"Ain.. kamu cukup cantik untukku saja? gak perlu momeles berlebihan, Sayang," suara dari balik pintu terdengar posesif. Mengedor-ngedor, namun Aini tidak perduli. Ia tidak menyangka sepagi ini Victor datang ke kosannya, dan berniat mengantarkan Aini ke Bandara. Aini sempat menolak karena tidak ingin merepotkan laki-laki yang kini namanya bertahta di hati.
"Sejak kapan kamu mengklaim seperti itu," balas Aini datar dari dalam. Wanita itu sering kali membuat orang sekeliling gemes bahkan greget gara-gara sifat cueknya yang berlebihan.
Victor mengkerut kening sambil mendengus kesal, sebab Aini belum juga membukakan pintu dan membiarkanya masuk. Kisah semalam begitu cepat merubah waktu dari kecanggungan menjadi akrab seolah mereka sudah lama memadu kasih.
"Ain.. kamu sekarang milikku? jadi, tolong la.. aku gak mau kamu tampil berlebihan?" ungkapnya posesif. Aini menghentikan polesan lipstik di bibirnya, ia berfikir dalam senyum. Ada rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, menghasilkan getaran yang sulit ia lukiskan. Aini menatap dirinya dari pantulan kaca, terlihat kantung matanya bengkak akibat kurang tidur. Iya.. Aini tidak bisa memejam mata semalaman gara-gara terbayang terus cumbuan Victor tadi malam hingga membuatnya terlena. Hati Ainib bahagia, meskipun ada rasa nyeri disudut nan dalam. Menjelaskan tentang ketabuannya atas kejadian semalam, Victor telah berhasil mengambil first kiss nya, dan sungguh itu harapan Aini, jika suatu hari nanti ia akan memberikan pada orang yang dicintainya.
"Aini..?" panggil Victor kesal. Pria itu disiksa oleh Aini dengan tidak membiarkannya masuk.
"Sabar, Vic. Aku udah mau siap ni?" saut Aini santai. Wanita itu meraih tas beserta koper ia seret ke depan pintu, lalu segera membukanya.
Krakt.
Pintu terbuka lebar menampilkan sosok lelaki tampan berdiri bersedekap menatap liar pada gadis itu. Sedetik kemudian, Victor menyergap tubuh Aini, mendekap erat dengan menghujam ciuman panas di bibir dan leher Aini yang tertutupi kerudung tipis. Aini tertegun bersamaan tas berserta koper terlepas dari tangannya. Anggraini meronta dengan suara mulut membungkam dalam lumatan Victor. Pria yang baru menjadi kekasihnya itu tidak memberi ampun padanya, yang pada dasarnya tidak terlalu suka dicium terus. Tapi, sepertinya Victor sulit dicegah, gairah bersemayam dalam kerinduannya, apalagi mengingat kekasihnya akan pulang ke kampung halaman dalam waktu yang cukup terbilang lama.
"Vic, please? nanti aku ketinggalan pesawat!" katanya terengah akibat Victor mencumbu leher jenjangnya dan meninggalkan tanda kepemilikan di sana. Victor tidak menghiraukan pinta Aini, ia terus mengisap kulit bersih Aini bak vampire menghisap darah.
"Vic?! tolong berrhentilaah," ucapnya bernada serak namun meninggi. Gadis itu semakin terpancing oleh sentuhan ketika tangan Victor meremas bokongnya. Semakin liar, semakin tak terkendalikan. Pria itu menendang dari belakang pintu kosan Aini agar tertutup, lalu menyeret Aini ke ranjang yang tidak begitu lebar. Keduanya terhempas di kasur empuk dengan penampilan Aini sudah sangat kacau.
"Vic, please? jangan seperti ini, aku mohon. Aku tidak mau ketinggalan pesawat, Vic." pinta Aini memohon pada Victor. Laki-laki itu menatap Aini sayu berkabut gairah.
"Aku mohon, tetaplah di sini untukku, Ain, aku tidak sangup berjauhan denganmu selama itu," ungkapnya serak. Mata elang itu mengunci wajah sang kekasih seolah tak kuasa melepas kepergiannya.
Aini mengulum senyum manis seraya membelai wajah tampan sedang menindihnya, "Aku janji, tidak akan lama. Aku butuh pulang, Vic. Adik aku akan menikah besok," jelas Aini menyakinkan Victor. Namun, pria itu tak merespon. Ia mulai mendekatkan wajahnya kembali melumat bibir ranum itu, dalam ia memungut menyalurkan sejuta kerinduan, walaupun hubungan baru terikrar 15 jam yang lalu. Tak dapat dipungkiri, Aini sangat menikmati cumbuan itu, hingga ia membiarkan Victor melakukan lebih dari sebuah ciuman.
Perlahan, tangan kekar itu membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Aini, dan menampilkan belahan indah dibungkus penutup natural. Entah apa yang ada dalam fikiran keduanya, cinta telah membuat mereka terbuai oleh getaran nikmat dari sentuhan masing-masing. Aini benar-benar telah tenggelam ketika Victor meraup rakus dua gundukan berharga miliknya. Pria itu diselimuti gairah yang meletup hingga membawa tangannya menyentuh bagian sensitive milik Aini. Namun, seketika Aini menahannya. Wanita itu berusaha mengumpulkan kesadaran dengan meraih kedua tangan Victor, lalu mengecupnya hangat.
"Kamu tidak akan menodaiku secepat ini, kan? Emm,," bisik Aini lembut membuat Victor tertegun. Pria itu membalas kecupan di tangan Aini, dan juga menjilat jemari lentik itu seperti sedang mengisap permen.
Setelah melewati bujukan, berjanji akan segera kembali, akhirnya Victor melepaskan Aini dan membiarkan wanita itu merapikan kembali pakaian dan make up-nya. Itu juga tidak terlepas dari pelukan pria itu. Enggan menolaknya, Aini membiarkan Victor memeluknya, bahkan memainkan bagian lehernya.
Hari kian beranjak. Jam kian berdetak. Kegelisahan terpancar dari aura Aini. Gadis itu takut pesawat akan lepas landas, karena jarak tempuh dari kota ke Kuala Namu amat teramat jauh. Victor merasa kasihan melihat wanita yang dicintainya tidak sedikit pun tenang sepanjang perjalanan.
Ia menekan pedal gas mobilnya hingga lari di atas rata-rata agar secepat mungkin sampai di bandara.
"Vic? hati-hati, kamu tidak perlu menyetir sekencang ini?" protes Aini panik. Wanita itu duduk disebelah di dalam mobil Victor. Tetapi, Victor tidak mengindahkan kata-kata Aini. Ia melarikan mobil seakan roda tidak berpijak pada bumi.
"Aku gak mau kamu terlambat sayang, aku juga minta maaf, sudah menahan kamu tadi," ucapnya tersenyum jahil. Seandainya ia membiarkan Aini segera berangkat ke bandara, mungkin sekarang mereka tidak perlu ngebut seperti itu. Tapi apalah kuasa seorang Victor yang setiap melihat Aini, libidonya meronta-ronta. Bukan hal yang mudah baginya, mengabaikan pesona Aini yang seolah-olah menggoda imannya, padahal? Aini tidak bermaksud seperti itu. Rasa yang terpendam lama, apa jadinya ketika itu tersalurkan. Maka seperti itulah mereka, hubungan belum mencapai angka 24 jam, namun serasa telah bertahun-tahun dan sulit terkendalikan.
Lari dengan membabi buta, mobil mewah bertulis landcruiser milik Victor memasuki halaman Bandara Kuala Namu. Ia segera turun membukakan pintu untuk Aini, dan mengambil koper di bagasi lalu diseretnya ke dalam bersama Aini, pria itu mengurus check in atas nama Anggraini Syahbandar.
"Sayang, cepat. Pesawatnya mau berangkat, lima menit lagi," Victor menganggkat koper mengantarnya ke lobi. Suara pemberitahuan keberangkatan terdengar menggangu percakapan antara Aini dan Victor, membuat mereka harus lebih dekat lagi, "Vic. Aku pergi ya, hati-hati, Emm,," ucap Aini menatap sejenak wajah tampan yang kini menjadi bayang-banyangannya setiap saat.
"Kamu janji, akan segera kembali. Aku tidak butuh penolakan, apa lagi janji di atas ingkar, Ain," balas Victor seraya menangkup sebelah pipi Aini dengan tangannya. Saling menatap, seakan sedang mengirim kekuatan untuk saling bertahan selama jarak membentang.
Suara pemberitahuan terdengar kembali menyadarkan dua nyawa yang sedang mati suri. Aini meraih kopernya lalu ia seret perlahan tanpa melepas pandangannya pada Victor yang masih berdiri melepas kepergiannya tanpa kerelaan. Akan tetapi, ia tak kuasa mencegah gadis berdarah Hulu balang yang telah menyeretnya dalam pesona kebangsawanannya.
Pesawat telah lepas landas, Victor melangkah kaki meninggalkan bandara dengan separuh jiwanya terbang bersama Aini. Pria itu menyetir mobil tiada bersemangat sampai ia lupa hari ini ada jadwal mengajar di kampusnya. Sebagai asisten dosen, Victor harus bisa menghandle jadwal yang sudah ditentukan oleh akademik. Ia baru sadar akan tugas itu dan segera mengebut mengejar waktu agar tidak terlambat.
Hujan mengguyur Nanggroe sejak pesawat mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda. Berkubik air berjatuhan, tumpah dari langit angkasa, seolah enggan berhenti. Suhu udara menjadi dingin, namun tak sedingin kota bersalju. Akan tetapi, iklim tropis yang sesekali diguyur hujan sepanjang hari, juga akan merubah hawa udara menjadi sejuk.Aini melangkah ke luar dari lobi mencari tempat beristirahat untuk meminum kopi supaya dapat menghangatkan tubuhnya. Ia menjatuhkan pilihan pada sebuah kedai kecil yang berisi makanan dan minuman."Selamat siang, Kakak? mari silakan duduk, mau pesan apa?" baru Aini mendaratkan tubuhnya, seorang pelayan toko datang menyapanya."Sanger arabica panas," jawab Aini singkat dan ramah."Baik, itu saja kakak?" tambah pelayan berwajah pas-pasan, namun berpenampilan keren.Aini tersenyum sambil mengangguk, dan dimengerti oleh laki-laki keren itu.Ia duduk menempelkan tubuhnya pada dingding kursi lalu menatap ruas-ruas jalan
Mega merah mulai menampakkan siluetnya, remang senja memancar sendu dari balik celah dedaunan. Setelah seharian diguyur hujan, namun suasana itu tidak mampu menyentuh atmosfir menawan dalam sebuah rumah megah dengan ornamen khas bangsawan raja Syahbandar di tengah-tengah Desa bernama Riung Gunung. Desa yang terkenal dengan panorama alam nan indah. Di sebuah kamar bernuansa biru laut, seorang wanita berparas jelita dengan ornamen wajah bangsawan sedang merapikan pakaian dan membersihkan debu-debu bertebaran akibat terlalu lama tidak di tempati. Kamar yang terletak di lantai dua tepatnya menghadap balkon menjadi pilihan Aini diantara kamar-kamar lain. Dari dulu Aini memang memilh kamar itu karena bisa menikmati view alam dari lantai dua. Nyaman, dan jauh jankauan orang-orang yang ada di rumahnya. Aini menghempas tubuhnya setelah semua barang-barangnya rapi. Perempuan itu melepaskan jepitan rambutnya, dan membiarkan rambut panjangnya indah tergerai. Melirik sejenak ke a
"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas mulia dibayar tunai!" Ucap Halim lantang. "Bagaimana saksi? sah!" "Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta dan embel-embel silsilah Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar. Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias, diiringi rona pipi memerah karena mengulum kebahagiaan. Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang
Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar, tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu berdatangan mengantri memberi semangat naik di singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding penuh bahagia. Di halaman samping kanan, seorang wanita yang berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam semakin larut. Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh tak tersentuh secuilpun. "Cantik." sapa seseorang memujinya, "Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi memandang jauh ke atas langit di mana rembulan b
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini," Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida, teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya. Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan Victor, kenapa dia menanyakan Aini. "Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah. "Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr.... kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada menekan frustasi, pria itu mondar-mand
Di luar sudah gelap. Victor tidak mengingat apapun, setelah miras meracuni jiwanya. Memang ada sedikit ketenangan, namun dirinya oleng menyetir mobil dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Dengan sisa kesadaran yang ia kumpulkan akhirnya ia sampai di rumah dengan selamat. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mengalihkan ingatannya pada Aini, sampai menghabiskan waktu hingga larut malam di sebuah diskotik. Keluar dari mobil seketika kedinginan menyergap tubuhnya. Pria itu memeluk dirinya sendiri dan terus berjalan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Kesunyian melingkupi hari-harinya tanpa ada yang menemani. Kisah hidupnya yang teramat perih, membuat Victor melumpuhkan diri dari segala keseriusan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Aini secara tidak terencana. Semenjak itu semangatnya pulih, dan terus mengejar cinta wanita berdarah Aceh itu. Hakikat rasa adalah penjelmaan. Di mana setiap di sentuh akan memberikan sensasi kenormalan yang dapat menstimulasi reaks
"Papa harap, kamu menempatkan dirimu di lingkungan yang lebih baik. Hindarilah bergaul dengan laki-laki yang tidak sepantaran dengan kita," Rafly berkata disela hembusan asap rokok bergulung dari mulutnya. Jantung Aini bergemur bak ombak menghantam batu karang di lautan. Dadanya sesak serasa penuh di rongga."Ya, yah.. Aini akan menjaga diri," lirih Aini pelan nyaris tek terdengar. Gadis itu duduk menegakkan tubuhnya sambil memijid ujung pakaiannya. Semakin kesini, ia semakin tertekan dengan keadaan. Rasa bersalah menghantui dirinya, mengingat Victor sedang menunggunya diujung rindu."Papa tidak punya harapan lagi selain denganmu, nak. Papa ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki baik-baik dari keturunan kita. Papa yakin, kamu akan mendapatkan, bila kamu yakin.. berdoalah, InsyaAllah." Rafli menarik nafas panjang yang kian sesak menyiksa alam sadarnya.Anggraini adalah sandaran terakhir bagi Rafli, saat ini beliau sedang terpukul membayangkan sehari telah berla
“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping masa cutinya telah habis, Aini ingin segera menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan. Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat. Mere