“Kamu siap. Emm..” Aini melengkung senyuman getir. Ia menunduk setelah menyakinkan hati pria yang kini berdiri gagah di depannya dengan balutan jas dan peci menutup kepalanya. Kisahnya telah selesai di sini, di sebuah desa kecil yang jauh dari kediamannya. Sebuah desa yang telah melahirkan pria berlatar belakang seorang mafia pengedar. Aini menatap diri dalam balutan gaun brokat berwarna putih dengan sisa kesadaran dan nafas terputus. Iya? Aini telah memutuskan untuk menikah siri dengan adik iparnya sendiri karena Halim terus memaksanya, bahkan pria itu mengancam“Dengar, Ain. Kamu setuju menikah denganku, atau rumah ini akan kubumi hanguskan. Aku tidak akan segan-segan melakukan itu.” Hati Aini meringis kesakitan. Yang kedua kalinya ia mendengarkan ancaman Halim, dan kali ini dengan nada yang tidak bisa dianggap enteng. Ya! Tatapan Halim begitu serius memancarkan sinar tajam di mana cukup membuat Aini sadar bahwa Halim bukan lah pria baik-baik yang Cuma menggertak sambel kurang peda
Cerita ini diangkat dari kisah nyata, di mana sebuah rumah tangga hancur karena terbentang kuat perbedaan. Keangkuhan dan keegoisan seorang ayah telah mengundang mala petaka besar bagi keluarga Syahbandar. Syahbandar adalah julukan leluhur yang turun temurun sampai sekarang. Setiap keturunan yang baru lahir maka akan ada Syahbandar di depan nama anak cucunya. Seperti Cut Anggraini Syahbandar, wanita yang terlahir sebagai penerus sandangan itu. Raja Syahbandar yang terkenal apatis pada masa feodal dulu menulis sebuah maklumat, bahwa anak cucunya wajib menikah dengan sesama garis keturunan Hulu Balang. Maka dari itu tidak sedikit dari keturunan mereka yang menikah sesama, kalau tidak dengan lain kakek pasti dengan sepupuan satu kakek, sehingga keturunan mereka tidak akan terpisah dari yang namanya Cut atau Teuku. Sementara Anggraini sendiri berada diurutan ke 11 dari silsilah raja diraja ketahtaan Syahbandar, dan itu sudah sangat terbentang jauh dari kekentalan adat ist
Saat-saat menyenangkan adalah ketika kita selalu punya waktu bercanda dan bercengkrama dengan orang-orang terdekat kita, apalagi mereka adalah sahabat-sahabat seperjuangan, sama-sama merantau di negeri orang. Namun itu harus terhenti sejenak sebab sesuatu dan lain hal. Sesuatu itu adalah, Aini mendapat telphone dari papanya Rafli Syahbandar tadi pagi, dan meminta Aini untuk segera kembali ke Aceh besok. Rafli mengabari anak sulungnya bahwasanya Meylani akan segera menikah dua hari mendatang. Khabar itu sedikit membuat Aini terkejut. Ia tidak menyangka ternyata Meylani telah berhasil meluluhkan hati ayahnya Rafli. Padahal, seminggu yang lalu ia masih mendengar cerita Asril adik laki-lakinya, kalau papa tidak akan pernah menerima Halim dikeluarga Syahbandar. Sungguh tidak ada satu pun yang bisa menentang takdirnya Allah. terlebih masalah jodoh, itu sudah diatur sedemikian rupa. Hari ini, Aini memutuskan untuk bertemu dengan Sonya sahabatnya. Anggraini sudah mengirim chat pada
Mengingatmu adalah kesalahan, apalagi menggantung asa yang terlihat kerdil dari jauh. Dunia kita berbeda bukan karena harta dan kasta. Tapi, kita tidak diciptakan dari satu garis keturunan. Hidupku miris, maka kugantung rasa ini di ubun-ubun keputus asaanSebuah coretan ia gores di atas selembar memo lalu ia tempelkan pada mading pengingat berwarna pink. Gadis itu tersenyum miris, menatap sebentuk wajah dibalik cermin besar di samping ranjangnya."Ayah, Aini sudah tidak remaja lagi," gumannya pasrah. Kemudian ia hendak merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, tiba-tiba suara ketekun pintu membuatnya mengurungkan niat dan menoleh ke arah pintu. Aini melirik jam backer di atas meja kecilnya sudah menunjukkan 10 malam. Tidak segera membuka pintu itu, Aini meraih cardigan di cantolan baju lalu mencoba mengintip lewat jendela dengan menyembunyikan wajah dari balik tirai. "Victor? ngapain malam-malam." gumannya, Ia heran. Ternyata Victor mengunjungi kos-
"Ain.. kamu cukup cantik untukku saja? gak perlu momeles berlebihan, Sayang," suara dari balik pintu terdengar posesif. Mengedor-ngedor, namun Aini tidak perduli. Ia tidak menyangka sepagi ini Victor datang ke kosannya, dan berniat mengantarkan Aini ke Bandara. Aini sempat menolak karena tidak ingin merepotkan laki-laki yang kini namanya bertahta di hati. "Sejak kapan kamu mengklaim seperti itu," balas Aini datar dari dalam. Wanita itu sering kali membuat orang sekeliling gemes bahkan greget gara-gara sifat cueknya yang berlebihan. Victor mengkerut kening sambil mendengus kesal, sebab Aini belum juga membukakan pintu dan membiarkanya masuk. Kisah semalam begitu cepat merubah waktu dari kecanggungan menjadi akrab seolah mereka sudah lama memadu kasih. "Ain.. kamu sekarang milikku? jadi, tolong la.. aku gak mau kamu tampil berlebihan?" ungkapnya posesif. Aini menghentikan polesan lipstik di bibirnya, ia berfikir dalam senyum. Ada rasa hangat menjalar ke s
Hujan mengguyur Nanggroe sejak pesawat mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda. Berkubik air berjatuhan, tumpah dari langit angkasa, seolah enggan berhenti. Suhu udara menjadi dingin, namun tak sedingin kota bersalju. Akan tetapi, iklim tropis yang sesekali diguyur hujan sepanjang hari, juga akan merubah hawa udara menjadi sejuk.Aini melangkah ke luar dari lobi mencari tempat beristirahat untuk meminum kopi supaya dapat menghangatkan tubuhnya. Ia menjatuhkan pilihan pada sebuah kedai kecil yang berisi makanan dan minuman."Selamat siang, Kakak? mari silakan duduk, mau pesan apa?" baru Aini mendaratkan tubuhnya, seorang pelayan toko datang menyapanya."Sanger arabica panas," jawab Aini singkat dan ramah."Baik, itu saja kakak?" tambah pelayan berwajah pas-pasan, namun berpenampilan keren.Aini tersenyum sambil mengangguk, dan dimengerti oleh laki-laki keren itu.Ia duduk menempelkan tubuhnya pada dingding kursi lalu menatap ruas-ruas jalan
Mega merah mulai menampakkan siluetnya, remang senja memancar sendu dari balik celah dedaunan. Setelah seharian diguyur hujan, namun suasana itu tidak mampu menyentuh atmosfir menawan dalam sebuah rumah megah dengan ornamen khas bangsawan raja Syahbandar di tengah-tengah Desa bernama Riung Gunung. Desa yang terkenal dengan panorama alam nan indah. Di sebuah kamar bernuansa biru laut, seorang wanita berparas jelita dengan ornamen wajah bangsawan sedang merapikan pakaian dan membersihkan debu-debu bertebaran akibat terlalu lama tidak di tempati. Kamar yang terletak di lantai dua tepatnya menghadap balkon menjadi pilihan Aini diantara kamar-kamar lain. Dari dulu Aini memang memilh kamar itu karena bisa menikmati view alam dari lantai dua. Nyaman, dan jauh jankauan orang-orang yang ada di rumahnya. Aini menghempas tubuhnya setelah semua barang-barangnya rapi. Perempuan itu melepaskan jepitan rambutnya, dan membiarkan rambut panjangnya indah tergerai. Melirik sejenak ke a
"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas mulia dibayar tunai!" Ucap Halim lantang. "Bagaimana saksi? sah!" "Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta dan embel-embel silsilah Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar. Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias, diiringi rona pipi memerah karena mengulum kebahagiaan. Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang