Share

9. Air Mata Bu Sekar

Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu.

"Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya.

"Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.

Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan.

"Sekarang sudah tenang, Jeng?"

"Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.

Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost.

"Kebetulan tadi ada tetangga kamu, yang kenal sama aku. Dia liat kamu bawa koper gede. Pas di selidiki kamu diusir suami, ya, udah dia hubungi aku." Ujar Aini. Menceritakan semua yang ia dengar tentang kejadian yang menimpa sahabatnya, tentu dengan sedikit kebohongan karena dia tidak mungkin mengatakan bahwa yang menceritakan kejadian tentang Ajeng yang diusir oleh suami dan keluarganya adalah bos mereka.

Untuk lebih kuat Aini menyebut salah satu tetangga yang baik sama Ajeng.

"Yang kamu lakukan itu sudah benar Ajeng, itu artinya Allah tidak ingin kamu balas dendam pada mereka. Biarkan Allah yang membalas atas apa yang sudah mereka lakukan sama kamu, jeng. Yang terpenting sekarang kamu pikirkan untuk masa depan kamu dan juga ibumu, jika mereka tidak mau mengeluarkan uang untuk mengurus di pengadilan maka kamu harus melakukannya. Kamu sendiri akan mengurusnya kamu jangan khawatir ada aku di samping kamu dan aku siap untuk membantu kapanpun kamu butuhkan," sambung Aini, memeluk Ajeng yang semakin terisak.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ai? Aku tidak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini. Aku tidak ingin membuat Ibu merasa sedih. Tapi aku bingung harus gimana, Ai?" tangis Ajeng semakin deras, sakit teramat sakit jika harus mengingat perlakuan keluarga suaminya.

"Kamu istirahat dulu jeng, kamu juga bisa libur untuk berapa hari ke depan. Aku yakin bos kita memahami apa yang terjadi sama kamu," Ajeng hanya melakukan kepala.

Saat ini Ajeng tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Untuk menceritakan pada orang tuanya pun dia tidak sanggup terlebih ibunya sakit jantung.

Dua hari Ajeng tinggal di kost Aini, tak mau menjadi beban sahabatnya Ajeng pun memutuskan untuk kerja. Sejak awal Aini tidak Ajeng bekerja terlebih kondisinya yang belum stabil karena hatinya begitu rapuh dan wajahnya masih membiru.

"Jeng, terus terang aku kurang setuju kalau kamu bekerja hari ini. Kamu istirahat saja di rumah ya," bujuk Aini.

"Ai, sikap kamu berlebihan sekali. Aku baik-baik saja, bukankah kehidupan harus tetap berjalan dan aku harus mengumpulkan uang yang banyak untuk ibuku, bukan? Aku pernah mengatakannya padamu tentang hal ini, kan?" Ajeng tersenyum, walau tidak dipungkiri kalau hatinya merasakan tidak nyaman terlebih saat mereka sampai di toko kue.

Pelanggan berdatangan dan kesibukan begitu terlihat jelas di toko kue. Di saat Ajeng Tengah fokus dengan beberapa pelanggan tiba-tiba kegaduhan di mana seorang wanita mengalihkan pelanggan yang sedang mengantri di kasir.

"Hei, lihatlah wanita itu. Dia berselingkuh bahkan sampai hamil anak orang lain, tapi entah kenapa dia masih bisa bekerja di tempat ini sudah dipecat, aja!" seru suara dari pintu toko.

Alhasil mereka saling pandang perempuan itu menatap jijik ke arah Ajeng. Sehingga pengunjung lain melakukan hal yang sama pada Ajeng.

"Ih! Ogah beli kue di sini. Aneh ya, punya karyawan penggoda masih di pertahankan!" celetuk berapa orang yang kini enggan membeli kue tempatnya bekerja. Kue yang sudah dipilih yang berada di keranjang pun ditinggalkan begitu saja, bahkan tidak sedikit yang melemparkan ke arah Ajeng

"Apa mau kamu?"

"Mau, aku? Apa lagi, kalau tidak membuat kamu dipecat dari tempat ini dan jadi gelandangan di luar sana." sahut Wulan dan Trisna.

Kegaduhan terjadi sehingga Ajeng memutuskan untuk pergi. Merasa tak enak hati karena toko kue yang terkenal begitu enak dan memiliki berapa cabang harus tutup karena dirinya.

"Untuk apa kamu mengundurkan diri? Jika itu bukanlah kesalahan dari kamu. Mereka akan tahu kalau kamu tidak bersalah, mungkin hanya membutuhkan waktu supaya kamu bisa tenang dan saya izinkan kamu untuk mengambil cuti beberapa hari ke depan. Atau bahkan satu bulan asal kamu bisa kembali bekerja di sini lagi. Kami sangat membutuhkan karyawan seperti kamu." Bu Widya menyalurkan energi positif untuk Ajeng agar kuat untuk menghadapi ujian rumah tangganya. Dan kini harus bermasalah dengan beberapa pelanggan di toko kue hanya karena fitnah orang yang tidak menyukainya.

Ajeng bersiap, hari ini memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Menata hidupnya bersama ibunya. Aini tidak bisa lagi mencegah kepergian Ajeng, sebagai teman Aini ingin yang terbaik untuk sahabatnya.

"Aku akan mengantarmu, ke rumah Jeng. Aku tidak bisa tenang kalau tidak lihat sendiri!" serunya, masuk ke kamar mengambil tas kecilnya.

Taksi online yang di pesan Ajeng telah tiba, dua teman sejati meninggalkan hiruk-pikuk keramaian. Namun, tidak dengan Ajeng yang merasakan hatinya tak tenang.

Halaman rumah terlihat hatinya semakin gusar saat melihat mobil yang terparkir di depan rumahnya.

"Astaghfirullahaladzim, Ai, itu–" Ajeng gegas keluar dari mobil, berlari saat suara yang amat di kenalinya terdengar begitu lantang.

"Assalamualaikum, ibu!" Ajeng menghambur ke dalam pelukan Sekar. Wanita paruh baya itu meneteskan air matanya.

"Nah! Ini dia, anak kamu yang tidak tahu diri. Lihat bagaimana dia sekarang! Sudah di beri tempat tinggal yang nyaman, makanan yang enak taunya selingkuh. Anak kamu itu mengandung anak laki-laki lain! Aku mau ganti rugi!" Bu Ida, menunjuk jarinya tepat di hadapan Bu Sekar dan Ajeng.

"Ganti rugi? Ganti rugi untuk apa?" tanya Bu Sekar.

Menahan sakit saat melihat tubuh putrinya pulang dalam keadaan kurus, wajahnya yang pucat dan pipinya terlebih lembab.

"Ya, ganti rugi uang yang sudah dikeluarkan oleh anakku saat memiliki kehidupan Ajeng saat menjadi istrinya Dimas. Aku nggak mau rugi karena ulah anakmu itu kami harus menanggung malu!" sentak, Bu Ida. Tidak terima jika Ajeng pergi begitu saja tanpa memberikan uang padanya.

"Anda lihat sendiri, bagaimana putri saya pulang ke rumah ini? Lihat tubuh dan wajahnya. Apa ini tidak cukup jelas dan bukti kalau kalian sudah melakukan sesuatu pada putriku!" Bu Sekar tidak terima begitu saja meski dia tidak tahu cerita yang sebenarnya namun seseorang sudah memberikan kejelasan mengenai kejadian yang yang menimpa putrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status