Share

Landing

Hujan mengguyur Nanggroe sejak pesawat mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda. Berkubik air berjatuhan, tumpah dari langit angkasa, seolah enggan berhenti. Suhu udara menjadi dingin, namun tak sedingin kota bersalju. Akan tetapi, iklim tropis yang sesekali diguyur hujan sepanjang hari, juga akan merubah hawa udara menjadi sejuk.

Aini melangkah ke luar dari lobi mencari tempat beristirahat untuk meminum kopi supaya dapat menghangatkan tubuhnya. Ia menjatuhkan pilihan pada sebuah kedai kecil yang berisi makanan dan minuman.

"Selamat siang, Kakak? mari silakan duduk, mau pesan apa?" baru Aini mendaratkan tubuhnya, seorang pelayan toko datang menyapanya.

"Sanger arabica panas," jawab Aini singkat dan ramah.

"Baik, itu saja kakak?" tambah pelayan berwajah pas-pasan, namun berpenampilan keren.

Aini tersenyum sambil mengangguk, dan dimengerti oleh laki-laki keren itu.

Ia duduk menempelkan tubuhnya pada dingding kursi lalu menatap ruas-ruas jalan yang basah akibat air hujan. Mobil berlalu lalang melakukan penjemputan, sementara pejalan kaki bisa dihitung dengan jari bergegas mencapai perteduhan. Pepohonan yang tumbuh di pelataran parkiran bergoyang karena terpaan angin kencang, membuat suasana kian dingin.

Aini tersenyum ketika pelayan datang membawa secangkir kopi khas Nanggroe dengan gumpalan asap menawarkan aroma biji kopi pilihan yang dapat menenangkan saraf-sarafnya.

Pria keren itu memperhatikan Aini, dan itu dirasakan olehnya. Dia modar-mandir seperti setrikaan di hadapan Aini, sedang melayani pengunjungnya. Lalu, seorang pria paruh baya datang menyapanya, "Dia Akmal, peracik kopi sekaligus barista di kedai ini," suara bapak tua yang ternyata pemilik kedai sederhana tempat Aini singgah datang menjelaskan. Gadis itu mengkerut kening sambil berfikir, aku tidak bertanya, apakah engkau harus menyampaikan, bapak?

Pria tua itu berkata sambil menyodorkan sepiring kue kering ke hadapan Aini. Lalu, dengan lancang ia mengulur tangannya untuk Aini. Gadis itu melihat sejenak sebelum menjabat tangan yang dipenuhi kerutan dikulitnya, "Burhan, orang-orang di bandara ini memanggil saya dengan nama lain, pak cek. Kamu bebas, boleh mengikuti orang disini, atau Burhan saja,"

Aini menganguk anguk, namun fikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Matanya menatap kosong pada wajah yang sudah mulai menua di depannya, mencoba menelusuri aura keramah tamahan yang amat taramat kentara.

"Bapak pemilik kedai ini?" kata Aini mencoba bertanya, ia merasa beban setelah beberapa menit si bapak berbicara padanya, namun tak sepatah pun ia balas.

Burhan terkekeh, melebarkan mulutnya hingga menampakkan jejeran gigi yang sudah menguning, "Milik bapak sementara, milik Allah selamanya," jawabnya ambigu. Aini mengerut kening, tapi, dia mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi. Ia memandang jauh ke luar dan terlihat hujan mulai reda. Perlahan gadis itu merogoh tasnya mengambil hanphone untuk menghubungi jemputan.

"Apa kamu menunggu jemputan? berapa lama kamu di sini, apa kamu akan memesan satu cangkir lagi?" tanya Burhan serius. Ia merapikan gelas dari meja lain, sementara Akmal menyimak perbincangan antara Aini dan Pak Cek-nya.

Aini mengangkat bahu, "Saya sedang menunggu jemputan, dan ini surplus untuk bapak," Aini tersenyum ramah dengan memberikan uang senilai lima puluh ribu, padahal harga kopi tidak sampai segitu

"Baik, lah? semoga kamu mendapat luahan rezeki nona? dan jodoh terbaik sejagat raya," Aini menghentikan langkahnya, dan berusaha tersenyum. Sebenarnya ia bingung atas sikap pria bernama Burhan si pemilik kedai. Selain itu, Aini juga heran kenapa tiba-tiba ia terjebak di kedai yang pemiliknya aneh.

"Anda pelanggan pertama saya yang sangat pemurah. Jarang yang memberi tips seperti ini, apa anda pewaris suatu keturunan?" tebaknya tak beralasan. Aini hanya menghadiahi paruh baya itu dengan seulas senyum, kemudian memohon diri melenggang pergi dari kedai Burhan.

Aini melangkah di pinggir menunggu jemputan taxi online. Dia memesannya tadi sewaktu sedang berbicara pada Burhan.

Tak lama deringan ponselnya berbunyi menampilkan panggilan nomor asing. Ia yakin itu sang ojek, dan ternyata sudah berhenti tepat di depannya, "Dengan Anggraini?" tanya seorang pria berambut tipis, berwajah sedikit petak setelah menurunkan kaca mobilnya.

"Ya, benar. ojek?" jawab Aini mendekat pada taxi itu, dan segera naik ke dalamnya. Duduk tenang tanpa berbicara, sekelebat kejadian pagi tadi berputar dalam benaknya. Di mana Victor menyerangnya buas. Bahkan sekarang tubuh dan lehernya dipenuhi kiss mark milik Victor. Gadis itu menyenderkan kepalanya pada dingding jok mobil. Fikiran dipenuhi oleh kisah dua puluh empat jam yang telah mengikat hatinya pada Victor Walidin, laki-laki yang selama ini mengejar dan memohon cintanya. Di luar dugaan, semua terjadi begitu saja, dan itu sungguh alot kelanjutannya. Ia menarik nafas, mencoba menenangkan firasat ke depan yang belum tentu terjadi, dengan memejam mata membayangkan setiap sentuhan Victor, gadis itu tersenyum merona.

"Mbak, sudah sampai?" suara supir ojek menyadarkan Aini. Ia bergegas turun setelah membayar ongkos.

Berdiri sejenak memandang sebuah bangunan tua berlantai dua. Halaman luas ditumbuhi pohon-pohon buah, dan bunga-bunga dari berbagai jenis. Aini mendorong pintu pagar besi, melangkah kaki dengan menyeret koper di tangannya. Suasana tampak sepi, sepertinya penghuninya sedang pergi. Apa mungkin ibu juga pergi? bathinnya.

mengetuk dua kali pintu dengan pentilasi berbentuk masjid, namun tak kunjung di buka. Aini bergerak ke samping mendongokkan wajahnya mencari sesuatu, akan tetapi tidak ada tanda-tanda apa pun. Akhirnya Dara manis itu memilih duduk di kursi besi yang terpajang di teras rumah. Menyilang kaki panjangnya sambil memainkan hanphone-nya.

sebuah notifikasi di inbox wa, dan nama Victor tertera di sana.

"Aku butuh khabar sesibuk apa pun kamu, atau besok pagi kamu akan melihatku di tengah pernikahan adik kamu, Aini," Aini mengelus layar bening itu dengan senyum menghias wajahnya. Sulit ia percaya, kalau ternyata Victor seposesif ini.

"Nak ... Aini? kamu kah itu?" bariton itu mengalihkan pandangan Aini pada sebaris kata dari chat Victor. Ia tertegun melihat sosok yang sudah menua menghampirinya dengan pakaian lusuh.

"Pak Mamad!" sebutnya pada sosok tua telah berdiri di depannya. Aini menjabat tangan kotor itu tanpa memikirkan telapak tangannya juga ikut kotor.

"Pak Mamad, sehat?" tanya Aini ramah. Ia menatap wajah puluhan tahun yang sudah mengabdi pada keluarganya menjadi seorang tukang kebun.

"Bahkan bapak lebih kuat dari kamu, Nak," Mamad yang jalannya saja sudah renta, tapi masih menganggap dirinya binaraga. Pak tua itu menampakkan kesehatanya dengan memutar badan di depan Aini.

Aini tertawa gelik menyaksikan aksi konyol pak Mamad situkang kebun,

"Bapak sungguh menyebalkan!" kata Aini mendengus kesal, namun bahagia.

Pak Mamad adalah mantan pria perkasa yang bekerja menjadi tukan kebun dari sepuluh tahun telah berlalu di keluarga Syahbandar. Ia membersih kebun dan perkarangan rumah besar itu. Ia tergolong rajin dan ulet. Karena kesetiaanya, Pak Mamad mendapat penghargaan dalam bentuk tempat tinggal dari Syahbandar di ujung lahan 7 meter jarak dengan istana Syahbandar. Dia pria miskin yang tidak banyak berbicara, patuh, sopan dan penyayang terhadap anak-anak dan cucu Syahbandar. salah satunya Aini sendiri. Gadis itu kerap kali ditinggal Rafli ayahnya ketika pergi ke luar kota. Perawakannya sederhana, sedikit botak, dan berhidung pesek.

Melihat pak Mamad, menurut Aini seperti memandang tokoh abdi pada kerajaannya, karena bekerja adalah sebuah pengabdian bukan sebuah tuntutan atau profesi, apalagi sebagai ladang penghasil uang. Syahbandar mengangkatnya menjadi bagian dari keluarganya sehingga mengharuskan Mamad terus mengabdi sampai sekarang.

"Kamu pasti kangen sama bapak, bukan?" Mamad duduk melantai diikuti Aini. Gadis itu sangat menghargai dan rendah hati. Mereka terlibat obrolan sampai membawa pak Mamad pada titik kesedihan.

"Jadi, bapak punya anak?" tanya Aini iba, dan di angguk pelan oleh pak Mamad

Pak Mamad meninggalkan keluarganya di kampung pedalaman selama 10 tahun telah berjalan. Ia jarang pulang hanya mengirim uang dan keperluan lainnya. laki-laki tua itu berniat mengajukan pensiun pada Rafli, namun sama sekali belum berani ia ungkapkan. Aini mengelus lembut pundak ringkih milik pak Mamad, dalam hati ia akan membantu pak Mamad agar bersatu dengan keluarganya.

Waktu telah menjemput senja, akan tetapi Aini masih betah berselonjoran di depan pak Mamad sambil menunggu penghuni rumah pulang. Bercerita, serta menghibur, keduanya tergelak tiada henti. Melewati waktu yang jarang terjadi, membuat Aini menemukan pemikiran baru tentang arti sebuah kehidupan. Bahwa, "Kebersamaan itu jauh lebih berharga dari sebongkah berlian apapun, karenanya, jangan pernah kau sia-siakan itu,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status