"Kamu gimana sih mas, cuma bawa wanita itu aja kamu nggak bisa!" seru Wulan. Dua jam Dimas diam tanpa memberikan alasan yang kuat mengenai Ajeng tak bisa di bawa pulang. Terbayang kotor dan baunya rumah mertuanya setelah berapa hari sampah, piring kotor dan kain lap yang basah tanpa ada yang berniat untuk di cuci atau di jemur."Mas, kamu diam sih? Jawab dong!" sentak Wulan. Kesal Dimas bungkam sejak kepulangannya dari kantor."Kamu bisa diam sebentar, sayang? Aku lelah, pulang kerja aku pikir ada makanan tapi ini, segelas air saja aku tidak menemukan di atas meja. Pekerjaan ringan itu kamu juga tidak bisa?" ucap Dimas, tak kalah kesal melihat sikap Wulan yang semakin menjadi."Aku bukan pembantu kamu, mas. Kalau haus kamu bisa ambil sendiri, bisa 'kan? Ada Tyas, mbak Tisna sama ibu. Mereka pengangguran beda sama aku yang pagi ke butik pulang malam! Aku pikir nikah sama kamu hidupku lebih berwarna lebih enak tanpa pusing sama urusan rumah tapi, apa? Bahkan di rumahku, aku lebih menik
Pria itu seketika melepaskan tangannya mendongak mendapat dorongan keras dari wanita di depannya. Wanita yang hancur karena ulahnya yang menyudutkan posisinya agar bisa melindunginya dari amarah sang kakak kala itu."Mbak, izinkan aku menceritakan semuanya. Aku benar-benar menyesal, aku tidak bisa hidup dengan tenang setelah hari itu," ucapnya penuh sesal.Bu Sekar mendudukkan tubuhnya di kursi teras, rumah sederhana penuh dengan kenangan bersama Ajeng kecil kini terusik dengan kehadiran orang di sama lalunya. Adik dari mendiang suaminya tengah bersimpuh di kakinya.Ingatan masa lalu berkelebatan di benaknya tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja. Seandainya Bu Sekar tegas kejadian itu tak terulang dan putrinya tidak perlu di perlakukan tak adil oleh suami dan keluarga."Aku tahu kesalahan aku tidak bisa di maafkan sama mbak Sekar tapi, aku mohon dengarkan penjelasan dariku mbak. Setalah ini aku janji tidak akan mengusik kalian lagi," ucapnya sungguh-sungguh.Bu Sekar menghapus
"Ck! Anda begitu pandai membolak-balikkan keadaan. Anak anda yang berselingkuh dan anda pula yang merestui pernikahan mereka, menjadikan sahabat saya pembantu di rumah anda tanpa di bayar. Ibu, ibu! Lihat foto di sana, itu adalah foto kami di sini. Disana pula ada sahabat saya, lihat perubahan dulu dan sekarang!" seru Aini, seketika membuat kegaduhan. Mereka saling berebut ingin melihat wajah Ajeng, tak lama terdengar umpatan pada Bu Ida yang terpaku melihat bagaimana wajah Ajeng yang cantik tanpa polesan di antara mereka hanya Ajeng yang menutup kepalanya dengan kerudung."I– itu bohong! Bisa aja kan itu editan jaman sekarang 'kan canggih mantu saya itu —" ucapan Bu Ida terhenti seseorang datang entah dari mana dengan suara lembut."Tidak ada editan di foto itu. Bahkan saya ada di sana bersama mereka, lihat bagaimana Ajeng yang begitu cantik dan segar, di bandingkan dengan sekarang. Bagaikan langit dan bumi bukan?" ujar Bu Widya pemilik toko tempat Ajeng bekerja."Ibu jangan bohong
Bu Sekar yang sejak tadi melamun terkejut dengan guncangan tubuhnya. Keterkejutannya menjadi ketika wajah mereka saling beradu."Bu–" lirih Ajeng.Bu Sekar berusaha untuk tersenyum meski senyum itu jelas terlihat berbeda. Ajeng sendiri tidak tahu harus mengatakan bagaimana pada putrinya untuk memulai kisah yang lama ia sembunyikan bagaimana perasaan putrinya setelah mengetahui kenyataan yang ada lalu bagaimana mereka bisa menjalani kehidupan mereka yang baru nanti."A– Ajeng, kamu sudah pulang? Kenapa kamu tidak mengucapkan salam?" tanya Bu Sekar."Bu, dari tadi aku sudah salam. Nyari ibu kesana kemari tapi ibu tidak ada, taunya ibu ada di sini. Boleh aku tahu apa yang ibu pikirkan? Sampai aku panggil ibu tidak jawab?" Bu Sekar gelagapan perkataan Ajeng membuatnya sulit untuk bernapas. Sesak menghimpit hatinya. "Nak, kita bicara di dalam. Ada hal yang ingin ibu katakan padamu," Bu Sekar menarik tangan Ajeng menjauh dari tanaman yang subur.Di sinilah mereka berdua, gazebo kecil yang
Ajeng mengikuti arah pandang Bu Widya alangkah terkejutnya Ajeng melihat dua pria berjalan ke arah mereka. Siapa lagi kalau bukan pria yang menjadi gosip untuknya hingga terjatuhnya kata talak dan pengusiran dirinya dari rumah suaminya."Kalian sudah datang? Tepat waktu," sambut Bu Widya, saat kedua pemuda itu telah sampai di depannya."Ajeng, kenalkan Ridwan. Dia pengacara yang saya pilih untuk membantu kamu merebutkan hak kamu," ucap Bu Widya. Memperkenalkan seorang pria muda yang berdiri di depannya mengulurkan tangannya."Maaf," lirih Ajeng, tak enak hati meski begitu Ajeng tetap mempertahankan apa yang seharusnya di lakukan seorang muslim. Itu yang di ajarkan agamanya. Ajeng menangkupkan ke-dua tangannya di depan dadanya."Tidak apa-apa, saya yang minta maaf," ujar Ridwan. Rayyan yang tak lain adalah putra dari Bu Widya hanya tersenyum melihat salah tingkah sahabatnya. Satu kata dalam hati untuk Ajeng, kagum. Atas apa yang di lakukan Ajeng, meski kini berstatus tanpa suami sebab
[Kamu sudah dengar? Itu hanya peringatan untuk kamu dan ibumu. Ingat, jangan macam-macam. Atau kamu akan mengalaminya.] Ajeng, mengusap dadanya yang tiba-tiba sulit untuk bernapas. Pesan kedua yang di kirim dari nomer ibu mertuanya."Ajeng!" suara ibunya menarik perhatian Ajeng yang terfokus dengan pesan yang diterima. "Bu, ibu tidak apa-apa?" tanya Ajeng, shock melihat bangkai yang di dalam dus. Bukan hanya itu saja batu berukuran sedang tergeletak di lantai dan kaca pecah berserakan tak jauh dari dus."Astaghfirullahaladzim," Ajeng tidak kalah terkejut dengan keadaan di depannya. Dus terletak di teras tidak jauh dari batu terdapat boneka di dalamnya dengan berlumuran darah pemandangan yang sangat mengerikan. Walau ia tahu bahwa darah itu adalah dari tikus. Bau penyengat membuat keduanya berlari keluar sehingga menarik perhatian para tetangga yang kebetulan keluar mendengar teriakan Bu Sekar dan Ajeng."Bu Sekar, Ajeng. Kalian kenapa berteriak?" tanya Bu Emma yang secepat kilat ber
Ajeng mengelilingi rumah yang pernah ia tinggali sebelumnya, ada sesuatu yang hangat menjalar seluruh tubuhnya seakan membawanya ke masa di mana hidupnya bahagia bersama mendiang ayahnya. Seperti apa wajah ayah? Tentu, Ajeng tidak mengenalinya."Selamat pagi non, Ajeng, silahkan di minum teh hangatnya," ucap seorang wanita paruh baya, wanita seusia ibunya berdiri dengan nampan di tangannya."Terima kasih Bu—" ucap Ajeng, tidak tahu harus memanggil apa pada wanita di depannya."Mbok Nah, non. Ini teh kesukaan non waktu kecil. Di sini, kita selalu bersembunyi dari nyonya dan tuan karena non selalu meminumnya meski sudah di larang," ucap mbok Nah, menyela ucapan Ajeng.Ajeng tersenyum tertarik mendengar kisah hidupnya di masa lalu."Jadi mbok tahu siapa aku? Bagaimana aku kecil dulu?" tanya Ajeng, antusias."Tentu saja, mbok tahu siapa non Ajeng, bahkan kita sering menghabiskan waktu di sana," tunjuk Mbok Nah, Ajeng mengikutinya. Taman kecil di samping kolam ikan dan tak jauh dari sana a
"Maaf non, Bu Sekar, mobil tadi terhalang jadi saya harus menunggu pemilik mobil yang menutupi mobil Bu Sekar, datang," ucap pria di depannya penuh sesal."Tidak apa-apa pak Ardi," sahut Bu Sekar.Berdua naik mobil yang mewah setelah dibukakan pintu oleh pak Ardi. Perlahan mobil itu pun melaju meninggalkan pengadilan agama membutuhkan waktu untuk sidang berikutnya selama itu pula Ajeng pun dilarang untuk keluar rumah terlebih kondisinya dan teror yang terus-menerus di terima dari Bu Ida."Bu maafkan aku, seandainya waktu itu aku mendengarkan kata-kata ibu, kejadian ini tidak akan terjadi pada kita dan aku–" ucapan Ajeng, terhenti Bu Sekar menggeleng."Untuk apa kamu terus-menerus meminta maaf pada ibu? Kamu tidak bersalah. Ini semua karena takdir ini ujian untuk kamu dan Allah tahu jika kamu mampu untuk melewatinya," Ajeng merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu, entah bagaimana rasanya saat ini untuk ia gambarkan, rasa terima kasih dan bahagianya memiliki Ibu yang begitu perhatian