MasukPesta ulang tahun perusahaan akhirnya tiba. Bagi Ayu, ini terasa seperti maju ke medan perang. Ketegangan sudah memuncak selama seminggu terakhir.
Ratna sengaja memilih gaun untuk Ayu. Berwarna krem muda dengan model yang sangat sederhana, seolah ingin Ayu menyamar menjadi pelayan.
"Ini cocok buatmu," katanya sinis. Sementara itu, Ayu mendengar Ratna memesankan gaun untuk Sasha. Desainer langsung dari Paris, berwarna merah menyala. Sudah pasti akan sangat mencolok.
Ayu memilih diam. Ia berpikir, biarkan saja. Malam ini ia hanya ingin bertahan. Namun, ia tetap membawa satu barang kecil: flashdisk berisi foto-foto bukti.
Siapa tahu perlu dibuka di depan umum? Jika diprovokasi terlalu jauh, ia tidak menjanjikan bisa menahan diri. Ia sudah lelah menjadi korban.
Sesampainya di lokasi acara, nyali Ayu langsung menciut. Tempatnya sangat mewah. Lampu kristal dan bunga segar menghiasi setiap sudut. Para tamu semuanya dari kalangan elite.
Bima datang sendiri, mengenakan tuksedo, tampak sangat tampan. Namun, wajahnya terlihat dingin kepada Ayu. "Jangan bikin malu keluarga," bisiknya di telinga Ayu.
Ayu hanya mengangguk. Ia masuk, mencoba mencari tempat yang nyaman. Namun, Ratna segera menyeretnya berkeliling.
"Ini istri Bima, Ayu," perkenalannya terdengar datar. Tidak ada embel-embel "anak saya" atau "menantu saya".
Hanya "istri Bima". Seolah-olah Ayu hanyalah sebuah properti. Para tamu hanya tersenyum tipis, tatapan mereka penuh penilaian.
Lalu, kejadian yang paling ditunggu Ratna terjadi. Sasha datang. Semua orang langsung terpana. Gaun merahnya benar-benar spektakuler.
Ia berjalan pelan, anggun seperti seorang model. Rambut pirangnya ditata sempurna. Ratna langsung menghampiri dan memeluknya erat. "Sayang! Kamu cantik sekali!"
Kontras sekali dengan sambutan kepada Ayu tadi. Ayu merasa dirinya seperti sampah. Bima juga langsung mendekat, dengan senyum lebar.
"Sasha, kamu luar biasa." Mereka bertiga-Ratna, Bima, Sasha-terlihat seperti keluarga inti. Ayu hanya menonton dari jauh. Ia tidak diundang untuk masuk ke lingkaran itu.
Saat makan malam, pengaturan tempat duduknya semakin memperjelas status Ayu. Bima duduk di meja utama. Di sebelah kirinya Sasha. Di kanannya, Ratna.
Ayu? Ia duduk di meja paling ujung, bersama sepupu-sepupu jauh yang jarang bertemu. Mereka sibuk mengobrol sendiri, tidak ada yang mengajak Ayu berbicara.
Ia mencoba makan, tetapi makanannya terasa tidak enak. Tenggorokannya seperti ada yang menyangkut. Dari kejauhan, ia melihat Bima sedang mengobrol asyik dengan Sasha.
Mereka tertawa, bersentuhan tangan, dan bertukar tatapan mesra. Semua orang pasti melihat, tetapi mereka pura-pura tidak tahu, atau mungkin memang tidak peduli.
Setelah makan, tiba sesi dansa. Bima langsung mengajak Sasha. Mereka berdua memasuki lantai dansa, terlihat seperti pasangan resmi.
Ayu ditinggalkan sendirian di kursi. Beberapa tamu mulai berbisik. Ayu mendengar sepenggal-sepenggal. "...dicuekin..." "...mantan lebih cocok..." "...kasihan ya..." Wajahnya memanas karena malu.
Ratna datang, duduk di sampingnya. "Kamu lihat? Mereka cocok banget," bisiknya. "Dari dulu udah gitu. Kamu cuma gangguan sementara." Ayu tidak menjawab.
Ia hanya menggenggam flashdisk di tas kecilnya. Tangannya berkeringat. Ia ingin sekali lari, tetapi kakinya terasa terkunci.
Lalu, kejadian yang paling menyebalkan terjadi. Dion, adik Bima yang sombong, datang dengan segelas anggur merah. Ia pura-pura tersandung.
Anggurnya tumpah tepat di gaun Ayu. Warna merah menyebar di bagian dada dan perut. Gaun kremnya rusak total. "Aduh! Maaf ya, Mbak!" katanya sambil tertawa.
Semua orang melihat. Ada yang terkejut, ada yang tertawa kecil. Ayu berdiri, tidak tahu harus berbuat apa. Gaunnya basah dan belepotan.
Ratna langsung beraksi. "Ayu! Lihat nih! Kamu bahkan nggak bisa duduk dengan benar!" teriaknya. Suaranya keras, semua orang mendengar. "Bawa malu aja! Gaun mahal-mahal begini dirusak!"
Ratna terus mempermalukan Ayu. Ayu tidak bisa bergerak. Ia seperti dihujam di tempat. Bima hanya melihat dari kejauhan.
Wajahnya tanpa ekspresi. Ia tidak datang menolong, tidak memarahi adiknya. Ia bersikap acuh tak acuh. Sasha malah tersenyum-senyum kecil, puas melihat rivalnya dipermalukan.
Ayu merasa air mata hendak keluar, tetapi ia menahan diri. Ia tidak ingin memberi mereka kepuasan.
"Maaf, aku ke toilet dulu," bisik Ayu. Suaranya gemetar. Ia berjalan cepat, menghindari tatapan orang, menuju ke arah toilet yang letaknya jauh.
Sesampainya di toilet, ia masuk ke salah satu bilik. Barulah ia menangis. Diam-diam. Gaunnya rusak, perasaannya hancur. Ia membenci malam ini. Membenci semua orang di sini.
Setelah beberapa menit, ia mencoba membersihkan gaunnya menggunakan tisu. Namun, noda anggur merah sulit hilang, malah semakin melebar.
Semuanya kacau. Ia keluar dari bilik, berniat melihat di kaca. Tiba-tiba, ia mendengar suara dari luar. Pintu toilet utama terbuka.
Dua orang masuk. Suara Ratna dan Sasha. Ayu buru-buru masuk lagi ke bilik, mengunci pintunya sedikit. Ia tidak mau bertemu mereka dalam keadaan seperti ini.
"Tadi itu bagus banget," kata Sasha sambil tertawa.
"Dion memang jago akting. Anggurnya tumpah pas banget." Ratna ikut tertawa.
"Iya. Sekarang semua melihat dia tidak pantas ada di sini. Gaun murah, sikap pas-pasan." Ayu tidak percaya. Jadi, tumpahan anggur itu sudah direncanakan? Untuk mempermalukannya lebih dalam?
Mereka benar-benar kejam.
"Tapi Bima masih nggak setuju buat cerai," keluh Sasha.
Ratna menghela napas. "Bima itu keras kepala. Tapi tenang, Ibu yang atur."
"Gimana caranya?" tanya Sasha penuh harap. Ratna berbisik pelan, tetapi Ayu masih mendengarnya.
"Bersabarlah. Ayu nggak akan lama lagi di sini."
"Serius, Bu?" Sasha terdengar senang.
"Iya. Ibu udah atur semuanya. Sebelum ulang tahunmu bulan depan, dia akan pergi."
"Maksudnya... pergi gimana?" tanya Sasha agak ragu. Ratna tertawa kecil.
"Jangan khawatir. Legal dan bersih. Tapi dia pasti enggak betah." Mereka akhirnya keluar dari toilet. Ayu keluar dari bilik, wajahnya pucat.
"Nggak akan lama lagi di sini." Apakah itu ancaman atau sebuah rencana? Apakah mereka mau mengusirnya secara paksa? Atau membuat skandal agar ia minggat sendiri? Ayu tidak tahu. Namun, ia merasa dalam bahaya.
Ia melihat dirinya di cermin. Gaun rusak, mata sembab. Tetapi di balik itu, ada tekad yang semakin kuat. Mereka ingin mengusirnya? Silakan coba.
Ayu mengambil ponsel, memotret kondisi gaunnya. Lalu ia merekam suaranya yang berkata, "6 November. Gaun dirusak Dion, direncanakan Ratna dan Sasha." Ia simpan sebagai bukti.
Siapa tahu nanti diperlukan. Ia akhirnya keluar dari toilet dan langsung pulang naik taksi. Ia tidak berpamitan kepada siapa pun.
Biarkan saja mereka mencarinya. Biarkan Bima malu karena istrinya menghilang. Ayu sudah lelah bermain sesuai aturan mereka.
Di taksi, ia menangis lagi. Namun, kali ini tangisannya berubah, dari sedih menjadi marah, dari lemah menjadi bertekad.
Mereka pikir dengan memalukan dirinya, ia akan lari? Salah besar. Itu malah membuatnya ingin membalas dendam dengan cara yang lebih cerdas.
Keesokan harinya, Ratna pasti akan marah besar karena ia pulang duluan. Bima akan mengomel. Tetapi Ayu sudah siap. Ia punya rekaman, foto, dan bukti-bukti lainnya.
Waktunya mulai melawan. Dan pertarungannya tidak akan lagi di pesta, tetapi di balik layar, di mana ia yang memegang kendali. Mereka ingin ia pergi? Ia malah akan bertahan dan membuat merekalah yang pergi.
Taksi akhirnya sampai di rumah. Sunyi. Para pelayan sudah diliburkan untuk ikut pesta. Ayu masuk, melepaskan gaun rusak itu. Ia berganti dengan piyama biasa.
Lalu mengambil laptop. Ia mulai riset tentang hukum pernikahan, hak istri, dan cara investigasi finansial.
Malam itu, ia hanya tidur dua jam. Tetapi ia terbangun dengan semangat baru. Babak baru telah dimulai. Dan Ayu siap menjadi pemain utamanya.
Sasha Kirana datang ke kantor Ayu tanpa janji temu. Wajahnya memancarkan senyum ramah yang terlalu sempurna untuk dipercaya.“Ayu! Lama banget nggak ketemu,” ujarnya sambil merentangkan tangan untuk sebuah pelukan.Ayu menghindar dengan halus, hanya memberikan jabat tangan yang singkat. “Nama saya Anastasia. Dan ada yang bisa saya bantu?”Sasha tertawa kecil, memainkan rambut pirangnya. “Masih sakit hati, ya? Aku datang sebagai teman, kok. Bukan sebagai musuh.”Mereka duduk di sofa ruang kerja yang luas. Sasha memandang sekeliling dengan mata yang penuh penilaian.“Kantor yang bagus. Lebih baik dari yang punya Bima dulu,” komentarnya sambil menyilangkan kaki.“Apa keperluanmu, Sasha? Saya punya jadwal yang padat.” Ayu tidak ingin bermain-main.“Aku cuma ingin mengucapkan selamat. Sekaligus menawarkan kerja sama.” Sasha membuka tas Chanel-nya, mengeluarkan proposal
Bima menelepon tiga hari setelah percakapan singkat di kantor. “Aku di bawah apartemenmu. Bisa turun? Atau aku boleh naik?” suaranya serius.Ayu hampir nolak. Tapi penasaran juga. Apa lagi yang mau dia omongin? “Aku turun. 5 menit.” Dia gak mau Bima masuk ke ruang pribadinya.Mereka ketemu di lobby cafe apartemen yang sepi. Bima keliatan kecapekan, tapi matanya lebih jernih. “Makasih udah mau ketemu,” katanya sambil pesen dua kopi.“Saya cuma punya waktu 30 menit,” kata Ayu langsung batasin. Bima manggut. “Cukup. Aku mau cerita yang bener. Semuanya. Gak ada yang ditutup-tutupi lagi.”“Aku mulai dari pernikahan kita,” mulai Bima, tangan nya megang gelas panas. “Ayahku sekarat waktu itu. Kanker. Dia panggil aku, Dion, Ibu.”Ayu dengerin, wajah datar. Dia udah dengar versi ini sebelumnya. Tapi mungkin ada detil yang dia lewatin.“Dia bilang, ‘Kamu ha
Besoknya, Ayu langsung eksekusi. Dia dateng ke kantor jam 7 pagi, sebelum siapa pun dateng. Langsung menuju ke lantai direksi.Kantor direktur utamanya gede banget. Seluas apartemen studio. View ke seluruh kota. Selama ini jadi kerajaan kecil buat Bima (dan sebelumnya ayahnya).Ayu kasih instruksi ke asistennya. "Keluarin semua barang personal Bima. Pindahin ke ruang wakil direktur di lantai 6. Dengan hati-hati ya."Asistennya bingung, tapi nurut. Mereka pindahin foto keluarga, piala golf, buku-buku Bima. Dalam sejam, kantor itu udah kosong melompong.Ayu masuk, hirup udaranya. Ini sekarang wilayah dia. Dia duduk di kursi empuk direktur. Rasanya... powerful banget. Dari istri yang diabaikan jadi pemilik segalanya.Jam 9, karyawan pada berdatangan. Gosip langsung meletus. "Kantor pak Bima dikosongin!" "Katanya sih yang masuk cewek baru?" "Ih, siapa tuh?"Mereka pada penasaran banget. Lalu mereka liat Ayu jalan ke ruang rapat besar, dikeliling
Rapat dewan perusahaan Bima Kencana akhirnya digelar. Suasananya so formal, berisik banget. Dion yang pimpin rapat, sombongnya minta ampun.Dia duduk di kursi direktur utama, gaya-gaya pengusaha sukses. Padahal selama ini cuma numpang nama keluarga. Kerjanya cuma cari sensasi.Ayu dateng tepat waktu, masuk tanpa gebrak-gebruk. Dia pake business suit abu-abu, tas kulit, keliatan banget beda. Semua orang pada nengok.Mereka bingung. Kenapa si "istri Bima" yang disia-siain ini dateng? Pasti cuma mau cari perhatian lagi. Beberapa anggota dewan bahkan cemberut.Dion langsung ngedumel. "Ini rapat tertutup. Cuma untuk anggota dewan dan direksi," katanya sinis. Kayak lagi ngusir anak kecil.Ayu cuma senyum tipis. "Saya tau. Makanya saya datang." Dia jalan ke meja panjang, cari tempat duduk. Tapi nggak ada yang kosong.Dion ketawa dikit. "Kursi udah penuh, Mbak. Mungkin salah ruangan? Rapat arisan ibu-ibu ada di lantai bawah." Beberapa orang ikut ketawa.Tapi Ayu nggak tersinggung. Dia malah j
Belum sempat Ayu mencari surat itu, masalah baru sudah datang lebih dulu. Ratna ternyata tidak tinggal diam; dia masih punya kartu terakhir.Pagi-pagi, bel rumah berbunyi. Ayu sedang sarapan sendiri. Pelayan membuka pintu, dan ada dua orang di sana: satu pengacara tua yang Ayu kenal, dan satu pengawal.Ratna sendiri tidak datang, mungkin malu atau takut. Namun, dia mengirim wakilnya. "Selamat pagi, Ibu Ayu," kata pengacara itu, terkesan sok santai."Mau apa?" tanya Ayu, tidak mau basa-basi. Dia tahu ini tidak akan baik. Pengacara itu mengeluarkan map dari tas kulit mahal."Atas nama Nyonya Ratna, saya membawa dokumen penting. Mohon dibaca dan... ditandatangani." Dia menggeser map itu ke meja Ayu.Ayu membukanya. Judulnya besar: "PERJANJIAN PRA-PERCERAIAN DAN PENYELESAIAN HAK." Isinya membuat darahnya mendidih. Intinya: Ayu harus pergi dengan sukarela.Dengan syarat, dia tidak membawa apa-apa dari rumah ini. Bukan cuma harta, bahkan baju dan perhiasan pribadi pun tidak boleh dibawanya.
Seminggu setelah menemukan surat-surat itu, Ayu masih sangat penasaran. Meskipun sudah ada bukti, semua masih berupa teka-teki. Dia membutuhkan kunci jawaban.Ayu akhirnya menelepon detektif yang dulu pernah ia hubungi, yang memberinya foto Bima dan Sasha. "Saya butuh bantuan lagi," katanya langsung to the point."Mau selidiki apa lagi? Suami masih bandel?" canda detektif itu. "Lebih dari itu. Saya mau selidiki kecelakaan 20 tahun lalu, yaitu kematian orang tua saya."Detektif itu langsung serius. "Itu berat, Bu. Sudah sangat lama. Arsip polisi mungkin sudah hilang atau tersimpan." "Tapi bisa dicoba kan? Saya bayar dua kali lipat."Uang sekarang bukan lagi masalah bagi Ayu. Sebagai pemilik mayoritas perusahaan, akses dananya menjadi mudah. Paman Li juga setuju untuk mendanai investigasi ini.Dua hari kemudian, detektif itu datang ke apartemen baru Ayu. Dia membawa map tebal, raut wajahnya terlihat sangat serius. "Saya nemu sesuatu. Tapi ini... sensitif."Ayu menyuruhnya duduk dan memb







