siap, kalian siap masuk penjara!" ujar Tisna, pergi dari rumah Ajeng.

Tetangga yang melihat foto itu hanya menggeleng sebagian dari mereka tidak percaya. Sebab Ajeng bukan anak seperti itu, tetapi ada yang terang-terangan mencibirnya.

"Pakaian alim, bukan jaminan nakal. Ih, amit-amit jangan deket deh takut ketularan!" ujar berapa orang, meninggalkan rumah Bu Sekar.

"Eh, iya, bisa gitu padahal kelihatan alim polos taunya, suhu!"

Cibiran demi cibiran dari tetangga membuat hati Bu Sekar dan Ajeng semakin terasa nyeri. Seandainya Ajeng lebih dulu sampai mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Namun, terlambat sulit untuk Ajeng membuktikan jika tuduhan itu salah.

Ajeng meremas dadanya yang terasa sakit ibunya menangis karena masalah rumah tangganya. Untuk pertama kalinya Ajeng melihat ibunya menangis.

"Bu, maafkan aku. Maafkan aku Bu," tangis Ajeng pecah dalam pelukan Bu Sekar. Ibu dan anak itu saling memberikan kekuatan, mereka menangis bersamaan. Aini yang berdiri tak jauh dari mereka mengusap matanya, jika tadi Ajeng tak melarangnya tentu dia bersedia menjadi saksi tetapi sayangnya Ajeng tetaplah Ajeng yang tak ingin orang lain terlibat dalam masalahnya.

"Kenapa kamu larang aku buat bungkam mulut mertua dan ipar kamu, Jeng? Mereka pantas kita lawan. Kalau begini kamu yang di anggap salah aku nggak suka itu Jeng. Bu, aku saksinya kalau Ajeng tidak selingkuh pria yang bersama dengan Ajeng itu adalah bos kami!"

"Yang di katakan Aini benar, saya bos nya Ajeng di toko!"

Tiba-tiba saja, pria itu muncul membuat yang lain terbelalak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status