Share

Malam Sebelum Pagi

Mengingatmu adalah kesalahan, apalagi menggantung asa yang terlihat kerdil dari jauh. Dunia kita berbeda bukan karena harta dan kasta. Tapi, kita tidak diciptakan dari satu garis keturunan. Hidupku miris, maka kugantung rasa ini di ubun-ubun keputus asaan

Sebuah coretan ia gores di atas selembar memo lalu ia tempelkan pada mading pengingat berwarna pink. Gadis itu tersenyum miris, menatap sebentuk wajah dibalik cermin besar di samping ranjangnya.

"Ayah, Aini sudah tidak remaja lagi," gumannya pasrah. Kemudian ia hendak merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, tiba-tiba suara ketekun pintu membuatnya mengurungkan niat dan menoleh ke arah pintu. Aini melirik jam backer di atas meja kecilnya sudah menunjukkan 10 malam. Tidak segera membuka pintu itu, Aini meraih cardigan di cantolan baju lalu mencoba mengintip lewat jendela dengan menyembunyikan wajah dari balik tirai. "Victor? ngapain malam-malam." gumannya, Ia heran. Ternyata Victor mengunjungi kos-kosannya. Aini bersandar sejenak dibalik pintu sekedar menormalkan detak jantungnya.

"Permisi, Aini?" deg. Suara Victor serasa menghentak jantungnya. Aini menarik nafas lalu menghembus perlahan.

Krak.

perempuan itu membuka pintu perlahan, dan menampakan pria gagah dan tampan berdiri mengantungi kedua tangannya, tersenyum penuh pesona.

"Hai, sori. Aku ngangu, ya?" ucapnya memicing pada wajah Aini. Wanita itu mengulum senyum hingga terpancar aura keanggunannya membuat Victor menelan ludah. Pria itu kian tersiksa menahan rasa yang terus bergelora iingin memiliki Aini.

"Ada yang penting? kok malam-malam," kata Aini melebar senyumnya, ia menatap Victor lembut, seakan ingin mengucapkan satu kata, "Kamu tampan, Vic" namun itu tidak mungkin terjadi, karena mereka masih berada dalam zona sahabat.

Victor berdiri memperhatikan kecantikan Aini secara natural, tanpa polesan. Gadis itu kikuk terus dipandang begitu sampai akhirnya dia menawari Victor masuk.

"Em, Vic. Mau masuk atau di luar aja?" Aini membuka lebar-lebar pintu kos-kosannya, memberi akses untuk Victor masuk.

Victor mengangguk senang dengan bola mata berbinar. Pria itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah lama ia nanti-nantikan bertamu ke rumah Aini. Senyumnya sembringah, dan segera berhambur ke dalam, lalu duduk di sebuah sofa tua tanpa menunggu perintah yang punya rumah. Sofa tua yang sengaja ditaruh di ruang tamu oleh pemilik kosan, tujuannya agar setiap tamu yang datang tidak duduk dilantai atau masuk ke dalam kamar.

"Kamu sendiri? Ain," tanya Victor basa-basi. Pria itu kehabisan stok kata saking bahagianya bisa menatap Aini lebih dekat.

"Keluargaku, semua di Aceh, Vic. Jadi aku sendiri di sini," jawab Aini santai. Wanita itu berusaha tenang meskipun jantungnya terus megaduh dan sikap cueknya mampu meredam semua respon melalui gasture tubuhnya yang terlihat malu-malu.

"Emm,, khabarnya kamu mau balik besok? kok mendadak amat sih, urgent?" Victor menyeringai di depan Aini. Mereka duduk bersebelahan di sofa yang terpisah. Pria itu tidak menyurutkan tatapan memuja pada kecantikan Aini, pada hal wanita itu tidak dalam polesan. Namun, aura bersinar ayu khas wanita bangsawan terlihat kentara.

"Kata siapa?" canda Aini memancing Victor. Ia menyilang kaki panjangnya mencari posisi lebih santai, seraya merapatkan kardigan agar tertutup bagian dadanya.

Victor sempat menyuri dengan lirikan matanya pada bagian itu sebelum Aini menutupnya. Pria tampan itu menelan ludah menyaksikan kulit putih bersih ter-ekspos dari leher jenjang Aini. Dada pria itu bergemuruh menahan hasrat kelelakiannya.

"Yeah, tadi sore, aku gak sengaja ketemu Sonya. Katanya kamu mau balik ke Aceh," cicit Victor sambil menunduk menggosok-gosok pahanya untuk sekedar menormalkan detak jantungnya.

Aini memperhatikan gelagat laki-laki yang namanya kini bersemayam dalam hati, bertahta tak tentu arah. Mengingat segala pantangan dalam hidupnya membuat Aini diam tak mengindahkan apa pun tentang perasaan bahkan cinta sekalipun. Berat dijinjingnya, jika rasa itu berpadu dan ujung-ujungnya hanyalah kefanaan yang diterimanya. Kisah penentang dalam keluarganya semakin membuat Aini terseret dalam kesingglelan bahkan diusia sekarang yang tidak terbilang remaja lagi.

Aini tersenyum tipis, dan itu semakin melipat gandakan pesonanya bagi Victor. Pria itu berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan keresahan yang selama ini menggangu hari-harinya, maksud kedatangannya malam ini ke kediaman Aini adalah ingin menyampaikan rasa yang bersemayam dalam hati. Namun, lidahnya terasa kelu untuk berucap. 

"Emm, Ain.." katanya tercekat, dan Aini memicing mata bingung. Gadis itu menaut alis melihat tidak biasanya Victor bersikap se-nerves ini.

"Aku ... aku ... anu, apa kamu mau makan malam denganku malam ini," gagap Vicktor mengalihkan maksud dari ucapannya. Sebenarnya pria itu ingin menembak Aini, namun serasa berat, dan Aini juga ikut heran, ada apa dengan Victor malam ini. Tidak ada angin tidak ada hujan, Pria itu terlihat sangat gugup, pada hal Aini mengenal Victor seorang pria gentle selama ini.

Waduh. gimana ini? dia gak salah, ngajak makan malam, ini kan sudah jam 11. huuf! jadi kedatangan dia kemari nawarin itu? tapi kenapa selarut ini? dalam benaknya

"Ain..." panggil Victor lembut, dan menyadarkan Aini dari lamunan,

"Gimana?" tambah Victor mengharap jawaban Aini. Gadis berdarah Aceh itu menarik nafas panjang dan menghembus perlahan,

"Vic, ini uda larut Banget, lain kali, ya?" jawab Aini bernada berat, namun lugas. Seketika senyum diwajah Victor surut berubah masam. Ia bingung harus memulai dari mana, ruangan itu terasa sesak untuknya menghirup oxsigen. Apakah separah itu? hingga rongganya menjadi sempit, gara-gara getaran benih cinta yang kian tumbuh di hatinya?

"Oke, lain kali," ucap Victor putus asa. Ia tersenyum miris karena misinya tidak tercapai.

Sejenak kesenyapan menyelimuti keduanya, hanya terdengar deru nafas, dan sesekali Victor berdehem akibat kerongkongannya terasa kering. Aini memperhatikan Victor gersah-gersuh tidak tenang. Dara manis itu bangkit masuk ke kamarnya mengambil segelas air putih lalu memberikan pada Victor

"Minum dulu, Vic. Di sini hawanya panas, pasti kamu haus," kata Aini sambil menyodorkan segelas air putih itu, dan diterima dengan senyum sembringah oleh Victor. Entah haus, atau memang tubuh Victor kekeringan akibat lelah menenej rasa yang mendera

Aini hendak berbalik untuk duduk kembali, namun Victor menangkap secepat kilat tangan lembut itu membuat langkah Aini terhenti dan perlahan menghadap laki-laki itu. Victor bangkit tanpa melepas tangan Aini dalam genggamannya. Mata indah itu melirik di mana tangannya sedang dielus lembut. Sekilas, lalu kembali menatap wajah tampan yang ditumbuhi bulu halus tersisir rapi membentuk jambang hingga kebawah dagu. Sejenak mata keduanya saling bertabrakan, berkedip tanpa ada isyarat di sana.

Lama saling menatap, akhirnya Victor memberanikan diri menggerakkan bibirnya, "I lave you, Ain. Aku cinta kamu, please i need you, sekarang, selamanya," Victor memantapkan ucapanya tanpa memikirkan respon dari Aini. Gadis itu membeku merasakan gemuruh dalam dadanya. Hawa tubuh mugilnya dingin, diiringi kelenjar aneh mengalir memadati aliran darahnya.

Victor kian mengeratkan genggaman tangannya, menyalurkan sejuta rasa yang sedang bergejelok, dan sulit ia kendalikan saat ini. Perlahan, laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Aini, kian dekat dan hanya bersisa satu inci. Victor mengunci tatapannya pada bibir basah merah merekah itu, sementara Aini hanya diam seakan kokosongan melingkupi hati dan fikirannya.

Semenit kemudian, sebuah kecupan mendarat tepat dibelahan kelopak mawar nan indah berseri. Lama Victor menempel bibirnya di bibir Aini, dan dirasa gadis itu tidak menolak? akhirnya Victor mulai memungut pelan bibir ranum itu. Masih dalam keadaan membeku, Aini seperti telah hilang kesadaran, ia membiarkan Victor melumat bibirnya penuh gairah, bahkan gadis itu mencoba membuka mulut memberi akses untuk laki-laki yang dicintainya dalam diam selama ini.

Emm...

Sebuah desah lolos dari mulut Victor membuat keduanya kian terbuai oleh kenikmatan saliva masing-masing. Pria tegap itu semakin mabuk meraup bibir lembut itu, tangannya pun mulai bergerak mencengkram leher dan tekuk Aini. Wanita itu memejam mata merasakan sentuhan Victor mengelus pungung, leher hingga pinggang rampingnya.

Desahan kian membahana dalam ruangan 2 meter persegi yang di tempati oleh Aini. Waktu terus bergulir menjemput kepakatan malam. Namun, dua insan yang dilanda asmara belum menyadari keterbatasan waktu antara meraka. desis suara lumatan terus berirama seiring jarum jam berdetak. Kisah yang terpendam, telah lama menyiksa dua hati saling mengangumi. Kini, semua tersalur hanya dalam waktu singkat menuju penyatuan, saling berbagi saliva.

Victor mendekap erat tubuh mungil yang dirinduinya akhir-akhir ini, tanpa melepas lumatan liarnya. Aini mulai terengah, karena pasokan oxigen mulai habis. Ia menepuk dada bidang itu agar berhenti menyedot lidahnya yang terasa perih.

Saling menatap, tanpa kata. Victor mengelus lembut sudut bibir Aini dengan ibu jarinya yang terlihat bengkak akibat perbuatannya. Menangkup lagi wajah ayu itu, Victor memuja dengan pandangan sayu berkabut gairah, kemudian membawa tubuh kurus itu dalam dekapannya. Terdengar degupan jantung masing-masing bersamaan dengan nafas tersengal.

Malam kian menua mengantar gelap pada kepekatan. Setelah semuanya tersalurkan, melalui ungkapan, akhirnya Victor mohon diri untuk pulang, mengingat jam sudah berada di angka 12 lewat 30 menit tengah malam, artinya hampir dua jam dua anak manusia itu melampiaskan segala kerinduan yang terpendam selama ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status