Share

7.Sang Idol

last update Last Updated: 2025-06-30 12:19:53

Satu tahun kemudian.

Andro kembali bertemu dengan seseorang yang pernah mengubah jalannya. Calvin, yang dulu menjadi salah satu juri di ajang pencarian bakat, kini telah menjadi sahabat karibnya.

Suatu malam, setelah latihan intens di ruang rekaman, Andro duduk di ruang tunggu yang remang, sambil menyesap kopi hangat. Tak lama kemudian, Calvin mendekat dengan senyum lelah namun penuh kehangatan.

"Masih ingat, Andro, ketika kau pertama kali naik ke panggung itu?" tanya Calvin sambil mengangguk, mengenang momen-momen penuh tantangan.

Andro tersenyum samar. "Aku ingat jelas, Calvin. Aku merasa gugup, tapi kata-katamu waktu itu membuatku yakin. Kau bilang, 'Bakatmu itu nyata, Andro. Biarkan dunia mendengarnya.'"

Calvin duduk di sampingnya, matanya memancarkan kebanggaan. "Dan kau buktikan itu. Aku selalu tahu, suatu hari nanti, kau akan melampaui ekspektasi. Kini, kau bukan hanya rapper di Galaxy Idol, tapi juga inspirasi bagi banyak orang."

Mereka berbincang panjang tentang perjalanan yang telah dilalui—tentang malam-malam latihan yang melelahkan, kegagalan kecil yang diubah menjadi pelajaran berharga, dan kemenangan-kemenangan yang selalu menguatkan tekad mereka. Calvin mengakui, dengan suara penuh pengakuan, bahwa Andro adalah bintang yang pantas bersinar di langit hiburan.

"Kadang, aku teringat betapa sulitnya jalan yang kau tempuh. Dan aku senang bisa berada di sana, walau sebagai juri, melihat potensi yang begitu luar biasa dari dirimu," kata Calvin, dengan nada yang penuh rasa bangga.

Andro menatap sahabatnya itu, mengenang momen-momen yang membawa mereka bersama. "Tanpa dukunganmu, aku tak mungkin mencapai semua ini. Kau bukan hanya juri atau rekan, Calvin. Kau adalah kawan, yang selalu percaya bahwa aku bisa lebih dari sekadar impian."

Di ruang itu, di tengah kebisingan dunia yang terus bergulir, Andro menyadari bahwa setiap langkah, setiap perjuangan, telah membentuk dirinya menjadi sosok yang tak tergantikan. Pengalaman di ajang pencarian bakat, perjalanan bersama grup idol pertamanya, dan akhirnya, pengalamannya di Galaxy Idol—semua itu adalah bagian dari kisah yang membuatnya lebih kuat, lebih bijaksana.

Dan di sanalah, di antara ingatan manis dan pahit, Andro tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Bersama sahabat sejati seperti Calvin, ia siap menghadapi setiap tantangan, dengan lirik-lirik rap yang mengalir dari hatinya, menjadikan setiap kata sebagai bukti bahwa mimpi memang bisa menjadi kenyataan.

----

Lampu sorot terang benderang, menyinari panggung besar di tengah stadion yang dipenuhi lautan penggemar. Nama "Galaxy Idol"terpampang di layar raksasa di belakang panggung, disertai sorakan ribuan fans yang meneriakkan nama mereka.

Di antara para anggota boyband, seorang pria berdiri dengan penuh percaya diri, wajahnya tampan, senyum misteriusnya menggoda. Dia mengenakan jaket kulit hitam dengan aksen perak yang berkilauan di bawah lampu panggung. Rambut hitamnya sedikit berantakan, memberikan kesan bad boy yang semakin membuat para penggemarnya tergila-gila.

Dialah Aleandro, anggota terbaru dari Galaxy Idol—boyband paling terkenal di industri musik saat ini.

Siapa sangka, anak laki-laki yang dulu selalu dibandingkan dengan kakaknya, yang selalu dianggap tidak berguna oleh keluarganya, kini berdiri di puncak dunia hiburan?

"ANDRO! ANDRO! ANDRO!"

Teriakan para penggemar semakin menggema saat Andro mengambil mikrofon dan mulai menyanyikan bagian solonya. Suaranya dalam dan berkarisma, mengguncang hati setiap orang yang mendengarnya.

Dia bukan lagi Andro yang dulu.

Dia bukan lagi bayang-bayang Sandi.

Dia bukan lagi anak yang dibuang.

Dia adalah bintang yang mulai bersinar

--

Andro nyaris tidak punya waktu untuk pulang ke rumah. Jadwalnya padat—latihan, konser, pemotretan, wawancara, dan berbagai acara televisi. Dalam setahun terakhir, dia bahkan tidak sekalipun menginjakkan kaki di rumah orang tuanya.

Dia tidak tahu bagaimana keadaan keluarganya sekarang.

Dia tidak tahu bahwa kakaknya telah menduakan Sabrina.

Dia juga tidak tahu bahwa Sabrina kini hidup dalam penderitaan.

Baginya, masa lalu hanyalah beban yang harus ia tinggalkan.

Namun, ada satu hal yang selalu menghantuinya…

Setiap kali dia berdiri di atas panggung, setiap kali dia menyanyikan lagu-lagu tentang cinta dan kehilangan, wajah Sabrina selalu muncul di benaknya.

---

Sejak dulu, Ibu Andro selalu membanggakan Sandi—anak sulungnya yang jenius, berpendidikan tinggi, dan mapan secara finansial. Sandi adalah kebanggaannya, harapan keluarga, dan contoh sempurna bagi Andro yang selalu dianggap bandel dan tidak berguna.

Namun, segalanya berubah.

Kini, Andro bukan lagi anak pemberontak yang selalu dibanding-bandingkan dengan Sandi. Dia adalah bintang paling bersinar di industri musik.

Dengan wajah tampan, suara merdu, dan karisma memikat, Andro sukses menjadi idola internasional. Uang mengalir deras, penggemar dari seluruh dunia memujanya, dan setiap lagu yang ia rilis menjadi hits nomor satu di tangga musik.

Dan kini, Ibu Andro sangat bangga padanya.

Di ruang tamu rumah mereka, sebuah televisi layar lebar menampilkan siaran konser Galaxy Idol. Ibu Andro duduk di sofa, matanya berbinar penuh kebanggaan.

"Astaga, lihat itu! Andro-ku benar-benar luar biasa!" serunya penuh semangat. "Dulu siapa yang bilang Andro tidak punya masa depan? Sekarang dia lebih terkenal daripada semua orang yang pernah meremehkannya!"**

Ayah Andro hanya mengangguk pelan, tetapi tidak bisa menyembunyikan sedikit senyuman.

Sementara itu, di sampingnya, Sandi hanya diam.

Sebagai seorang pria mapan yang bekerja di dunia akademis dan bisnis, ia tahu bahwa dirinya tetap dihormati. Namun, ada perasaan aneh di hatinya setiap kali mendengar ibunya lebih sering membicarakan Andro daripada dirinya.

Dulu, semua kebanggaan diberikan padanya.

Sekarang, Andro yang menjadi pusat perhatian.

"Dulu kau selalu mengatakan Andro tidak bisa sukses," gumam Sandi akhirnya, suaranya datar. "Sekarang, kau lebih membanggakan dia daripada aku."

Ibu Andro tersenyum lebar. "Kalian berdua anak-anakku. Aku bangga pada kalian berdua! Lihatlah, satu anakku seorang jenius yang sukses, dan satu lagi idola terkenal! Keluarga kita sempurna!"

Namun, Sandi hanya bisa tersenyum kecil.Sempurna?

Tidak ada yang sempurna di rumah ini.

Sandi tahu ibunya hanya bangga pada mereka berdua karena kesuksesan mereka—bukan karena cinta sebagai seorang ibu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahkota Yang Terenggut   42.Maafkan Aku Sabrina

    Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma

  • Mahkota Yang Terenggut   41.Penyesalan

    Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen

  • Mahkota Yang Terenggut   40. Pengangguran

    Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut

  • Mahkota Yang Terenggut   39.Pulang Dengan Rasa Malu

    Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan

  • Mahkota Yang Terenggut   38.Kebangkrutan

    Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil

  • Mahkota Yang Terenggut   37.Nasib Yang Tertulis

    Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status