Se connecter"Anakku... ayahanda minta maaf kepadamu, apabila ayahanda sama sekali tidak punya jalan keluar untuk masalahmu ini," ucap Zhu Wuhuo, yang sudah berdiri selama tiga jam di Paviliun Chi Yan Dian, kini akhirnya bersuara.
Membuat Zhu Linglong tersenyum. Dia mendekati ayahandanya, yang berdiri dengan menautkan tangan di belakang punggung. "Ayahanda jangan minta maaf, aku baik-baik saja. Lagipula, ramalan itu bukan ayahanda yang buat," ucap Zhu Linglong, seraya mengelus bahu ayahnya. Zhu Wuhuo kemudian menghadap pada Zhu Linglong sepenuhnya, sisi lengan kanan dan kiri Zhu Linglong, dipegangnya dengan penuh kasih sayang, "nak... selama ini kau tidak pernah sama sekali keluar dari Paviliun. Kau tidak ingin menikmati waktu untuk melihat-lihat?" "Maksud Ayahanda... untuk yang terakhir kalinya?" Zhu Wuhuo menunduk. Menyesal mengatakan itu, "tidak anakku. Ayahanda hanya asal bicara. Lupakan saja," rintihnya pelan. Zhu Linglong tertawa kecil, "tidak apa-apa, Ayahanda. Linglong mu ini sudah terbiasa di dalam Paviliun. Jadi, aku memang tidak terlalu tertarik untuk keluar. Kupikir, pasti sama saja dengan di dalam sini." "Linglong, ayah pasti akan memberimu izin untuk keluar dari Paviliun. Kali ini, Ayah yang akan hadapi Pendeta Agung apabila keputusan untuk mengizinkanmu keluar dari Paviliun malah menjadi masalah..." Zhu Linglong mengangguk, dia menunduk hormat kepada Ayahnya, "Linglong mengerti. Sekarang, sudah malam. Ayahanda sebaiknya istirahat." "Tapi-" "Ayahanda harus segera istirahat," potong Zhu Linglong, sambil mendorong tubuh Kaisar Zhu pelan agar beliau dapat mengikuti sarannya untuk segera beristirahat. Dengan bergeleng kecil di tengah rasa gelisahnya, Zhu Wuhuo akhirnya pergi dari Paviliun setelah memberikan senyuman hangat untuk putrinya. Sedangkan Zhu Linglong, dia melamun usai sang ayah pergi. Otaknya mendadak mencerna akan tawaran sang Ayah yang memperbolehkannya keluar dari Paviliun. "Namun, apakah aku benar-benar boleh keluar dari Paviliun ini?" gumam Zhu Linglong, bertanya sendiri. Tapi, langkah kakinya seakan menjawab pertanyaannya. Putri Kaisar Zhu itu, melangkah perlahan-lahan keluar dari pelataran Paviliun Chi Yan Dian. Untuk pertama kalinya, dalam hidupnya. Langkah demi langkah sangat dia resapi. Udara malam menerpa kulitnya, hingga dingin merasuki indra perasanya. Tapi, Zhu Linglong tak urung atas niatnya untuk keluar Paviliun. Kedua matanya tak henti-hentinya melihat kanan dan kiri. Meneliti seluruh benda dan pemandangan yang selama ini tak pernah dilihat olehnya. Pohon-pohon tinggi besar menjulang. Hewan-hewan selain kupu-kupu. Dan hamparan jalanan yang begitu ramai rumah penduduk. Nuansa ini terasa menyegarkan untuk Zhu Linglong. "Ah, besok Putri Zhu benar-benar akan dibakar di Altar Ibukota." "Iya, sangat menyedihkan sekali nasibnya itu. Sama sekali tak melihat ke luar kediaman. Malah langsung akan mati begitu bisa keluar." "Yah... tapi bagaimana lagi, kalau Putri Zhu tetap hidup hanya akan ada malapetaka saja." "Benar. Kita harus dukung. Meskipun kelahiran Putri Zhu adalah sebuah petaka. Tapi kita tidak boleh diam saat pengorbanannya tiba." "Putri Zhu pasti cantik sekali." Telinga Zhu Linglong mendengar dengan jelas suara perbincangan orang-orang itu di sebuah Pondok Arak. Tak sengaja lewat, hingga Zhu Linglong memutuskan untuk mendengar percakapan mereka. "Jadi... selama ini rakyat membicarakanku seperti ini?" gumam Zhu Linglong, sangat lirih dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Dia berjalan mendekati orang-orang di pondok itu, "permisi tuan-tuan," sapa Zhu Linglong. Sekumpulan orang di Pondok Arak itu, langsung menoleh pada Zhu Linglong yang baru saja menyapa. "Yo... ada seorang gadis cantik bagai dewi datang menyapa kita," ucap salah seorang di antara mereka. "Tutup mulutmu Zhao Yi! Jangan menggombal," salah satunya lagi memperingatkan, membuat dia yang tadi menggoda Zhu Linglong sedikit mencebik, merasa tidak seru. Kemudian orang yang satunya lagi, menatap Zhu Linglong seraya tersenyum ramah,"nona... sepertinya nona ini seorang putri? Untuk apa berjalan malam-malam sendirian ke pemukiman penduduk?" tanyanya kemudian. Zhu Linglong membalas senyuman ramahnya, "aku bukan seorang putri. Tapi, aku peliput kabar ingin menyebarkan kabar tentang Putri Zhu," ucap Zhu Linglong pada akhirnya, berbohong. "Wah... kalau begitu besok datanglah ke Altar Ibukota... meski peristiwa menyedihkan, tapi mungkin akan menjadi kabar penting untukmu, Nona." "Aku memang akan kesana besok. Dan pasti akan menjadi bagian yang hadir di Altar Percobaan," lirih Zhu Linglong, kali ini bisa didengar oleh para tuan-tuan. "Jadi, nona peliput kabar sudah tahu bahwa hari ini adalah malam terakhir hidup Putri Zhu?" "Sudah tahu. Tapi... aku ingin tahu satu hal lagi dari tuan-tuan ini," "Ah, kira-kira apa yang Nona ingin tahu?" Zhu Linglong menegunkan dirinya sejenak. Menyiapkan hati untuk menerima jawaban apapun, yang akan keluar dari mulut penduduk Kerajaan Selatan. "Apa kalian membenci Putri Zhu karena terlahir membawa malapetaka?" ***** "Sudah kembali?" Zhu Qingyun, sudah berdiri tegak di depan gerbang Paviliun Chi Yan Dian, dan menyambut Zhu Linglong dengan pertanyaan itu. "Sudah, Kakak Qingyun. Kau sendiri... sejak kapan berada di sini?" tanya Zhu Linglong begitu dia sampai di hadapan Zhu Qingyun. "Ayo, kita masuk dulu," ajak Zhu Qingyun. Gerbang Paviliun itu terbuka secara otomatis begitu Zhu Linglong menepakkan kakinya. Dia kemudian memasuki pelataran, lagi. Setelah puas menikmati udara di luar. Hingga beberapa tapak langkah, kini Zhu Linglong dan Zhu Qingyun sudah berada di balkon Paviliun, keduanya pun duduk bersebelahan, menghadap ke arah langit yang sedang pada musim bulan purnama. "Bagaimana, kau puas melihat isi-isi di luar Paviliun?" tanya Zhu Qingyun. Mendengar pertanyaan itu, Zhu Linglong menoleh. Memperhatikan kakak sepupunya yang memandang langit, Zhu Linglong berbicara dengan nadanya yang selalu lembut, "aku puas. Namun, cukup asing. Mungkin karena pertama kali dan terakhir," jawabnya. Zhu Qingyun menghembuskan napas panjang Dia menoleh pada Zhu Linglong dan membelai rambut panjangnya yang halus. "Kau sangat cantik Zhu Linglong... rambutmu sehalus kain sutra. Matamu juga seindah kilau berlian. Senyumanmu selalu bisa menenangkan hati. Tapi, mengapa langit memberimu takdir yang tidak sesuai sama sekali dengan penampilanmu ini?!" Zhu Linglong mengerti arti dari manik mata Zhu Qingyun yang menatapnya. Orang ini lah, yang selalu melindunginya. Selalu datang untuk sekedar bercerita hal-hal konyol di luar paviliun. Yang membuat Zhu Linglong selama ini, cukup merasakan adanya hidup itu sendiri ketika Zhu Qingyun bersamanya. Namun, memang sangat disayangkan. Zhu Linglong besok sudah harus dibakar dan memberikan darahnya pada langit. Dan tidak akan lagi bisa menemui Zhu Qingyun lagi. "Kakak Qingyun, kau harus menikah dengan perempuan yang baik. Jangan sampai kau mengecewakan jiwaku di surga!" Zhu Linglong, mencoba bercanda. "Itu tidak lucu." "Tapi, Kakak Qingyun. Apa kau mau menemaniku untuk melakukan suatu hal?" "Tentu saja." "Hari ini, aku mengerti jawaban dari para penduduk, Kak. Bahwa mereka sama sekali tak membenciku karena lahir membawa malapetaka," "Aku sering mengatakan itu padamu, Linglong." Zhu Linglong akhirnya menarik tubuh Zhu Qingyun. Dia membawanya berjalan menuruni balkon paviliun, kemudian melangkah menuju pintu alternatif di belakang paviliun yang tersambung dengan Istana Phoenix Api. "Kau ingin apa, Adik Linglong, sampai harus memasuki istana?" bingung Zhu Qingyun yang masih menurut mengikuti Zhu Linglong yang menarik tangannya. "Lihatlah!" Akhirnya mereka berdua berhenti, setelah melewati lorong bagian belakang istana. Kini, mereka berada di ruang pertemuan inti. Yang besok akan dijadikan pertemuan dari para Kaisar dari ketiga wilayah lainnya. "Kau mau apa, Adik Linglong?" Zhu Linglong, akhirnya bergerak. Dia menghampiri papan besar istana yang terletak di bagian ujung, dan terhampar jelas di ruang pertemuan inti itu. Papan yang sepertinya biasa digunakan untuk menuliskan sesuatu. Zhu Linglong tersenyum lebar. Lantas, jari jemarinya menuliskan sesuatu setelah mengambil bubuh tinta. Zhu Qingyun yang menyaksikan itu tersenyum pula. Meski ini adalah Malam Terakhir untuk Zhu Linglong, gadis itu bahkan tidak menangis sama sekali. Bahkan, dia membuat tulisan yang begitu membangkitkan adrenalin jiwanya. Zhu Linglong menuliskan, 'AKU TIDAK AKAN MATI DENGAN SIA-SIA! RAKYAT MENCINTAIKU! MEREKA TIDAK MEMBENCIKU! NAMAKU AKAN SELALU DIKENANG DALAM PENGORBANAN YANG PENUH CINTA, TERTANDA... MALAM TERAKHIR!'Malam sudah menyambangi. Menemani Zhu Linglong yang menatap sisa-sisa sepi dari altar ibukota ini. Perasaannya kembali terperangkap dengan rasa sedihnya. Meskipun, upacara ditunda, bukan berarti tidak akan terlaksana.Bahkan, kini Kasim Istana sudah memerintahkannya untuk tetap memasuki Altar. Dengan artian, Zhu Linglong hanya bisa menunggu di Altar ini sendirian.Dia juga sudah mengikat tubuhnya sendiri, pada tungku api altar. "Api abadi itu... katanya tidak akan membakarku dengan rasa sakit," gumamnya pelan.Teringat, pada Bai Chen yang mendatanginya pada saat hari undangan disebarkan. Dia ditemui oleh Kaisar dari Timur itu, dan dihadiahi Api Abadi. Di tengah ranumnya pikiran Zhu Linglong, mendadak dia merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya mulai terasa. Detak jantungnya seperti dipacu dua kali. Ada hawa panas yang seperti menyelimuti dirinya. "Apa api ini belum benar-benar padam?" tanyanya, sambil melihat ke bawah tungku.Zhu Linglong membelalakkan matanya. Memang benar, api abad
"Bukankah dewi secantik ini tidak boleh dikorbankan?" Itu adalah suara hati Cang Jue, yang tak dapat didengar oleh semua khalayak di sepanjang Altar Ibukota ini. Akan tetapi, Cang Jue masih menjadi pusat perhatian. Semuanya tampak tak suka dengan selaan kalimat yang semula dia timpalkan. Zhu Linglong yang baru memasuki altar, pun juga jadi menatapnya. "Siapa Kaisar tampan itu? Mengapa... cukup lucu?" tanyanya, dari dalam hati, dan sedikit tersenyum. Dan Cang Jue sadar betul bahwa dia kini dilihat dengan tatapan berbagai arti dari banyaknya kepala manusia di sini. Dia sedikit menggerakkan tengkuknya, berdecak dalam hati, "para manusia yang menarik," kemudian tersenyum miring. Lantas, Cang Jue mulai berdiri dari kursi tamunya. "Jika sudah menjadi pusat perhatian, maka sekalian saja," ucapnya, melantangkan kalimat. Dia berdiri penuh wibawa sambil mata memandang mengitari Altar. Melihat satu per satu, para Kaisar itu, dan berhenti pada satu titik, yakni dua mata indah Zhu Linglong.
Gendang gong Altar Ibukota sudah ditabuh tiga kali. Masyarakat sekitar Istana Selatan, berbondong-bondong mendatangi Ibukota. Mereka semua sangat ingin menyaksikan peristiwa yang sudah ditunggu oleh semua manusia dari segala penjuru. Penantian akan pengorbanan selama delapan belas tahun. Akhirnya hari ini tiba. Para Kaisar dari wilayah utara, timur dan barat pun telah menduduki tempat mereka masing-masing. Altar Ibukota itu dikepung oleh tempat duduk ke-empat Kaisar. Api Abadi sudah menyala bahkan saat sebelum acara dilaksanakan. Di tempatnnya, Kaisar Cang Jue menatap dengan dalam pada kobaran api. Alisnya mengernyit merasakan sesuatu yang familier. Mengundang pertanyaan dari Long Wei, jenderal tangan kanannya. "Yang Mulia, apa ada yang salah dengan Altarnya?" tanya Long Wei, pada sang Kaisar. Cang Jue melihat pada Long Wei, lalu melihat ke sekitar. "Kaisar Bai, Kaisar Xuan, menurutmu siapa yang bisa mengeluarkan Api Abadi di antara mereka?" tanya Cang Jue kemudian. Long We
"Anakku... ayahanda minta maaf kepadamu, apabila ayahanda sama sekali tidak punya jalan keluar untuk masalahmu ini," ucap Zhu Wuhuo, yang sudah berdiri selama tiga jam di Paviliun Chi Yan Dian, kini akhirnya bersuara. Membuat Zhu Linglong tersenyum. Dia mendekati ayahandanya, yang berdiri dengan menautkan tangan di belakang punggung. "Ayahanda jangan minta maaf, aku baik-baik saja. Lagipula, ramalan itu bukan ayahanda yang buat," ucap Zhu Linglong, seraya mengelus bahu ayahnya. Zhu Wuhuo kemudian menghadap pada Zhu Linglong sepenuhnya, sisi lengan kanan dan kiri Zhu Linglong, dipegangnya dengan penuh kasih sayang, "nak... selama ini kau tidak pernah sama sekali keluar dari Paviliun. Kau tidak ingin menikmati waktu untuk melihat-lihat?" "Maksud Ayahanda... untuk yang terakhir kalinya?" Zhu Wuhuo menunduk. Menyesal mengatakan itu, "tidak anakku. Ayahanda hanya asal bicara. Lupakan saja," rintihnya pelan. Zhu Linglong tertawa kecil, "tidak apa-apa, Ayahanda. Linglong mu ini su
Istana Perak Biru wilayah Utara, Kekaisaran ke-59 yang kini dipimpin oleh kaisar baru. Mendadak ramai karena menerima kabar dari Wilayah Selatan. Kaisar Cang Jue, sang Dewa Kecil Naga Es Biru itu baru saja kembali dari kultivasinya di Lembah Kelereng Suci. Dia sudah harus menerima undangan itu dengan cap sihir dari Wilayah Utara, langsung darinya. Sungguh membuatnya merasa tidak bahagia. Memang saja, karena dirinya belum berniat kembali ke Istana, dan masih ingin berkultivasi mematangkan kekuatan Naga Es Biru milik tubuhnya itu. Tapi, sekarang malah harus kembali hanya untuk membaca dan menandatangani undangan. Membuatnya menggeleng kecil, "ada-ada saja," ucapnya lirih, hanya dia yang dengar. "Yang Mulia, bagaimana kami menyikapi undangan dari Kaisar Zhu?" tanya Long Wei, sang jenderal utama, begitu Cang Jue membubuhkan cap sihir tanda bahwa dia akan menghadiri acara di wilayah selatan itu. Kini, Kaisar Cang Jue, menatap pada Long Wei. "Bagaimana dengan ketampananku?" Long We
Hari ini, undangan dari Kaisar Zhu Wuhuo telah disebarkan ke seluruh wilayah Kerajaan lain di Benua Tianxu. Kaisar Phoenix duduk diam di kamarnya, saat Chi Yan kembali menguatarakan ramalannya. "Yang Mulia, bisakah kau temui Kaisar Harimau Putih?" ucap seorang Prajurit setelah memberikan penghormatan kepada Kaisar Zhu Wuhuo. "Oh, maksutmu Kaisar Bai, dari wilayah Timur?" Prajurit itu mengangguk. "Benar, Yang Mulia." "Untuk apa dia datang?" "Kaisar Dewa Harimau Putih, memasuki ruangan!" teriak pengawal singgasana menabuh palu gong Istana. Begitu suara menggema, Kaisar Harimau Putih datang. Dia memberikan hormat, "Yang Mulia. Bagaimana kabarmu?" tanyanya, sedikit berbasa-basi. Di sela itu, prajurit yang memberikan kabar untuk Kaisar Zhu Wuhuo, akhirnya mengundurkan diri dari hadapan mereka berdua. Tersisa Zhu Wuhuo, dan Kaisar Harimau Putih, Bai Chen. "Apa yang membuat Kaisar Harimau Putih datang kesini? Bukankah undangan yang disebar masih untuk beberapa hari lagi?"







