Mega merah mulai menampakkan siluetnya, remang senja memancar sendu dari balik celah dedaunan. Setelah seharian diguyur hujan, namun suasana itu tidak mampu menyentuh atmosfir menawan dalam sebuah rumah megah dengan ornamen khas bangsawan raja Syahbandar di tengah-tengah Desa bernama Riung Gunung. Desa yang terkenal dengan panorama alam nan indah.
Di sebuah kamar bernuansa biru laut, seorang wanita berparas jelita dengan ornamen wajah bangsawan sedang merapikan pakaian dan membersihkan debu-debu bertebaran akibat terlalu lama tidak di tempati. Kamar yang terletak di lantai dua tepatnya menghadap balkon menjadi pilihan Aini diantara kamar-kamar lain. Dari dulu Aini memang memilh kamar itu karena bisa menikmati view alam dari lantai dua. Nyaman, dan jauh jankauan orang-orang yang ada di rumahnya.
Aini menghempas tubuhnya setelah semua barang-barangnya rapi. Perempuan itu melepaskan jepitan rambutnya, dan membiarkan rambut panjangnya indah tergerai. Melirik sejenak ke atas meja dimana benda pipihnya berbunyi nada bip, tanda notivikasi masuk. Aini mengkerut kening seraya bangkit berjalan dua langkah.
Meraih hp-nya, dan tertera nama Victor di layarnya
"Ain ... kamu tidak sedang mengabaikan aku kan?"
"Kamu cek log panggilan, sudah hampir seribu kali aku menghubungi kamu,"
Aini memicing layar ponselnya dengan senyum tipis menghias bibirnya,
Perempuan itu menekan back di layar itu untuk memastikan log atau notivikasi panggilan. Ternyata memang benar, Victor sudah menghubungi dari pikul 16 sampai 18 waktu sekarang. Tidak berencana untuk menjawab atau sekedar meminta maaf karena telah mengabaikan kekasihnya? Aini malah menaruh kembali ponsel itu lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sifat cuek yang sudah mendarah daging dalam diri Aini semakin mencuap kepermukaan. Bayangkan dengan kekasihnya saja, dia bisa bersifat dingin seperti itu? bagai mana dengan orang lain! Mungkin, Aini menganggapnya seperti angin lalu.
Sebelum mengguyur tubuhnya dengan air, Aini menatap sejenak wajahnya di cermin wastafel berbentuk oval. Aini menyentuh lehernya nanar. Beberapa kiss mark yang ditinggalkan Victor. Sekelebat bayangan Victor sedang mencumbunya liar tadi pagi, sebelum berangkat ke Bandara, bahkan hampir saja pria itu menelanjanginya, jika Aini tidak segera mencegahnya. Ia tersenyum getir, entah apa yang terlintas dalam benak gadis itu. Baru jadian saja, Victor telah berani melakukan lebih padanya, dan anehnya? Aini juga menikmati setiap sentuhan Victor hingga terbawa suasana. Apakah mungkin? gara-gara rasa yang terpendam selama ini membuatnya tak mampu membendung hati yang bergejolak? Aini sendiri semakin ambigu dengan hubungan yang baru terjalin itu. Kemana kah arah tujuan ikatannya dengan Victor, sementara jelas-jelas badai penghalang terbentang di depan.
"Kak Aini ... cepetetan mandinya!! kakak mandi apa bersemedi, sih?" suara gedoran pintu dari luar menyadarkan Aini. Wanita itu sibuk bermunalog sendiri hingga lupa kalau selepas magrib nanti akan ada rapat keluarga yang digelar oleh Rafli sang ayah
"Ya, may ... bentar!?" katanya dari dalam. Wanita itu segera menyiram badanya dengan air dan tidak membutuhkan waktu lama ia sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya,
"Hey, Mey? ada apa, tumben dimari," kata Aini berdiri di tengah-tengah kamar memperhatikan Meylani adik perempuannya yang akan menikah besok
"Kakak? Wah. Ada yang aneh nih, eh ini apa? kak Ain ... ya ampun.. siapa yang sudah berani melakukan ini sama kakak Anggrainiku?" desis Meylani mendekat dan menyentuh bercak merah di leher Aini. Namun bukan Aini namanya kalau perduli dengan hal apapun itu,
"Apaan, sih Mey? kepo banget tau gak. Ngapain kemari sih! keluar ... keluar." Kata Aini mendengkus sambil mendorong Meylani keluar dari kamarnya. Ganggu aja sih, jadi orang. Omel gadis itu mengunci pintu kamarnya, tidak memperdulikan Meylani mengedor-ngedor kencang dari luar.
"Kak ... kakak? bukain dong? Mey mau ngobrol sebentar!!" kata Meylani sedikit berteriak.
"What ever! emang gue pikirin," desisnya tak perduli, dan segera mengenakan pakaian dengan style rumahan, rok kulot sandana dipadu atasan kaus kebesaran berwarna putih dan sehelai selendang ia lilitkan di lehernya agar tidak terlihat kiss mark oleh orang tuanya. Penampilan seperti itu semakin membuat Aini tampil cantik meskipun, agak sedikit terkesan cuek.
Azan magrib terdengar lantang dari masjid ke masjid menyerukan panggilan ibadah sholat magrib. Aini turun ke bawah bergabung dengan keluarganya untuk sholat berjamaah sekalian melepaskan segenap kerinduannya pada sang bunda.
Setelah sholat berjamaah bersama, kini Aini dan keluarga sedang duduk di ruang keluarga untuk menyantap makan malam bersama. Suasana di meja makan berlangsung tenang tanpa ada yang berani berbicara. Sebab peraturan yang turun temurun dari nenek moyang raja Syahbandar harus diam saat makan. Alasannya, selain dilarang dalam agama? berbicara sambil menyantap makanan adalah salah satu tabiat orang yang tidak berilmu dan beradap
"Sudah sampai di mana kuliah kamu, Aini?" Suara itu ditengah keheningan ketika anak-anaknya sudah selasai makan malam. Wajah yang ditumbuhi bulu-bulu dibagian dagu sudah memutih, dan layu. Sinar matanya tajam di bawah cahaya lampu menatap Aini tak berkedip.
Aini melihat sekilas wajah layu Rafli lalu melirik sang bunda sedang duduk dihadapannya,
"Insya Allah yah. Sebentar lagi selesai," balas Aini datar. Gadis itu menempelkan tubuhnya di kursi berukukir jepara jeumpa Aceh khas milik kerajaan para Hulu Balang. Aini menunduk, ia tidak banyak berbicara, dan memang tidak ada yang berani memulai. Di sampingnya Meylani duduk dengan posisi gersah-gersuh mencari kenyamanan. Gadis itu kian risih berada ditengah keluarganya, apalagi Rafli selalu membuang muka saat berhadapan dengannya.
"Besok," kata Rafli menjeda ucapannya, dan menatap Meylani dengan wajah berubah kelam. Yang ditatap segera menunduk sambil menormalkam detak jantungnya, antara senang atau takut. Senang karena akhirnya Rafli merestuinya menikah dengan Halim. Takut, sebab Rafli terus menatapnya horor, seolah dirinya seperti musuh
"Besok, adik kamu akan menikah dengan laki-laki pilihannya, bukan dari garis keturunan kita," jelas Rafli bernada berat. Suaranya serak seperti menahan tekanan nafas agar tidak menguap amarahnya.
"Siapa pun dia, yang penting 'kan sekufu, yah?" sangga Aini tanpa melihat wajah Rafli. Tapi, setelah itu jantungnya berdebar ketakutan. "Mampus! ngapain nyeplok sih ... ni lidah?
"Sekufu kata kamu! bahkan pria itu tidak menapak kaki di masjid mana pun. Kamu berani bilang sekufu!" deg. Rafli mengetatkan giginya sambil menatap Aini tajam.
"Ayah, sudah lah. Semua sudah kehendak yang di atas? cobalah untuk berdamai dengan keadaan. Meylan akan menikah besok, biarkan lah dia bahagia, yah?" ucap Kartini lembut. Wajah ayu milik wanita paruh baya itu tersenyum tulus pada Meylani. Sepertinya, kartini sedang membela Meylan, bukan membela sih. Menguatkan hati Meylani lebih tepatnya. Karena Kartini memperhatikan wajah Meylani mulai redup.
"Benar yah? engga ada salahnya kita terima ini semua sebagai bentuk takdir Allah?" imbuh Aini lagi. Ia semakin berani bersuara di depan ayahnya, padahal itu tidak biasa terjadi.
"Jangan terlalu membesar-besarkan masa... "
"Cukup!" sergah rafli memotong ucapan Kartini.
"Cukup. Kalian tidak perlu mengajari saya. Saya tau apa yang terbaik untuk keluarga ini!"
Rafli bangkit berdiri sejenak menatap satu persatu wajah anak dan istrinya, lalu membalikan badan pergi meninggalkan ruang makan, padahal rapat belum dimulai
Ketiga perempuan cantik itu saling menatap tanpa menunjukkan ekspresi masing-masing.
"Kalian istirahat aja ya? gak usah terlalu difikirin? yang penting sekarang? Aini, kamu tolong bantu Meylan menyiapkan segala sesuatu untuk persiapan besok ya? kata Kartina bersuara indah dan mendayu.
Aini dan Meylani hanya diam mendengar nasehat ibunya, sebelum waktu menunjukkan tengah malam, kedua gadis berketurunan bangsawan itu beranjak pergi menuju kamar Meylani. Mereka saling diam sambil terus memilah milah kue-kue kering ke dalam wadah, persembahan untuk para tamu undangan besok.
Hello, pembaca yang baik hati, mohon vott dan komen cerita ini ya? semoga cerita ini dapat menginspirasi bagi semua pembaca.. Loving All...
"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas mulia dibayar tunai!" Ucap Halim lantang. "Bagaimana saksi? sah!" "Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta dan embel-embel silsilah Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar. Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias, diiringi rona pipi memerah karena mengulum kebahagiaan. Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang
Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar, tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu berdatangan mengantri memberi semangat naik di singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding penuh bahagia. Di halaman samping kanan, seorang wanita yang berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam semakin larut. Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh tak tersentuh secuilpun. "Cantik." sapa seseorang memujinya, "Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi memandang jauh ke atas langit di mana rembulan b
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini," Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida, teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya. Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan Victor, kenapa dia menanyakan Aini. "Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah. "Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr.... kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada menekan frustasi, pria itu mondar-mand
Di luar sudah gelap. Victor tidak mengingat apapun, setelah miras meracuni jiwanya. Memang ada sedikit ketenangan, namun dirinya oleng menyetir mobil dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Dengan sisa kesadaran yang ia kumpulkan akhirnya ia sampai di rumah dengan selamat. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mengalihkan ingatannya pada Aini, sampai menghabiskan waktu hingga larut malam di sebuah diskotik. Keluar dari mobil seketika kedinginan menyergap tubuhnya. Pria itu memeluk dirinya sendiri dan terus berjalan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Kesunyian melingkupi hari-harinya tanpa ada yang menemani. Kisah hidupnya yang teramat perih, membuat Victor melumpuhkan diri dari segala keseriusan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Aini secara tidak terencana. Semenjak itu semangatnya pulih, dan terus mengejar cinta wanita berdarah Aceh itu. Hakikat rasa adalah penjelmaan. Di mana setiap di sentuh akan memberikan sensasi kenormalan yang dapat menstimulasi reaks
"Papa harap, kamu menempatkan dirimu di lingkungan yang lebih baik. Hindarilah bergaul dengan laki-laki yang tidak sepantaran dengan kita," Rafly berkata disela hembusan asap rokok bergulung dari mulutnya. Jantung Aini bergemur bak ombak menghantam batu karang di lautan. Dadanya sesak serasa penuh di rongga."Ya, yah.. Aini akan menjaga diri," lirih Aini pelan nyaris tek terdengar. Gadis itu duduk menegakkan tubuhnya sambil memijid ujung pakaiannya. Semakin kesini, ia semakin tertekan dengan keadaan. Rasa bersalah menghantui dirinya, mengingat Victor sedang menunggunya diujung rindu."Papa tidak punya harapan lagi selain denganmu, nak. Papa ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki baik-baik dari keturunan kita. Papa yakin, kamu akan mendapatkan, bila kamu yakin.. berdoalah, InsyaAllah." Rafli menarik nafas panjang yang kian sesak menyiksa alam sadarnya.Anggraini adalah sandaran terakhir bagi Rafli, saat ini beliau sedang terpukul membayangkan sehari telah berla
“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping masa cutinya telah habis, Aini ingin segera menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan. Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat. Mere
Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila di atas rata-rata.Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya dipenuhi dengan chat dari Victor.“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya yang sudah bersikap seperti anak keci
HARI belum berganti, masih pukul 23.49, tetapi Aini sudah gelisah karena mengingat Victor, di ranjangnya segera turun. Berkaca memandang wajah yang kusut. Seharusnya dia tidak terlalu cepat menerima seorang Victor dan berkencan semudah itu, dan seolah sekarang seperti permainan, dia membenci situasi yang kini menjebaknya. Aini mencintai Victor itu harus diakui olehnya. Namun, cinta itu tidak mungkin bersatu, saat mengingat dirinya bukanlah perempuan biasa. Dia terlahir dari rahim bangsawan yang menuntutnya untuk menikah sesama bangsawan pula. Gadis itu memakai celana pendek Adidas abu-abu baju kaos kebesaran kesukaannya, keluar kamar, mencari angin di depan teras. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di depan mengamati pemandangan lampu-lampu Kota Medan sambil memegang secangkir kopi.Ketika dia memikirkan cara untuk mengusir bayangan Victor, sebuah notifikasi berdering di hanphonenya. Dia menaruh asal cangkir di meja lapuk, dan mengambil hp-nya dalam